Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Laksmi
Jakarta: Sagung Seto, 2007
025 LAK t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Leeuwen, Mathijs van
"How do international organizations support local peacebuilding? Do they really understand conflict? Partners in Peace challenges the global perceptions and assumptions of the roles played by civil society in peacebuilding and offers a radically new perspective on how international organizations can support such efforts. Framing the debate using case studies from Africa and Central America, the author examines different meanings of peacebuilding, the practices and politics of interpreting conflict and how planned interventions work out. Comparing original views with contemporary perceptions of non-state actors, Partners in Peace includes many recommendations for NGOs involved in peacebuilding and constructs a new understanding on how these possible solutions relate to politics and practices on the ground. Concise in both theoretical and empirical analysis, this book is an important contribution to our understanding of civil society's role in building sustainable peace"
London: Routledge, Taylor & Francis Group, 2016
303.66 LEE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Miftah Fadhli
"Penelitian ini menyingkap peran sistem hukum dalam melegitimasi pembantaian massal 1965-1966 sehingga pelaku menganggap tindakannya wajar bahkan heroik. Menurut Hannah Arendt, banalitas tindakan adalah kondisi di mana tindakan tak memiliki makna, dilakukan secara spontan, dan nyaris tanpa refleksi. Banalitas terjadi karena seseorang tak memiliki kemampuan untuk merefleksikan (lewat proses penilaian) tindakannya akibat kekacauan sosial, dan ekonomi di dalam masyarakat modern. Ketiadaan refleksi membuat tindakan menjadi tanpa makna, seperti Eichmann. Orang dengan mudah mencari alasan (i.e. 'kewajiban warga negara', 'tugas negara', 'pernyataan ulama', dll.) bagi setiap pembantaian yang dilakukannya tanpa mau (dan mampu) mengevaluasi kerangka bagi tindakannya. Di sisi lain, kehadiran sistem hukum menyediakan makna: bahwa tindakan kekerasan adalah tindakan yang taat hukum. Maka, pembantaian massal terhadap ratusan ribu hingga jutaan orang-orang (terduga) komunis mencerminkan tindakan warga negara yang taat hukum. Kerangka bagi tindakan pembantaian massal (patriotisme, sikap religius, sikap kultural) menjadi cerminan heroisme pelaku. Misalnya, 'ikut ambil bagian dalam pembantaian berarti ikut ambil bagian dalam peperangan melawan kaum komunis yang berniat menghancurkan NKRI' merupakan contoh narasi yang diciptakan oleh Orde Baru yang memberi kerangka bagi heroisme pelaku dan narasi-narasi semacam ini menjadi norma dalam peraturan hukum seperti TAP MPRS, Keppres, Inpres, dll.

This thesis examines the role of legal system in legitimazing the mass killings of 1965-1966 so that the perpetrators proudly and patriotically deemed their deed as daily life activity like drinking a cup of tea in the morning or clapping a mosquito. Hannah Arendt states that banality is a condition in which the action is meaningless and spontaneously manifested in the absence of reflection. It occurs when men have no capability to 'think' (through assessment process) of their deeds caused by the social and economic collapse of modern society. The inability to think (or reflect) is caused by the absence of the meaning in action as Adolf Eichmann had done. Men justify themselves 'in the name of country', 'state duty', or 'clerical order' as their motivation to slaughter in the inability to evaluate the way they act, both before and after. Furthermore, the presence of a legal system provides legitimation, that: violence as a legal action. Thus, the extermination of the PKI members had become the duty of citizens guaranteed by the law. The motivations of the killings (e.g. patriotism, religious outlook, and cultural background), in turn, reflect the killers heroism. For instance, 'taking a part in the extermination of PKI members means taking a part in the war against communists who intend to destroy NKRI (The Republic of Indonesia)' was the one of propagandas, which was disseminated by the New Order regime, providing the normative framework of State regulations such as TAP MPRS (The Decision of Provisional People's Consultative Assembly), Presidential Decree, Presidential Instruction, etc.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55923
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London: Routledge, 2013
323.445 PRE
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Machiavelli, Niccolo
Jakarta: Narasi, 2015
808.8 MAC d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Udi Rusadi
"Studi ini berangkat dari kajian teoritis yang melihat terbatasnya studi kritikal di bidang komunikasi massa di Indonesia. Sementara itu fenomena empiris menunjukkan terjadinya transisi dari tatanan pemerintahan yang didominasi satu kekuasaan menuju tatanan yang demokratis dan di bidang ekonomi praktek kapitalisme menunjukkan perkembangan yang banyak mempengaruhi karakteristik media massa.
Hal itulah yang mendorong penulis untuk mengkaji fenomena di bidang media massa yang sudah tumbuh dan berkembang sebagai suatu industri. Studi ini bertujuan untuk mengungkap artikulasi kapitalisme dalam diskursus media (suratkabar) tentang peristiwa kerusuhan sosial dan hubungan kekuasaan yang diproduksi serta di reproduksi.
