Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Uji Arum Ismartini
"ABSTRAK
Anak merupakan harta yang paling beiiiarga bagi orangtua. Khususnya
bagi ibu, anak yang lahir dengan sehat dan tidak berkelainan memilild simbol
bahwa ibu mampu memberikan ketuninan yang baik.
Berbedajika anak yang dilahirkan memilild kelainan Down Syndrome. Hal
ini dapat membuat ibu mengalami shock dan kekecewaan yang hebat (Ashman &
Eikins, 1994), karena kelainan Down Syndrome dapat terlihat dengan jelas,
sehingga dapat menimbulkan reaksi lingkungan yang d£Q}at berpengaruh teriiadap
penerimaan ibu. Selain itu hadin^ra anak Down Syndrome akan berpengaruh pada
pengaturan waktu luang dan ekonomi keluarga Harapan ibu juga akan menurun
setelah mengetahui keterbatasan-keterbatasan yang dimilild anak
Untuk dapat menerima kondisi anaknya, ibu membutuhkan waktu yang
relatif cukup panjang. Diawali dengan perasaan shock, sedih dan kecewa (primary
phase). Kemudian dalam diri ibu akan timbul rasa marah, bersalah, ambivalensi
dan maiu (secondary phase). Kondisi ini akan terns berlangsung hingga ibu
menyadari bahwa anaknya membutidikan intervensi yang tepat (tertiary phase)
(Kubler-Ross dalam Gargiulo, 1985). Pada saat ini dapat dikatakan bahwa ibu
sudah dapat menerima kondisi anaki^a, walaupun penerimaaniQra tidak akan
pemah sempuma karena perasaan sedih dan depresi akan selalu muncul (Gargiulo,
1985).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses penerimaan ibu antara lain
adalah sikap lingkungan dan kerabat dekat (significant others), reaksi abnormal
anak, kesenjangan yang timbul antara harapan dan kenyataan, serta tingkat
ekonomi dan orientasi pendidikan. Kesemuanya itu saling berinteraksi dengan
proses yang ibu alami d^am menerima kondisi anak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses penerimaan
ibu anak Down Syndrome yang berusia kurang dari lima tahun. Penerimaan ibu
merupakan hal yang penting bagi anak Down Syndrome, karena semakin cepat ibu
dapat menerima kondisi anak, semakin cepat ibu dapat mengambil tindakan
selanjutnya untuk meningkatkan kemampuan anak. Lima tahun pertama
merupakan masa yang relatif berat bagi ibu, dimana ibu memperoleh diagnosa
yang akurat, kemudian mengalami berbagai emosi yang berfluktuasi, hingga
akhimya dapat menerima kondisi anak (Tumbull, dkk. dalam Heward, 1996).
Taliun-tahun selanjutnya ibu sudah mulai dapat mengorganisasi kehidupan seharihari,
dan kekhawatiran pada anak sudah mulai berkurang. Untiik dapat mengetahui proses penerimaan teisebut, digunakan
pendekatan kualitatif dengan metode single case study. Sampel diperoleh melalui
prosedur typical purposeful sampling. Data penelitian diperoleh melalui
wawancara dan observasi terhadap tiga orang ibu yang memiliki anak Down
Syndrome benisia kurang dari lima tahun dan tinggal bersama anak teisebut.
Untuk memenuhi etika penelitian, maka identitas asli dari subjek disamarkan
sedemikian rupa sehingga tidak tersebar luas. Penelitian ini divalidasi dengan
menggunakan metode member checks. Data yang diperoleh dianalisa dengan cara
koding.
