Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kelvin Geovani Pratama
Abstrak :
Kota Tangerang merupakan salah satu kota pusaka di Indonesia, dan satu-satunya di Provinsi Banten. “Tangerang Live” merupakan sebuah visi dan misi dalam membangun Kota Tangerang, menjadi kota layak kunjung, layak huni, serta layak invesitasi. Kota Tangerang memiliki potensi besar dalam mengembangkan pariwisata perkotaan, karena terdapat beberapa peninggalan sejarah yang dapat menjadi sebuah daya tarik wisata. Tourism Business District merupakan sebuah istilah dalam pariwisata perkotaan yang berguna dalam memahami komponen pariwisata perkotaan, yang terdiri dari kesatuan fasilitas wisata. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan deliniasi Tourism Business District, serta menentukan karakteristik Tourism Business District yang terdapat di kota Tangerang. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel fasilitas wisata, CBD, jaringan jalan, serta penggunaan tanah yang terdapat di Kota Tangerang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode keruangan melalui pendekatan fasilitas wisata, dan analisis dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa deliniasi Tourism Busines District di kota Tangerang terdapat didalam wilayah pusat pelayanan kota, tepatnya di Kecamatan Tangerang, serta memiliki karakteristik Tourism Busines District yang di tentukan berdasarkan fasilitas primer yang tersedia, yaitu berupa atraksi yang didominasi oleh leisure setting dan terdapat core attraction berupa atraksi bangunan sejarah dan bangunan hasil pencapaian Kota Tangerang ......Tangerang City is one of the heritage cities in Indonesia, and the only one in Banten Province. "Tangerang Live" is a vision and mission in developing Tangerang City, a city worthy of visit, livable, and worthy of investment. Tangerang City has great potential in developing urban tourism, because there are several historical relics that can become a tourist attraction. Tourism Business District is a term in urban tourism that is useful in understanding the components of urban tourism, which consists of a unity of tourist facilities. This study aims to determine the delineation of the Tourism Business District and determine the characteristics of the Tourism Business District in the city of Tangerang. The variables used in this research are tourist facilities, CBD, road network, and land use in Tangerang City. The method used in this research is the spatial method through the tourist facilities approach, and the analysis is carried out descriptively. The results show that the Tourism Busines District delineation in the city of Tangerang is located in the city service center area, precisely in the Tangerang District, and has the characteristics of the Tourism Busines District which are determined based on the available primary facilities, namely in the form of attractions dominated by leisure settings and core attractions in the form of historical building attractions and buildings achieved by the City of Tangerang.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didin Aliyudin
Abstrak :
Penyelenggaraan haji merupakan tugas nasional dan tugas ini dilaksanakan oleh pemerintah secara interdepartemental. Departemen Kesehatan merupakan Departemen terkait dalam penyelenggaraan haji yang bertanggungjawab dalam masalah pengamanan kesehatan bagi calon /jemaah haji Indonesia. Di tingkat Kabupaten, tanggung jawab penyelenggraan pelayanan kesehatan haji berada pada Dinas Kesehatan Kabupaten. Pencatatan dan pelaporan Kesehatan /Haji di Kabupaten Tangerang saat ini masih dilaksanakan secara manual, data diterima dari Puskesmas kemudian direkapitulasi sebagai bahan laporan ke Dinas Kesehatan Propinsi. Hasil evaluasi pelayanan kesehatan haji di Kabupaten Tangerang dilemukan beberapa masalah kesehatan haji yang berhubungan dengan lemahnya sistem informasi kesehatan haji. Upaya mengatasi permasalahan sistem informasi kesehatan haji di Kabupaten Tangerang, dilaksanakan dengan mengembangkan sistem informasi kesehatan haji melalui pembuatan suatu prototype program yang menghasilkan informasi kesehatan haji dalam bentuk tabel dan grafik yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung manajemen program kesehatan haji ditingkat Kabupaten . Melalui sistem informasi ini proses pengolahan dan analisis data dapat dilaksanakan dengan lebih cepat, lebih mudah dan lebih akurat. Metode penelitian menggunakan pendekatan pengembangan sistem, dengan tahapan antara lain : penentuan entitas, analisis sistem, rancangan sistem, pembuatan prototype serta ujicoba prototype. Uji coba sistem dilaksanakan di Laboratorium Komputasi Informatika Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, meliputi ; efesiensi, reiabilitas, efektifitas, akurasi dan aksesibilitas sistem. Ujicoba sistem juga menilai kelemahan dan kelebihan sistem . Daftar Pustaka : 44 (1992 --- 2002).
