Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Pohan, M. Yusuf Hanafiah
"Saat ini kasus kanker paru meningkat jumlahnya dan menjadi salah satu masalah kesehatan di dunia juga di Indonesia. Data yang dikemukakan World Health Organization (WHO) menunjukkan kanker pare adalah penyebab utama pada kelompok kematian akibat keganasan, bukan hanya pada laki-laki tetapi juga pada perempuan. Di Indonesia kanker paru menduduki peringkat ke-3 atau ke-4 di antara tumor ganas yang paling sering ditemukan di beberapa rumah sakit. Jumlah penderita kanker paru di RS Persahabatan 239 kasus pada tahun 1996, 311 kasus tahun 1997 dan 251 kasus di tahun 1998. Lebih dari 90% penderita kanker paru datang berobat pada keadaan penyakit yang sudah lanjut, hanya 6% penderita masih dapat dibedah.
Prognosis buruk penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan penderita yang jarang datang ke dokter ketika penyakitnya masih berada dalam tahap awal. Hasil penelitian pada penderita kanker pare pascabedah menunjukkan bahwa rerata angka tahan hidup 5 tahun stage 1 jauh berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage II, apalagi jika dibandingkan dengan penderita kanker pare stadium lanjut. Masa tengah hidup penderita kanker part stage lanjut yang diobati adalah 9 bulan.
Kanker pare adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan penanganan dan tindakan yang cepat dan terarah. Penegakan diagnosis ini membutuhkan keterampilan dan sarana yang tidak sederhana serta memerlukan pendekatan multidisiplin kedokteran. Penyakit ini membutuhkan kerjasama yang erat dan terpadu antara ahli pare dengan ahli radiologi diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli radioterapi, ahli bedah toraks dan ahli-ahli lainnya. Pengobatan atau penatalaksanaan penyakit ini sangat tergantung pada kecekatan ahli paru untuk mendapatkan diagnosis pasti. Penemuan kanker part pada stage dini akan sangat membantu penderita dan penemuan diagnosis dalam waktu lebih cepat memungkinkan penderita memperoleh kualiti hidup yang lebih baik.
Diagnosis pasti penyakit kanker ditentukan oleh basil pemeriksaan patologi anatomi. Dasar pemeriksaan patologi anatomi adalah pemeriksaan mikroskopik terhadap perubahan sel atau jaringan organ akibat penyakit. Terdapat dua jenis pemeriksaan patologi anatomi yaitu pemeriksaan histopatologi dan sitologi. Pemeriksaan histopatologi bertujuan memeriksa jaringan tubuh, sedangkan pemeriksaan sitologi memeriksa kelompok sel penyusun jaringan tersebut. Pemeriksaan histopatologi merupakan diagnosis pasti (baku emas). Pemeriksaan sitologi mampu memeriksa sel kanker sebelum tindakan bedah sehingga bermanfaat untuk deteksi pertumbuhan kanker, bahkan sebelum timbul manifestasi klinis penyakit kanker.
Diagnostik kanker paru memang tidak mudah khususnya pada lesi dini. Pemeriksaan sitologi sputum merupakan satu-satunya pemeriksaan noninvasif yang dapat mendeteksi kanker pare tetapi nilai ketajamannya rendah. Pengambilan bahan pemeriksaan sel/jaringan pare banyak dilakukan dengan cara invasif seperti biopsi pare tembus dada (transthoracic biopsy/TTB), bronkoskopi atau torakoskopi. Teknik ini jauh lebih noninvasif dibandingkan biopsi pare terbuka dengan cara pembedahan yang sudah banyak ditinggalkan. Di RS Persahabatan jumlah penderita kanker paru yang dapat dibedah masih dibawah 10%, angka ini masih sangat kecil dibandingkan negara lain yang dapat mencapai angka sekitar 30%. Data yang belum dipublikasi dari bagian bedah toraks RS Persahabatan dari tahun 2000-2004 mencatat 33 kasus kanker paru yang dibedah, rata-rata hanya sekitar 6-7 pasien pertahun, itupun bukan untuk tujuan diagnostik tetapi untuk penatalaksanaan. Hal ini menjadikan pemeriksaan sitologi masih akan tetap menjadi alat utama untuk diagnostik kanker paru.
