Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cahya Dewi Satria
Abstrak :
Latar belakang: Lupus eritrematosus sistemik (LES) adalah penyakit yang kompleks dengan manifestasi yang bervariasi. Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin pleitropik yang mempunyai aktivitas biologis dengan rentang luas yang berperan penting pada regulasi imun dan inflamasi. Saat ini belum ada biomarker yang dapat membedakan kondisi remisi total dengan aktivitas penyakit ringan. Interleukin-6 diharapkan dapat digunakan sebagai parameter aktivitas penyakit terutama pada kasus-kasus dimana antara manifestasi klinis dan skor SLEDAI tidak sesuai yaitu pada pasien LES dengan aktivits ringan dan remisi total. Tujuan: Mengetahui karakteristik IL-6 pada LES anak dengan berbagai aktivitas ringan dan remisi total. Metode: Penelitian kasus kontrol dilakukan di poli rawat jalan Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta mulai Mei hingga Juni 2019. Pasien anak usia 1-18 tahun dengan diagnosis LES dinilai kadar IL-6 dan aktivitas penyakit yang dinilai dengan skor SLEDAI. Uji korelasi chi square dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel bebas dan luaran. Analisis data dilakukan dengan program SPSS for Window ver 20,0 Hasil: Dari 60 subjek penelitian yang terdiri dari 30 pasien LES aktivitas ringan dan 30 remisi total. tidak ada perbedaan kadar IL-6 tinggi pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol dengan p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628). Terdapat 2 subyek dengan kadar IL-6 tinggi menderita infeksi saluran kencing. Simpulan: Tidak ada perbedaan aktivitas penyakit pada pasien LES anak dengan aktivitas ringan dibanding remisi total. ......Background: Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a complex disease with various manifestations. Interleukin-6 (IL-6) is a pleiotropic cytokine with a wide range of biological activities that plays an important role in immune regulation and inflammation. Recently, there is no other biomarker that could differentiate total remission condition and mild disease activity in juvenile SLE. Interleukin-6 may be used as a parameter of disease activity, especially in the cases with different clinical manifestations and SLEDAI scores among SLE patients with mild activities and total remissions. Aim: To indentify the characterictics of serum IL-6 concentration in juvenile systemic lupus erythematosus with mild activities and total remissions. Methods: Case control study was performed at outpatient clinic of allergy-immunology, department of child health dr. Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta and dr. Sardjito hospital, Yogyakarta during May-June 2019. Serum IL-6 consentration and disease activity were assessed in all juvenile SLE patients aged 1-18 year. SLE disease activity was assessed with SLEDAI scores and serum level of IL-6 was measured by enzyme linked immunosorbent assay. Chi square correlation analysis was used to determine the correlation of serum IL-6 concentration with disease activity in juvenile SLE patients. Analyses of data were performed using the SPSS statistical software for windows version 20,0. Results: Among 60 subjects included in this study, 30 subjects with mild activities in the case group and 30 subjects with total remissions in the control group. There was no differences of serum IL-6 concentration between case and control group (p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628)). In this study, we found 2 subjects with urinary tract infection have high serum IL-6 concentration. Conclusion: There was no differences of serum IL-6 concentration between juvenile SLE patients with mild activities compared with total remissions.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsha Bianti
Abstrak :
Latar belakang: Penilaian keaktifan penyakit urtikaria kronik selama ini menggunakan kuesioner Urticaria Activity Score (UAS) yang telah divalidasi namun memiliki kekurangan bersifat subjektif. Berbagai biomarker telah dilaporkan berpotensi menilai keaktifan penyakit urtikaria kronik secara objektif untuk melengkapi penilaian menggunakan kuesioner UAS tetapi belum secara rutin dan seragam digunakan pada urtikaria kronik. C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu biomarker potensial yang secara luas tersedia dengan biaya yang tidak tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian di Indonesia yang menilai apakah CRP dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk menilai keaktifan penyakit urtikaria kronik. Tujuan: Menilai korelasi antara kadar CRP dengan keaktifan penyakit urtikaria kronik yang dinilai berdasarkan UAS7. Metode: Sebanyak 18 pasien urtikaria kronik berusia 18 – 59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan menjadi subjek penelitian. Dilakukan penilaian UAS7 dan pemeriksaan kadar CRP. Korelasi kadar CRP dan keaktifan penyakit yang dinilai dengan UAS7 dilakukan menggunakan uji Spearman. Hasil: Lebih dari 1/3 pasien dengan urtikaria kronik memiliki kadar CRP yang meningkat di atas normal dengan nilai median 2,5 (0,1 – 8,7) mg/L. Median skor UAS7 adalah 14 (5 – 32). Berdasarkan uji Spearman didapatkan nilai koefisien korelasi (r=0,529) dengan nilai p=0,024. Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara kadar CRP dengan keaktifan penyakit urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner UAS7. ......Background: Urticaria Activity Score is a questionnairres that has been use as a tool to assess disease activity. This tool is validated and of great value in the monitoring of patients with chronic urticaria, but has disadvantage of being subjective instrument. Several reports have suggested that blood parameter, such as CRP, may indicate disease activity and may be considered as potential biomarker for chronic urticaria however, it is not routinely used in daily practice in Indonesia. Therefore, research is needed to see whether CRP can be supporting examination of choice to assess disease activity. Objective: To assess the correlation between CRP levels and disease activity measured by UAS7. Method: Eighteen chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias are recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of CRP levels were performed. Correlation of CRP levels and diasease activity was done using Spearman analysis. Results: CRP levels was higher in more than 1/3 patients with chronic urticaria with median 2,5 (0,1 – 8,7) mg/L. The median of UAS7 is 14 (5 – 32. Based on Spearman analysis, the coefficient of correlation is 0,529 with p value = 0,024. Conclusion: CRP levels was significantly correlated with disease activity as measured by UAS7.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marlina Dewiastuti
Abstrak :
Latar Belakang/Tujuan: Pasien IBD berisiko terjadi defisiensi Zink. Sedangkan Zink memiliki peran dalam menstimulasi sistem imun, regenerasi sel, dan berperan sebagai koenzim yang berperan sebagai antioksidan. Pemberian suplementasi Zink diharapkan dapat menurunkan aktivitas penyakit dan meningkatkan aktivitsas antioksidan. Metode: Penelitian ini merupakan kajian sistematis dan meta-analisis. Pencarian literatur dilakukan sampai desember 2020 dengan mencari pada tiga database yaitu Cochrane central, Pubmed, dan Embase. Berdasarkan kriterian eligibilats didapatkan 9 artikel yang menilai efek Zink terhadap aktivitas penyakit IBD. Aktivitas penyakit dinilai berdasarkan skor CDAI dan skor Mayo, serta aktivitas enzim SOD. Hasil: Sebanyak 9 studi didapat dari pencarian, dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif. Meta-analisis dilakukan dengan membagi menjadi 3 subgrup, yaitu Zink terhadap aktivitas penyakit IBD, Zink terhadap aktivitas enzim SOD, serta aktivitas penyakit sebelum dan sesudah pemberian. Empat studi menilai efek Zink terhadap aktivitas penyakit menunjukkan tidak terdapat penutunan aktivitas penyakit IBD, dua studi menilai efek Zink terhadap aktivitas SOD menunjukkan tidak terdapat peningkatan aktivitas SOD, dua studi menilai efek Zink terhadap ekspresi metalotinonin datu studi menunjukkan peningkatan dan satu studi tidak menunjukkan peningkatan. Tiga studi pre dan post dari dua studi menunjukkan tidak terdapat penurunan aktivitas penyakit dan 1 studi menunjukkan penurunan aktivitas jika diberikan jangka panjang. Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan aktivitas penyakit, aktivitas SOD, aktivitas metalotionin dengan suplementasi Zink jangka pendek, suplementasi jangka panjang dapat menurunkan aktivitas penyakit IBD ......Background/Aim: IBD patients are at risk of Zinc deficiency. Zinc has a role in stimulating the immune system, cell regeneration, and as a coenzyme acts as an antioxidant. Zinc supplementation will decrease disease activity and increase antioxidant activity. Method: This research is a systematic review and meta-analysis. Literature searches are conducted until December 2020, we searched in three databases Cochrane central, Pubmed, and Embase. Based on eligibility criteria, there are 9 articles evaluate effect of Zinc on disease activity of IBD. Disease activity is assessed based on CDAI score and Mayo score, as well as SOD enzyme activity. Result: We identified 9 studies, Of all the potentially relevant papers, 9 studies were identified. All of the studies were assessed for risk of bias along with qualitative analysis. Pre-specified outcomes were Zinc and disease activity, Zinc and SOD activity, metallothionine expression as well as disease activity before and after administration. Four studies evaluated effect of Zinc on disease activity showed no improvement in IBD disease activity, two studies evaluated effect of Zinc on SOD activity showed no increase in SOD activity, two studies evaluated effect of Zinc on metalotinonin expression, one study showed increase of expression and the other had no increase. There are 3 pre and post studies from two studies showed no decrease in disease activity and 1 study showed a decrease in activity if supplemented for long term. Conclusion: The results of the systematic review revealed there were no difference in disease activity, SOD and methalotionen activity with short term Zinc supplementation, long term supplementation decrease disease activity of IBD
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Vidyaniati
Abstrak :
Background Rheumatoid arthritis is the most prevalent from of inflammatory arthritis. One of the key components for its multidimensional outcome is the disease activity, measured by DAS28 ESR. The phsycal, emotional, and social aspect of RA contribute to the quality of life, and SF 36 questionaire can be used to measure it. This study aims to ascertain the correlation between the disease activity (DAS28 ESR) and the quality of life (SF 36) in RA pantients.
