Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dedy Maizal
"Penyakit kusta disebut juga lepra adaiah penyakit infeksi kronik yang bersifat progresif lambat disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae). Kuman ini pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat mengenai kulit dan mukosa serta organ lain kecuali susunan saraf pusat. Penyakit kusta menyebabkan deformitas dan kelainan yang menetap serta meninggalkan stigma bagi penyandangnya karena penyakit ini sering identik dengan kecacatan.
Penyakit kusta tersebar di lebih dari 50 negara di dunia. Kira-kira 83% kasus terdapat di enam negara yaitu Nepal, Madagaskar, Myanmar, India, Brazil, dan Indonesia. Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak penyandang kusta setelah India & Brazil. Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat meskipun World Health Organization (WHO) telah mencanangkan Eliminasi kusta Tahun 2000 (EKT 2000), yaitu prevalensi kusta kurang dari 1 per 10.000 penduduk. Secara nasional, Indonesia telah mencapai target tersebut meskipun belum merata, masih ada 12 provinsi dan 155 kabupaten yang belum mencapai eliminasi pada tahun 2005.
Angka prevalensi yang dilaporkan Subdirektorat Kusta dan Frambusia-Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen PP dan PL Depkes RI) untuk tahun 2005 adalah 0,98. Untuk tingkat dunia program tersebut belum tercapai sehingga WHO dan negara-negara endemik kusta membentuk Global Alliance for the Elimination of Leprosy (GAEL), yang menargetkan eliminasi kusta di seluruh negara pada akhir tahun 2005.
Hingga saat penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan yang mengenai jutaan orang di seluruh dunia. Kondisi ini tentu saja membebani masyarakat dan negara penyandang kusta serta berakibat tingginya anggaran kesehatan guna pemberantasan penyakit tersebut."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samira Taufik
"Vitamin C diketahui mempunyai aktivitas sebagai antioksidan dan antikerut. Perkembangan di dunia formulasi kosmetika memperkenalkan sediaan serum, yaitu sediaan dengan komponen bioaktif berupa peptida yang lebih banyak. Tembaga-Glisil-L-Histidil-L-Lisin (Cu-GHK) adalah salah satu peptida yang mampu memberikan efek antikerut dan menghidrasi kulit. Karena kemampuan hidrasinya, kemungkinan peptida Cu-GHK juga mampu memberi efek peningkat daya penetrasi komponen lain dalam satu sediaan. Maka dibuat penelitian untuk mengetahui pengaruh peptida Cu-GHK terhadap penetrasi vitamin C dalam sediaan serum dan pengaruh peptida tersebut terhadap stabilitas fisik dan kimia serum. Dibuat dua sediaan, yaitu serum vitamin C yang mengandung peptida Cu-GHK dan gel vitamin C tanpa peptida, kemudian dibandingkan daya penetrasinya secara in vitro dengan sel difusi Franz menggunakan membran abdomen tikus. Jumlah kumulatif vitamin C yang terpenetrasi melalui kulit tikus dari serum vitamin C adalah 17329 ± 865,55μg/cm2 dan dari gel vitamin C adalah 17869 ± 606,94 μg/cm2. Presentase jumlah kumulatif vitamin C yang terpenetrasi dari serum vitamin C adalah 49,98±2,06% dan dari gel vitamin C adalah 54,6±1,44%. Fluks vitamin C dari serum adalah 1250,40±43,58 μg/cm2.jam dan dari gel adalah 1285,53±89,09 μg/cm2.jam. Dari uji stabilitas fisik, suhu dingin didapatkan paling stabil, sedangkan uji stabilitas kimia menunjukkan terjadi penguraian Vitamin C pada semua kondisi penyimpanan.