Government of Indonesia facilitates the services for haji, these services provided inter departmentally, and one of these departments is Ministry of Health. Ministry of health handle the hajji's health. In district level, this responsibility is district Health Office burden. Recording and reporting the hajji's health in district of Tangerang do manually, data which have accepted from health centers recapitulated as report material to Province Health Office. Results from evaluation on health service for hajj have found some weaknesses in this information system. An effort to handling problem in this information system on Hajji's Health, is to develop a new information system by making a software prototype which could presenting information by tables or graphics to support Hajji's Health information system. This information system assists the data processing and analyzing more quickly and more accurate. This study using system development approach, by determining entities, system analysis, system design, and determining the criteria of test drive prototype. This prototype has been passed the test in computer lab of Faculty of Public Health University of Indonesia. This test including: efficiency, effectively, accuracy, system accessibility and to assess weakness and advantage of this system.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12999
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Koko Surya Dharma
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi komunitas nelayan yang cenderung dianggap sebagai kelompok masyarakat miskin. Kemiskinan pada komunitas nelayan bersifat spesifik dan merupakan gambaran ketidakberdayaan nelayan dalam meningkatkan taraf hidupnya. Penelitian yang dilakukan dilakukan pada komunitas nelayan di Desa Ketapang, Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang. Pada umumnya masyarakat nelayan di desa Ketapang adalah masyarakat miskin. Kemiskinan tersebut disebabkan karena nelayan mengalami kesulitan dalam meningkatkan hasil tangkapannya maupun dalam proses penjualan hasil tangkapan tersebut. Hal ini, menyebabkan kehidupan keluarga nelayan sulit berkembang sehingga tetap berada dalam kondisi miskin yang membelenggunya. Untuk memperbaiki kondisi komunitas nelayan, diperlukan program pemberdayaan yang dapat menciptakan kemandirian pada komunitas. Program pemberdayaan harus menekankan pada penggalian potensi sosial dan ekonomi komunitas nelayan. Keberhasilan program pemberdayaan sangat bergantung kepada potensi sosial-ekonomi yang dimiiiki oleh komunitas nelayan, tidak cukup hanya bergantung pada intervensi dari luar komunitas (pemerintah/LSM). Salah satu aspek yang dimiiiki oleh komunitas yang dapat diberdayakan adalah modal sosial. Modal sosial melekat di dalam komunitas, merupakan suatu potensi yang apabila dapat dimanfaatkan secara maksimal dapat meningkatkan kualitas hidup komunitas nelayan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan design penelitian studi kasus dan kuantitatif untuk melengkapi pengumpulan data inforrnasi. Penelitian dilakukan melalui teknik wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi. Selain itu, dilakukan survei untuk mengukur variabel-variabel yang mendukung atau melengkapi data penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas nelayan Desa Ketapang mempunyai modal sosial (berupa tingkat kepercayaan dan solidaritas di dalam komunitas yang cukup tinggi) yang dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi hidup nelayan dan mencapai kemandirian. Namun ditemukan juga adanya kecenderungan nelayan untuk tergantung pada bantuan pemerintah. Hal ini harus dihilangkan terlebih dahulu dengan cara memberikan peran dan energi yang lebih besar kepada institusi lokal agar mampu menangani permasalahan-permasalahan di komunitasnya. Modal sosial yang ada sangat mendukung terciptanya institusi lokal yang kuat. Agar modal sosial tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, maka diperlukan strategi pemberdayaan khusus untuk meningkatkan kemampuan komunitas nelayan di desa Ketapang. Desain pemberdayaan menekankan pada strategi pemberdayaan secara berkelanjutan (sustainability) dan terencana dengan menitikberatkan pada komunitas sebagai pelaku utama. Berkaitan dengan hal ini, peneliti megajukan model pemberdayaan berdasarkan "gerakgelombang stationer Ujung betas? Berdasarkan model yang digunakan, titik awal pemberdayaan harus merupakan sebuah strategi yang paling mendasar yang dapat menjadi pedoman bagi bagi gerakan pemberdayaan berikutnya. Berkaitan dengan hal itu, peneliti melihat bahwa pengorganisasian masyarakat merupakan langkah awal dari strategi pemberdayaan. Melalui organisasi maka komunitas dapat mewujudkan kemandiriannya. Selanjutnya, pengorganisasian dilakukan dengan membentuk forum yang disebut "Forum Bersama' Dalam penelitian ini, peneliti mengkaitkan kegiatan pemberdayaan dengan salah satu proyek pembangunan yang berkaitan dengan kebutuhan komunitas nelayan yaitu Proyek Pengerukan Muara dan Pembangunan Dermaga. Proyek tersebut diharapkan dapat menjadi titik awal gerakan pemberdayaan masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan di komunitasnya.
