Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mirnawaty
"ABSTRAK
RSUPN. Dr. CiptoMangunkusumo Jakarta adalahrumahsakitpemerintah yang
menjadipusatrujukannasionalGedung A merupakansalahsatu unit kerja yang adadi
RSUPN. Dr. CiptoMangunkusumo Jakarta, melayanipasienrawatinap.
Dalammelaksanakanpelayanankesehatan, obatmenyerapdanalebihkurangsekitar 36
milyardalamkurunwaktuhanya 6 bulanyaitubulanJulisampaiDesember
2010Pengelolaan perbekalanfarmasimemegangperanan yang
pentingdalampelayanandirumahsakitGedung A RSUPN. Dr. CiptoMangunkusumo
Jakarta sudahmelaksanakansistemdistribusiobatrawatinapdenganunit dose dispensing
systemsejaktahun 2008. Tujuanpenelitianiniuntukmemperolehgambaranpenerapanunit
dose dispensing systemdigedungA.Metodepenelitian yang
dilakukansecaradeskriptifkualitatifdengan data primer, data sekunder,
pengamatandanwawancaramendalamHasilpenelitianmenunjukkanbahwapengelolaanp
erbekalanfarmasisecarakeseluruhan ,khususnyadalampenerapanunit dose dispensing
systemdapatmenghematbiayaobatrawatinapdandisarankan agar unit dose dispensing
systemdapatditeruskansebagaikebijaksanaanmanajemen RSUPN. Dr.
CiptoMangunkusumo Jakarta di unit kerja yang lain. Disarankanjuga agar
dilakukanpenelitianlanjutanuntukmengetahuidarisisimanajemenrumahsakit

ABSTRACT
Building A is one unit that is in RSUPN. Dr. CiptoMangunkusumo Jakarta, serving
inpatients. In implementing health services, drug absorbs funds from approximately
36 billion within a period of only six months from July to December
2010Management of pharmaceuticals play an important role in service at the
hospitalBuilding A RSUPN. Dr. CiptoMangunkusumo Jakarta has implemented
inpatient drug distribution system with a unit dose dispensing system since 2008.The
purpose of this study to obtain a picture of the implementation of unit dose dispensing
system in building A.Research methods to be descriptive qualitative primary data,
secondary data, observation and in-depth interviewsThe results showed that the
overall management of pharmaceuticals, particularly in the implementation of unit
dose dispensing system can save the cost of inpatient drug and recommended that the
unit dose dispensing system can be forwarded as RSUPN management policy. Dr.
CiptoMangunkusumo Jakarta in other work units. Also recommended that further
research to find out from the side of the hospital management"
2012
T31728
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
B.Y. Ekon Budi Jumpeno
"ABSTRACT
Telah dilakukan verifikasi dosis H*(10) pada evaluasi dosis radiasi lingkungan menggunakan dosimeter OSL tipe EX. Pertama, disiapkan dosimeter OSL tipe EX sebanyak 16 buah yang dibagi menjadi 4 grup yaitu Grup Kontrol, Grup 1, Grup 2 dan Grup 3 yang masing-masing grup terdapat 4 buah dosimeter. Kemudian, dosimeter OSL pada Grup 1, Grup 2, dan Grup 3 disinari dengan radiasi dari sumber Cs-137 dengan dosis H*(10) masing-masing 1 mSv, 2,5 mSv, dan 5 mSv. Hasil analisis menunjukkan bahwa rasio nilai measured dose terhadap true dose adalah 0,87 - 0,95 (deviasi measured dose terhadap true dose berkisar antara 7 - 13%) pada penyinaran 1 mSv, 1,03 - 1,07 (deviasi berkisar 3 - 7 %) pada penyinaran 2,5 mSv, dan 1,07 - 1,13 (deviasi sekitar 7 - 13%) pada penyinaran 5 mSv. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa nilai deviasi measured dose terhadap true dose ≤ 13% sehingga pengukuran dosis radiasi lingkungan/daerah kerja menggunakan dosimeter OSL tipe EX di Subbidang KKPR PTKMR BATAN dapat dipercaya. Namun demikian perlu dilakukan kajian lebih lanjut terhadap tingkat kepercayaan hasil evaluasi dosis H*(10) dengan dosis kurang dari 1 mSv."
Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Tenaga Nuklir Nasional, 2017
605 WJ 8:1-2 (2007)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Bagus Gde Manuaba
"Telah dilakukan pengukuran entrance surface dose (ESD) secara langsung menggunakan thermoluminescent dosimeter (TLD) pada jenis penyinaran dada thorax (chest). Data diperoleh dari 71 pasien di tiga rumah sakit (A, B dan C) yang menggunakan sistem pencitraan computed radiography (CR) Kodak. ESD ditentukan pula dengan metoda kalkulasi berdasarkan beberapa parameter pada pengukuran secara langsung. Metoda pengukuran lainnya juga dilakukan dengan menggunakan TLD pada objek radiasi berupa phantom dada buatan sendiri.
Penelitian ini diawali dengan beberapa pengukuran parameter seperti kVp, HVL dan tube output untuk mengetahui performa pesawat sinar-X. Pengukuran ESD pada phantom dan penentuan ESD metoda kalkulasi dilakukan pada kondisi penyinaran yang dibuat sama dengan kondisi penyinaran untuk pengukuran ESD pasien. Hasil penelitian menunjukkan nilai ESD thorax (PA) rata-rata di tiga rumah sakit berbeda secara signifikan. Hasil penelitian ESD thorax (PA) mendapatkan nilai ?faktor konversi metoda phantom? sebesar 0.874 sementara nilai ESD hasil perhitungan tidak berbeda signifikan dengan ESD pasien dengan penyimpangan maksimum sebesar ± 12 %.

Entrance surface dose (ESD) measurements have been carried out for chest examinations by means of thermoluminescent dosimeter (TLD). Data were collected from 71 patients at three hospitals (A, B, and C) which have been provided with Kodak computed radiography (CR). Based on exposure measurement parameters, ESD from these examinations was also calculated. An alternative method of measurement has been done with home-made chest phantom.
This work was initiated with measurements of X-ray tube parameters (kVp, HVL, tube output) to check equipment performance. Phantom-based measurement was set with the same exposure conditions as for patient measurements. The same exposure condition was also used in the calculation method. The results indicate that the ESD averages from chest examination (PA) at three hospitals were vary widely. Phantom-based conversion factor for ESD chest PA was found to be 0.874, whereas ESD from calculation is not differ significantly from the patient-ESD with maximum deviation ± 12 %.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
T29008
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sawiyah
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
T29000
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yulfiatry Yubhar
"Telah dilakukan pengukuran Dosis Rata-rata Glandular (Mean glandular Dose) pada pemeriksaan mammografi dengan menggunakan Thermoluminiscense (TLD) terhadap 49 pasien. Dosis yang terbaca pada TLD adalah Entrance Surface Dose (ESD) dengan nilai ratarata yang didapat 7.6 (± 3.9) mGy. Untuk konversi ke nilai Mean Glandular Dose, nilai ESD dikalikan dengan nilai Dgn (ESD dengan faktor konversi average glandular dose per unit exposure) yang terkonversi dengan memperhitungkan prosentase glandular terhadap adipose. Data Dgn diperoleh dari perhitungan John M Boone yang menggunakan metode Monte Carlo yang masih tergantung dari nilai HVL dan ketebalan payudara. Prosentase glandular terhadap adipose dihitung dengan menggunakan metoda analisa film Nooriah Djamal. Kemudian nilai Dgn 0% glandular untuk kontribusi adipose maupun Dgn 100% glandular untuk kontribusi glandular diperoleh dari Tabel Dgn Boone. Nilai MGD yang diperoleh adalah 1.818 (± 0.615) mGy. Nilai masih dibawah limit yang direkomendasikan FDA( Food and Drug Administration) yaitu < 3 mGy.