Berbagai teknik pemeriksaan sitologi dan histopatologi memberikan akurasi basil yang berbeda-beda dan umumnya tidak membandingkan akurasi berbagai teknik pemeriksaan sitologi tersebut dengan baku emas pemeriksaan histopatologi. Perbandingan akurasi basil berbagai teknik pemeriksaan tersebut akan berguna untuk menentukan pilihan pemeriksaan yang paling efektif dan efisien."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18032
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sherly Hinelo
"Penyakit malaria masih menjadi masalah kesehatan utama kerena sebagian besar wilayah Indonesia masih merupakan daerah endemis. Upaya penanggulangan malaria telah dilakukan, namun di beberapa daerah prevalensi malaria masih sangat tinggi. Papua merupakan salah satu wilayah dengan angka kasus tertinggi. Selama ini penanggulangan malaria dilakukan secara terpusat tanpa basis data yang mendukung, sehingga perencanaan program belum memberikan gambaran masalah lokal daerah untuk tindakan intervensi yang efektif.
Penanganan terhadap malaria hendaknya bersifat spasial, oleh karena itu diperlukan evaluari terhadap komponen yang memerlukan perubahan dan perbaikan. Evaluasi program yang dilakukan selama ini dengan menilai pencapaian target terhadap indikator yang telah ditentukan tanpa melihat faktor lain yang mungkin berpengaruh terhadap penularan malaria. Oleh karena itu dalam penelitian dengan menggunakan analisis spasial, akan dilihat faktor lingkungan khususnya ketinggian tempat dan jumlah hari hujan, terhadap kasus malaria baik klinis maupun positif.
Penelitian ini merupakan jenis studi riset operasional, dengan melalukan pengumpulan data sekunder di Subdit P2 malaria Depkes. hasil keluaran penelitian ini adalah model evaluasi program penanggulangan malaria. Tahapan penelitian dilakukan melalui pemilihan model, mekanisme proses sampai pada tahap analsis, yang akan menghasilkan model evaluasi program penanggulangan malaria di Papua.
Hasil penelitian berupa hasil analisis spasial beberapa variabel, berupa peta tematik angka malaria klinis per kabupaten, ketinggian tempat, jumlah hari hujan dan perta klasifikasi kabupaten berdasarkan AMI, ketinggian tempat dan jumlah hari hujan serta informasi wilayah kabupaten yang prioritas untuk dilakukan intervensi dan tidak.
Terjadi kecenderungan bahwa ketinggian tempat mempengaruhi peningkatan angka malaria klinis. Semakin tinggi tempat, angka malaria klinis cenderung semakin kecil. Berdasarkan jumlah hari hujan, tidak ditemukan pola yang menetap, namun ada kecenderungan jumlah hari hujan sedang dan rendah memungkinkan angka kasus klinis cenderung tinggi. Model evaluasi yang dikembangkan masih sangan sederhana karena keterbatasan data. Model ini sangat tergantung pada kelengkapan data, sehingga apabila ingin mengembangkan model ini lebih lanjut diperlukan basis data yang lengkap.

Malaria disease is still a significant health problem because most of Indonesia regions are still endemic areas. Malaria eradication efforts have been conducted, but malaria prevalence is still very high at some areas. Papua is one of the regions with the highest case number. Malaria eradication has been conducted centrally without data base supporting, so that program planning does not give yet the illustration of local problem for the effective intervention action.
Handling of malaria should have a spatial character, therefore it is important to evaluate component which needs an amendment and modification. Program evaluations that have been conducted before by evaluating a purpose attainment of determined indicator without looking the other factors that is possible to affect a malaria infection. Therefore, this research used a spatial analysis. It found an environmental factor, especially height of place and day number of rain toward malaria case both of clinic and positive.
This research is an operational study, collected a secondary data at Sub-Directorate of malaria eradication and prevention in Health Ministry. Output result of this research is model evaluation program of malaria eradication. Research steps were conducted by model election, process mechanism and analysis phase that result an evaluation model of malaria eradication program in Papua.
Research result is a spatial analysis result of some variables, such as thematic map of clinic malaria number each sub-province, height of place, day number of rain and classification map of sub-province based on Annual Malaria Incident, height of place and day number of rain, and also regional information of sub-province which has a priority to be intervened or not.
