Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khairil Anwar
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tentang desentralisasi asimetris di Indonesia pasca reformasi berupa bagaimana penerapannya dan bagaimana bentuk ideal yang seharusnya diterapkan. Teori yang digunakan adalah teori Agus Brotosusilo yang bersumber dari Pancasila yang barasal dari hukum adat nusantara berupa dominannya sikap komunal dari individual, spiritual daripada materialisme dan romatisme dari rasionalisme. Selain itu digunakan juga teori lainnya berupa teori konflik Dahrendorf. Hasil penelitian ini mengungkap terjadi resentralisasi dari daerah ke pusat berupa diambilnya kewenangan pada UU Ciptakerja untuk keseluruhan daerah dan perubahan Otsus Papua, Papua Barat dan Aceh bagi daerah asimetris. UU Sapu jagat didapati resentralisasi; pertama, perizinan usaha ditentukan dan dimiliki pusat, kedua, wewenang penataan ruang terpusat, ketiga, amdal dipermudah, keempat, sanksi dimiliki pusat dan dipermudah, dan kelima, pajak ditarik pusat. Sedangkan pada perubahan Otsus Papua didapati; pemekaran Papua dipermudah, perubahan UU otsus tidak perlu persetujuan DPRP dan MRP, pengawasan domain pusat, pendirian parpol oleh Orang Papua dihilangkan dan kewajiban konsultasi parpol ke MRP dan DPRP disunat, dan jabatan wagub dapat diisi. Sementara pada Aceh tidak dipenuhinya Pengatutan lambang Aceh dan pengaturan suku bunga. Tidak terdapat harmonisasi sebagaimana teori Agus Brotosusilo karena pusat sangat mendominasi dengan terjadinya resentralisasi sehingga daerah merasa tidak dimanusiakan. Preskriptif yang ditawarkan adalah mewujudkan harmonisasi dan memperluas penerapan desentralisasi asimetris. Kesimpulannya adalah dari skema tujuan desentralisasi terdapat kemiripan antara orde baru dengan masa kini yaitu menguatnya resentralisasi. ......This study aims to answer about asymmetric decentralization in post-reform Indonesia in terms of how it is implemented and how the ideal form should be implemented. The theory used is Agus Brotosusilo's theory which comes from Pancasila which comes from the customary law of the archipelago in the form of the dominant communal attitude of the individual, spiritual rather than materialism and romanticism from rationalism. In addition, other theories are also used in the form of Dahrendorf's conflict theory. The results of this study reveal that there has been recentralization from the regions to the center in the form of the taking of authority in the Job Creation Law for the entire region and changes to the Special Autonomy for Papua, West Papua and Aceh for asymmetric regions. The Sweeping Universe Law is found to be recentralized; first, business licenses are determined and owned by the center, second, the authority for spatial planning is centralized, third, amdal is facilitated, fourth, sanctions are owned and facilitated by the center, and fifth, taxes are levied by the center. Meanwhile, in the changes to the Special Autonomy for Papua, it was found; The expansion of Papua was facilitated, changes to the Special Autonomy Law did not require the approval of the DPRP and MRP, central domain supervision, the establishment of political parties by Papuans was eliminated and the obligation to consult political parties to the MRP and DPRP was circumcised, and the position of deputy governor could be filled. Meanwhile, in Aceh, the acknowledgment of the Aceh symbol and interest rate arrangements was not fulfilled. There is no harmonization like Agus Brotosusilo's theory because the center dominates with the recentralization so that the regions feel they are not being humanized. The prescriptive offered is to realize harmonization and expand the application of asymmetric decentralization. The conclusion is that from the scheme for the purpose of decentralization, there are similarities between the new order and the present, namely the strengthening of recentralization.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alifah Pratisara Tenrisangka