Mean glandular Dose (MGD) during mammography has been determined for 49 patients using TLD. MGD numbers has been derived from the measured ESD (Entrance Surface Dose) by multiplicating ESD with converted Dgn (ESD with average glandular dose per unit exposure conversion factor) incorporating the glandular percentage to adipose percentage. Dgn data were
obtained from Boone's Monte Carlo calculation and generally is a function of HVL values and breast thickness. The glandular percentage to adipose were obtained using Nooriah Djamal's methods of mammography film analysis Both 0% glandular Dgn for adipose contribution and 100% glandular Dgn for glandular contribution were then obtained from Boone's table. Average Entrance Surface Dose (ESD) for 49 patients were found to be 7.6 (± 3.9) mGy. The average MGD for 49 patients were found to be 1.818 (± 0.615) mGy. These values were generally below the recommended FDA ( Food and Drug Administration) limit of 3 mGy."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2005
S29104
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Risma Laura
"Dalam penelitian ini, telah dilakukan pengukuran dosis ekuivalen di titik organ tiroid, sumsum tulang belakang, gonad dan jari tangan pada dua pekerja Instalasi Kedokteran Nuklir MRCCC Siloam serta pada dua pekerja RSPP. Hasilnya menunjukkan bahwa pengukuran telah berada di bawah nilai batas dosis (NBD) yang telah ditetapkan oleh IAEA dan BAPETEN dan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui laju dosis serta aktivitas radiasi pengion untuk setiap kegiatan dari pekerja di Instalasi Kedokteran Nuklir MRCCC Siloam dan RSPP. Evaluasi dosis ekuivalen kumulatif selama 3 bulan pada setiap organ 4 pekerja memiliki range dosis 0.05 mSv hingga 0.11 mSv pada tiroid, 0.1 mSv hingga 0.19 mSv pada sumsum tulang belakang, 0.08 mSv hingga 0.14 mSv pada gonad dan 0.05 mSv hingga 0.24 mSv pada jari tangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dosis ekuivalen yang diterima pekerja di Instalasi Kedokteran Nuklir MRCCC Siloam dan RSPP tidak melewati batasan dosis untuk pekerja radiasi yaitu 20 mSv/tahun. Pengukuran laju dosis sesaat radiasi pengion paling besar dari setiap kegiatan pekerja ketika menginjeksi radiofarmaka kepada pasien sebesar (25.03±26.57) μGy/hr.
Within this research, measurement of equivalent doses have been conducted on the thyroid points, bone marrow, gonads and fingers for two employees at Nuclear Installation of MRCCC Siloam and two employees at RSPP. The result show that it has been below of the dose limit value (NBD) as determined by IAEA and BAPETEN and the purpose of this reasearch is to determine the dose rate of ionizing radiation in all of the activities every day of employees in Nuclear Installation of MRCCC Siloam and RSPP. The evaluation for cumulative equivalent dose of employees for 3 months on organ at risk of 4 employees have range dose 0.05 mSv to 0.11 mSv on thyroid, 0.1 mSv to 0.19 mSv on bone marrow, 0.08 mSv to 0.14 mSv on gonads dan 0.05 mSv to 0.24 mSv on fingers. This results show that radiation dose evaluation for the radiation employees in Nuclear Installation of MRCCC Siloam and RSPP is not exceed of the dose limit from BAPETEN for the radiation employee that is 20 mSv/ year. Measurement of highest dose rate in all of the employee activities is on the employee injection of radiopharmaceutical to patient that is (25.03±26.57) μGy/hr."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S55263
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Naflah Gozali
"ABSTRACT
Kebijakan pemberantasan Soil Transmitted Helminths saat ini adalah menggunakan albendazol oral dosis tunggal namun, metode tersebut hanya efektif terhadap Ascaris lumbricoides dan tidak untuk Trichuris trichiura. Albendazol triple dose lebih efektif dari dosis tunggal namun sulit diimplementasikan sehingga diperlukan antelmintik yang memiliki efektifitas serupa dengan frekuensi pemberian lebih mudah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas mebendazol 500mg double dose dan albendazol 400mg triple dose dalam pengobatan trikuriasis. Randomized controlled trial dilakukan pada anak-anak berusia 1-15 tahun di desa Pero, Sumba Barat Daya pada bulan Juli 2016. Sebanyak 303 anak diminta mengumpulkan tinja kemudian diperiksa dengan metode Kato-Katz untuk mengetahui prevalensi trikuriasis dan anak yang positif dibagi dua kelompok secara acak. Kelompok pertama diberi albendazol triple dose dan kelompok kedua diberikan mebendazol double dose. Dua minggu setelah pengobatan dilakukan pemeriksaan tinja untuk mengetahui angka kesembuhan pengobatan. Dari 303 anak yang diperiksa didapatkan 190 subjek positif T.trichiura prevalensi 62,7, kemudian diambil 47 subjek berdasarkan rumus besar sampel untuk masing-masing kelompok. Proporsi trikuriasis setelah pengobatan albendazol triple dose adalah 38,3 sedangkan mebendazol double dose 36,2. Pada uji McNemar tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kedua jenis pengobatan p> 0,05. Angka kesembuhan albendazol triple dose 61,7 dan mebendazol double dose 63,8. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada angka kesembuhan tersebut uji chi square p>0,05. Disimpulkan mebendazol double dose sama efektifnya dengan albendazol triple dose. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas mebendazol double dose dengan triple dose dalam pengobatan trikuriasis.