It happen a tendency that height of place related to increase clinic number of malaria. The highest place will make a clinic number of malaria is smaller. According to day number of rain, there was not found a remain design, but the tendency of day number of rain was sufficient and lower, so it was possible a clinic case number highly, Developed evaluation model was still very simple because of data limitation. This model was very depend on data equipment, so if wishing to develop this model, it was important a completed data base.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herawati Isnanijah
"Latar Belakang
Disfungsi diastolik cukup sering terjadi pada orang dengan hipertensi, biasanya disertai dengan hipertrofi ventrikel kiri. Indeks volume atrium kiri dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolik selain rasio EIA, DT, [VRT, 5117, Ele', dan e'la'. Belum terdapat data indeks volume atrium kiri pada subyek normal maupun subyek penyakit jantung hipertensi pada populasi Indonesia. PeneIitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa pemeriksaan indeks volume atrium kiri dapat digunakan sebagai parameter disfungsi diastolik ventrikel kiri pada penyakit jantung hipertensi.
Metode
Penelitian dilakukan pada 100 orang dengan subyek normal dan subyek penyakit jantung hipertensi dengan fungsi sistolik ventrikel kiri normal, pada pasien kontrol di poliklinik dan pasien rawat di PJNHK selama periode Januari - Oktober 2006. Akan dilakukan penilaian korelasi antara indeks volume atrium kiri dengan rasio WA, SID, Ele' dan e'la'.
Hasil
Indeks volume atrium kiri pada subyek normal didapatkan sebesar 17,64±1,35, pada kelompok disfungsi diastolik derajat I sebesar 23,26 ± 2,55 berbeda bermakna dengan kelompok disfungsi diastolik derajat 2 sebesar 31,52 ± 3,22 dengan p = 0,001.
Kesimpulan
Terdapat perbedaan bermakna indeks volume atrium kiri pada subyek normal dengan disfungsi diastolik ventrikel kiri derajat 1 maupun derajat 2.

Background
Diastolic dysfunction is frequently found in hypertension, usually accompanied with left ventricular hypertrophy. Several parameter was developed to assess the diastolic function including left atrial volume index, FIA. DT,IVRT,,SID,E/e', and e'Ia'. There is no data for left atrial volume index for normal subjects or subjects with hypertensive heart disease in Indonesian population. The - aim of this study is to prove that left atrial volume index can be used as a parameter for left ventricular diastolic dysfunction in hypertensive heart disease.
Methods
Fifty persons with hypertensive heart disease with normal left ventricular systolic function, who controlled at the outpatient clinic and were hospitalized in NCCHK between January-October 2006 ofperiod, were examined We evaluated the correlation between left atrial volume index and EJA ratio, S/D,E/e', e %a'.
Result
Left atrial volume index in normal subjects is 17.64 ± 1.35, subjects with grade 1 diastolic dysfunction 23.26 f 2.55, grade 2 diastolic dysfunction group 31.35 ± 2.87. Value among those groups differ significantly with p = 0.001.
Conclusion
There is significant difference of left atrial volume index among normal subjects, subjects with grade l and grade 2 diastolic disfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18191
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Nawangningrum
"Salah satu informasi yang dapat diperoleh dari naskah kuna adalah yang berkaitan dengan penyakit dan pengobatannya. Berdasarkan kajian terhadap naskah nusantara koleksi Perpustakaan FIB-UI (dahulu FSUI), khususnya naskah pengobatan Jawa, Bali, Melayu, dan Sunda. Dari naskah-naskah kuna itu diperoleh informasi mengenai jenis-jenis penyakit, berbagai jenis tanaman obat, serta cara pengolahan dan pengobatan penyakit.

From the manuscript, we can take the information about deseases and the medical treatment. The study of nusantara?s manuscripts which keep on the library Faculty of Humanities University of Indonesia (before Faculty of Letters-UI), especially medical text Javanese, Balinese, Melanese, and Sundanese show the information about the deseases, varieties of herba medical, processing, and therapies."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Nawangningrum
"Salah satu informasi yang dapat diperoleh dari naskah kuna adalah yang berkaitan dengan penyakit dan pengobatannya. Berdasarkan kajian terhadap naskah nusantara koleksi Perpustakaan FIB-UI (dahulu FSUI), khususnya naskah pengobatan Jawa, Bali, Melayu, dan Sunda. Dari naskah-naskah kuna itu diperoleh informasi mengenai jenis-jenis penyakit, berbagai jenis tanaman obat, serta cara pengolahan dan pengobatan penyakit.