Empowerment Program on Fishermen Community of Ketapang Village (A Case Study on Fishermen Community of Ketapang Village in Mauk District of Tangerang Regency)This research has a background of the condition of fishermen community that considered as an underprivileged group society. Poverty on fishermen community is specific and represents the hopelessness of the fishermen to improve their quality of lives. The research was done on fishermen community of Ketapang Village, Mauk District, Tangerang Regency. In general, fishermen community of Ketapang Village is underprivileged. The poverty is caused by the difficulty to catch more fishes and also in the process of selling catch fishes. As a result, there are difficulties to improve the livelihood of fishermen for they still underprivileged. To improve the state of fishermen community, an empowerment program is needed to create an independency of the community. The program should emphasize on the introduction of social and economical likelihood of fishermen community. The success of this program is much depends on socio-economic likelihood within fishermen community, and not only on outside community intervention (the Government/NGO). One of the aspects within community that has the possibility to be empowered is social capital. Social capital embedded within the community is one likelihood that can improve the livelihood of fishermen community when properly utilized. This research used a qualitative method with case study and quantitative research design to support information data collection. `thorough interview technique, observation, and document study were also used. Added by survey to measure the variables that supporting or completing research data. Research shows that fisherman community of Ketapang Village has social capital (in form of high level of trust and solidarity within community) that can be use to improve the livelihood of the fisherman and make them independent. However, there is also a tendency for the fisherman to depend on government support. First, this has to be taken off by giving a bigger responsibility and authority to local institution to deal with community internal problems. The existing social capital is supporting the creation of a solid local institution. To optimally use this social capital, there should be a specific empowerment strategy to better perform the potential of fisherman community of Ketapang Village. Empowerment design emphasizing on sustainable and designed empowerment strategy focusing on the community as the big actor. Related to above-mentioned suggestion, the researcher proposes an empowerment model based on "free end stationer wave movement". Based on that model, the starting point of the empowerment should be a central strategy that can become a point for the next empowerments. Related to that matter, the researcher observes that community organization is the first step to the empowerment strategy. Through organization, the community can gain its independency. Further, the organization should form a forum called "Shared Forum". In this research, the researcher determines the relation of empowerment activities with one development project related to fisherman community needs i.e. Estuary Excavation and Docks Development Project. This project was to be the starting point for community empowerment movement and involving community to actively participate in community development.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ernany Dwi Astuty
Abstrak :
Masalah kemiskinan yang tetap muncul dipermukaan sesungguhnya merupakan refleksi dari keadaan faktual masyarakat pedesaan maupun di perkotaan. Kemiskinan tersebut tetap menarik dikaji sebab kondisi sosial ekonomi serta kondisi fisik lingkungan permukiman belum menunjukken perubahan kearah perbaikan, walaupun pemerintah telah berhasil mengurangi persentase penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dan meningkatkan kualitas penduduk yang perlu dilakukan pemerintah adalah meningkatkan pendapatan penduduk melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dilaksanakan melalui Inpres RI No.5 Tahun 1993. Program IDT merupakan kebijaksanaan dan strategi untuk mengentaskan kemiskinan secara langsung di desa tertinggal yang penekanannya pada upaya terpadu untuk peningkatan dan dinamika ekonomi masyarakat lapisan bawah. Dana IDT merupakan modal usaha bagi masyarakat miskin di desa tertinggal untuk kegiatan ekonomi