Abstrak :
Perpindahan ibu kota sudah mendekati tahapan realisasi yang artinya status Jakarta sebagai Ibu kota akan berpindah ke kota lain. Sebagai ibu kota negara secara a quo, Jakarta telah menjelma menjadi kota metropolitan dengan banyaknya privilege. Bahkan selain menjadi bagian dari kota metropolitan dunia, Jakarta dicanangkan menjadi kota global dunia. Kondisi dan statusnya sebagai ibu kota ini menjadikan Jakarta sebagai salah satu kota yang mendapatkan privilege berupa diterapkannya desentralisasi asimetris. Namun menjadi pertanyaan besar, setelah tidak lagi menyandang status sebagai ibu kota negara, bagaimana status desentralisasi asimetris yang dimiliki Jakarta? Tulisan ini akan mengupas desentralisasi asimetris untuk Jakarta pasca tidak lagi berkedudukan sebagai ibu kota Indonesia berdasarkan status quo segala fasilitas penunjang dan prospek lainnya yang dimiliki Jakarta. ......The transfer of the capital is getting closer to the realization phase, which means that Jakarta’s status as the capital will move to another city. As a quo capital city, Jakarta has been transformed into a metropolitan city with many privileges. In fact, apart from being part of the world’s metropolitan cities, Jakarta is proclaimed to be a world’s global city. This condition and status as the capital city makes Jakarta one of the cities that has the privilege of implementing asymmetric decentralization. However, the big question is, after no longer holding the status of the national capital, how is the asymmetrical decentralization status of Jakarta? This paper will examine the asymmetric decentralization for Jakarta after it is no longer the capital based on the status quo of all supporting facilities and other prospects owned by Jakarta.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Azhary Arramadhani
Abstrak :
Pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan akan mengakibatkan hilangnya status Ibu Kota Negara yang dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta. Hal tersebut juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana rumusan otonomi yang akan diterapkan di Provinsi Jakarta setelah tidak lagi mengemban status Ibu Kota Negara. Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan dengan prinsip desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Berasal dari penerapan desentralisasi tersebut,  Indonesia juga menerapkan desentralisasi asimetris yang penerapannya berupa daerah khusus seperti yang dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta. Kekhususan yang dimiliki Provinsi DKI Jakarta salah satunya adalah penekanan otonomi di tingkat Provinsi. Setelah tidak lagi mengemban status daerah khusus, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk memberlakukan otonomi reguler atau otonomi asimetris. Otonomi reguler akan mengembalikan rumusan otonomi Provinsi Jakarta mengikuti rumusan di UU No. 23 Tahun 2014. Di sisi lain, penerapan asimetris membuka kemungkinan untuk model-model otonomi lainnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis-normatif dengan metode analisis secara kualitatif. Model otonomi yang diterapkan di Provinsi Jakarta pasca pemindahan Ibu Kota Negara harus mempertimbangkan berbagai aspek yang terjadi di Provinsi Jakarta. Rumusan otonomi di Provinsi Jakarta sepatutnya mengakomodasi perkembangan lewat batas administrasinya sehingga dapat terbentuk otonomi daerah yang terintegrasi antar wilayah. Selain itu, penting untuk menekankan partisipasi lokal dalam mengurus daerahnya sendiri sesuai dengan semangat otonomi daerah pasca reformasi.
