Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohamad Fasyehhudin
"Sebagian besar negara yang berkembang mengalami kurangnya kemampuan politik dan administrasi yang cukup, dan dari ketidakmatangan sosial dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak di era modern. Secara mendasar, persoalannya adalah untuk membujuk individu dan komunitas mengubah cara-cara tradisional dalam hidup dan mencari nafkah, yang selanjutnya, tergantung pada pendidikan, pada peragaan dan kontak pribadi yang lain, antara pemerintah sebagai kekuatan pengarah dan rakyat sebagai bahan bakunya, disamping juga orang-orang yang mendapatkan manfaat dari pembangunan. Tetapi pemerintah terlalu dibebani dan seringkali tanpa dukungan. Untuk mencapai perubahan sosial dan pertumbuhan perekonomian secara umum memerlukan suatu penyebaran usaha sehingga masyarakat lokal dan individu bisa berpartisipasi, untuk membawa pada kondisi ideal, energi, antusiasme dan yang paling penting, inisiatif lokal pada pelaksanaan aktivitas pembangunan lokal.
Asas desentralisasi merupakan sarana yang sangat ampuh untuk menyelenggarakan pelayan kepada masyarakat sesuai dengan karakteristik kebutuhan di tingkat lokal. Dengan fungsi dari asas desentralisasi adalah dipergunakan sebagai sarana untuk menampung keanekaragaman. Berdasarkan prinsip semacam itu inilah, maka desentralisasi merupakan sarana tepat untuk melaksanakan demokrasi pemerintahan di tingkat lokal. Dari prinsip seperti inilah, maka desentralisasi merupakan sarana tepat untuk melaksanakan pemencaran kekuasaan tersebut. Sementara pemerintah akan membutuhkan untuk mempertahankan fungsi-fungsi kunci dan tanggung jawab kunci tertentu, yang lainnya hanya bisa dilepaskan secara memuaskan jika pelayanan-pelayanannya dilakukan kepada warga negara dimana dia berada. Dalam hal ini dan dalam kebutuhan untuk kontak langsung dengan rakyat jika perubahan sosial akan dihasilkan, terdapat suatu pendapat yang kuat untuk desentralisasi. Dalam kontek Indonesia, negara Indonesia adalah negara kesatuan. Sebagai negara kesatuan maka kedaulatan negara adalah tunggal, tidak tersebar pada negara-negara bagian seperti dalam negara federal/serikat.
Artinya penyelenggaraan pemerintahannya tidak diselenggarakan secara sentralisasi tapi desentralisasi, karena negara Indonesia sangat luas yang terdiri atas puluhan ribu pulau besar dan kecil dan penduduknya terdiri atas beragam suku bangsa, beragam etnis dan memeluk agama yang berbeda. Indonesia tidak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat, Negara. Hal ini yang membedakan negara kesatuan dengan negara federal. Tujuan negara yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat tersebut terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bagaimana pemerintah dalam memberikan pelayanan publik secara efektif dan efisien yaitu dengan menyerahkan fungsi pemerintah dan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, agar pemerintahan daerah benar-benar otonom dan bebas dari intervensi pemerintah pusat sehingga pelayanan publik dapat terwujud.
Pelayanan publik tidak terlepas dari pengaruh birokrasi pemerintahan yang semula terkesan berbelit-belit dengan cara memangkas birokrasi supaya menjadi lebih efektif dan efisien. Prinsipnya "The Least government is the best government" dengan mengedepankan civil society gerakan ini adalah bagaimana membuat masyarakat menjadi lebih mampu dan mandiri untuk memenuhi sebagian besar kepentingannya sendiri. Konsekuensi logis dari berkembangnya masyarakat sipil adalah semakin rampingnya bangunan birokrasi. Karena sebagian besar pekerjaan pemerintah dapat di jalankan sendiri oleh masyarakat maupun dilaksanakan melalui pola kemitraan dalam rangka privatisasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T18963
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hania Rahma
"Seiring dengan penerapan desentralisasi sejak Januari 2001 lalu, penyelenggaraan asas dekonsentrasi di Indonesia juga mengalami perubahan mendasar baik dalam tata aturan penyelenggaraannya maupun dalam luas cakupan bidang kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan. Penerapan dekonsentrasi di Indonesia pada era desentralisasi ditujukan untuk melaksanakan sejumlah kewenangan di bidang lain yang masih dimiliki Pemerintah Pusat, selain lima bidang kewenangan utama yang tidak diserahkan ke daerah, yang lokasi pelaksanaannya berada di daerah. Kewenangan Pemerintah tersebut menurut UU 22/1999 dilimpahkan kepada gubernur dan atau perangkat pusat di daerah. Untuk kewenangan yang dilimpahkan kepada gubernur, pelaksanaannya berada pada dinas propinsi.