yang produktif. Setiap desa tertinggal memperoleh bantuan modal kerja sebesar Rp.20 juta yang diberikan selama 3 tahun berturut-turut, dan penerimanya adalah masyarakat yang tergolong miskin. Dengan terjadinya krisis moneter yang berkepanjangan saat ini (sejak pertengahan tahun 1997) mengakibatkan penduduk miskin meningkat jumlahnya. Hal Ini disebabkan karena banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama di perkotaan dan naiknya harga barang yang berdampak pada daya beli masyarakat menurun. Kondisi ini berdampak sampai ke pedesaan yang menyebabkan masyarakat miskin semakin banyak jumlahnya, karena banyak penduduk di kedua desa penelitian yang "nglaju" bekerja di daerah perkotaan. Tujuan dari studi ini untuk mengetahui dampak pemberian bantuan modal dana IDT terhadap perbaikan kualitas hidup dan segi sosial- ekonomi-fisik lingkungan dibandingkan dengan masyarakat yang tidak menerima bantuan modal desa IDT. Hipotesis yang diajukan adalah: pemberian dana IDT berpengaruh dan berdampak positif terhadap kualitas hidup masyarakat penerima dana IDT. Kualitas hidup dalam penelitian ini mengacu pada variabel kualitas hidup dari Bianpoen dan Gondokusumo (1986) seperti kemiskinan yang dikonversikan dari besar pendapatan, penyediaan ruang dalam rumah setiap orang, pemakaian air bersih, kesehatan balita, dan tingkat pendidikan. Metode penelitian yang digunakan dengan pendekatan: (1) studi kasus yang ditujukan untuk memberikan gambaran secara rinci latar belakang, dan sifat yang khas dari kasus pemberian dana IDT di desa tertinggal; (2) studi melalui obsevasi dengan cara mengamati langsung kondisi fisik lapangan serta wawancara langsung dengan para responden; (3) studi melalui data sekunder yang terkait dengan mesalah ini diantaranya data statistik, peta dan laporanlaporan dari Instansi pemerintah. Penelitian dilaksanakan di desa Mekarjaya yang mewakili desa penerima bantuan dana IDT dan letaknya sangat dekat dengan pusat kegiatan ekonomi tetapi justru termasuk desa tertinggal: dan desa Lebakwangi yang dipilih sebagai desa pembanding yang tidak mendapat dana IDT. Sebagai responden ditentukan sebanyak 70 KK dari desa penerima dana IDT dan 50 KK dari penduduk desa yang tidak menerima dana IDT. Pengambilan sample dilakukan dengan metode roporsional stratified random sampling. Data yang diperoleh diedit kemudian dimasukkan ke tabel dan dilakukan analisis tabel secara tunggal maupun silang. Analisis kuantitatif dengan menggunakan program SPSS for Windows Release 6.0) yang terdiri dari : (a) dlstribusi frekuensi dan (b) tabulasi silang. Analisls kuantitatif juga dilakukan untuk menganalisis kemiskinan yang menggunakan kriteria Sajogyo dan BPS, sedangkan untuk melihat distribusi pendapatan dengan menggunakan formula Gini Ratio dari Soejono (1978 : 8). Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria BPS, pemberian bantuan IDT pada masyarakat di desa IDT dalam Jangka pendek depat mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 9,28%, yaitu dari 43,56% menjadi 34,28%. Angka tersebut tidak berarti karena kenaikan pendapatan rata-rata perkapita dari Rp34.253,37 menjadi Rp46.743,93, ternyata secara riel setelah dikurangi inflasi maka kenaikan pendapatan yang diperoleh hanya relatif kecil. Namun bila tingkat kemiskinan di desa IDT diukur dengan kriteria Sajogyo, pemberian dana IDT tidak mengurangi jumlah penduduk miskin sebaliknya jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat jumlahnya dari 28,5% menjadi 37,14%, Sementara itu jumlah penduduk miskin di desa bukan IDT bila menggunakan kriteria BPS pada waktu yang sama meningkat sebesar 2,0%, dari 32,0% menjadi 34,0%. Demikian juga bila kriteria Sajogyo dipakai untuk mengukur kemiskinan maka jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 30%, dari 14,0% menjadi 44,0%. Ukuran Sajogyo teenyata lebih relevan digunakan karena mencerminkan tingkat kemampuan daya beli masyarakat khususnya terhadap beras. Adapun variabel kualitas hidup yang diteliti adalah (1) tingkat kemiskinan, (2) pemilikan luas rumah perkapita (orang), (3) anak balita sehat, (4) pemakaian air bersih dan (5) pendidikan kepala rumah tangga (KK). Hasil penelitian menunjukkan adanya dana IDT yang telah dlmanfaatkan responden di desa IDT mempengaruhi beberapa variabel kualitas hidup. Variabel kualitas hidup yang mengalami perubahan positif adalah variabel anak balita sehat sebesar 6,4% dan variabel penggunaan air bersih sebesar 2,8%. Variabel yang