Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
Amira Karin Khairana
"Perspektif kapitalis budaya mengasumsikan bahwa kebebasan kreativitas musisi dibatasi oleh logika industri yang berorientasi mencari keuntungan, oleh karena itu penelitian sebelumnya mengidentifikasi musisi indie bawah tanah bernegosiasi dengan perusahaan rekaman arus utama untuk mempromosikan subkultur yang berbeda dari genre dominan. Tulisan akademis ini bertujuan untuk memahami taktik grup musik indie bawah tanah “Efek Rumah Kaca”, sebagai negosiasi terhadap musik arus utama dominan dan sebagai produksi budaya DIY yang kreatif/ inovatif, untuk bertahan dalam industri musik kapitalis. Dengan menggunakan metode analisis tematik konten, bentuk negosiasi yang terjadi diidentifikasi melalui representasi teks khususnya lirik lagu dari karya musik Efek Rumah Kaca. Hasil analisis memperlihatkan bahwa Efek Rumah Kaca menegosiasikan musik arus utama dengan mengadopsi praktik dan simbol dari industri musik populer, ke dalam tindakan alternatif mereka sendiri yang otonom serta kreatif/ inovatif. Bentuk negosiasi juga ditemukan dalam lagu-lagu bergenre indie pop mereka, yang dalam liriknya menyuarakan kepedulian terhadap isu sosial-politik, moral, agama, dan budaya, sebagai kritik terhadap institusi dominan di masyarakat serta industri musik populer arus utama yang kapitalis. Guna bertahan dalam industri musik kapitalis, grup musik indie bawah tanah ini menciptakan ruang khusus (niche space) dengan memaksimalkan capital dan arena (field) yang dikuasai untuk produksi budaya DIY yang mementingkan estetika, serta memanfaatkan sekaligus mengklaim legitimasi/ otoritas budaya setempat.
The cultural capitalist perspective assumes that musicians' freedom of creativity is limited by the industrial logic of profit laden, hence previous studies identified underground indie musicians negotiate with the mainstream recording company to promote a distinct subculture from the dominant genre. This academic paper aims to understand the tactics employed by underground indie music group “Efek Rumah Kaca”, as a form of negotiation between dominant mainstream music and indie musicians which represent creative/innovative DIY cultural production, to survive in the capitalist music industry. Employing thematic content analysis method, the findings suggest the form of negotiation that was occured could be identified through text representation, especially the song lyrics of the musical product of Efek Rumah Kaca. Moreover, Efek Rumah Kaca negotiates with mainstream music by adopting practices and symbols of the popular music industry, into their own autonomous and creative/innovative alternative acts. The form of negotiation is also found in their indie pop songs, which in the lyrics express concern for socio-political, moral, religious and cultural issues, as a critique of the dominant institutions in society and the capitalist mainstream popular music industry. In order to survive in the capitalist music industry, this underground indie music group creates a niche space by maximizing their capital and field for the production of DIY culture that emphasizes aesthetics, as well as utilizing and claiming the legitimacy/authority of local culture."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Amira Karin Khairana
"Perspektif kapitalis budaya mengasumsikan bahwa kebebasan kreativitas musisi dibatasi oleh logika industri yang berorientasi mencari keuntungan, oleh karena itu penelitian sebelumnya mengidentifikasi musisi indie bawah tanah bernegosiasi dengan perusahaan rekaman arus utama untuk mempromosikan subkultur yang berbeda dari genre dominan. Tulisan akademis ini bertujuan untuk memahami taktik grup musik indie bawah tanah “Efek Rumah Kaca”, sebagai negosiasi terhadap musik arus utama dominan dan sebagai produksi budaya DIY yang kreatif/ inovatif, untuk bertahan dalam industri musik kapitalis. Dengan menggunakan metode analisis tematik konten, bentuk negosiasi yang terjadi diidentifikasi melalui representasi teks khususnya lirik lagu dari karya musik Efek Rumah Kaca. Hasil analisis memperlihatkan bahwa Efek Rumah Kaca menegosiasikan musik arus utama dengan mengadopsi praktik dan simbol dari industri musik populer, ke dalam tindakan alternatif mereka sendiri yang otonom serta kreatif/ inovatif. Bentuk negosiasi juga ditemukan dalam lagu-lagu bergenre indie pop mereka, yang dalam liriknya menyuarakan kepedulian terhadap isu sosial-politik, moral, agama, dan budaya, sebagai kritik terhadap institusi dominan di masyarakat serta industri musik populer arus utama yang kapitalis. Guna bertahan dalam industri musik kapitalis, grup musik indie bawah tanah ini menciptakan ruang khusus (niche space) dengan memaksimalkan capital dan arena (field) yang dikuasai untuk produksi budaya DIY yang mementingkan estetika, serta memanfaatkan sekaligus mengklaim legitimasi/ otoritas budaya setempat.
