Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
Muhammad Atqa Fautar
"Dewasa ini, sering dijumpai permasalahan pendaftaran merek. Salah satunya terkait ketidaksesuaian penerimaan merek yang bertentangan dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Terutama pada Pasal 20 huruf (b) dan (f) dimana dalam penjelasan undang-undang tersebut juga tidak dijelaskan secara spesifik terkait kriteria merek yang “sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang jasa yang dimohonkan pendaftaran” dengan merek yang “merupakan nama umum dan/atau lambang umum”. Sebagai contoh akibat ketidakjelasan pasal tersebut yakni pada kasus merek “Open Mic Indonesia”. Dalam penulisan hukum ini penulis melakukan penelitian menggunakan metode yuridis normatif yang didukung dengan wawancara narasumber. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis menyimpulkan bahwa Pasal 20 huruf (b) penggunaan kata yang digunakan pada merek memiliki hubungan langsung terhadap produk sebagai deskripsi, sedangkan Pasal 20 huruf (f) penggunaan kata yang terlah digunakan sebagai bahasa sehari-hari atau dimiliki umum. Merek “Open Mic Indonesia” berdasarkan doktrin spectrum of distinctiveness memiliki kekuatan pembeda yang rendah karena frasa “open mic” merupakan generic term. Dimana hakim pada putusan No:85/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/PN.Niaga.Jkt.Pus berpendapat bahwa “open mic” merupakan istilah umum dan hakim memutus untuk membatalkan merek tersebut karena dinilai bertentangan dengan kepentingan umum dan adanya iktikad buruk.
Nowadays, there are often problems with trademark registration. One of them is related to the incompatibility of trademark acceptance which is contrary to Article 20 of Law Number 20 Year 2016 on Trademarks and Geographical Indications. Especially in Article 20 letters (b) and (f) where the explanation of the law is also not specifically explained related to the criteria of the trademark that is "the same as, related to, or only mentions the goods and services applied for registration" with a trademark that "is a common name and / or public symbol". As an example due to the vagueness of the article is the case of the "Open Mic Indonesia" trademark. In this legal writing, the author conducts research using normative juridical methods supported by interviews with sources. Based on the research conducted, the author concludes that Article 20 letter (b) the use of words used in the trademark has a direct relationship to the product as a description, while Article 20 letter (f) the use of words that have been used as everyday language or commonly owned. Trademark "Open Mic Indonesia" based on the doctrine of spectrum of distinctiveness has a low distinguishing power because the phrase "open mic" is a generic term. Where the judge in Decision No: 85/Pdt.Sus-HKI/Merek/2022/PN.Niaga.Jkt.Pus argued that "open mic" is a generic term and the judge decided to cancel the trademark because it was considered contrary to the public interest and bad faith."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Azzahra Saffanisa Sudiardiputri
"Slogan merupakan kalimat yang terdiri dari susunan kata yang menarik dan biasa digunakan untuk mempromosikan suatu merek. Slogan pada dasarnya dapat dilindungi sebagai merek. Pengertian merek slogan belum diatur secara spesifik dalam hukum merek Indonesia, tetapi berdasarkan definisi merek yang ada dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Merek slogan dapat dikategorikan sebagai jenis merek yang termasuk dalam lingkup merek kata. Penelitian ini membahas terkait perlindungan slogan sebagai merek di Indonesia, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji terkait perlindungan merek slogan serta threshold daya pembeda dalam merek slogan di Indonesia, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan metode analisis kualitatif. Merujuk pada hal tersebut, penulis akan mengaitkan antara pokok permasalahan dengan peraturan serta doktrin terkait. Kemudian, metode komparatif dengan pembahasan perbandingan antara negara Amerika Serikat dan Uni Eropa yang telah mengeluarkan mengatur mengenai merek slogan secara rinci. Penulisan ini akan memuat analisis terkait pengaturan terkait merek slogan yang dapat diaplikasikan di Indonesia. Dengan ini harapannya bagi hukum merek Indonesia untuk mengeluarkan peraturan terkait merek slogan dengan mempertimbangkan efektivitas dan evaluasi dari beberapa negara dan analisa yuridis yang telah dipaparkan.