tidak mengalami perubahan adalah variabel pendidikan KK dan variabel luas rumah per orang. Variabel yang mengalami perubahan negatif adalah variabel responden tidak miskin (ukuran sajogyo) Sementara Itu, di desa bukan IDT pada saat yang sama (1997) variabel kualitas hidup yang mengalami perubahan positif adalah variabel anak balita sehat dan variabel luas rumah per orang, masing-masing besarnya 2% dan 8%. Sedangkan variabel kualitas hidup yang perubahannya negatif adalah variable kemiskinan ukuran sajogyo sebesar 30%. Adanya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 di kedua desa penelitian telah berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat yang cukup drastis yaitu sebesar 40%. Demikian juga ditinjau dari kesehatan balita yang mengalami kekurangan gizi meningkat menjadi sebanyak 75%. Kondisi fisik perumahan setelah adanya pemberian dana IDT, jumlah rumah yang berdinding tembok meningkat sebesar 11,4% yaitu dari 40,0% menjadi 51,4%. Demikian juga di desa bukan IDT jumlah rumah yang berdinding tembok pada waktu yang sama meningkat sebanyak 10%, yaitu dari 84,0% menjadi 94,0%. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dampak bantuan dana IDT tidak meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin dan tidak meningkatkan kualitas hidup rumah tangga karena tidak semua variabel kualitas hidup meningkat. Hal ini diperparah dengan terjadinya krisis ekonomi menyebabkan pendapatan masyarakat di kedua desa penelitian mengalami penurunan yang cukup drastis yaitu sebesar 40% dan balila yang kekurangan gizi meningkat mencapai 75%. ...... Poverty problems remain attractive to be investigated because our social economic and physical settlement conditions do not show changes towards betterment. Even though, our government policy succeeded in reducing the percentage of Indonesian people living under the poverty line. In order to raise human quality, endeavors need to be done by way of reducing poverty through increasing the people's income. Therefore, the government felt the need to launch a special program for the poor known as : Program Inpres Desa Tertinggal (IDT). This program was implemented by Government based on the Instruction of the President of the Republic of Indonesia No.5 Year 1993. Each lagged village would receive Rp.20.000.000.- as working capital for consecutive 3 years. Unfortunately the monetary crisis that occurred since media 1997 and extended to become a lengthened economic crisis has resulted In an Increase In the number of poor people. Recipients of IDT FUND from the government are lagged villages society, and would be selected among those having a score in social economic variables of 48 maximum. The main objective of this research Is to know the Impact of IDT on households' income towards the quality of life improvement of households' income in the IDT fund recipient compared the other households' who doesn't receive it. The hypothesis : The IDT fund has Impact and had some positive effect on the households' income of the households who received IDT fund. The quality of life in this research is based on the quality of life variables of Bianpoen and Gondokusumo (1986) such as : Poverty converted that is from total income and expense, available rooms in the house for each person, the use of clean water, the health of baby under 5, and education level. This research was conducted on several approaches and steps : First : case study approach was directed presented toward providing a detailed background/description and special characteristics of receiving cases IDT fund in lagged fund villages. Second : study via observation by direct physical investigation in the field and direct interview to respondents. Third : study via Inter related secondary data related to this problem such as : statistical data, map, and reports from the government bureau. We selected Mekarjaya village as the locality of research to represent villages which received IDT Fund, its location Is close to economic activity center but categorized as lagged villages; and Lebakwangl village was chosen as a control village receiving no I DT Fund, but both villages had some similarities. The total selected samples were 70 families (21%) from IDT FUND recipients and 50 families (13 %) from villagers who did not receive the IDT fund. In selecting the sample, a proportional stratified random method was carried out because In each strata, the total selected sample was