Desentralisasi seharusnya berimplikasi pada berkurangnya secara signifikan anggaran pembangunan sektoral yang dikelola Pemerintah Pusat mengingat mekanisme pembiayaan yang dianut Indonesia adalah money follows function. Namun yang terjadi saat ini adalah terdapatnya hubungan yang tidak sejalan antara arah dan besar perubahan kewenangan dalam penyelenggaraan pembangunan dengan arah dan besar perubahan anggaran yang dialokasikan untuk melaksanaan kewenangan tersebut. Hal ini rnenimbulkan sejumlah pertanyaan yaitu: bagaimana dekonsentrasi diatur dalam peraturan perundangan yang ada saat ini, sejauh mana pelaksanaan dekonsentrasi di Indonesia dalam konteks desentralisasi secara umum, sejauh mana praktek dekonsentrasi telah sejalan dengan peraturan perundangan yang ada, implikasi apa yang timbul dari praktek dekonsentrasi yang terjadi selama ini, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?
Hingga saat ini tidak banyak studi atau kajian mengenai dekonsentrasi. Di Indonesia, bahkan belum ada studi yang secara khusus membahas persoalan dekonsentrasi pada era desentralisasi. Berangkat dad permasalahan di atas dan adanya keinginan untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi penyempurnaan peraturan perundangan dan pelaksanaan dekonsentrasi di Indonesia, kajian ini ditujukan untuk mempelajari pelaksanaan dekonsentrasi dengan membandingkan praktek dekonsentrasi yang terjadi dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, serta mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat pelaksanaan dekonsentrasi di Indonesia pada era desentraliasasi.
Studi ini menggunakan variabel pengeluaran pembangunan APBN, terutama yang dikategorikan sebagai anggaran dekonsentrasi, sebagai indikator utama dalam menilal pelaksanaan dekonsentrasi. Selain APBN digunakan juga variabel pengeluaran pembangunan yang berasal dari APBD. Untuk menilai praktek dekonsentrasi yang dijalankan oleh departemen pusat, Departemen Pertanian diambil sebagai contoh kasus.
Secara keseluruhan, hasil studi menyimpulkan bahwa penyelenggaraan dekonsentrasi pada era desentralisasi masih jauh dari kondisi yang ditetapkan oleh peraturan perundangan dan masih di bawah kondisi yang diharapkan dari penyelenggaraan desentralisasi secara umum. Keseluruhan hasil studi menunjukkan:
Masih terdapat ketidakseimbangan dalam pola pembiayaan pembangunan antara pusat dan daerah yang dicerminkan oleh masih tingginya kontribusi APBN dalam pembiayaan penyelenggaraan pembangunan secara keseluruhan, terus meningkatnya pengeluaran pembangunan APBN selama era desentralisasi dengan tingkat kenaikan yang lebih besar dibanding tingkat kenaikan dana perimbangan yang ditransfer ke daerah otonom, terjadinya pergeseran dalam aiokasi pengeluaran pembangunan APBN dari yang tadinya secara dominan diselenggarakan di daerah menjadi lebih banyak dilaksanakan langsung oleh kantor pusat,
Terdapat ketimpangan antara anggaran dekonsentrasi dengan anggaran pembangunan yang berasal dari APBD dan juga dengan dana perimbangan yang diterima daerah yang ditunjukkan oleh tingginya anggaran dekonsentrasi (mencapai 2-4 kali lipat) dibanding anggaran pembangunan yang bersumber dari APBD, tidak seimbangnya besaran pembiayaan dengan besaran kewenangan yang diserahkan/dilimpahkan sebagaimana ditunjukkan oleh tingginya anggaran dekonsentrasi dibanding dana perimbangan yang diterima daerah, tidakterdapatnya pola, kriteria maupun mekanisme distribusi anggaran dekonsentrasi di antara propinsi,
Terdapat penyimpangan dalam praktek dekonsentrasi yang dijalankan departemen/LPND yang ditunjukkan oleh fakta bahwa sebanyak 73,5% anggaran pembangunan APBN dan 94% anggaran dekonsentrasi justru diserap oleh kelompok departemen/LPND yang tidak terkait dengan bidang kewenangan utama yang tidak diserahkan ke daerah, lebih dari 98% anggaran dekonsentrasi digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan yang bersifat pelaksanaan di daerah hanya 0,4% yang dialokasikan untuk penyelenggaraan kewenangan yang bersifat penetapan kebijakan, sebagian besar kegiatan dekonsentrasi diselenggarakan di tingkat kabupaten/kota dengan melibatkan dinas pemerintah daerah setempat, tidak ada perubahan yang terjadi dalam mekanisme dan pendekatan yang digunakan oleh Departemen/LPND dalam merumuskan kegiatan dan menyusun anggaran dekonsentrasi dibanding sebelum desentralisasi.