The capital city relocation to Kalimantan would result in the lost of capital city status which is held by Special Capital Region of Jakarta. This will also raises questions about how autonomy will be implemented in Jakarta Province after it no longer holds the status as capital city. Regional autonomy in Indonesia is implemented with principles of decentralization, deconcentration, and co-administration. Derived from the implementation of decentralization, Indonesia has also implemented asymmetric decentralization, which is implemented in the form of special region such as held by the Special Capital Region of Jakarta. One of the specialities of Special Capital Region of Jakarta is the emphasis on autonomy at the provincial level. The Central Government has the authority to impose regular autonomy or asymmetric autonomy over Jakarta Province after capital city relocation. Regular autonomy will restore the autonomy formula for Jakarta Province following the formulation in Law No. 23 of 2014. Asymmetric decentralization will opens the possibility for other models of autonomy. The method used in this research is juridical- normative  with qualitative analysis methods. The autonomy model applied in the Jakarta Province after the relocation of the capital city should consider various aspects that occur in the Province of Jakarta. The design of autonomy in the Province of Jakarta should accommodate developments beyond its administrative boundaries so that an integrated regional autonomy can be formed between regions. In addition, it is important to emphasize local participation in managing their own regions in accordance with the spirit of regional autonomy.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelwin Airel Anwar
Abstrak :
Aceh yang merupakan daerah khusus dan istimewa di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan daerah yang memiliki banyak kewenangan yang unik dan tidak dimiliki daerah lainnya. Salah satu yang melatarbelakangi kekhususan dan keistimewaan ini adalah konflik Aceh yang pernah terjadi atas ketidakpuasan Pemerintah Pusat memperlakukan Aceh. Konflik tersebut menyisakan banyak dampak yang masif khususnya kepada korban dan keluarga korban sehingga diduga terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia berat. Pada akhirnya, Aceh diberi kewenangan khusus melalui UndangUndang No. 13 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh sebagai lembaga independen di daerah demi mengungkapkan kebenaran dan menciptakan rekonsiliasi di Aceh. Namun, pembentukan lembaga tersebut menuai kontroversi di awal pembentukannya karena masih belum terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional karena Undang-Undang pembentukannya diputus tidak mengikat hukum secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi Nasional dan berpedoman pada Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dengan metode yuridis-normatif yang disusun secara deskriptif-analitis, penelitian ini menemukan bahwa melalui internalisasi nilai-nilai hak asasi manusia di pemerintahan Aceh menyebabkan penanganan pelanggaran hak asasi manusia berat di Aceh juga menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh salah satunya melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh yang tetap dapat berdiri dengan dibentuk melalui Qanun Aceh karena pada dasarnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh merupakan lembaga non-struktral dan independen di daerah yang telah diatribusikan pembentukannya oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang mengatur secara khusus kelembagaan yang berdiri di Aceh sehingga tidak tergantung dengan dinamika politik hukum pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh juga berdiri atas dasar perlunya penanganan korban secara cepat dan menyeluruh. Sayangnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh harus menghadapi banyak tantangan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pertama di Indonesia tetapi bekerja dalam lingkup daerah. ......Aceh, which is an exclusive and special region under the Unitary State of the Republic of Indonesia, is a region that has many unique authorities that other regions do not have. One of the reasons behind this exclusivity and specialty is the Aceh conflict that once occurred over dissatisfaction with the treatment of the Central Government towards Aceh. This conflict left a lot of massive impacts, especially on the victims and their families so that serious human rights violations are suspected. In the end, Aceh has exclusive authority through Law no. 13 of 2006 on the Government of Aceh to establish the Aceh Truth and Reconciliation Commission as an independent regional institution to reveal the truth and create reconciliation in Aceh. However, the formation of this institution sparked controversy at the beginning of its formation because the National Truth and Reconciliation Commission has not yet been formed because the Constitutional Court ruled that the Law on Truth and Reconciliation Commission was not legally binding as a whole. Yet, the Aceh Truth and Reconciliation Commission is an integral part of the National Truth and Reconciliation Commission and is guided by the Law on Truth and Reconciliation Commission. Using a juridical-normative method compiled in a descriptive-analytical manner, This study found that through the internalization of human rights values in the Aceh government, the handling of serious human rights violations in Aceh also became the authority of the Aceh government, one of which was through the Aceh Truth and Reconciliation Commission that can still exist by being formed through the Aceh Qanun because The Aceh Truth and Reconciliation Commission is a nonstructural and independent institution in the region whose establishment has been attributed to the Aceh Government Law which specifically regulates institutions that exist in Aceh so that it is not dependent on the dynamics of legal politics for the formation of the National Truth and Reconciliation Commission. The Aceh Truth and Reconciliation Commission was also established on the basis of the need for quick and thorough handling of victims. Unfortunately, the Aceh Truth and Reconciliation Commission had to face many challenges in carrying out its duties and functions as the first Truth and Reconciliation Commission in Indonesia but working in a regional scope.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armin
Abstrak :
Hubungan pemerintah pusat dan daerah sejak awal berdirinya negara kesatuan republik Indonesia selalu mengalami pasang surut. Tarik menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah dari masa ke masa mengalami dinamika yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan pola hubungan pusat daerah masih mencari bentuk.