Jakarta: University of Indonesia School of Medicine, 2018
616 IJR 10:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Ariska
Abstrak :
Latar Belakang: Aktivitas penyakit Artritis Reumatoid (AR) merupakan ekspresi dari kaskade inflamasi. Inflamasi jaringan sinovium yang disertai pembentukan pannus memerlukan asupan nutrisi dan oksigen melalui angiogenesis. Peningkatan penanda angiogenik menunjukkan inflamasi sendi yang progresif dan peningkatan aktivitas penyakit. Salah satu faktor pertumbuhan yang memiliki peran pada angiogenesis adalah nerve growth factor (NGF). Beberapa penelitian terdahulu mendapatkan kadar NGF yang meningkat baik pada serum maupun pada cairan sinovium pasien AR. Nerve growth factor (NGF) dapat menginduksi faktor-faktor pro-angiogenik dan faktor pertumbuhan lain yang berperan pada AR. Saat ini belum ada penelitian yang menghubungkan kadar serum NGF terhadap aktivitas penyakit AR. Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar NGF dengan aktivitas penyakit (yang dinilai dengan DAS28 LED dan DAS28 CRP) pada pasien AR di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian potong lintang yang mengevaluasi kadar NGF menggunakan two site immunoenzymatic assay (ELISA) pada 50 pasien (47 orang perempuan dan 3 orang laki-laki) AR di poliklinik Reumatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Oktober sampai Desember 2015. Aktivitas penyakit AR pada penelitian ini dinilai menggunakan skor DAS28 LED dan DAS28 CRP melalui kalkulator yang diakses dari internet pada http://www.das-score.nl/. Analisis statistik bivariat digunakan untuk mendapatkan korelasi antara NGF dengan aktivitas penyakit AR. Hasil: Rerata usia subjek penelitian ini adalah 43,44 tahun. Median kadar serum NGF adalah 4,33 pg/mL (2,35-20,83). Hasil analisis memperlihatkan korelasi antara kadar serum NGF dengan skor DAS28 LED (r = +0,427; p = 0,002) dan DAS28 CRP (r =+0.407; p = 0,003). Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sedang antara kadar serum NGF dengan aktivitas penyakit AR. ...... Background: Disease activity of Rheumatoid Arthritis (RA) is an expression of the inflammatory cascade. Disease activity of a given joint is correlated with the synovial vascularization. Synovial tissue inflammation accompanied by pannus formation requires intake of nutrients and oxygen through angiogenesis. Angiogenesis plays an integral part of the development of the pannus formation. Increased angiogenic markers shows a progressive increase of joint inflammation and disease activity. One of the contributing factors to angiogenesis is the nerve growth factor (NGF). Several previous studies show increased NGF concentrations in both the serum and synovial fluid of RA. Nerve growth factor can induce pro-angiogenic factors and other growth factors contribute in RA. Currently, there has not been any studies yet that correlates the NGF serum concentration with RA disease activity. Objective: To determine the correlation between the serum concentration of NGF and disease activity of RA patients at Cipto Mangunkusumo General Hospital (using DAS28 ESR and DAS28 CRP score). Methods: A cross-sectional study was used. Recruited were 50 RA patients (47 women and 3 men) of outpatient clinic of Rheumatology at Cipto Mangunkusumo General Hospital from October to December 2015. Concentrations of NGF were evaluated with a two site immunoenzymatic assay (ELISA). Disease activity in this study was assessed using DAS28 ESR and DAS28 CRP score using a calculator accessible from the internet on http://www.das-score.nl/. The correlation between NGF with disease activity was analyzed by bivariate analysis. Results: The mean age of the study subjects was 43.44 years. Median serum NGF was 4.33 pg / mL (2.35 to 20.83). The results shows correlation between serum NGF with DAS28 ESR (r = +0.427; p = 0.002) and DAS28 CRP (r = + 0407; p = 0.003). Conclusion: Significant positive correlation between serum concentration of NGF with diesease activity in patient with AR was found.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Pasha