Hasil dari penelitian mi menunjukkan bahwa pada ketiga ibu muncul
reaksi-reaksi primary, secondary, dan tertiary phase. Hanya saja, tidak semua ibu
mengalaminya. Misdnya saja sebagian ibu merasa shock dengan hadimya anak
Dawn Syndrome, namun ada ibu yang tidak merasa shock. Kemudian, sebagian
ibu tidak malu dengan kondisi anaknya, tetapi ada pula ibu yang malu dan risi
dengan kondisi anakya. Dari ketiga subjek juga diketahui bahwa reaksi ^ef and
depression teijadi sejak anak Dawn Syndrome lahir dan masih berlanjut faingga
saat ini. Sedangkan adaptasi teihadap anak yang merupakan bagian dari tertiary
phase tennyata muncul sejak awal, beberapa saat setelah anak didiagnosa
mengalami Dawn Syruirome. Ketiga subjek juga menunjukkan bahwa reaksireaksi
yang mereka ^ami tidak berurutan, seperti ibu yang tidak mengalami reaksi
tertentu, kemudian "lompat" pada reaksi selanjutnya. Selain itu juga diketahui
reaksi-reaksi yang merupakan bagian dari secondary phase temyata muncul pada
saat ibu sedang berada pada primary phase. Begitu juga dengan tertiary phase
yang muncul saat ibu sedang berada pada secondary phase, sehingga dapat
dikatakan bahwa proses penerimaan yang dilewati ibu anak Dawn Syndrome
mengalami tumpang tindih. Hal ini sebenamya merupakan fenomena yang wtgar,
karena tergantung sepenuhnya pada keunikan individu masing-masing (Gargiulo,
1985). Dari hasil penelitian juga dapat disimpulkan bahwa pada akhimya ketiga
subjek dapat menerima kondisi anak mereka, tenitama karena adanya dukungan
dari orang terdekat dan lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan pada ibu yang memiliki
anak Down Syndrome untuk mengjkuti program parent support group, sehingga
dapat berbagi cerita dengan ibu-ibu lain yang juga memiliki anak Down
Syndrome. Selain itu bagi konselor yang terlibat dalam parent support group,
(hsarankan untuk memfokuskan pada tahap penerimaan yang dialami ibu,
sehingga dapat memberikan penanganan yang lebih tepat. Kemudian bagi yang
berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut, dapat digunakan metode lain
dalam kerangkan kualitatii^ kemudian menggunakan sumber data yang lebih
bervariasi. Dengan demikian hasil yang diperoleh dapat lebih kaya."
2001
S2804
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fina Devy Aryanti
"Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikarakteristikkan dengan keterlambatan perkembangan yang dapat mempengaruhi kemandirian anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemandirian dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari pada anak dengan sindrom Down usia sekolah dan remaja dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif non-eksperimen. Responden penelitian berjumlah 43 orang tua/ pengasuh anak dengan sindrom Down di Kota Depok.
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas anak berada dalam kategori mandiri sebagian: 31 anak (72,1%); selebihnya mandiri total: 7 anak (16,3%) dan ketergantungan total: 5 anak (11,6%). Untuk itu, diperlukan pendidikan kesehatan dan dukungan emosional bagi keluarga, untuk mencapai kemandirian yang optimal pada anak dengan sindrom Down.

Down syndrome is a genetic disorder which characterized by lack of developmental that may affect the child's independence. This study aims to determine the level of independence of child with Down syndrome in school age and adolescents. This study used descriptive quantitative non-experimental approach with 43 parents or caregivers of child with Down syndrome in Depok.
The result showed that the majority of respondents belongs to modified independence: 31 children (72,1%), while respondents who belongs to total independence: 7 children (16,3%) and total dependence: 5 children (16,3%). For the reason, health education and emotional support for families is needed to achieve optimum independence in children with Down syndrome.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S52891
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Afriana Legita
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S7677
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Pebrina
"WHO memperkirakan terdapat 8 juta penderita Down syndrome di dunia. Spesifiknya, ada 3.000-5.000 anak lahir mengidap kelainan kromosom per tahunnya. Down syndrome menimpa satu di antara 700 kelahiran hidup atau 1 diantara 800-1000 kelahiran bayi. Kejadian down syndrome bertambah sesuai dengan meningkatnya usia ibu hamil. Berdasarkan data Riskesdas, terdapat 0,12% penderita down syndrome pada 2010. Berdasarkan data Riskesdas, terdapat 0,12% penderita down syndrome pada 2010. Angka itu meningkat jadi 0,13% di 2013 dan data terbaru meningkat menjadi 0,21% pada 2018. Penyebab yang spesifik belum diketahui, tapi kehamilan oleh ibu yang berusia diatas 35 tahun beresiko tinggi memiliki anak down syndrom. Pada ibu yang berusia lebih dari 35 tahun, insidensi meningkat sampai 1 dari 300 kelahiran. Sedangkan pada ibu usia di atas 40 tahun, insidensi meningkat secara drastis mencapai 1 dari 10 kelahiran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan usia ibu saat hamil dengan kejadian down syndrome pada anak usia 0 – 59 bulan di Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2018. Peneliti menggunakan desain studi cross-sectional menggunakan data sekunder dari survei Riskesdas 2018. Jumlah sampel 73.200 responden. Analisis yang digunakan uji regresi logistik biner. Signifikan secara statistik hubungan antara usia ibu saat hamil dengan kejadian down syndrome pada anak usia 0-59 bulan di Indonesia berdasarkan data Riskesdas dengan p-value = 0,000 dan POR 0,942 atau 1 (95% CI 0,918 – 0,967). Perlu dilakukan edukasi kepada wanita produktif mengenai risiko kehamilan di usia tua.