Vitamin C still has antioxidant and antiwrinkle activities. The cosmeceutical formulation introduced serum, dossage form which contain a plenty of bioactive peptide compound. Copper-Glysin-L-Histidil-L-Lysin (Cu-GHK) is one of peptide well- known by its antiwrinkle and skin hydration activity. Beacuse of its hydration effect, Cu-GHK might enhance penetration of the other compound in a preparation. Therefore, were made a research to understand the effect of Cu-GHK peptide on vitamin C penetration in serum preparation, and effect of those peptide on its physical and chemical stability. Two kinds of preparation were made, i.e. serum vitamin C with Cu-GHK and gel vitamin C without Cu-GHK. Penetration ability through skin was examined by in vitro Franz diffusion cell test using rat abdomen skin. Total cumulative penetration of vitamin C from serum and gel were 17329 ± 865.55 μg/cm2 and 17869 ± 606.94 μg/cm2 , respectively. The percentage of penetrated vitamin C from serum and gel were 49.98±2.06 % and 54.6±1.44%, respectively. Flux of vitamin C from serum and gel were 1250.40±43.58 μg/cm2.jam and 1285.53±89.09 μg/cm2.hour, respectively. From physical test, cold temperature condition shown the most stable form, while chemical stability test using TLC densitometer revealed vitamin C degradation at all temperature condition.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S43293
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Khaerunnisa
"ABSTRAK
Film EBT3 merupakan model film radiochromic yang didisain khusus untuk keperluan radioterapi eksternal (external beam therapy, EBT) respon film terhadap radiasi pengion mengakibatkan perubahan pada spektrum serapan dan sifat optiknya membuat film radiochromic menjadi pilihan yang banyak digunakan dalam bidang oncologi. Respon
film terhadap radiasi biasanya diukur dalam hal perubahan kerapatan optik (netOD) yang nilainya bergantung dari banyaknya berkas yang melewati film dan juga panjang gelombang cahaya dari alat pembaca (densitometer optik). Penelitian ini bertujuan menyelidiki pengaruh penggunaan densitometer optik yang berbeda, yakni scanner, densitometer dan spektrofotometer dalam mengukur respon dosimeter film terhadap radiasi pengion. Penyelidikan respon film dilakukan dengan mengirradiasi film menggunakan pesawat Linac Varian Trilogy dengan energi 6 MV. netOD yang terbaca pada film dilakukan dengan mengekstrak mean pixel value dari kanal merah ketika menggunakan scanner. Ketika menggunakan densitometer netOD dihasilkan dari
perubahan nilai OD yang terbaca secara langsung. Sedangkan nilai netOD didapat dengan melihat perubahan spektrum serapan film sesudah dan sebelum irradiasi menggunakan spektrofotometer. Evaluasi penggunaan metode dosimetri dilakukan menggunakan
fantom homogen untuk evaluasi dosis uji dan juga untuk evaluasi pada variasi lapangan penyinaran, dan fantom non-homogen (rando) untuk implementasi metode pada perlakuan klinis radioterapi. Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang optimum juga dilakukan penyelidikan karakteristik spektrum serapan pada variasi level dosis dan variasi waktu pengukuran pasca irradiasi. Hasil pengukuran respon film menunjukkan tidak terjadi perubahan pita serapan film terhadap perubahan level dosis ataupun terhadap perubahan waktu pasca irradiasi, yakni berada pada pusat pada panjang gelombang 635
nm untuk pita serapan maksimum, dan pita serapan ke-dua berpusat pada 583 nm. Penyelidikan sensitivitas ketiga metode menghasilkan tren kurva sensitivitas yang mirip namum memiliki besar yang berbeda dimana sensitivitas tertinggi didapat ketika menggunakan spektrofotometer. Sementara ketidakpastian (1σ) netOD untuk ketiga
metode menghasilkan nilai ketidakpastian yang cukup besar untuk dosis dibawah 100 cGy dan nilai ketidakpastian mulai membaik ketika level dosis meningkat. Pada aplikasi klinis ketiga metode dosimeteri dievaluasi dengan melihat besar diskrepansi yang dihasilkan pada adaerah target kepala, paru-paru dan prostat. Penggunaan scanner dan
spektrofotometer menghasilkan rata-rata diskrepansi dibawah 2% untuk semua target pengukuran, sedangkan densitometer menghasilkan rata-rata diskrepansi sampai 3%.