Dari kasus Departemen Pertanian (Deptan) diketahui bahwa lebih dari separuh anggaran dekonsentrasi Deptan dialokasikan untuk penyelenggaraan proyek di 337 kabupaten/kota dengan rata-rata nilai proyek sebesar Rp 2,1 milyar per kabupaten/kota, Deptan masih menjadikan dekonsentrasi sebagai pendistribusian tugas penyelenggaraan pembangunan antara pusat dan daerah tanpa memperhatikan apakah sesuai atau tidak dengan bidang kewenangan yang dimiliki, Iebih dari 98% anggaran dekonsentrasi Deptan digunakan untuk membiayai kegiatan proyek pembangunan pertanian yang ruang lingkup kewenangannya bukan lagi milik Deptan berdasarkan peraturan perundangan yang ada, anggaran dekonsentrasi Deptan yang sangat tinggi (rata-rata 3 kali lipat dari anggaran pembangunan sektor pertanian yang dibiayai APED) berpeluang mengganggu penyelenggaraan kegiatan dinas propinsi dalam rangka desentralisasi.
Kondisi di atas disebabkan oleh sejumlah faktor yang bersumber dari: (1) peraturan perundangan yang ada yaitu berupa (i) kelemahan ketentuan pasal-pasal dalam UU dan PP yang berlaku saat ini, (ii) adanya gap antara ketentuan dalam peraturan perundangan yang berlaku saat ini dengan terminologi dalam teori dekonsentrasi, dan (iii) terdapatnya inkonsistenasi di antara pasal-pasal yang terkait dengan dekonsentrasi yang terdapat daiam UU dan PP serta peraturan lain yang menyertainya, serta (2) pelaksanaan peraturan perundangan di lapangan yaitu berupa (i) adanya resistensi yang kuat dari pemerintah pusat untuk menyerahkan kewenangan berikut pembiayaannya kepada daerah, (ii) tidak berperannya Departemen Keuangan sebagai katup akhir penentuan keputusan pengalokasian penggunaan pengeluaran negara, (iii) hampir tidakadanya departemen/LPND yang melakukan penyesuaian tugas pokok dan fungsi dengan perubahan bidang kewenangan paska desentralisasi, (iv) rendahnya pemahaman para penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah mengenai dekonsentrasi, (v) rasa kecurigaan yang beriebihan berkaitan dengan rendahnya kepercayaan antar berbagai tingkatan pemerintahan, (vi) ketidakseimbangan antara transfer jumlah dan bobot kewenangan dengan pembiayaan, serta (vii) keteriambatan pusat dalam mengeluarkan peraturan perundangan lanjutan yang mendukung pencapaian efektifitas penyelenggaraan dekonsentrasi.