.......WHO estimates that there are 8 million people with Down syndrome in the world. Specifically, there are 3,000-5,000 children born with chromosomal abnormalities per year. Down syndrome affects one in 700 live births or 1 in 800-1000 babies. The incidence of Down syndrome increases with the increasing age of pregnant women. Based on Riskesdas data, there were 0.12% of people with Down syndrome in 2010. Based on Riskesdas data, there were 0.12% of people with Down syndrome in 2010. The rate increased to 0.13% in 2013 and the latest data increased to 0.21% in 2018. The specific cause is not yet known, but pregnancy by mothers over the age 35 years of high risk of having Down syndrome children. In mothers over 35 years of age, the incidence increases to 1 in 300 births. Meanwhile, for mothers over 40 years of age, the incidence increases drastically, reaching 1 in 10 births. This study aims to determine the relationship between maternal age at pregnancy and the incidence of Down syndrome in children aged 0-59 months in Indonesia based on 2018 Riskesdas data. Researcher used a cross-sectional study design using secondary data from the 2018 Riskesdas survey. The total sample was 73,200 respondents. The analysis used binary logistic regression test. Statistically significant relationship between maternal age at pregnancy and the incidence of Down syndrome in children aged 0-59 months in Indonesia based on Riskesdas data with p-value = 0,000 and POR 0.942 or 1 (95% CI 0.918 - 0.967). It is necessary to educate productive women about the risks of pregnancy at old age"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Kartika Suryani
"Latar belakang: Sindrom Down merupakan kelainan kromosom tersering. Anak dengan SD memiliki beberapa faktor risiko terhadap OSA dengan prevalens di berbagai negara yaitu antara 30-60 , dibandingkan 0,7-2 pada populasi umum. Hingga saat ini belum ada data mengenai OSA pada anak sindrom Down di Indonesia. Tujuan: Mengidentifikasi prevalens OSA pada anak sindrom Down dan menganalisis hubungan antara habitual snoring, obesitas, penyakit alergi di saluran napas, hipertrofi tonsil, dan hipertrofi adenoid sebagai faktor risiko OSA pada anak sindrom Down. Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada anak sindrom Down berusia 3-18 tahun yang tergabung dalam Yayasan POTADS. Penelitian dilakukan di Poliklinik Respirologi IKA FKUI RSCM dari bulan Juli 2016 hingga Juli 2017. Penegakkan diagnosis OSA menggunakan nilai batas AHI 3 pada pemeriksaan poligrafi. Faktor-faktor risiko yang dianggap berpengaruh dianalisis secara multivariat. Hasil: Penelitian dilakukan terhadap 42 subjek dengan hasil prevalens OSA pada anak dengan SD sebesar 61,9 . Sebesar 42,9 merupakan OSA derajat ringan, 14,3 OSA sedang, dan 4,8 OSA berat. Pada analisis multivariat didapatkan faktor risiko yang bermakna yaitu habitual snoring p=0,022 dan PR 8,85; IK 1,37-57 dan hipertrofi adenoid p=0,006 dan PR 12,93; IK 2,09-79 . Simpulan: Prevalens OSA pada anak sindrom Down sebesar 61,9 . Faktor risiko yang bermakna yaitu habitual snoring dan hipertrofi adenoid.