From the manuscript, we can take the information about deseases and the medical treatment. The study of nusantara?s manuscripts which keep on the library Faculty of Humanities University of Indonesia (before Faculty of Letters-UI), especially medical text Javanese, Balinese, Melanese, and Sundanese show the information about the deseases, varieties of herba medical, processing, and therapies."
Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Heri Wibowo
"Ruang lingkup dan cara penelitian : Penelitian penularan filaria pada vektor telah dilakukan di suatu daerah endemik Brugia malayi antropofilik di Sulawesi tengah yang sedang mengadakan program pengobatan masal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah perubahan prevalensi dan densitas mikrofilaria pasca pengobatan masih dapat menjadi sumber penularan yang potensial pada vektor. Penelitian berlangsung dalam tiga tahap, yaitu tahap sebelum pengobatan , tahap pengobatan dan tahap sesudah pengobatan. Pada tahap sebelum dan sesudah pengobatan yang masing-masing berlangsung selama 4 bulan, dilakukan penilaian angka prevalensi dan densitas mikrofilaria pada penduduk berdasarkan pemeriksaan darah tebal (20 ul). Angka infeksi vektor, angka infektif vektor, serta potensi penularan filaria dihitung berdasarkan pemeriksaan vektor yang dilakukan sebanyak 2 malam per minggu. Pada tahap kedua dilakukan pengobatan masal dengan DEC dosis rendah yaitu, dewasa 100 mg/mgg, anak-anak 50 mg/ mgg selama 30 mgg, dilanjutkan dengan dewasa 100 mg/ hr, anak-anak 50 mg/hr selama 10 hr.
Hasil dan kesimpulan ; Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah pengobatan masal angka prevalensi menurun bermakna dan 19,13% menjadi 2,19% dan densitas rata-rata mikrofilaria menurun dari 26,64120 ul menjadi 8,56120 ul. Angka infeksi vektor menurun bermakna dari 3,87 + 2,43 menjadi 1,32 + 1,51,angka infektif vektor menurun bermakna dari 2,20± 1,71 menjadi 0,76 + 1,02 dan potensi transmisi mingguan menurun bermakna dari 24,37 + 19,13 menjadi 3,64 + 4,58. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa pengobatan masal dengan DEC dosis rendah di daerah endemic filariasis brugia antropofilik dapat menurunkan angka prevalensi mikrofilaria, angka infeksi filaria dan angka infektif filaria pada vektor serta potensi penularan mingguan. Namun demikian karena setelah pengobatan masih didapatkan angka infeksi > 0 (no]) dan angka infektif > 0 (nol), maka prevalensi dan densitas mikrofilaria yang ada masih dapat menjadi sumber penularan potensial bagi vektor."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The research was conducted at Payakumbuh agricultural polytechnic farm service from March until September 2007. ..."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Fajrin Priadinata
"Latar Belakang: Frailty pada penyakit ginjal kronik (PGK) memiliki prevalensi yang cenderung meningkat tiap tahun. PGK juga meningkatkan risiko seseorang untuk jatuh ke dalam kondisi frailty, namun kejadian frailty pada PGK sering tidak terdiagnosis dan berdampak terhadap meningkatnya mortalitas dan morbiditas pasien hemodialisis kronik. Sampai saat ini belum ada alat yang mudah, murah, dan validitasnya mendukung untuk mendiagnosis frailty pada PGK hemodialisis. Indeks frailty index-40 questions (FI-40) memiliki penilaian yang lengkap dan mendetail namun sulit dilaksanakan dalam praktik klinis sehari-hari. Penelitian ini bertujuan menilai performa diagnostik dari indeks FRAIL dan indeks CHS, yang memiliki kriteria yang sederhana sehingga lebih mampu-laksana dalam praktik sehari-hari.
Metode: Penelitian potong lintang dengan data primer dilakukan pada penderita PGK yang menjalani hemodialisis di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Frailty dinilai dengan tiga instrumen: FI-40, indeks FRAIL dan indeks CHS. Riwayat medis dan hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh dari rekam medis. Karakteristik pasien dan prevalensi frailty berdasarkan masing-masing instrumen dideskripsikan, lalu dilakukan penilaian parameter performa diagnostik indeks FRAIL dan Indeks CHS dengan table 2x2.
