Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suwirta
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini berusaha untuk menjelaskan adanya perbedaan dan persamaan pandangan antara surat kabar Merdeka di Jakarta dengan Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta, dalam menanggapi kejadian dan persoalan yang dinilai penting pada masa revolusi di Indonesia. Dengan mengkaji dan menginterpretasi terhadap kolom tajuk rencana, catatan pojok, dan karikatur yang disajikan oleh kedua surat kabar itu -- dimana ketiga variable itu biasanya dianggap sebagai visi dan jatidiri sebuah pers --studi ini menunjukkan bahwa dalam menanggapi masalah strategi perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan RI dan masalah Persetujuan Linggarjati, surat kabar Merdeka dan Kedaulatan Rakjat ternyata memiliki ""suara"" yang berbeda. Sedangkan dalam menanggapi masalah berdirinya Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundan, kedua surat kabar itu, tentu saja, memiliki pandangan yang sama yaitu menentang dan mengecamnya sebagai tindakan akan mengganggu keutuhan kemerdekaan RI.

Apa yang disuarakan oleh surat kabar Merdeka di Jakarta dan Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta itu, bagaimanapun, tidak bisa dilepaskan dari pandangan, sikap, dan pendirian para redaktur peri. sebagai pengelola surat kabar yang bersangkutan. Dalam hal ini maka pandangan dan sikap Pemimpin Umum dan P'mimpin Redaksi surat kabar Merdeka, yaitu B.M. Diah dan R.M. Winarno; serta pandangan dan sikap Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi surat kabar Kedaulatan Rakjat, yaitu Bramono dan Soemantoro pada masa awal revolusi perlu diperhatikan. Pandangan dan sikap mereka selama revolusi indonesia, sesungguhnya sangat diwarnai oleh latar belakang pendidikan, usia, agama, sosial, orientasi ideologi, kepentingan politik, dan pengalaman mereka masing-masing.

Ketika para redaktur pers dihadapkan pada masalah politik penting pada masa awal revolusi, yaitu apakah usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu akan dilakukan dengan cara ""bertempoer"" atau ""beroending"", pro-kontra terhadap masalah itu melanda kalangan pers juga. Tidak terkecuali dengan surat kabar Merdeka di Jakarta dan Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta. Adalah menarik bahwa kedua surat kabar itu memiliki ""suara"" yang berbeda dalam menanggapi masalah menentukan strategi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu. Dalam hal ini faktor keadaan dan tempat di mana kedua surat kabar itu diterbitkan, selain faktor orientasi ideologi-politik tentunya, merupakan salah satu penyebab dari adanya perbedaan pandangan, sikap, dan pendirian para redaktur persnya. Sebagai redaktur pers yang tinggal di Jakarta dan menyaksikan secara langsung kekuatan tentara Sekutu (Inggris) dan Belanda) yang menduduki daerah itu di satu sisi, serta melihat masih lemahnya pemerintah dan tentara Indonesia di sisi lain, maka surat kabar Merdeka (dalam hal ini B.M. Diah dan R.M. Hinarno) berpandangan bahwa politik diplomasi itu sangat penting untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebaliknya dengan para redaktur pers yang tinggal di kota pedalaman, seperti surat kabar Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta, yang tidak merasakan kehadiran tentara Sekutu dan menyaksikan gelora semangat dari badan-badan perjuangan yang ada, maka jalan pertempuran dalam mempertahankan kemerdekaan RI itu merupakan keharusan. Pandangan dan sikap Soemantoro, sebagai Pemimpin Redaksi surat kabar Kedaulatan Rakjat, yang dekat dengan tokoh-tokoh politik oposisi yang bergabung dalam organisasi Persatuan Perjuangan (PP), menyebabkan surat kabar itu berpandangan sangat kritis dan bersikap menentang politik diplomasinya pemerintah.

Dalam menanggapi masalah Perundingan Linggarjati, surat kabar Merdeka dan Kedaulatan Rakjat juga memiliki ?suara? yang berbeda. Dalam hal ini faktor kepentingan politik, merupakan salah satu penyebab dari adanya perbedaan pandangan dan sikap kedua surat kabar itu. Keterlibatan B.H. Diah (Pemimpin Umum surat Rabar Merdeka) dalam pergumulan politik di Parlemen KNIP dan kedekatannya dengan tokoh-tokoh politik oposisi yang bergabung dalam kubu Benteng Republik (BR), menyebabkan surat kabar Merdeka yang dikelolanya itu bersikap sangat kritis dan menentang kebijaksanaan politik pemerintah yang mau menerima hasil-hasil Perundingan Linggarjati. Sebaliknya dengan surat kabar Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta. Akibat tekanan yang dilakukan pemerintah terhadap Pemimpin Redaksinya, Soemantoro, yang selalu menentang politik diplomasi; dan masuknya Hadikin Wonohito yang moderat menggantikan kedudukan Bramono sebagai Pemimpin Umum. menyebabkan surat kabar Kedaulatan Rakjat bersikap mendukung kebijaksanaan politik pemerintah dan menerima hasil-hasil Perundingan Linggarjati.