Jakarta: Lembaga Pangkajian MPR RI, 2018
342 JKTN 11 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fajri Ramadhan
Abstrak :
Penerapan desentralisasi asimetris di Indonesia dilakukan pada 5 daerah yaitu Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat. Kebijakan tersebut berimplikasi dengan penerimaan dana desentralisasi yang lebih tinggi. Penelitian bertujuan untuk mengkaji hubungan kondisi keuangan 3 daerah otonomi khusus yaitu Aceh, Papua, dan Papua Barat dengan akuntabilitas keuangan daerah yang diproksikan oleh variabel opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) hasil pemeriksaan BPK RI. Menggunakan metode Conditional Logistic Fixed Effect, penelitian menggunakan rasio keuangan berdasarkan data keuangan daerah sejak 2011-2019. Hasil penelitian adalah: pertama, adanya hubungan antara akuntabilitas dengan kondisi keuangan pemerintah daerah otonomi khusus yang direfleksikan oleh beberapa variabel yang signifikan dan konsisten pada beberapa model. Kedua, variabel yang konsisten mendorong terciptanya akuntabilitas adalah variabel rasio Dana Alokasi Khusus (DAK) dibagi total dana transfer, sementara itu rasio Dana Bagi Hasil (DBH) per total pendapatan konsisten dan signifikan dalam mengurangi kemungkinan terwujudnya opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sebagai penilaian akuntabilitas tertinggi. Variabel lain seperti rasio belanja operasional dan belanja modal per total belanja juga mengurangi kemungkinan terwujudnya opini WTP. Hasil ini menunjukkan bahwa pemerintah perlu memperhatikan rasio-rasio keuangan daerah dalam evaluasi pelaksanaan desentralisasi asimetris terutama pada ketiga provinsi tersebut. ......The asymmetric decentralization policy is applied in 5 regions: DKI Jakarta Province as the State Capital, Yogyakarta Special Region Province, Aceh Province, Papua Province, and West Papua Province. This study examines the relationship between the financial conditions of 3 special autonomous regions, namely Aceh, Papua, and West Papua, with regional financial accountability as proxied by the variable of opinion on regional financial statements (LKPD) due to the examination of the Indonesian National Audit Board. Using the Conditional Logistic Fixed Effect method, this study uses financial ratios based on regional financial data from 2011-2019. The results show that, first, there is a relationship between accountability and the financial condition of the special autonomy regional government, which is reflected by several significant and consistent variables in several models. Second, the variable that consistently encourages accountability is the proportion of Special Allocation Fund (DAK) from the total transfer. Meanwhile, the ratio of Revenue Sharing (DBH) per total income is consistent and significant in reducing the possibility of realizing an Unqualified Opinion (WTP) as the highest accountability assessment. Other variables such as the ratio of operational expenditures and capital expenditures per total expenditure also reduce the probability of realizing the WTP opinion. These results indicate that the government needs to pay attention to regional financial ratios in evaluating the implementation of asymmetric decentralization, especially in the three provinces.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafael Kapura
Abstrak :