......Background Down syndrome DS is the most common chromosomal disorder. Children with DS have predisposing factors to OSA with prevalence 30 60 , compared with 0.7 2 in the general child population. Until now there is no data about OSA in DS children in Indonesia. Objective To identify the prevalence of OSA in DS and to analyze the effect of habitual snoring, obesity, airways allergic diseases, tonsillar hypertrophy, and adenoid hypertrophy as risk factor for OSA. Method This is a cross sectional study, held in Respirology Clinic of IKA FKUI RSCM Jakarta from July 2016 to July 2017. Subjects in this study were DS children aged 3 18 years who are members of the Foundation POTADS Parents Association of Children with Down Syndrome . OSA was diagnosed by polygraphy examination with cutoff AHI ge 3. The risk factors that are considered important are then analyzed multivariately. Results OSA prevalance among 42 subject are 61,9 . Degree of OSA are 42.9 mild, 14.3 moderate, and 4.8 severe. In the multivariate analysis, the significant risk factor are habitual snoring p 0,022 and PR 8,85 CI 1,37 57 and adenoid hypertrophy p 0,006 and PR 12,93 CI 2,09 79 . Conclusion Prevalence of OSA in DS children is 61,9 . The significant risk factor are habitual snoring and adenoid hypertrophy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vinchia
"Pasien trisomi21 memiliki peningkatan resiko leukemia terutama tipe Leukemia Mielositik Akut(LMA). Proses leukemogenesis terjadi dalam 3 hit. Hit pertama adalah trisomi 21, hit kedua adalah varian gen GATA1 dan hit ketiga adalah mutasi somatik lainnya. Hit pertama dan kedua cukup untuk menyebabkan Transient Abnormal Myelopoiesis (TAM). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pola varian gen GATA1 dalam memengaruhi TAM. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pasien dianamnesa dan dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan patologi klinik dan ekstraksi DNA. DNA akan dilakukan PCR, elektroforesis dan Sanger Sequencing. Data akan dilakukan analisis bioinformatik. Subyek terbanyak berusia 0-1 bulan(45,75%), dilahirkan oleh ibu <35 tahun(78,1%) dan lebih banyak dijumpai pada kehamilan multipara(71,8%). Kelainan laboratorium yang paling sering adalah anemia, dan lebih banyak dijumpai pada pasien 0-1 bulan, kelahiran aterm dari ibu primipara. Dari hasil analisis bioinformatik ditemukan 79 varian dan pada 32 pasien, di antaranya 10 silent, 67 missense dan 2 nonsense. Pada pengujian patogenisitas, nonsense mutation dapat diklasifikasikan sebagai pathogenic. Pada pasien TAM lebih banyak dijumpai hanya gejala laboratorium(62.5%) daripada pasien dengan gejala klinis dan laboratorium(37.5%). Keseluruhan varian nonsense menunjukkan gejala klinis dan laboratorium, pada varian missense didapatkan 47,7% sampel hanya dengan gejala laboratorium, sedangkan pada silent variant didapatkan 30% sampel dengan gejala laboratorium.
......Trisomy21 have increased risk of Acute Myelocytic Leukemia(AML). Leukemogenesis occurs in 3 hits. The first hit was trisomy21, the second hit was GATA1 gene variant and third hit was somatic mutation. The first and second hit were enough to cause Transient Abnormal Myelopoiesis(TAM). The purpose of this study was to determine the variant of GATA1 gene in influencing TAM. This research is descriptive cross-sectional research. Anamnesis dan physical examination will be done. Blood samples will be taken. DNA will be further processed through PCR, electrophoresis and Sanger Sequencing. The data will be analyzed bioinformatically. Most subjects were aged 0-1month(45.75%), borned to mothers <35years (78.1%) and were more common in multiparous pregnancies(71.8%). The most frequent laboratory abnormalities are anemia, these are more common in patients aged 0-1month, born aterm from primiparous mothers. From the results of bioinformatic analysis, 79 variants were found in 32patients, of which 10were silent, 67were missense and 2were nonsense. In pathogenicity testing, we found this nonsense variant is pathogenic. TAM patients were frequently found with laboratory symptoms only(62.5%). All of the nonsense variants show clinical and laboratory symptoms. In missense variant, 47.7% of the samples only show laboratory symptoms, while 30%silent variant shows laboratory symptoms only."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nangoy, Isadora Maria Marti
"ABSTRAK
Sindrom Down termasuk gejala keterbelakngan mental karena faktor genetik. Gejala tersebut menyebabkan munculnya gangguan fonologis herupa gangguan artikulasi dan ketidaklancaran bertutur.