Perspektif yang digunakan dalam menjawab permasalahan tersebut ialah kritikal pasca strukturalis, dengan pedoman dan arahan kerangka teoritis mengenai diskursus kritikal, ekonomi politik kultural dan ekonomi politik kekuasaan simbolik. Methodologi yang digunakan ialah analisis diskursus kritikal. Media yang diteliti ialah Kompas, Media Indonesia dan Republika, dengan kasus kerusuhan sosial melipuli kerusuhan Tasikmalaya, Semanggi II, Cibadak Mall dan Glodok Plaza, tawuran antar warga dan antar pelajar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peristiwa nyata kerusuhan secara tekstual di suratkabar dikembangkan menjadi produksi imaji pertarungan antara kekuasaan mayoritas dengan minoritas pemeluk agama, kekuasaan yang melegitimasi dengan delegitimasi rezim, elit penguasa dengan massa, kekuasaan ekonomi lemah dengan kuat, kekuasan sipil dengan militer. Hubungan kekuasan tersebut diakumulasi dengan memberikan nilai tambah terhadap makna yang dikandungnya sehingga media memiliki daya jual yang tinggi.
Akumulasi imaji konflik membiakkan makna konflik, dan merepresentasikan perjuangan aktor pelaku sosial di dalam dan diluar media untuk memperoleh legitimasi dalam posisinya baik di dalam struktur kemasyarakatan maupun pemerintahan (kapital politik). Selain itu media juga merepresentasikan aktor pelaku sosial untuk memperjuangkan penguasaan sumberdaya ekonomi (kapital material).
Artikulasi media tersebut merefleksikan proses produksi dan konsumsi yang bertumpu pada kapitalisme yang masih belum jelas tatanan dan arahnya. Industri Media cenderung untuk berusaha memelihara kelangsungan hidupnya dan berusaha untuk mengakumulasi kapital sebanyak-banyaknya dengan menggambarkan ketidakpastian dan disharmony sebagai komoditas. Dalam konteks itu, terjadi akumulasi kapital tanpa akhir yang berspiral dengan akumulasi imaji yang terus menerus tanpa akhir pula.
Refeksi teoritis dari temuan tersebut ialah bahwa dalam situasi transisi, struktur yaitu aturan-aturan dan sumber daya menjadi anomi sehingga peranan aktor pelaku sosial (human agency) di lingkungan media massa menjadi dominan. Namun demikian peranan dominan pelaku sosial (human agency) tersebut berada pada tekanan pasar dan kekuasaan massa. Selain itu temuan penelitian memberikan stimulan kesadaran bahwa media massa dalam konteks transisi cenderung memproduksi imaji ketidakpastian semakin tidak pasti, kemurnian semakin tidak murni karena media kehilangan pegangan dan larut dalam pertarungan kekuasaan. Pertarungan tersebut oleh media dijadikan komoditas dalam memelihara kelangsungan institusi bisnis untuk mempertahankan eksistensinya.
Implikasi sosial dari temuan tersebut ialah diperlukan perjuangan untuk merumuskan doxa khususnya di bidang media di Indonesia setelah dominasi kekuasaan otoriter berkahir pada era orde baru. Media sebaiknya merenungkan posisinya untuk tidak larut dalam upaya melanggengkan status quo institusi bisnis semata, tetapi juga berupaya mengedepankan upaya melakukan pencerahan dan perjuangan dalam mencerdaskan dan menegakkan nilai-nilai moral masyarakat."
2002
D282
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malakolunthu, Suseela
London: Routledge, Taylor & Francis Group, 2017
379.959 5 POL
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Desvalini Anwar
"Penelitian ini mencoba menganalisis perubahan representasi Asia dalam enam buah wacana Anglo-Keltik semenjak tahun 70-an hingga tahun 2000 yakni; drama The Floating World karya John Romeril (1973), buku sejarah All For Australia karya Geoffrey Blainey (1984), pidato Paul Keating (1992), cerpen Beggars dalam antologi perjalanan Hotel Asia karya Bob Gerster (1995), pidato Pauline Hanson (1997) dan teks media stasiun televisi ABC dari kamp pengungsi Woomera (2003).
Sebelum tahun 70-an, khususnya semenjak masa emas (Gold Rush) hingga berakhirnya kebijakan Australia Putih, wacana-wacana dominan Anglo-Keltik dipenuhi oleh berbagai persepsi negatif tentang Asia. Asia digeneralisasi sebagai sumber ancaman yang harus diwaspadai Australia seperti; Asia sebagai ancaman terhadap kemurnian tradisi Anglo-Keltik, Asia sebagai ancaman yang dapat menurunkan taraf kehidupan masyarakat dominan Anglo-Keltik yang tinggi, dan bahkan Asia sebagai ancaman yang ingin menginvasi wilayah Australia. Namun memasuki periode 70-an, masyarakat dominan Anglo-Keltik mulai menunjukkan perubahan sikap terhadap Asia. Program migrasi besar-besaran Australia pasca perang dunia ke dua serta kelahiran kebijakan multikultural pada tahun 1973 telah mengubah populasi Australia yang monokultur menjadi multikultur. Wacana-wacana dominan Anglo-Keltik setelah tahun 70-an ke atas tidak lagi sepenuhnya merepresentasikan Asia secara homogen dengan kata lain, Asia tidak lagi dilihat sebagai yang mewakili satu entitas. Di luar representasi Asia sebagai ancaman atau problem, berkembang pula representasi-representasi yang positif tentang Asia, seperti; Asia sebagai wilayah yang aman, Asia sebagai bangsa maju dan bahkan Asia sebagai mitra Australia dalam menciptakan kemajuan ekonomi, khususnya di wilayah Asia Pasifik. Namun memasuki tahun 2000-an representasi yang cukup positif tentang Asia digantikan oleh representasi Asia sebagai ancaman teroris bagi Australia.