ABSTRACT
EBT3 film is a radiochromic film model specially designed for external radiotherapy (EBT). The response of the film to ionizing radiation results in changes in the absorption spectrum and its optical properties making radiochromic films a widely used choice in oncology. The response of the film to radiation is usually measured in terms of the change in optical density (netOD) whose value depends on the number of beams passing through the film and also the wavelength of light from the reader (optical densitometer). This study aims to investigate the effect of using different optical densitometers, namely scanners, densitometers and spectrophotometers in measuring the response of film dosimeters to ionizing radiation. The investigation of the film response was carried out by irradiating the film using a Linac Varian Trilogy with an energy of 6 MV. The netOD read on the film was done by extracting the mean pixel value from the red channel when using a scanner. When using a densitometer the netOD results from changes in OD values that are read directly. While the netOD value was obtained by measuring changes in the absorption spectrum of the film after and before irradiation using a spectrophotometer. Evaluate the use of the dosimetric methods was carried out using homogeneous phantom
for the evaluation of test doses and also for evaluation of variations in the radiation field, and non-homogeneous phantom (rando) for the implementation of the method in clinical radiotherapy treatment. To obtain the optimum measurement results, an investigation of the characteristics of the absorption spectrum was also carried out at variations in dose levels and variations in measurement time after irradiation. The results of the measurement of the response of the film showed that there was no change in the absorption band of the film due to changes in dose levels or to changes in time after; irradiation, which was at the center at a wavelength of 635 nm for the maximum
absorption band, and the second absorption band was centered at 583 nm. The sensitivityinvestigation of the three methods resulted in a trend of similar sensitivity curves but different magnitudes with the highest sensitivity obtained when using a spectrophotometer. Meanwhile, the uncertainty (1σ) netOD for the three methods resulted
in a fairly large uncertainty value for doses below 100 cGy and the uncertainty value began to decrease as the dose level increased. In clinical application, the three dosimetric methods were evaluated by measuring the resulting discrepancy in the target areas of the
head, lungs and prostate. The use of a scanner and a spectrophotometer resulted in an average discrepancy of below 2% for all measurement targets, while the use of a densitometer resulted in an average discrepancy of up to 3%."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Restu Ninayanti Putri
"Peptida merupakan suatu komponen bioaktif yang beberapa tahun terakhir banyak dimanfaatkan dalam produk kosmetik, terutama produk perawatan kulit yaitu sebagai antikerut. Asetil heksapeptida-3(8) adalah salah satu peptida yang mampu memberikan efek anti kerut. Peptida sebagai peningkat penetrasi melalui mekanisme mempengaruhi lipid intermolekuler lapisan tanduk. Peptida memberikan efek hidrasi, oleh karena itu Asetil heksapeptida-3(8) juga mampu memberikan efek peningkat penetrasi komponen lain dalam suatu sediaan. Vitamin C telah diketahui memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan anti kerut. Vitamin C akan memberikan efek sinergis sebagai antikerut apabila dikombinasikan dengan Asetil heksapeptida-3(8). Maka dibuat penelitian untuk mengetahui pengaruh Asetil heksapeptida-3(8) terhadap penetrasi vitamin C dalam sediaan serum dan pengaruh terhadap stabilitas fisik dan kimia serum. Diformulasikan serum vitamin C yang mengandung Asetil heksapeptida- 3(8) dan tanpa peptida, kemudian dibandingkan daya penetrasinya secara in vitro dengan sel difusi Franz menggunakan kulit abdomen tikus. Jumlah kumulatif vitamin C yang terpenetrasi mealui kulit dari serum tanpa peptida adalah 20506,40 ± 8,14 μg/cm2 dan serum dengan peptida adalah 14391,91 ± 8,24 μg/cm2. Fluks vitamin C dari serum tanpa peptida adalah 2563,30 ± 1,02 μg/cm2 jam-1 dan serum dengan peptida 1798,99 ± 1,03 μg/cm2 jam-1. Dari uji stabilitas fisik, suhu rendah didapatkan paling stabil, sedangkan uji stabilitas kimia menggunakan KLT densitometer menunjukkan terjadi penguraian vitamin C pada semua kondisi penyimpanan.

Peptide is bioactive component that has been used in cosmetics in recent years, especially in skin care products because of its function as anti wrinkle substance. Acetyl hexapeptide-3(8) is on of peptide well-known by its antiwrinkle. Peptide for penetration enhancer agent through the mecanism of intermolecular affect of stratrum corneum lipids. Because of its hydration effect, Asetil heksapeptide-3(8) might enhance penetration of the other compound in a preparation. Vitamin C still has antioxidant and antiwrinkle activities. The combination of the Acetyl hexapeptide-3(8) and vitamin C result in a synergict effect producing anti wrinkle substance. Therefore, were made a research to understad the effect of Acetyl hexapeptide-3(8) on vitamin C penetration in serum preparation, and effect of those peptide on its physical and chemical stability. Two kinds of serum preparation, serum vitamin C with Acetyl hexapeptide-3(8) and without peptide. Penetration ability through skin was examined by in vitro Franz diffusion cell test using rat abdomen skin. Total cumulative penetration of vitamin C from serum without peptide and with peptide were 20506,40 ± 8,14 μg/cm2 and 14391,91 ± 8,24 μg/cm2. The percentage of penetrated vitamin C from serum without peptide and with peptide were 2563,30 ± 1,02 μg/cm2 hour-1 and 1798,99 ± 1,03 μg/cm2 hour-1. From physical test, low temperature condition shown the most stable form, while chemical stability test using TLC densitometer revealed vitamin C degradation at all temperature condition.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S64871
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library