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Skor Clinical Disease Activity Index CDAI , sebagai salah satu metode pengukur derajat aktivitas artritis reumatoid AR , dipandang memiliki kelebihan dibandingkan metode skor lain karena tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium penunjang. Studi-studi yang dilakukan pada pasien AR di luar Indonesia mengungkap bahwa korelasi, validitas dan reliabilitas CDAI dinilai baik saat diuji dengan pembanding skor lain. Namun demikian studi-studi tersebut hanya mengikutsertakan subjek pasien AR murni tanpa komorbiditas. Pasien AR di Indonesia memiliki karakteristik klinis yang berbeda, terutama dalam aspek adanya kondisi komorbiditas, perbedaan predisposisi genetik dan perbedaan fenotipe penyakit. Tujuan: Menilai validasi skor CDAI pada profil pasien AR di Indonesia. Metode: studi potong lintang pada subjek pasien AR yang berobat di poliklinik Reumatologi RS Cipto Mangunkusumo bulan April s.d. Mei 2016. Setiap subjek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pencatatan hasil pemeriksaan penunjang dan pencatatan data komorbiditas yang tertera di rekam medis. Dua pengukur melakukan penghitungan skor CDAI dan skor Disease Activity Score 28 DAS28-CRP sebagai baku emas pembanding pada tiap subjek. Luaran berupa data numerik. Penilaian model validasi data numerik dilakukan dengan analisis performa model prediktor menggunakan indeks R 2 . Hasil: Terdapat 119 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Seluruh subjek memiliki kondisi komorbiditas selain AR. Indeks R 2 =0,831 83,1 ;
ABSTRACT
Background Clinical Disease Activity Index CDAI stands out amongst other methods in measuring disease activity of rheumatoid arthritis RA patient. CDAI is considered to be more practical and cost effective in daily practice because it requires no laboratory examination. Previous studies conducted overseas revealed that CDAI has good correlation, validity, and reliability compared with other scoring methods. However, those studies included only pure RA subjects. Indonesian RA patients have distinct clinical profiles, in terms of comorbidity diseases, genetic predisposition, and fenotype of the disease. Objectives To analyze validation of CDAI in distinct clinical profiles of RA patients in Indonesia. Methods A cross sectional study in RA outpatients, who were visiting Rheumatology Clinic in RSCM on monthly basis from April to May 2016. Assesement of each patient include history taking and physical examination. All recent laboratory results and other data in medical record were documented in reseacher form. CDAI and Disease Activity Score 28 CRP DAS28 CRP , as gold standard, were measured by two observers. Outcomes were in numeric. Validation measurement were done in terms of validating a model prediction and quantifying how good the predictions from the model are. Overall perforomance were measured with R 2 index. Result A total of 119 subjects met the inclusion criteria. All subjects were RA patients with comorbidities and were representing quite numbers of Indonesian races characteristic profile. R 2 0,831 83,1 p
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Faradiesa Addiena
Abstrak :
Latar belakang: Limfopenia merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi pada pasien dengan LES serta mempunyai arti patologis yang bermakna. Patogenesis limfopenia saat ini masih belum jelas, namun beberapa penyebab yang diketahui adalah terdapatnya antibodi antilimfosit, penurunan CD 55 dan 59 dan apoptosis yang tidak terkontrol. Beberapa penelitian menunjukkan limfopenia berhubungan dengan aktivitas penyakit. Hal lain yang menjadi perhatian adalah pemberian terapi imunosupresan pada pasien LES dalam keadaan limfopenia dapat memperburuk limfopenia. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara limfosit total dan aktivitas penyakit serta terapi imunosupresan pada pasien LES. Metode: Studi kohort retrospektif dengan penelusuran rekam medis pasien LES yang berobat ke RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari 2020 – Desember 2020. Analisa bivariat menggunakan chi square dan fisher exact dilakukan untuk mengetahui hubungan limfopenia dengan aktivitas penyakit, serta analisa bivariat mann whitney dan wilcoxon digunakan untuk perbedaan rerata hitung limfosit dan terapi imunosupresan serta hubungan antara terapi imunosupresan terhadap limfosit total. Hasil: Sebanyak 214 subjek memenuhi kriteri inklusi. Didapatkan hubungan bermakna antara limfopenia terhadap Mex SLEDAI pada subjek LES dalam keadaan remisi di bulan ke-3 (RR: 0,490; 95% IK: 0,320-0,751; p = 0,001) dan bulan ke-6 (RR: 0,490; 95% IK: 0,322-0,769; p = 0,001). Pada subjek LES dalam keadaan aktif terdapat hubungan bermakna antara limfopenia terhadap Mex SLEDAI pada bulan ke-3 (RR: 2,46; 95% IK: 1,71-5,188; p = 0,009). Tidak didapatkan perbedaan median limfosit total pada pasien LES dalam terapi MMF dan tanpa terapi MMF baik pada bulan ke-0 (p = 0,822), bulan ke-3 (p = 0,916), dan bulan ke-6 (p = 0,560). Tidak didapatkan juga hubungan dari limfosit total pada pasien dalam terapi MMF selama 6 bulan (p = 0,084). Didapatkan perbedaan median limfosit total pada pasien LES dalam terapi AZA dibandingkan pasien LES tanpa terapi AZA di bulan ke-0 (p = 0,044) dan bulan ke-3 (p = 0,007). Terdapat penurunan limfosit total pada bulan ke-3 pada pasien LES dalam terapi AZA namun tidak signifikan (p = 0,844). Tidak didapatkan perbedaan median limfosit total pada subjek pasien LES dalam terapi MTX baik pada bulan ke-0, bulan ke-3 dan bulan ke-6 (p = 0,510), (p=0,977), (p=0,714). Tidak didapatkan hubungan bermakna antara terapi MTX terhadap limfosit total (p = 0,721). Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara limfopenia terhadap aktivitas penyakit pasien LES yang dihitung dengan Mex SLEDAI. Tidak terdapat hubungan bermakna antara terapi imunosupresan selama 6 bulan terhadap limfosit total pasien LES. ......Background: Lymphopenia is a clinical manifestations that frequently develops in SLE patients and has important pathological implications. Although the pathogenesis of lymphopenia is still unknown, antilymphocyte antibodies, diminished CD 55 and 59, and uncontrolled apoptosis are a few of the factors that can develop inside it. Numerous investigations have demonstrated a connection between lymphopenia and disease activity. Another issue is that administering immunosuppressant therapy to SLE patients who are already lymphopenic can make their condition worsen. Objective: To investigate the association between total lymphocytes, disease activity, and immunosuppressive treatment in SLE patients. Methods: Retrospective cohort study by tracing the medical records of SLE patients who visited Cipto Mangunkusumo General Hospital between January 2020 and December 2020. The relationship between lymphopenia and disease activity was investigated using bivariate analysis using chi square and fisher exact, and the relationship between immunosuppressant therapy and total lymphocytes and differences in mean lymphocyte count and immunosuppressant therapy were investigated using bivariate analysis using mann-Whitney and Wilcoxon. Results: 214 subjects fulfilled the criteria for inclusion. Lymphopenia and Mex SLEDAI were shown to be significantly associated in SLE patients in remission at months 3 (RR: 0.490; 95% CI: 0.320-0.751; p = 0.001) and 6 (RR: 0.490; 95% CI: 0.322-0.769; p = 0.001). Lymphopenia and Mex SLEDAI were significantly associated at month 3 in patients with active SLE (RR: 2.46; 95% CI: 1.71-5.188; p = 0.009). At month 0 (p = 0.822), month 3 (p = 0.916), and month 6 (p = 0.560), there was no difference in the median total lymphocyte count between SLE patients receiving MMF therapy and those receiving no MMF medication. In addition, there was no association between total lymphocytes and MMF therapy in individuals treated for 6 months (p = 0.084). At month 0 (p = 0.044) and month 3 (p = 0.007), SLE patients receiving AZA therapy had median differences in total lymphocytes compared to SLE patients not receiving AZA