Terjadinya perubahan representasi Asia dari waktu ke waktu seperti tercermin lewat wacana-wacana dominan Anglo-Keltik di atas menunjukkan bahwa representasi Asia di mata bangsa Australia sangatlah kontektual ideologis. Walaupun terdapat representasi yang bervariasi positif dan negatif tentang Asia semenjak tahun 70-an hingga tahun 2000, namun secara umum representasi-representasi yang beredar tersebut tetap mengukuhkan representasi Asia sebagai Yang Lain atau yang inferior dan sebaliknya semakin rnengukuhkan representasi Australia sebagai bangsa yang superior.
This thesis tries to analyze the changing representation of Asia in various kinds of Anglo-Celtic discourses since the 70's until the 2000 's, namely; The Floating World, a drama by John Romeril (1973), All For Australia, a history hook by Geoffrey Blainey (1954), Paul Keating's Speech " Australia and Asia: Knowing no We Are" (1992), a short story " Beggars" in Hotel Asia, a travel anthology by Bob Gerster (1995), Pauline Hanson 's Speech at the launch of One Nation Party (1997) and a media text of ABC TV Station from Woomera Detention Center (2003).
Before the 70's, particularly since the Gold Rush until the end of Australia White Policy, Anglo-Celtic discourses were filled with negative perceptions of Asia. Asia was not seen as many diverse countries but as one and as a generalized source of threat for Australia, for example: Asia as a threat for the purity of Anglo-Celtic tradition, Asia as a threat that could lower the high living standard of the Anglo-Celtic society, and even Asia as a threat that was ambitious to take over or invade Australia However, entering the year 70's the Anglo-Celtic society started to show different attitudes towards Asia. The large scale of Australia's post war migration and the establishment of multicultural policy in 1973 have changed the Australia mono cultural population into a multicultural one. As the result, the Anglo-Celtic discourses after the 70's no longer see Asia as a representation of a single entity. Apart from the representation of Asia as a threat or problem for Australia, the Anglo-Celtic discourses also represent Asia more positively--Asia as a safe and developed nation and even Asia as the Australian's partner in creating prosperity, particularly in the Asia-Pacific region. However, entering the year 2000, Asia is also represented as a source of terrorism.
The changing representation of Asia in Anglo-Celtic discourses above shows us that the representation of Asia is very political. Although the representation of Asia in Anglo-Celtic discourses since the 70's until the 2000's vary from negative to positive ones, but as a whole, it still holds on the old representation of Asia as "the Other" or the inferior" which on the other hand, will strengthen the representation of Australia as "the superior one".
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdil Mughis M.
"Tesis ini membahas mengenai perebutan klaim kebenaran dalam memandang semburan lumpur Lapindo yang berimplikasi terhadap bagaimana aktor-aktor mengkonstruksi tata lingkungan dan sosial akibat semburan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain pemahaman (etnografi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap aktor dalam kasus Lapindo mengkonstruksi pengetahuan dalam memaknai fenomena semburan. Dengan menginspirasi teori kekuasaan Foucault, negara merupakan aktor dominan yang berkepentingan agar seluruh penyelesaian kasus mengacu pada skema Perpres. Sementara pada ranah relasi kekuasaan, Lapindo dan aktivis merupakan aktor dominan yang berkepentingan membentuk korban sebagai governable subject. Tesis ini menganalisa kasus Lapindo tanpa berpretensi berpihak pada salah satu pandangan, yang dengan itu mungkin dapat menghadirkan pandangan dalam melihat persoalan secara lebih kritis.
The focus of the study is how some actors claiming the truth in looking at Lapindo mud which implicate how some actors construct environmental and social order. This research is qualitative understanding interpretive. This thesis explores how some actors construct knowledge to look at the mud flow phenomena. Inspired by Foucauldian theory of power, state is a dominant actor concern to impose the governmental rule through the case. In the light of power relation, Lapindo and activist are dominant actor concern to construct the victim as governable subject. By analyzing Lapindo case without any pretention in one of the scientist overview, this study provides critical understanding for this environmental and social problem."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T 25195
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Oxford: Oxford University Press, 2007
344.046 OXF
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>