Slogan is a sentence consisting of interesting wording and is commonly used to promote a brand. Essentially, slogans can be protected as trademarks. The definition of a slogan mark has not been specifically regulated in Indonesian trademark law, but based on the definition of a mark in Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications, a slogan mark can be categorized as one sort of trademark that falls within the realm of word mark. This study investigated the trademark protection of slogans in Indonesia, the United States, and the European Union. The aim of this study is to investigate the protection of slogan marks and the distinctiveness threshold of slogan mark in Indonesia, the United States, and Europe. This research is normatively legal and employs qualitative analytical techniques. In reference to this, the author will connect the topic to relevant rules and doctrines. Then, the comparative technique with a comparative discussion between the United States and the European Union enacted slogan mark laws in detail. This paper will analyze legislation governing slogan mark that can be used in Indonesia. Consequently, it is desired that the Indonesian trademark law issue restrictions relating to slogan mark, taking into account the effectiveness and evaluation of many countries and the offered legal analysis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Manurung, Juwita
"Merek yang berasal dari nama orang sering digunakan dalam dunia usaha karena dapat menimbulkan kesan yang lebih personal bagi konsumen. Namun merek tersebut dapat memiliki banyak kesamaan dengan merek-merek lainnya karena sifat nama yang umum dan sangat mungkin dimiliki oleh lebih dari satu orang. Pihak lain yang kebetulan memiliki nama yang sama dapat memiliki kepentingan untuk mengklaim dirinya terkait dengan suatu usaha. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan nama orang terkenal dalam pendaftaran merek di Indonesia. Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan teknik pengumpulan bahan hukum berupa studi Pustaka dan wawancara. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa definisi dan kriteria untuk dapat dikatakan sebagai orang terkenal belum diatur secara eksplisit dalam Perundang-undangan di Indonesia. Dalam proses pemeriksaan permohonan pendaftaran merek, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual menggunakan kriteria sendiri untuk dapat menentukan terkenal atau tidaknya seseorang. Hal ini dapat menimbulkan kekeliruan untuk kedepannya. Maka dari itu, perlu diadakan ketentuan yang mengatur mengenai cakupan untuk dapat dikatakan sebagai orang terkenal.
A brand name that is derived from a persons name is often used in the business world as it gives the consumer a more intimate impression. However, that brand name may have a lot in common with other brand names as those names are common and they are most likely owned by more than one person. Other parties who happen to share the same name may have an interest in claiming that they themselves are related to said business. Because of that, this study aims to analyze the use of famous people’s names in trademark registration in Indonesia. In this study, the author will use a normative juridical research method with legal material collection techniques in the form of library studies and interviews. The result of this study will show that the definition and criteria to be a famous person has not been explicitly regulated in the Indonesian legislation. In the process of examining the applications for the trademark registration, the Directorate General of Intellectual Property will use their own criteria to define whether a person is famous or not. This matter may cause misunderstandings in the future. Therefore, it is necessary to have provisions that will regulate the scope of being a famous person."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Prasetya Aryaputra Mar'at
"Dalam mempelajari anteseden dari mekanisme relasional yaitu kepercayaan antara dua pihak sebagai pendorong kinerja aliansi, peneliti menemukan bahwa identitas relasional dan identifikasi relasional memiliki peran penting dalam orientasi sikap aliansi terhadap tingkat rasa saling percaya mereka, dan peneliti lain telah meneliti pentingnya identitas organisasi dalam proses mengidentifikasi dan diidentifikasi oleh organisasi lain. Sementara penelitian sebelumnya menekankan perlunya fokus pada kesamaan identitas organisasi untuk mengembangkan rasa saling percaya, sedikit yang diketahui tentang dampak perbedaan identitas organisasi terhadap munculnya rasa saling percaya untuk aliansi strategis. Saya menggabungkan kedua topik tersebut untuk menilai pengaruh kekhasan organisasi dalam mengembangkan rasa saling percaya, melalui proses identitas relasional dan identifikasi antara mitra dalam aliansi strategis. Dalam tinjauan pustaka ini, saya menganalisis 29 artikel dari tahun 1984-2019 mengenai topik kekhasan organisasi, identitas dan identifikasi relasional, serta rasa saling percaya. Temuan menunjukkan bahwa kekhasan organisasi dapat memainkan peran positif dalam menciptakan rasa saling percaya dalam aliansi strategis, melalui efek mediasi identitas dan identifikasi relasional.