ABSTRACT
The current STH eradication policy is to use single dose oral albendazole, however this treatment is only effective against Ascaris lumbricoides and not for Trichuris trichiura. Albendazole triple dose is more effective than single dose but is difficult to implement so an antelmintic that has similar effectiveness but less delivery frequency is required. This study was aimed to determine the effectiveness of mebendazole 500mg double dose and albendazole 400mg in the treatment of trichuriasis. A randomized controlled trial was conducted on children aged 1 15 years old in Pero village, Southwest Sumba in July 2016. A total of 303 children were asked to collect feces and then examined by Kato Katz method to determine the prevalence of positive trichuriasis, afterwards the children were divided into groups by random. The first group was given triple dose and the second group was given double dose mebendazole. Two weeks after the treatment, the stools were reexamined to determine the rate of cure of treatment. Of 303 children examined, 190 subjects were T.trichiura positive prevalence 62,7 , then 47 subjects based on the sample formula were selected for each group. The proportion of trichuriasis after treatment of albendazoe triple dose was 38.3 while mebendazole double dose was 36.3. In McNemar test, there was no significant difference between the two treatments p 0.05. Cure rate of albendazole double dose was 61.7 and mebendazole double dose was 63.8. There was no significant difference in the cure rate chi square test p 0.05. In conclusion, mebendazole double dose is as effective as albendazole triple dose. Further research is needed to determine the effectiveness of mebendazole double dose and triple dose in the treatment of trichuriasis. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Menurut WHO (World Health Organization) sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi dengan tuberkulosis (TB). Sekitar 2 juta orang meninggal akibat penyakit ini setiap tahunnya dan akan muncul lebih dari 8 juta penderita TB baru setiap tahunnya. Selain itu, kembali menurut WHO (2000), jumlah kematian akibat tuberkulosis akan menjadi 35 juta orang pada tahun 2000-2020. Sebagian besar pasien tuberkulosis di dunia masih tetap diobati dengan beberapa obat-obat tunggal, atau mungkin dengan obat TB kombinasi dosis tetap (KDT) yang berisi 2 obat. Untuk meningkatkan mutu hasil pengobatan maka WHO merekomendasikan penggunaan obat TB dalam bentuk TB kombinasi dosis tetap (KDT) yang berisi 2 dan 3 obat dalam strategi DOTS. Sejak 1999, KDT yang berisi 4 obat telah dimasukkan pula dalam “WHO Model List of Essential Drugs”. Dewasa ini KDT merupakan alat penting untuk makin meningkatkan mutu pelayanan pada pasien TB, dalam akselerasi program DOTS untuk segera mencapai target global. Obat TB dalam bentuk kombinasi dosis tetap (KDT) dapat menyederhanakan cara pengobatan dan juga manajemen pengelolaan / distribusi obat TB serta mampu mencegah timbulnya resistensi. KDT menyederhanakan cara pengobatan karena jumlah tablet yang harus ditelan pasien akan berkurang, ddari 15 – 16 buah menjadi 3 – 4 buah saja, dan juga menurunkan kesalahan penulisan resep. Juga jauh lebih mudah untuk menerangkan kepada pasien bahwa ia harus makan 4 tablet yang sejenis, daripada harus makan berbagai tablet dalam berbagai bentuk dan warna yang berbeda. Kemungkinan tidak memakan semua obat yang diharuskan juga dapat dicegah karena satu obat KDT sudah merupakan campuran dari beberapa obat sekalligus. KDT juga akan memudahkan para dokter dan petugas kesehatan karena hanya harus mengingat satu macam obat, lebih sederhana dan tidak membingungkan. Akhirnya, seluruh