Disertasi ini, membahas tentang proses politik dalam perumusan dan distribusi anggaran Otsus-RESPEK yang diberlakukan Barnabas Suebu-Abraham Atururi sebagai gubernur di kedua provinsi paling Timur Indonesia. Pembagunan dari kampung/kelurahan ke kota merupakan inti gagasan dari kebijakan politik anggaran Otsus-RESPEK tersebut.Tujuan penelitian adalah untuk memberikan gambaran utuh tentang kebijakan politik anggaran Otsus-RESPEK sebagai respon terhadap fenomena daerah. Dalam mengkaji dan menganalisis proses kebijakan politik anggaran Otsus-RESPEK teori utama yang digunakan adalah teori konflik dan konsensus dari Maswadi Rauf serta konflik anggaran dari Irene Rubbin. Teori lain juga digunakan sebagai penunjang yaitu teori desentralisasi fiskal dari Mano Bird danVaillancourt, politik anggaran dari Aeron Wildavky dan Naomi Caiden, elit dari Zusanne Keller, Pareto dan Organski, kubus kekuasaan dari John Gaventa, pengawasan Pusat-Daerah dari Richard C.Crook dan James Manor, politik lokal dari Brian Smith, serta teori terakhir yang digunakan adalah politik etnis dari Clifford Geertz.Metode penelitian bersifat deskriptif analitis dengan perspektif kualitatif dengan wawancara mendalam (data primer) dan studi kepustakaan (data sekunder). Selain itu untuk menganalisis serta mendeskripsikan gagasan kebijakan politik anggaran Otsus-RESPEK secara mendalam. Kesimpulan penelitian; Pertama, relasi kerja yang seimbang antara pemegang anggaran dan masyarakat tidak singkron; kedua, transparansi anggaran yang sesuai dengan regulasi manajemen kerja dan distribusi kekuasaan anggaran merupakan penghambat politik lokal di Papua dan Papua Barat. Temuan penelitian; pertama, kerjasama konstruktif dan berkesinambungan antara Pusat dan Daerah (Papua dan Papua Barat) belum maksimal terbangun sehingga menyebabkan sikap saling tidak percaya; kedua, anggaran merupakan sumber power interplay dan konsensus diantara penguasa Pusat dan Daerah saat proses politik kebijakan dirumuskan; ketiga, primordialisme tidak dapat dihindarkan dalam mengembangkan pengunaan anggaran Otsus-RESPEK. Implikasi teori dari penelitian ini mendukung teori konflik dan konsensus dari Maswadi Rauf dan Konflik dari Irene Rubbin, yang menyatakan bahwa anggaran merupakan sumber perdebatan politik sebagaimana terlihat dalam kebijakan politik anggaran Otsus-RESPEK. Perdebatan politik tentang anggaran bila tidak teratasi akan mengancam keutuhan negara. Karena anggaran bukan saja menjadi sumber perdebatan tetapi juga sebagai sumber perlindungan masyarakat, wilayah, pemerintahan dan pengakuan internasional. Hal ini, yang tidak diungkapkan oleh Rauf dan Rubbin dalam penelitian disertasi ini. ...... This dissertation discusses the political process in the budget formulation and distribution of RESPEK special autonomy (Otsus-RESPEK) which was enacted by Barnabas Suebu-Abraham Atururi as the governor of Papua and West Papua, two provinces in the easternmost part of Indonesia. The construction from villagesto cities was the core idea of the policies of Otsus-RESPEK's budget politics. The purpose of this study is to give a depiction of these policies as a response to the region. In reviewing and analyzing the process of the policies of Otsus-RESPEK's budget politics, several theories are used. Maswadi Rauf's theory of conflict and consensus, as well as Irene Rubbin's theory of budget conflict are used as the main theory. The supporting theories are (1) Mano Bird's and Vaillancourt's theory of fiscal decentralization, (2) Aeron Wildavky's and Naomi Caiden's theory of budget politics, (3) Zusanne Keller's, Pareto's and Organski's theory of elite, (4) John Gaventa's theory of power cube, (5) Richard C. Crook's and James Manor's theory of Central-Local supervision, (5) Brian Smith's theory of local politics, (6) and Clifford Geertz's theory of ethnical politics. The method of this study is descriptive and analytical with a qualitative approach. Furthermore, this study uses in-depth interview (primary