Hasil: Prevalensi frailty 28,6% (IK 95%;19,2-38%) dengan FI-40. Indeks FRAIL memiliki sensitivitas 88,46% (IK 95%: 69,86 – 97,55%) dan spesifisitas 86,15% (IK 95%: 75,34 – 93,47%). Sementara indeks CHS memiliki sensitivitas 88,46% (IK 95%: 69,86% - 97,55%) dan spesifisitas 92,31% (IK 95%: 82,95 – 97,46%). Indeks CHS unggul pada spesifisitas, positive predictive value, dan positive likelihood ratio, sehingga memiliki kemampuan lebih baik sebagai diagnostik sekunder.
Kesimpulan: Indeks FRAIL dan Indeks CHS yang diuji memiliki performa diagnostik yang baik dalam menilai status frailty frailty pada PGK hemodialisis.

Background: Frailty in chronic kidney disease (CKD) is a condition with yearly increasing prevalence. CKD itself predisposes patients for frailty, but this is often underdiagnosed and impacts on mortality and morbidity, especially in chronic hemodialysis patients. Until now, there are no effective, efficient, and valid tools to diagnose frailty in hemodialysis patients. the Frailty Index-40 questions (FI-40) is a comprehensive and detailed assessment of frailty, but is hard to use in everyday practice. This research was done to assess the diagnostic performances of the FRAIL and CHS indices, which are simpler and therefore easier to execute in daily practice.
Methods: This is a cross-sectional study with primary data from the hemodialysis unit of Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) with age over 40 years old and various characteristics were included in this study. Frailty was measured using the FI-40, FRAIL index, and CHS index. Medical history and laboratory results were acquired through medical records. Patients’ characteristics and frailty prevalences according to each instruments were described, and diagnostic parameters for each instruments were calculated based on a constructed 2x2 table.
Results: Frailty in this cohort was measured at 28.6% with FI-40, 35.2%. FRAIL index has a sensitivity of 88.46% (95%CI: 69.86 – 97.55%) and specificity of 86.15% (95%CI: 75.34 – 93.47%). Meanwhile, the CHS index has a sensitivity of 88.46% (95%CI: 69.86% - 97.55%) and specificity of 92.31% (95%CI: 82.95 – 97.46%). The CHS index offers better specificity, positive predictive value, and positive likelihood ratio. This ensures a greater and suited for secondary diagnosis.
Conclusions: FRAIL scale and CHS scale tested instruments offered excellent diagnostic capabilities for frailty in CKD patients with hemoadialysis.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Faris Basalamah
"Pendahuluan : Disfungsi endotel terjadi sejak fase awal dari aterosklerosis yaitu pada pasien-pasien hipertensi, diabetes, hiperhomosisteinemia, perokok maupun pada fase lanjut dari aterosklerosis. Kegagalan fungsi endotel pada respons dilatasinya akibat aktifasi eNOS yang menurun. Teh hijau terbukti mampu memperbaiki disfungsi endotel dinilai dari perbaikan forearm blood flow perokok sehat yang belum mengalami PJK.
Tujuan Penelitian : Untuk membuktikan bahwa pemberian teh hijau sekali asupan dapat memperbaiki flow mediated dilatation pada pasien-pasien penyakit jantung koroner, yang berarti ada perbaikan disfungsi endotel.
Metode : Penelitian dilakukan pada 23 pasien yang terbukti penyakit jantung koroner dari basil kateterisasi, bail( yang sudah menjalani revaskularisasi maupun yang belum. Sampel dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama mendapatkan teh hijau setelah sebelumnya diperiksa FMDnya serta FMD pasca perlakuan 1,5jam sesudah pemberian teh, kelompok kedua mendapatkan placebo (air putih). Kemudian dilakukan crossover setelah 3-5 hari periode washout, kelompok pertama ganti mendapatkan placebo dengan diperiksa FMD sebelum dan sesudah perlakuan dan kelompok kedua mendapatkan teh hijau. Dilakukan pemeriksaan FMD pada orangorang yang sehat usia kurang dari 25 tahun sebagai kontrol populasi sehat.