aspek distribusi obat (pembelian, pengapalan, penggudangan) juga jauh lebih sederhana dalam bentuk KDT ini.Efek samping obat tidaklah akan bertambah bila kita menggunakan KDT. Bila terjadi juga efek samping maka mungkin diperlukan obat dalam bentuk tunggal. Kualitas, keamanan dan efektivitas KDT ditentukan oleh proses pembuatannya, artinya seberapa jauh produsen mematuhi kaidah “good manufacturing practices (GMP)” dan spesifikasi farmakopea. Pengelola program TB nasional harus membuat sistem jaga mutu (“QA system”). Dalam hal ini WHO telah membangun jaringan laboratorium untuk menilai KDT yang ada sesuai dengan permintaan pihak industri farmasi. (Med J Indones 2003; 12: 114-9)

According to the World Health Organization, a third of the world’s population is infected with tuberculosis. The disease is responsible for nearly 2 million deaths each year and over 8 million were developing active diseases. Moreover, according to WHO (2000), tuberculosis deaths are estimated to increase to 35 million between 2000-2020. The majority of tuberculosis patients worldwide are still treated with single drugs, or with 2-drug fixed-dose combinations (FDCs). To improve tuberculosis treatment, 2- and 3-drug FDCs were recommended by the World Health Organization (WHO) as part of the DOTS strategy. Since 1999 a 4-drug FDC was included on the WHO Model List of Essential Drugs. Today, FDCs are important tools to further improve the quality of care for people with TB, and accelerate DOTS expansion to reach the global TB control targets. Fixed dose combination TB drugs could simplifies both treatment and management of drug supply, and may prevent the emergence of drug resistance .Prevention of drug resistance is just one of the potential benefits of the use of FDCs. FDCs simplify administration of drugs by reducing the number of pills a patient takes each day and decreasing the risk of incorrect prescriptions. Most tuberculosis patients need only take 3–4 FDCs tablets per day during the intensive phase of treatment, instead of the 15–16 tablets per day that is common with single-drug formulations It is much simpler to explain to patients that they need to take four tablets of the same type and colour, rather than a mixture of tablets of different shapes, colours and sizes. Also, the chance of taking an incomplete combination of drugs is eliminated, since the four essential drugs are combined into one tablet. FDCs are also simpler for care-givers as they minimize the risk of confusion. Finally, drug procurement, in all its components (stock management, shipping, distribution), is simplified by FDCs. Adverse reactions to drugs are not more common if FDCs are used. Nevertheless, whenever side-effects to one or more components in a FDC are suspected, there will be a need to switch to single-drug formulations. Quality, safety and efficacy of FDC drugs are determined by the manufacturing process i.e. by compliance of the manufacturer with the requirements of good manufacturing practices (GMP) and pharmacopoeial specifications. National TB programmes must establish a QA system WHO established a laboratory network that tests the quality of FDCs in the marketplace and registers products upon request from the pharmaceutical industry. (Med J Indones 2003; 12: 114-9)"
Medical Journal of Indonesia, 12 (2) April June 2003: 114-119, 2003
MJIN-12-2-AprilJune2003-114
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Analysis of radiation dose to radiation worker in IEBE according to rule of ICRP 60/1990 and PP No. 33/2007. Analysis of radiation dose to radiation worker in IEBE have been done...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>