In studying the antecedents of relational mechanism, namely, mutual trust, as the driver of alliance’s performance, researchers have found that relational identity and relational identification have a critical role in the orientation of alliance’s attitude towards their level of mutual trust, and other researchers have examined the importance of organizational identity in the process of identifying and being identified by other organizations. While previous studies emphasize the need to focus on the similarity of organizational identity to develop mutual trust, less is known about the impact of differences in organizational identity towards the emergence of mutual trust for strategic alliances. I incorporate those two topics to assess the effect of organizational distinctiveness in developing mutual trust, through the process of relational identity and identification between partners in a strategic alliance. In this literature review, I analysed 29 peer reviewed articles from the year 1984-2019 concerning the topic of organizational distinctiveness, relational identity and identification, and mutual trust. The findings suggest that organizational distinctiveness can play a positive role in creating mutual trust in a strategic alliance, through the mediated effect of relational identity and identification."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Luqman Abdurrahman
"Tindakan dilusi merupakan bentuk pengeksploitasian merek terkenal yang bertujuan untuk menafaatkan reputasi yang dimilikinya. Tindakan dilusi tidak secara langsung menimbulkan persaingan diantara para pihak, karena tindakan ini dilakukan dengan cara mendaftarkan merek yang sama pada kelas yang berbeda. Akibatnya tindakan dilusi seringkali mengecoh penegak hukum dan terlambat disadari oleh pihak yang dirugikan hingga berlangsug dalam waktu yang lama, terlebih lagi jika tindakan tersebut dilakukan melalui pendaftaran terlebih dahulu oleh pelaku. Dalam hal ini daya pembeda memainkan peranan yang penting, karena berdasarkan unsur ini dapat terlihat apakah penggunaan suatu tanda oleh pihak lain dapat menimbulkan likelihood association hingga kemudian dapat dikatakan sebagai suatu tindakan dilusi. Dalam skripsi ini, penulis akan menganalisis mengenai penyebab tindakan dilusi melalui pendaftaran terlebih dahulu dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang lama. Selain itu penulis juga akan menganalisis mengenai bagaimanakah penggunaan doktrin daya pembeda dalam membuktikan terjadinya suatu tindakan dilusi pada penggunaan suatu tanda dalam merek oleh pihak lain. Adapun penelitian terhadap kedua hal tersebut akan penulis lakukan dengan cara menganalisis kasus nyata yang terjadi di Indonesia, yaitu kasus sengketa merek “starbucks” berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 836 K/Pdt.Sus-HKI/2022. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dan bersifat deskriptif kualitatif, dimana penelitian ini akan disusun dari pengkajian bahan pustaka atau data sekunder, melalui penelusuran peraturan-peraturan dan literatur yang berkaitan dengan materi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan dilusi dapat terjadi dan berlangsung begitu lama karena perlindungan merek terkenal atas tindakan tersebut masih sangat terbatas di Indonesia. Meskipun perlindungan merek terus berkembang seiring dengan diperbaruinya hukum merek, akan tetapi perlindungan merek terkenal terhadap tindakan yang demikian masih terbatas dan hanya bertumpu pada gugatan pembatalan merek dengan dasar adanya iktikad tidak. Adapun berdasarkan kasus yang penulis angkat, tindakan tergugat terbukti merupakan suatu tindakan dilusi karena penggunaan tanda yang inherently distinctive oleh tergugat jelas menimbulkan suatu likelihood association dan dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan pengeksploitasian reputasi dan popularitas dari merek terkenal milik penggugat. Berdasarkan hal ini, penting bagi penegak hokum untuk berhati-hati dalam menangani kasus yang demikian serta perlu adanya peningkatan dalam ketentuan perlindungan mengenai tindakan dilusi.