data) and literary review (secondary data) to analyze and describe thoroughly the idea of the policies of Otsus-RESPEK's budget politics. This study has two conclusions. First, a balanced professional relationship between the budget holders and the people are not in sync. Second, budget transparency which is congruent to the regulations of work management and distribution of budget power hinders the local political growth in Papua and West Papua. There are three principal findings in this research. First, constructive cooperation and unity between the Central and Local (Papua and West Papua) is not yet at its maximum. As a result, doubt arose between the two. Second, budget is the source of power interplay and consensus amongst Central and Local authorities when the policies are being formulated. Third, primordialism cannot be avoided in the development of Otsus-RESPEK's budget usage. The theoretical implication supports Maswadi Rauf's theory of conflict and consensus, as well as Irene Rubbin's theory of conflict which states that budget is the source of political debates. This is evident in the policies of Otsus-RESPEK's budget politics. If a political debate on budget is not overcome, it could threaten the nation's unity. This is due to the fact that budget is not only a source of conflict, but also the source of protection for people, regions, government, and international acknowledgement. These facts are not revealed by Rauf and Rubbin in this dissertation's research.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D1707
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasta Budiratna
Abstrak :
Indonesia telah  menerapkan  kebijakan  desentralisasi,  tidak  saja  yang  berlaku  umum untuk seluruh wilayah di Indonesia, tapi juga sudah mengadopsi desentralisasi asimetris, utamanya untuk wilayah-wilayah tertentu seperti Aceh, Papua, dan Papua Barat. Kebijakan desentralisasi asimetris ini, melimpahkan kewenangan yang lebih besar untuk fungsi tertentu kepada wilayah terkait, yang juga didukung melalui alokasi dana transfer Otonomi Khusus dari pemerintah pusat. Transfer Dana Otonomi Khusus ini telah berjalan belasan tahun dan akan segera berakhir pada 2022 (untuk Papua dan Papua Barat) dan 2028  (untuk  Aceh).  Transfer  Dana  Otonomi  Khusus  diantaranya  digunakan  untuk membiayai  program-program  pengentasan  kemiskinan  dan  pendidikan.  Kedua  hal tersebut merupakan dua indikator penting dalam capaian pembangunan daerah, terutama dikaitkan  dengan  kondisi  capaian  pembangunan  yang  relatif  belum  baik  apabila dibandingkang  daerah  lain  di  Indonesia.  Angka  kemiskinan,  secara  rata-rata  untuk periode 2015-2018, di ketiga daerah tersebut masih berada di atas rata-rata nasional, termasuk juga untuk partisipasi pendidikan khususnya di Papua dan Papua Barat. Oleh sebab itu, studi ini bertujuan untuk mengetahui besaran pengaruh Dana Otonomi Khusus terhadap angka kemiskinan dan Angka Partisipasi Murni jenjang pendidikan SMP di Aceh, Papua, dan Papua Barat. Menggunakan regresi data panel, studi ini mencakup 23 kabupaten/kota di Aceh dan 11 kabupaten/kota di Papua Barat  pada tahun 2013-2018. Sedangkan Papua dilakukan pada 29 kabupaten/kota tahun 2015-2018. Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa Dana Otonomi Khusus pada kabupaten/kota di Papua Barat secara signifikan berkorelasi dengan penurunan  angka kemiskinan, dan  peningkatan angka Partisipasi Murni jenjang SMP, namun studi ini belum menemukan korelasi yang cukup  kuat  untuk  konteks  Dana  Otonomi  Khusus  yang  diterima  kabupaten/kota di Papua dan Aceh.


Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library