Hasil : Tidak ada perbedaan bermakna pada karakteristik dasar antara kelompok yang mendapatkan teh hijau dahulu dibandingkan yang mendapatkan placebo dahulu. Sedangkan FMD kelompok baseline kelompok teh 4,80±5,37 berbeda bermakna dibandingkan kontrol sehat 9,15±3,65 (p=0,047) sedangkan FMD baseline sebelum mendapatkan placebo 5,87±3,89 tidak ada perbedaan bermakna dibandingkan FMD baseline pre teh hijau (p=0,398) maupun dibandingkan kelompok kontrol sehat (p=0,082). FMD pasca perlakuan menunjukan perubahan perbaikan yang bermakna pada kelompok teh hijau bila dibandingkan baseline (4,80±5,37 vs 8,68±6,00 p=0.026) sedangkan kelompok placebo menunjukan perubahan perburukan FMD bila dibandingkan pre dan pasca placebo (5,87±3,89 vs 3,34±3,66 p=0,026)_ FMD pasca teh hijau berbeda bermakna bila dibandingkan pasca placebo (8,68±6,00 vs 3,35±3,66 p=0,002). Tidak ada perubahan diameter arteri brachialis kelompok teh hijau maupun placebo (4,60-0,36 vs 4,57±0,41 ; p=0,800 dan 4,57±0,41 vs 4,61±0,36 p=0,601). Tidak ada perubahan tekanan darah sistolik kelompok teh hijau dan placebo (144,78±25,69 vs 146,91±24,76 ; p=0,502 dan 141,30±25,46 vs 139,78±22,99 ; p=0,632). Tekanan darah diastolik kelompok teh hijau dan placebo juga tidak ada perubahan bermakna (86,82±10,55 vs 87,27±9,84; p0,549 dan 83,63±9,24 vs 81,81±8,73; p=0,510). Demikian juga nadi kelompok teh hijau dan kelompok placebo. (67,174±12,492 vs 66,609±11,900; p=0,236 dan 68,043±9,028 vs 66,739±8,247; p=0,127)
Kesimpulan : Teh hijau mampu memperbaiki fungsi endotel dinilai dari perbaikan flow mediated dilatation jangka pendek pada pasien-pasien penyakit jantung koroner, dimana efek yang berlawanan justru diperlihatkan air putih, pada penelitian eksperimental dengan design crossover.

Background : Endothelial dysfunction begins when atherosclerosis developed as what go through on hypertension, diabetes, hyperhomocysteinemia, and also what go through among smoker who hasn't have CAD until end phase of atherosclerosis. Impairment of endothelial function depends on vasodilatation due to the decreasing of eNOS activity. Green tea has been proved to have positive effect in reversing endothelial dysfunction among healthy smoker.
Objectives : to determine the short term effect of green tea on flow mediated dilatation among coronary artery disease patients which repaired the dysfunction of endothelial cells.
Methods : 23 coronary artery disease patients which had been confirmed by coronary angiography joined the study. The sample was divided into two groups, first was the group who took green tea, and the 2nd was the group who took placebo (mineral water). Before treatment, the FMD of both two groups were measured and one hour and half after treatment. After 3-5 days of treatment, both groups were crossover. FMD among healthy group of age Iess than 25 years old was also measured as control group.
Results : There was no significant differences in baseline characteristic between the first group and the 2"d (both received green tea but in different time). FMD after treatment was increased among group who took green tea (4.8015.37 vs 8.6816.00, p=0.026), while FMD among placebo group was decreased (5.8713.89 vs 3.3413.66 p=0.026). There was significant differences of FMD after treatment with green tea and after treatment with placebo (8.68±6.00 vs 3.3513.66 p = 0.002). There was no differences of brachialis artery diameter in both groups (4.6010.36 vs 4.5710.41, p=0.8 and 4.5710.4I vs 4.61±0.36, ptl.601). There was no differences od systolic pressure in both group (144.78 125.69 vs 146.91124.76, p=0.502 and 141.30±25.46 vs 139.78122.99, p=0.632). Also there was no differences of diastolic pressure in both groups (86.82110.55 vs 87.2719.84, p= 0.549 and 83.6319.24 vs 81.8118.73, p=0.510). No differences of heart rate in both groups (67.174112.492 vs 66.609111.900, p=0.236 and 68.043 ±9.028 vs 6633918.247, p=0.127)
Conclusion : From this study we conclude that green tea had positive effect in reversing endothelial dysfunction among coronary artery disease patient by assessing flow mediated dilatation in short time. The group who took placebo showed the paradoxical effect.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18147
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library