Secara umum, kehidupan pers pada masa revolusi Indonesia, bagaimanapun, memiliki dinamikanya yang khas. Sebagai institusi sosial yang lahir di tengah-tengah perubahan sosial yang cepat, pers mampu menyajikan berita (news) dan memberikan pandangan-pandangan (views) yang sangat bebas. Dengan demikian sikap pro-kontra, simpati-antipati, dan moderat-radikal yang ditunjukkan pers pada masa revolusi itu merupakan sesuatu yang wajar, sebagai manifestasi dari nilai-nilai dan semangat kemerdekaan. Kebebasan pers pada masa revolusi Indonesia juga nampak dari bentuk bahasa dan gayawacana (mode of discourse) yang digunakan. Pers acapkali menggunakan bahasa yang bersifat tegas, terus terang, emosional, dan bahkan kasar kepada pihak- pihak yang dipandang sebagai lawan. Dalam hal ini kepada pihak Belanda dan kepada orang-orang Indonesia yang mau bekerjasana dengan Belanda -- seperti nampak dalam menanggapi masalah berdirinya Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundan -- pers Indonesia nengecam dan menyerangnya dengan bahasa yang kasar dan emosional. Kepada pihak pemerintah RI sendiri, pers Indonesia juga sering bersikap kritis apabila pihak yang pertama itu, dalam pandangan pers, kebijaksanaan politiknya dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai dan semangat kemerdekaan,