Studi ini mengusulkan kepada Pemerintah untuk: (1) melakukan berbagai perubahan dan penyempurnaan peraturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan dekonsentrasi dalam konteks desentralisasi secara luas yaitu dengan mengembalikan ketentuan mengenai dekonsentrasi kepada terminologi yang sebenarnya dan melakukan penyempurnaan peraturan perundangan tentang pembagian bidang kewenangan antara pusat dan daerah, (2) melakukan evaluasi dan koreksi terhadap alokasi anggaran pengeluaran negara, terutama pengeluaran pembanguan dan dana perimbangan, (3) menetapkan departemen/LPND yang bertugas menindakianjuti ketentuan-ketentuan peraturan perundangan mengenai penyelenggaraan dekonsentrasi dikaitkan dengan konteks desentralisasi secara luas serta melakukan pengawasan dan penilaian terhadap praktek dekonsentrasi pada setiap departemen/LPND, serta (4) meningkatkan sosialisasi kepada para pejabat terkait di pusat dan saerah mengenai penyelenggaraan asas dekonsentrasi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T13293
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joeniarto
Jogjakarta: Jajasan Badan Penerbit Gadjah Mada, [1964]
320.959 8 JOE a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: DepDikNas, 2001
379 REF
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Decentralisation and Reform in Latin America analyses the process of intergovernmental reform in Latin America in the last two decades and presents a number of emerging issues"
Cheltenham: Edward Elgar, 2012
352.041 DEC
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Contents
- Tables
- Figures
- Contributors
- Acknowledgments
- Glossary
- Map of Indonesia
- 1. An introduction to the issues
- Part 1: Historical, economic, political and social patterns
- 2. Before the 'big bang': decentralization debates and practice in Indonesia, 1949?
99
- 3. Indonesia's decentralization: the rise of local identities and the survival of the
nation-state
- 4. Hares and tortoises: regional development dynamics in Indonesia
- 5. Patterns of regional poverty in the new Indonesia
- Part 2: Decentralization and governance
- 6. Twelve years of fiscal decentralization: a balance sheet
- 7. Local governance and development outcomes
- 8. Decentralization, governance and public service delivery
- 9. What determines the quality of subnational economic governance? Comparing
Indonesia and Vietnam
- Part 3: Local-level perspectives
- 10. Dilemmas of participation: the National Community Empowerment Program
- 11. Governing fragile ecologies: a perspective on forest and land-based
development in the regions
- 12. Explaining regional heterogeneity of poverty: evidence from a decentralized
Indonesia
- Part 4: Migration, cities and connectivity
- 13. Migration patterns: people on the move
- 14. Regional labour markets in 2002?12: limited convergence but integration
nonetheless
- 15. The dynamics of Jabodetabek development: the challenge of urban
governance
- 16. Challenges of implementing logistics reform in Indonesia
- Part 5: Challenges for Indonesia's periphery
- 17. The political impact of carving up Papua
- 18. Development in Papua after special autonomy
- 19. Special autonomy, predatory peace and the resolution of the Aceh conflict
- 20. Aceh's economy: prospects for revival after disaster and war
- Author index
- Subject index
- Indonesia Update Series "
Singapore: Institute of South East Asia Studies, 2014
e20442324
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Bintoro Ariyanto
"Desentralisasi fiskal di Indonesia ditandai dengan lahirnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999. Transfer pemerintah pusat ke pemerintah daerah meningkat secara signifikan dari tahun 2000 sampai tahun 2002. Pada tahun anggaran 2000 transfer pemerintah berjumlah Rp 34 trilyun atau 17% dari total belanja pemerintah pusat, transfer pemerintah untuk tahun 2001 berjumlah Rp 81 trilyun atau 24% dari total belanja sebesar Rp 340 trilyun, dan pada tahun 2002 transfer pemerintah direncanakan berjumlah Rp 98 trilyun atau sekitar 29% dari total APBN.
Masalah pokok yang akan dibahas dalam tesis ini adalah apakah transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan yang terdiri dari DAU, DAK, BHP dan BHSDA akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi disparitas pendapatan antar daerah, mendorong investasi dan konsumsi swasta daerah. juga di lakukan simulasi DAK dengan tiga formulasi yang berbeda dan simulasi dengan PBB menjadi local tax untuk melihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi dart disparitas pendapatan.
Studi ini mengambil data makro ekonomi dan keuangan daerah dari tahun 1996 sampan dengan tahun 2000, serta dana perimbangan tahun 2001. Model ekonometrik simultan terdiri dari 10 persamaan perilaku dari 9 persamaan identitas yang menunjukkan hubungan antara variabel-variabel makro ekonomi dengan variabel-variabel keuangan daerah.
Model ekonometrik yang ada telah memenuhi berbagai kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrik, sehingga model dapat digunakan untuk proyeksi dan simulasi kebijakan transfer pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan.