based on equilibrium or proportion. The data obtained henceforth was edited and tabulated, and table analysis was conducted in single and cross table analysis. Quantitative analysis will be undertaken by using statistical technique with the help of a computer (SPSS program for Window Release 6.0) consisting of : (a) Frequency Distribution, and (b) Cross Tabulations. Quantitative analysis as undertaken to analyze poverty a : using In Sajogyo and BPS criteria, while in examining income distribution we used Gini Ratio Formula of Soejono (1978: 8). The research showed that - based on BPS criteria - provision of IDT reduce fund to in IDT village society for a short term period, could reduce the number of poor people by 9.28%, viz from 43.56% to 34.28%. Thus, can be said that in the short term IDT fund has been functioned to increase households' Income, but in the long term there will not functioned on the households' Income in laggerd village. a society. But if poverty level In IDT village is measured using the Sajogyo criteria, then, IDT fund do not reduce the number of poor people. On the contrary, the population below the poverty line Increased from 28,5 96 to 37,14 %. The reason was respondent's purchasing power to buy rice In IDT village inclined to decline. The average income in 1993 could buy 57.09 kg/month, while In 1997, they could only buy 46.74 kg/month. Meanwhile, the number of poor people in non IDT village - if we apply BPS criteria, at the same period, the number would increase from 32.0 % to 34.0 %. Likewise If Sajogyo criteria were applied, then the total poor people Increased from 14.0 % to 44.0 %. The reason was respondent's purchasing power to buy rice declined, the average Income per capita per month In 1993 would buy 60.59 kg but in 1997 the average income per capita, per month could only buy 47.42 kg. The quality of life variable component we surveyed were: (a) poverty level, (b) housing area ownership per capita, (c) the health of under 5 years old, (d) the use of clean water, and (e) education level of the head of family. The research showed that the availability of IDT fund used by the respondents of IDT, village influenced the quality of life variable. The positive changes the quality of life variable were poverty based on BPS criteria, as big as 9.3% , health of those under 5 years variable 6.4%, and the use of clean water 2.8%. But the poverty variable suffered negative change, based on the criteria of Sajogyo It was -8.5%, and head of family education variable did not change at all. While in non IDT village during the same period (1997) the positive change In the quality of life variable were health of those under 5 years old, housing area per capita variables as big as 2% and 6% respectively. The negative change in the quality of life was poverty based on the criteria of BPS and Sajogyo were -2% and -3% respectively. But the use of clean water and education for in normal conditions. The quality of life variable of IDT village showed some positive change compared with non IDT village. This fact showed the benefit of IDT program although it was conducted only in a short period. When economic crisis hit both IDT and non IDT villages, their income declined by 40%. This fall also showed in the health of those under 5 years old, who suffered lack of nutrient as big as 75%. We noted that physical house conditions in IDT villages after IDT fund was released, the number of concrete brick wall houses increased by 11.4% viz from 40.0% to 51.4%. The same phenomenon happened In non IDT village; where the total concrete brick wall house during the same period, increased by 10% viz. from 84.0% to 94.0%. Sanitary facility as indicated by owning a toilet of their own in IDT fund village was less than 15%. There is a tendency that respondents defecated freely such as In gardens, ponds or rivers. But on the contrary, respondent's awareness to have their own toilets in non IDT village were bigger, namely 54.0%. The result of the research can be summarized that Impact ofIDT aid had not been Increased of the poor households' income and the quality of life, because all of the of life had not been increased. It is supported by the economic crisis that causing income society in both villages as samples have decreased drastically to 40%, and balita's (less than five years child) deficiency leave increased to 75%.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library