Pertumbuhan pers pada masa revolusi selain didorong oleh pemerintah RI juga didukung oleh masyarakat. Pemerintah RI sangat berkepentingan dengan keberadaan dan pertumbuhan pers itu untuk menunjukkan kepada masyarakat dunia, terutama tentara Sekutu yang menjadi pemenang dalam Perang Dunia II, bahwa dalam revolusi Indonesia juga terdapat unsur-unsur kehidupan yang demokratis. Adanya parlemen, partai-partai politik, dan pers yang bebas dan mandiri, bagaimanapun, dipandang sebagai ciri dari sebuah negara nasional yang demokratis. Karena itu penerintah RI selain mendorong pertumbuhan pers, membiarkan juga kebebasan pers di Indonesia. Menghadapi suara-suara pers yang kritis dan oposisional kepada pemerintah, misalnya, pihak terakhir itu bersikap cukup demokratis, yaitu membiarkannya sepanjang tidak mengganggu keamanan dan ketertiban. Namun dalam perkembangan selanjutnya, kekebasan pers pada masa revolusi itu bukannya tanpa restriksi. Terhadap pers yang bersikap kritis dan oposisional itu, dengan dalih membahayakan keselamatan negara dan menggangu ketertiban masyarakat, pemerintah RI akhirnya melakukan tekanan-tekanan juga kepada pers. Tekanan yang dilakukan pemerintah RI terhadap pers itu tidak dalam bentuk penbredeilan -- karena tindakan seperti itu dianggap tidak demokratis -- melainkan dengan penahanan atau penangkapan terhadap Pemimpin Umun atau Pemimpin Redaksi sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam memberikan warna pada suara dan visi Surat kabar yang bersangkutan. Sesungguhnya, dengan tindakan pemerintah yang seperti itu sudah cukup bagi pers yang semula bersikap kritis dan oposisional kepada pemerintah, berubah menjadi pers yang bersikap moderat dan akomodatif, sebagaimana ditunjukkan pada kasus surat kabar Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta pada masa revolusi Indonesia.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meyer, Thomas
Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung, 2000
303.4 MEY dt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Malang: Setara Press , 2015
342.025 98 JIM k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S7686
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: LIPI Press, 2008
320.84 MOD
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan. Mahkamah Konstitusi, 2008
342.02 JIM m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sachedina, Abdulaziz
Jakarta: Serambi Ilmu, 2001
297.28 SAC k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Septian Dwi Cahya, S.Tr.K.
Abstrak :
Kasus pidana harus ditangani di pengadilan berdasarkan hukum positif Indonesia. Namun dalam beberapa situasi, kesepakatan di luar pengadilan dapat dicapai, salah satunya yang dilakukan oleh lembaga adat, khususnya melalui Pelibatan Kerapatan Adat Nagari, sebagai alternatif litigasi di bidang hukum pidana dalam penerapan hukum adat. Berikut ini adalah tujuan dari penelitian ini: Pertama, mengetahui dan menganalisa pelibatan kerapatan adat nagari dalam penyelesaian perkara dilihat dari perspektif democratic policing; kedua, menemukan dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan pelibatan kerapatan adat nagari dalam penyelesaian perkara dilihat dari perspektif democratic policing. Bentuk penelitian yang akan dilakukan di Polda Sumatera Barat adalah penelitian Kualitatif Field Research. Pelibatan Kerapatan Adat Nagari Dalam Penyelesaian Perkara dinilai berhasil jika mencakup cita-cita pemolisian yang demokratis dan perpolisian masyarakat yang melibatkan aparat kepolisian di wilayah Sumatera Barat, demikian temuan penelitian ini. ......Under the Indonesian positive law, a criminal case must be addressed in a court. In some situations, however, an out-of-court agreement can be a way to solve a case. One of the ways to reach such agreement is through a customary institutions, particularly what it is called local wisdom. Most of Indonesian local areas have their own local wisdoms. One of the local wisdom is Kerapatan Adat Nagari as an alternative to litigation in the sphere of criminal law in customary law applications. The study aims to (i) identify and analyse the involvement of Kerapatan Adat Nagari in resolving cases based on democratic policing perspective; (ii) find and analyse the factors that influence the involvement of Kerapatan Adat Nagari in resolving cases based on democratic policing perspective. The research employs the qualitative research and field research method and is conducted at West Sumatera Province. The results of the research reveal that the involvement of Kerapatan Adat Nagari in resolving cases is deemed successful if it includes the ideals of democratic policing and community policing that involves police officers in West Sumatera Province.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Koesnadi Kardi
Abstrak :
Reformasi militer Indonesia telah mengakibatkan perubahan budaya, doktrin, struktural, dan organisasi. Perubahan tersebut belum mencapai sifat yang fundamental terhadap hubungan sipil-militer yang demokratis dimana hal ini sangat bergantung secara bersamaan pada "subordinasi masyarakat sipil untuk nilai-nilai militer” dan “subordinasi kontrol sipil atas militer". Kasus Indonesia dari reformasi militer tampaknya menunjukkan bahwa keberhasilan demokratisasi hubungan sipil-militer tergantung begitu banyak pada setup kelembagaan militer serta pada gigihnya bimbingan dan inisiatif dari institusi sipil. Beradaptasi dari Peter D. Feaver tentang teori "principal-agent", penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada koherensi yang kurang terpadu dari upaya antara lembaga-lembaga sipil (supra), sehingga dasar reformasi militer di Indonesia di bawah kontrol demokrasi masih bermasalah. Hal ini jelas bahwa, pertama, reformasi militer merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokratisasi, dan kematangan demokrasi harus membuka jalan bagi reformasi di militer. Kenyataan bahwa militer tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkaran supra sehingga hal ini menjadi bermasalah. Kedua, lingkaran sipil/ politik di dalam lingkaran supra tidak dapat membimbing, memberikan saran, dan memberikan orientasi kepada militer dalam kerangka tujuan nasional, termasuk alokasi sumber daya serta penggunaan kekuatan militer, sementara militer tetap menjadi otonom dalam beberapa area seperti doktrin, organisasi, disiplin internal, sifat, serta rencana operasional. Ketiga, lingkaran infra-partai politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi non-pemerintah serta akademisi dan media-telah memainkan beberapa peran, meskipun terbatas, dalam menetapkan beberapa perubahan, tetapi mereka tetap tidak mampu menjaga momentum selama proses berlangsung. Keempat, pada tingkat implementasi, Departemen Pertahanan tampaknya memiliki kapasitas yang terbatas untuk melakukan kontrol mereka atas militer terutama di bidang anggaran militer, prioritas strategis, akuisisi senjata, pendidikan, dan doktrin. Supremasi sipil di Indonesia tampaknya telah mengandalkan "subordinasi sukarela" dari militer daripada akses sipil untuk melakukan kontrol yang efektif terhadap militer. Oleh karena itu, kebijakan instruktif dan dasar hukum keduanya diperlukan dan penting untuk menghasilkan subordinasi lengkap militer ke sipil. ......Indonesia’s military reform may have resulted in noted cultural, structural, doctrinal, and organizational changes. But such change has yet to be felt in the fundamental democratic civil-military relation that relies upon both “the subordination of civil society to military values and the subordination of civilian control of the military”. In the case of Indonesia, the military reform process appears to suggest that the success of democratizing civil-military relations depends as much on the institutional setup of the military as on the persistence, guidance and initiative of the civilian institutions. Adapting Peter D. Feaver’s “principal-agent” theory, this study shows that owing to the lack of coherence and concerted effort among civilian institutions (supra), the nature of military reforms under democratic control in Indonesia remains problematic. Nonetheless, four points are clear. First, military reforms are an inseparable part of democratization, and democratic maturity should open the way for a better reforms in the military. The very fact that the military remains an integral and inseparable part of the supra is problematic. Secondly, the civil/political circle within supra is unable to fully guide, advise and orient the military in the area of national objectives, including the allocation of resources, and the use of military forces so long as the military remains autonomous in such areas as doctrine, organization, internal discipline, traits and operational planning. Thirdly, the infra -- political parties, social organizations, non-governmental organizations as well as academia and the media -- have played some roles, limited nonetheless, in setting the tone of changes, but they remain unable to keep up momentum throughout the process. Fourthly, at the implementation level, the Defense Ministry appears to have limited capacity to exercise its control over the military, especially in the area of the military budget, strategic priorities, weapons acquisition, education and doctrine. Civilian supremacy in Indonesia appears to have relied on “voluntary subordination” of the military rather than on civilian access to exercise effective control over the military. Hence, instructive policy and legal basis are both necessary and essential to yield a complete subordination of the military to the civilian democratic society.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>