The act of dilution is a form of exploitation of a well-known trademark that aims to utilize its reputation. The act of dilution does not directly cause competition between the parties, because this action is done by registering the same mark in a different class. As a result, the act of dilution often outwits law enforcement and is realized too late by the injured party until it continues for a long time, especially if the action is carried out through prior registration by the perpetrator. In this case, distinguishing power plays an important role, because based on this element it can be seen whether the use of a mark by another party can cause a likelihood association so that it can then be said to be an act of dilution. In this thesis, the author will analyze the causes of dilution through prior registration that can occur and last for a long time. In addition, the author will also analyze how the use of the doctrine of distinguishing power in proving the occurrence of an act of dilution on the use of a mark in the trademark by another party. The research on these two things will be done by analyzing real cases that occur in Indonesia, namely the case of trademark disputes "starbucks" based on Supreme Court Decision Number 836 K/Pdt.Sus-HKI/2022. The method used in this research is juridical-normative and descriptive qualitative, where this research will be compiled from the study of library materials or secondary data, through the search for regulations and literature related to the material. The results of this study indicate that the act of dilution can occur and last so long because the protection of famous marks for such acts is still very limited in Indonesia. Although trademark protection continues to evolve along with the updating of trademark law, the protection of well-known trademarks against such actions is still limited and only relies on trademark cancellation lawsuits on the basis of the existence of bad faith. Based on the case raised by the author, the defendant's actions were proven to be an act of dilution because the use of inherently distinctive marks by the defendant clearly creates a likelihood association and can be categorized as an act of exploitation of the reputation and popularity of the defendant's well-known trademark. Based on this, it is important for law enforcers to be careful in handling such cases and there is a need to improve the protection provisions regarding dilution actions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Cantya Prakasita
"Merek adalah tanda yang dapat digunakan untuk memberikan informasi mengenai asal usul komersial dari barang atau jasa tertentu. Selain itu, merek juga digunakan untuk membedakan barang atau jasa dari suatu usaha dengan barang atau jasa milik usaha lainnya. Berkembangnya teknik-teknik baru dalam bidang pemasaran serta pengembangan teknologi baru, yang mana disebabkan oleh pengaruh globalisasi menyebabkan mulai digunakannya jenis-jenis merek baru yang tidak terbatas pada huruf, simbol, atau desain, yang kemudian disebut sebagai ‘merek non-tradisional’. Salah satu merek non-tradisional tersebut adalah multimedia mark, yaitu suatu jenis merek yang umumnya terdiri dari kombinasi antara gambar dan suara. Skripsi ini menganalisis mengenai permasalahan hukum yang timbul dalam perlindungan multimedia mark dengan pula menganalisis pengaturannya pada beberapa negara, yaitu Uni Eropa, Britania Raya, dan Benelux. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yang berfokus pada studi kepustakaan hukum. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa multimedia mark mulai dapat didaftarkan sebagai merek di Uni Eropa dan negara- negara anggotanya setelah persyaratan representasi grafis dihapuskan. Dalam perlindungannya, Multimedia mark kemudian memiliki permasalahan pada pendaftarannya, baik pendaftaran di Indonesia maupun pendaftaran secara internasional melalui Madrid System, serta permasalahan mengenai penilaian ciri khas pada multimedia mark. Mengenai pendaftaran merek di Indonesia, walaupun belum diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, permohonan pendaftaran masih tetap dapat diakomodir.
Trademarks are signs which are utilized to provide information regarding the commercial origin of certain goods or services. Furthermore, trademarks are used to distinguish between goods or services of one undertaking from other goods or services manufactured by another undertaking. The development of marketing techniques, combined with technological advancements, which are caused by the influence of globalization, have prompted the use of new types of trademarks, those that are not limited to letters, symbols, or designs, which are then called ‘non- traditional trademark’. One of the said non-traditional trademarks is multimedia mark, a trademark commonly consisting of the combination of images and sounds. This thesis analyzes the legal problems that arise regarding the protection of multimedia mark, whilst also analyzes the regulations surrounding multimedia mark in several nations, which are European Union, United Kingdom, and Benelux. The method that was used in this research is the normative juridical method, which focuses on analyzing literatures and regulations. According to the research that has been conducted, it can be concluded that multimedia marks had acquired its registrability after the removal of the requirement for graphical representation. There are, however, a few problems that arise in light of the protection of multimedia mark. The first problem is regarding the registration of a multimedia mark, be it the registration in Indonesia or the registration through an international application using the Madrid System. Then lastly, regarding the assessment of distinctiveness in a multimedia mark. Although multimedia marks have not yet been regulated in Indonesia, applications for registering multimedia marks would nevertheless be accommodated."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library