Simulasi untuk melihat pertumbuhan ekonomi daerah menggunakan tingkat pertumbuhan PDRB. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah Hasil simiilasi menunjukkan bahwa dengan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dari alokasi transfer pemerintah dalam bentuk dana perimbangan akan memberikan pertumbuhan ekonomi untuk setiap daerah di Indonesia dengan pertumbuhan rata-rata 2,896% dibanding tahun sebelumnya.
Simulasi untuk melihat disparitas pendapatan antar daerah menggunakan indeks Williamson (IAFrlIiamson index) dan koefisien variasi (o dent of variation) PDRB perkapita antar daerah propinsi. Hasil simulasi model yang memasukkan alokasi BHP saja sebagai variabel shock menghasilkan indeks Williamson dan koefisien variasi yang meningkat dibandingkan dengan simulasi historis, demikian juga untuk alokasi BHSDA. Sementara untuk alokasi DAK nilai indeks Williamson menurun tapi nilai koefisien variasi meningkat. Secara umum menunjukkan bahwa keseimbangan antar daerah cenderung memburuk akibat dari alokasi BHP, BHSDA dan DAK. Sementara basil simulasi model yang memasukkan DAU saja sebagai variabel shock menghasilkan penurunan indeks Williamson dan nilai koefisien variasi PDRB perkapita dibandingkan simulasi historis. Dengan kata lain alokasi DAU mampu meningkatkan keseimbangan pendapatan antar daerah. Hasil simulasi dengan variabel shock DP menghasilkan indeks Williamson dan nilai koefisien variasi yang lebih rendah daripada simulasi historis tapi lebih tinggi dan nilai koefisien alokasi DAU. Hal itu menunjukkan bahwa alokasi DAU berfungsi sebagai penetralisir alokasi BHP, BHSDA dan DAK yang tidak merata antar daerah.
Penyebab memburuknya keseimbangan pendapatan antar daerah karena BHP, BHSDA dan DAK disebabkan oleh persebaran yang tidak merata untuk setiap daerah di Indonesia. Alokasi BHP lebih menguntungkan daerah metropolitan seperti DKI Jakarta. Alokasi BHSDA hanya menguntungkan untuk daerah-daerah penghasil SDA seperti DI Aceh, Riau dan Kalimantan Timur. Sementara alokasi DAK hanya menguntungkan untuk daerah yang melakukan aktivitas kehutanan yang tinggi, karena masih merupakan DAK reboisasi.
Simulasi untuk melihat pertumbuhan investasi dan konsumsi swasta daerah menggunakan tingkat pertumbuhan investasi dan konsumsi swasta daerah. Hasil simulasi model ekonometrik menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mendorong peningkatan investasi dan konsumsi swasta daerah dengan tingkat pertumbuhan yang bervariasi.
Simulasi dengan menggunakan tiga formulasi DAK yaitu DAK sekarang, DAK bagi rata dan DAK berdasar tingkat kemakmuran daerah menunjukkan hasil hahwa dengan formulasi DAK berdasar kemakmuran daerah akan sangat menguntungkan karena akan menurunkan disparitas pendapatan antar daerah serta menyumbang pertumbuhan ekonomi paling besar dibanding simulasi dengan formulasi DAK lainnya.
Simulasi PBB sebagai local tax, dengan dua kondisi yaitu jika PBB yang diperoleh daerah naik dan jika PBB yang diperoleh daerah turun, ternyata menunjukkan bahwa dengan peningkatan local tax (basis pajak daerah) akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus akan mengurangi disparitas pendapatan antar daerah."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T20112
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lane, Max
"This essay points to the end of (direct)crony capitalism at the national level and the shift in the possibility of political initiative to the Kabupaten capitalists, and the initiatives can be different or even contradictory among local capitalists. The essay speculates in the negative. The essays points to the labour movement as having greater potential, although that arena is also full of complications."