therapy. Patients with SLE receiving AZA medication had a decrease in total lymphocytes in the third month, but it was not statistically significant (p = 0.844). At months 0, 3, and 6, there was no difference in the median total lymphocyte count among SLE patients receiving MTX therapy (p = 0.510), (p = 0.977), and (p = 0.714). Total lymphocytes and MTX treatment had no statistically significant relation (p = 0.721). Conclusion: The lymphopenia and disease activity of SLE patients as determined by the Mex SLEDAI are related. Immunosuppressant therapy administered for six months had no significant impact on the total lymphocyte count in SLE patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Myra Puspitasari
Abstrak :
Latar Belakang. Artritis Reumatoid AR merupakan penyakit kronik, sistemik. Depresi sering menyertai pasien AR sebanyak 20-30 . Derajat aktivitas penyakit AR dapat mempengaruhi terjadinya depresi. Tujuan. Mengetahui prevalensi depresi pada pasien AR dan mengetahui hubungan antara derajat aktivitas penyakit dengan depresi pada pasien AR. Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan dengan memeriksa pasien AR di poliklinik rematologi RSCM yang memenuhi kriteria inklusi dengan consecutive sampling selama periode Januari sampai Maret 2017. Pasien dinilai derajat aktivitas penyakitnya dengan menggunakan DAS 28 dan diminta untuk mengisi kuesioner BDI. Analasis statistik dilakukan dengan menggunakan metode chi-square. Hasil Penelitian. Pada studi ini, didapatkan hasil bahwa prevalensi depresi pada pasien AR di RSCM adalah 35,9 dengan interval kepercayaan 95 sebesar 30 ndash; 42 . Derajat aktivitas penyakit memiliki hubungan yang bermakna dengan depresi pada pasien AR. p = 0,001. Kesimpulan. Prevalensi kejadian depresi pada pasien AR di RSCM pada adalah sebesar 35,9 . Derajat aktivitas penyakit memiliki hubungan yang bermakna dengan depresi pada pasien AR. ...... Background. Rheumatoid Arthritis RA is a chronic, systemic disease that cause synovial inflammation and progressive destruction to cartilages and deformities. Prevalence of depression in RA patients is 20 to 30 . Disease activity is considered to have relation with depression. Objective. To identify the prevalence of depression in RA patients and to identify association between disease activity index and depression in RA patients. Method. A cross sectional study of 145 RA patients that fulfilled the inclusion and exclusion criteria was held in Rheumatology Outpatient Clinic at RSCM from January to March 2017. Evaluation of DAS 28 and BDI was done to the patients. Chi square method was used to analyse the statistic. Results. The prevalence of depression in RA patients at RSCM is 35,9 with 95 confidence of interval 30 42 . There is significant relation between disease activity with depression in rheumatoid arthritis patient p 0,001. Conclusion. The prevalence of depression in RA patients at RSCM is 35,9 . There is significant relation between disease activity with depression in RA patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oriana Zahira Putri
Abstrak :
Latar Belakang: Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik yang dapat melibatkan berbagai organ dan sistem tubuh. Pasien dengan LES tidak bisa disembuhkan, melainkan dikontrol dengan pendekatan terapi treat-to-target bertujuan mencapai low lupus disease activity state (LLDAS) atau remisi. Pemantauan dilakukan secara berkala setiap 3-6 bulan sekali untuk menghindari kerusakan organ lebih lanjut. Metode: Penelitian analitik observasional dengan desain kohort retrospektif menggunakan data dari rekam medis pasien LES di RSCM. Didapatkan total 66 pasien yang telah berobat selama 6 bulan pada Mei 2021—Juni 2022. Respons yang dilihat yaitu status aktivitas penyakit berdasarkan skor SLEDAI-2K pada bulan pertama dan keenam serta luaran penyakit, meliputi remisi, perbaikan, persisten aktif, dan perburukan. Hasil: Sebagian besar pasien LES adalah perempuan (95,5%), rerata usia 31,23 tahun, dan keterlibatan organ terbanyak muskuloskeletal (93,9%). Hidroksiklorokuin dan metilprednisolon merupakan terapi yang paling banyak didapatkan pasien. Setelah 6 bulan terapi, status aktivitas penyakit pasien membaik dengan luaran penyakit perbaikan (33,3%) dan remisi (10,6%). Kesimpulan: Setelah menjalani pengobatan selama 6 bulan, status aktivitas penyakit pasien membaik dari kategori aktivitas penyakit sedang (37,9%) menjadi ringan (48,5%). Terdapat perbedaan yang bermakna signifikan secara statistik dan klinis antara skor SLEDAI-2K bulan pertama dengan bulan keenam (p = 0,000). ......Introduction: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a systemic autoimmune disease that involve various organs and body systems. Patients with SLE cannot be cured, but rather controlled with a treat-to-target therapy approach aimed at achieving low lupus disease activity state (LLDAS) or remission. Monitoring is carried out regularly every 3- 6 months to avoid further organ damage. Method: Observational analytical study with retrospective cohort design using database from medical records of SLE patients at RSCM. There were a total of 66 patients who had received treatment for 6 months in May 2021—June 2022. The interests were disease activity based on the SLEDAI-2K score in the first and sixth months as well as disease outcomes, such as remission, improvement, persistently active, and flare. Results: Most SLE patients were women (95.5%), the average age was 31.23 years, and the most organ involvement was musculoskeletal (93.9%). Hydroxychloroquine and methylprednisolone are the most common therapy received by patients. After 6 months of therapy, the overall patient's disease activity status improved with an outcome of improvement (33.3%) and remission (10.6%). Conclusion: After undergoing treatment for 6 months, the patient's disease activity status improved from moderate (37.9%) to mild (48.5%) disease activity category. There was a statistically and clinically significant difference between the SLEDAI-2K score for the first month and the sixth month (p = 0.000).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwitya Elvira
Abstrak :
Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun dengan penyebab multifaktorial. Ketidakseimbangan sitokin Th17 (Interleukin-17; IL- 17) dan T-regulator (Transforming Growth Factor-; TGF- and Interleukin-10; IL-10) diduga terlibat dalam patogenesis LES yang mempengaruhi aktivitas penyakit. Tujuan: Penelitian dilakukan untuk menguji perbedaan rerata IL-17, TGF- dan IL-10 dengan aktivitas penyakit LES dan menguji korelasi sitokin Th17/T-regulator. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang melibatkan 68 pasien LES berdasarkan kriteria inklusi MEX-SLEDAI <2 untuk LES inaktif dan >=2 untuk LES aktif. Kriteria eksklusi adalah pasien LES dengan riwayat autoimun lain, inflamasi kronik; infeksi akut secara klinis; serta asma bronkial, dermatitis atopi dan urtikaria didasarkan pada catatan rekam medis. Serum IL-17, TGF-, IL-10 diperiksa dengan metode ELISA. Data dianalisis dengan perangkat lunak SPSS 20 menggunakan uji-T independen untuk data berdistribusi normal dan uji Mann-Whitney untuk data tidak normal. Hasil: Rerata IL-17 serum adalah 19,67 (1,299) pg/ml. Median TGF- dan IL-10 adalah 175,02 (132-396) pg/ml dan 2,96 (0-11) pg/ml. Tidak terdapat perbedaan rerata yang signifikan dari kadar IL-17, TGF- dan IL-10 serum pasien LES aktif dan tidak aktif. Didapatkan korelasi positif sedang yang signifikan antara IL-17 dan IL-10 (p<0,005; r=0,529) dan korelasi yang tidak signifikan antara IL-17 dan TGF- (p>0,005; r=- 0,142). Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan rerata yang signifikan sitokin Th17/Treg pasien LES aktif dan inaktif. Terdapat korelasi positif signifikan sedang antara IL-17 dan IL- 10, sementara tidak terdapat korelasi signifikan antara IL-17 dan TGF-. Penelitian lanjutan dengan disain kohort prospektif diperlukan untuk mengkonfirmasi peran sitokin jalur Th17/Treg ini pada pasien LES aktif dan inaktif. ......
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library