Untuk menganalisis gangguan fonologis pada penyandang sindrom Down diperlukan fonologi, yaitu bidang yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya, sebagai landasan teori.
Karya ini merupakan sehuah penelitian fonologi pads lima penyandang sindrom Down di SLBIC Sumber Asih I. Analisis yang dilakukan dalam penelitian yaitu analisis fonologi segmental yang meliputi analisis vokal dan konsonan, gugus vokal dan konsonan, distribusi fonologi dan fonotaktik. Data yang dipakai unutk menganalisis berupa tuturan spontan yang berisi cerita mengenai situasi keluarga di ruang keluarga.
Dari hasil analisis tersebut, disimpulkan bahwa kemainpuan fonologi pada penyandang Sindrom Down lebih buruk dihandingkan dengan kemampuan morlalogi, sintaksis dan semantik. Penyandang Sindrom Down mampu menghasilkan fonem, walaupun banyak terjadi penyimpangan fonem dalam pengucapan, terutama padabunyi-bunyi getar, letupan bersuara, frikatif dan afrikat. Penyimpangan tersebut muncul dengan teratur membentuk pola-pola penyimpangan. Selain itu muncul pull neologisme.
Dengan melihat kemampuan pengujaran pada penyandang Sindrom Down diharapkan dapat dicari jalan keluar untuk menghilangkan penyimpangan Ibnologi sebanyak mungkin pada penyandang tersehut. Hal itu dapat dilakukan dengan cara latihan pengucapan secara intensif sejak dini.

"
1995
S11332
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiendas, Olivia K.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3260
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desy Chrisnatalia
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3279
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frascilly Grasia
"Down syndrome merupakan suatu kondisi yang berkaitan dengan keterbatasan perkembangan. Adanya keterbatasan ini membuat anak down syndrome membutuhkan caregiver untuk membantu mereka melaksanakan aktivitas seharihari. Caregiver dapat mengalami dampak negatif akibat merawat anggota keluarga yang memiliki kebutuhan khusus. Salah satu dampak negatifnya adalah caregiver strain. Caregiver strain dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah dukungan sosial. Caregiver strain dapat berkurang jika caregiver mendapatkan dukungan sosial, khususnya perceived social support.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara caregiver strain dan perceived social support. Metode pengambilan data yang dilakukan adalah pengisian kuesioner dan melakukan probing terhadap item dalam kuesioner caregiver strain (Modification of Caregiver Strain Index). Kemudian partisipan diminta untuk mengisi kuesioner perceived social support (Multidimensional Scale of Perceived Social Support).
Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif antara caregiver strain dan perceived social support dengan r=-.174, namun tidak signifikan dengan p>0,05. Pada penelitian ini, partisipan ditemukan memiliki caregiver strain yang relatif rendah dan perceived social support yang relatif tinggi.
......Down syndrome is condition related with developmental impairment. These impairments make the child with Down syndrome needs caregiver to help them carry out their daily activities. Caregiver may be negatively impacted due to caring for family members with special needs. One of the negative impacts is caregiver strain. Caregiver strain is influenced by several factors. One factor that influence caregiver strain is social support. Caregiver strain can be reduced if the caregiver get social support, especially perceived social support.
This study aimed to examine the correlation between caregiver strain and perceived social support. Method of data collection was questionnaires and do some probing to the items in the questionnaire caregiver strain (Modification of Caregiver Strain Index). Then participants were asked to complete a questionnaire perceived social support (Multidimensional Scale of Perceived Social Support).
The results showed a negative relationship between caregiver strain and perceived social support with r = - .174, but not significant with p> 0.05. In this study, participants were found to have relatively low caregiver strain and perceived social support were relatively high."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45758
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>