Singapore : Institute of Southeast Asian Studies , 2014
e20442135
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Syarif Syahrial
"This paper tries to estimate the relationship between fiscal decentralization and government size in Indonesia by employing de Mello?s model. The impact of fiscal decentralization on government size is estimated by doing a regression on the government size indicator (as a dependent variable) that is affected by: the decentralization indicator, local government collusion indicator, and the control variable (as independent variables). The results indicated that there is a positive relation between the government size and decentralization indicators when we use the relative size of local government expenditures and fragmentation ratios as a proxy. On the other hand, the author found an irrelevant and even negative relationship between tax/non-tax autonomy and the government size. "
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
EFIN-53-2-August2005-177
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rusliandy
"Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, telah menciptakan kebijakan baru dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa. Salah satunya adalah kebijakan di bidang Bagi Hasil Pemerintah Daerah ke Pemerintah Desa. Pemerintah Kabupaten Bogor telah merespon kebijakan tersebut dengan ditetapkannya perda kabupaten Bogor Nomor 6 Tahun 2002 tentang Bagian Desa dari pendapatan penerimaan Daerah. Kemudian diikuti dengan iahirnya Keputusan Bupati Nomor 9 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan peraturan daerah kabupaten bogor Nomor 6 Tahun 2002. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah perda kabupaten Bogor Nomor 6 Tahun 2002 telah sejalan dengan peraturan diatasnya (yang lebih tinggi), serta untuk mengetahui apakah perda kabupaten Bogor Nomor 6 Tahun 2002 telah berjalan seperti apa yang diinginkan, antara lain : (i) Jumlah yang diterima (yang dituangkan dalam APBDes) desa sama dengan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah (Data dari Dipenda); (ii) Proses pencairan dana bagi hasil desa tepat waktu; (iii) Penerimaan bagian desa dari penerimaan daerah dikelola melalui anggaran pendapatan dan belanja desa ; (iv) Penggunaan penerimaan bagian desa dipertanggung jawabkan oleh Kepala Desa kepada rakyat melaiui Badan Perwakilan Desa (BPD). Untuk mencapai tujuan tersebut, telah disusun dan dilakukan metodologi penelitian yaitu : (1) mewawancarai responden di tingkat Pemerintah Pusat; (ii) mewawancarai responden di tingkat Pemerintah Daerah; dan (iii) mewawancarai sejumlah Kepala Desa yang menjadi sampel. Sampe! diperoleh dengan menggunakan teknik Stratified Random Sampling. Melalui wawancara dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dapat dibuktikan bahwa Perda Kabupaten Bogor Nomor 6 Tahun 2002 telah sesuai (tidak bertentangan) dengan peraturan perundang-undangan yang lebih atas. Sedangkan melaiui wawancara dengan para Kepala Desa, penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa pelaksanaan kebijakan bagi hasil antara pemerintah Kabupaten ke Desa telah terjadi penyimpangan (tidak sesuai aturan) yang terjadi di lapangan, sebagai berikut : pertama, Adanya perbedaan data besaran dana bagi hasil yang diperoleh dari Dinas Pendapatan Daerah dengan Data APBDes di Desa; Kedua, Masih adanya desa yang tidak menuangkan dana bagi hasil ke dalam APBDes. Bahkan APBDesnya sendiri tidak dibuat. Hal ini melanggar ketentuan Keputusan Bupati Nomor 9 Tahun 2003; Ketiga, Dalam Belanja Pembangunan, desa umumnya mempergunakan dana bagi hasil untuk hal-hal yang tidak produktif. Ini akan berdampak kepada pembangunan di desa akan lambat dan tidak sesuai dengan yang diinginkan pemerintah daerah; Keempat Kurangnya Pengawasan, pembinaan dan pengendalian yang dilakukan pemerintah daerah terhadap pemerintah desa; Sehingga diperlukan diperlukan perbaikan terhadap kebijakan bagi hasil, agar realisasi kebijakan tersebut sejalan dengan aturan dan tujuan yang telah ditetapkan, antara lain sebagai berikut : (i) Memfungsikan peran camat sebagai perangkat daerah otonom dalam memfasilitasi dan mengawasi jalannya pengelolaan dana bagi hasil desa; (ii) Memberikan sanksi yang cukup berat apabila terjadi penyimpangan baik itu terhadap desa atau terhadap oknum yang masih meminta kepada pihak desa; dan (iii) Perlunya Pertanggungjawaban Pemerintah Desa kepada Pemerintah Daerah. Dalam hal pengelolaan dana bagi hasil juga harus dipertanggungjawabkan melalui pelaporan yang dilaksanakan melalui jalur struktural dari Tim Pelaksana tingkat desa ke Tim Pendamping tingkat Kecamatan. Selanjutnya Tim Pendamping tingkat Kecamatan membuat laporan/rekapan dari seluruh laporan tingkat desa di wilayahnya secara bertahap melaporkan kepada Bupati Cq. Tim Fasilitasi tingkat Kabupaten."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18406
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>