Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R Kristiawan
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini mencoba untuk melihat situasi democratisasi media di Indonesia dalam hubungannya dengan aspek industri dan ekonomi. Latar belakang politik adalah situasi politik sebelum kejatuhan Orde Baru ketika masyarakat sipil, aktivis media, dan jurnalis, mulai mengonsolidasikan kekuatan mereka untuk meraih kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi. Pemicunya adalah peristiwa pembredelan tiga media cetak: Tempo, Editor, dan Detik pada tahun 1994 akibat pemberitaan tentang pembelian kapal perang eks Jerman Timur. Pembredelan ini memicu perlawanan politik pada satu sisi, dan konsolidasi demokrasi di kalangan jurnalis dan aktivis pada sisi yang lain. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kemudian dideklarasikan oleh Goenawan Mohammad dan para wartawan lain di tahun 1994 untuk mewadahi organisasi jurnalis alternatif di luar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Mereka kemudian mengonsolidasikan kekuatan mereka melalui gerakan bawah tanah termasuk menerbitkan Independen, majalah bawah tanah, yang berbuntut pada pemenjaraan tiga jurnalis. Sejak itu, didukung oleh donor asing, Goenawan Mohammad menerbitkan Suara Independen untuk melanjutkan perjuangan melawan Soeharto. Perjuangan itu berhasil. Sesudah krisis ekonomi, Soeharto akhirnya jatuh, yang menjadi momentum dari proses legislasi yang banyak didukung Presiden Habibie. UU Pers No. 40/1999 disahkan dan mengubah kebijakan lama yang otoriter menjadi liberal. UU PErs menjamin ekspresi demokratis dengan membatalkan mekanisme SIUPP. Dalam konteks kapitalisme global, perubahan hukum ini merupakan perubahan struktural penting bagi Indonesia untuk berintegrasi ke kapitalisme global.

Meski demikian, situasi demokratis itu merupakan kesempatan bagi kekuatan pasar untuk memperluas pasar. Ketiadaan SIUPP memunculkan bonanza industry pers yang tidak memliki preseden dalam sejarah pers Indonesia sebelumnya. Industri media menjadi lebih kuat dan terkonsentrasi. Di ranah penyiaran, sejarah kapitalisme semu menciptakan hubungan yang unik antara industry penyiaran dan birokrasi. Dalam arah demokratis dan kapitalistik dinamika media di Indonesia menjadi sangat menarik dalam hal bagaimana kekuatan demokratis dan kapitalistik itu mengontestasi kepentingan mereka dan bagaimana kepentingan publik dilanggar dalam arena itu. Sejarah menunjukkan bahwa kekuatan pasar adalah pemanang, sementara yang lain berpendapat bahwa proses ini merupakan demokratisasi. Data-data menunjukkan bahwa yang tumbuh hanyalah belanja iklan, sementara data lain seperti indeks kebebasan pers, kesejahteraan jurnalis, serikat pekerja pers, memburuk. Data lain menunjukkan konvergensi kepemilikan media yang mungkin membawa Indonesia ke konglomerasi media. Penelitian ini akan menunjukkan data-data tersebut.

Riset ini mencoba melihat dinamika ekonomi politik dalam situasi media Indonesia kontemporer. Riset ini menggunakan pendekatan ekonomi politik dengan paradigma kritis sebagai basis teoritik. Concern riset ini adalah kualitas ruang publik di Indonesia sesudah kekuatan pasar terbukti mendominasi dinamika media di Indonesia.
Abstract
This research tries to assess the situation of media democratization in Indonesia in relation to industrial and economic aspects. The political background is the years prior to the fall of New Order when civil society, media activists, and journalists started consolidating their power for freedom of the press and freedom of expression. The political trigger is the banning of three printed media, Tempo, Editor, and Detik in 1994 due to their publications of the buying of ex East Germany battle wagons by Indonesia. This triggered political obedience on one hand, but also democratic consolidation among journalists and activists on the other hand. Alinasi Jurnalis Independen (AJI) was then declared by Goenawan Mohammad and other journalists in 1994 to provide alternative political organization for journalist out of Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

They then continued consolidating their power by underground movements including publishing Independen, an underground magazine, followed by the imprisonment of three journalists. Since then, supported by foreign donor, Goenawan Mohammad published Suara Independen to continue the struggle against Soeharto. The struggle was successful. Following economic crisis, Soeharto fell down, which was the momentum of many strategic legislations under which Habibie supported much. Press Law No. 40/1999 was passed and changed old authoritarian policies to become more liberal. Press Law guarantees democratic expression by allowing citizens to publish information without government permit (SIUPP). In global capitalism, such legal change is a crucial structural adjustment of a state to integrate in global capitalism.

However, such democratic situation was the chance for market force to expand their business. The absence of SIUPP made the bonanza of press industry without precedent in Indonesian press history before. Media industry became more powerful and concentrated. In broadcasting area, the history of erzats capitalism created a unique relationship between broadcasting industry and bureaucrats. Under democratic and capitalistic trajectories at the same time, the media dynamics in Indonesia has been very interesting in terms of how democratic and capitalistic power contested their interest and how public interest is violated in such arena. The history shows that market force is the champion after the process, while others may say that it is the democratization. Data shows that the only thing increasing is advertorial expenditure, while other performance, including media freedom index, journalist welfare, violence to journalists, press trade union, worsen. Other data shows the convergence of media ownership which may lead Indonesia media industry to media conglomeration. The paper will expose those paradoxical data.

This paper tries to assess the political economy dynamics in contemporary media situation in Indonesia. The research uses political economy approach with critical paradigm as the bases of argument. The concern of the paper will be the public sphere quality of contemporary Indonesia, after market-force is proven to dominate media dynamics in Indonesia.
2012
T30859
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library