The cultural capitalist perspective assumes that musicians' freedom of creativity is limited by the industrial logic of profit laden, hence previous studies identified underground indie musicians negotiate with the mainstream recording company to promote a distinct subculture from the dominant genre. This academic paper aims to understand the tactics employed by underground indie music group “Efek Rumah Kaca”, as a form of negotiation between dominant mainstream music and indie musicians which represent creative/innovative DIY cultural production, to survive in the capitalist music industry. Employing thematic content analysis method, the findings suggest the form of negotiation that was occured could be identified through text representation, especially the song lyrics of the musical product of Efek Rumah Kaca. Moreover, Efek Rumah Kaca negotiates with mainstream music by adopting practices and symbols of the popular music industry, into their own autonomous and creative/innovative alternative acts. The form of negotiation is also found in their indie pop songs, which in the lyrics express concern for socio-political, moral, religious and cultural issues, as a critique of the dominant institutions in society and the capitalist mainstream popular music industry. In order to survive in the capitalist music industry, this underground indie music group creates a niche space by maximizing their capital and field for the production of DIY culture that emphasizes aesthetics, as well as utilizing and claiming the legitimacy/authority of local culture."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Aria Atyanto Satwiko
"Riset ini mengkaji terbentuknya ruang aman digital bagi kaum muda dalam konteks pencarian layanan kesehatan mental secara daring. Ruang aman digital atau tempat tanpa diskriminasi, kritik, dan pelecehan bagi partisipannya, adalah fenomena sosial yang merespon kesehatan mental di berbagai negara termasuk Indonesia. Di Indonesia, kesehatan mental adalah hal yang tabu dan diberi stigma oleh masyarakat, hal ini menyebabkan orang dengan kesehatan mental memiliki praktik keseharian untuk membentuk dan memaknai ruang digital yang memfasilitasi wadah diskusi sejawat. Penelitian ini bertujuan untuk memahami praktik dalam dan pemaknaan terhadap ruang aman digital yang memberikan perasaan nyaman ketika para penggunanya berinteraksi. Melalui wawancara mendalam serta diskusi kelompok fokus, penelitian ini berargumen bahwa praktik yang membentuk ruang aman digital adalah taktik dewasa muda Jakarta untuk bertahan hidup sehari-hari di tengah tabu dan stigma mengenai kesehatan mental. Menggunakan kerangka pemikiran de Certeau (1984), individu memiliki taktik dalam keseharian, salah satunya melalui bentuk kekuatan untuk meninggalkan atau menciptakan elemen spasial yang baru agar dapat bertahan hidup. Praktik ini melibatkan hubungan sosial setara dan mutual, yang menerapkan psikoterapi amatir sehingga membentuk pengalaman nyaman bagi kaum muda yang berpartisipasi dalam ruang aman digital.
This research examines the creation of a digital safe space for young people in the context of a bold search for mental health services. Digital safe space or a place without discrimination, criticism, and for its participants, is a social phenomenon that responds to mental health in various countries including Indonesia. In Indonesia, mental health is a taboo subject and stigmatized by society, this causes people with mental health to have daily practices to form and interpret digital spaces that facilitate peer discussion. This study aims to understand the internal practice and meaning of a digital safe space that provides a comfortable feeling when its users interact. Through in-depth interviews and focus group discussions, this research argues that the practices that make up a digital safe space are a tactic for young Jakartans to survive day-to-day in the midst of taboos and stigma about mental health. Using de Certeau's (1984) framework, individuals have tactics in their daily lives, one of which is through the power to leave or create new spatial elements in order to survive. This practice involves equal and mutual social relationships, applying amateur psychotherapy so that it is a comfortable experience for young people participating in digital safe spaces."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library