Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Aisyah Rahmawati
"Latar belakang: Diagnosis dry eye disease (DED) ditegakkan dengan serangkaian pemeriksaan gejala subjektif dam tanda klinis objektif, namun sayangnya alat penunjang pemeriksaan tidak selalu dimiliki oleh fasilitas layanan kesehatan, sehingga kuesioner yang valid dan reliabel berperan sebagai alternatif untuk menegakkan diagnosis. Kuesioner dry eye Indonesia yang telah dikembangkan untuk populasi Indonesia masih belum tervalidasi dengan jumlah pertanyaan yang belum ideal. Tujuan: Mendapatkan item pertanyaan kuesioner dry eye Indonesia bagian diagnosis yang valid dan reliabel serta mengetahui korelasi klinis antara gejala subjektif dan tanda klinis objektif DED pada pasien. Metode: Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu (1) focus group discussion (FGD) untuk menilai content validity index (CVI), (2) pretesting untuk menilai cognitive debriefing, validitas, dan reliabilitas pada 30 sampel, dan (3) testing untuk menilai validitas, reliabilitas, dan korelasi klinis dengan tanda klinis objektif pada 60 partisipan. Partisipan melengkapi kuesioner dry eye Indonesia dan ocular surface disease index (OSDI), kemudian dilakukan uji tear break up time (TBUT), tear break up pattern (TBUP), pewarnaan okular, dan Schirmer. Hasil: Jumlah pertanyaan kuesioner dry eye Indonesia dari studi sebelumnya adalah 31 item. Dari hasil FGD dikerucutkan menjadi 14 item pertanyaan, dengan nilai CVI 0,98. Pada tahap pretesting, seluruh item dinyatakan dapat dipahami oleh seluruh subjek dengan nilai validitas dan reliabilitas baik. Dari hasil testing, didapatkan validitas yang dinilai dari corrected item total correlation dan reliabilitas yang dinilai dari Cronbach’s alpha yang baik pada 10 item pertanyaan kuesioner. Sensitivitas dan spesifisitas kuesioner didapatkan 91,1% dan 100% dengan AUC 98,2% (IK95% 94,4%-100%), nilai potong diagnosis DED adalah 10,5. Skor kuesioner dry eye Indonesia didapati berkorelasi positif kuat dengan skor OSDI (r=0,808; p<0,001) dan berkorelasi negatif lemah (r=- 0,339; p=0,008) dengan TBUT, namun tidak didapati korelasi yang bermakna terhadap Schirmer dan pewarnaan okular. Kesimpulan: Kuesioner dry eye Indonesia bagian diagnosis memiliki validitas, reliabilitas, serta sensitivitas dan spesifisitas yang sangat baik untuk mendiagnosis DED. Korelasi klinis antara skor kuesioner dry eye Indonesia didapatkan bermakna terhadap skor OSDI dan TBUT.
......Background: Diagnosis of dry eye disease (DED) is established through a series of examinations of subjective symptoms and objective clinical signs. Unfortunately, diagnostic tools are not always available in healthcare facilities, making valid and reliable questionnaires an alternative for diagnosis. Indonesian dry eye questionnaire developed for the Indonesian population has not yet been validated with an ideal number of questions. Objective: To obtain valid and reliable diagnostic questions for the Indonesian dry eye questionnaire and to determine the clinical correlation between subjective symptoms and objective clinical signs of DED in patients. Methods: This study consists of three stages: (1) focus group discussion (FGD) to assess the content validity index (CVI), (2) pretesting to evaluate cognitive debriefing, validity, and reliability in 30 samples, and (3) testing to assess the validity, reliability, and clinical correlation with objective clinical signs in 60 participants. Participants completed the Indonesian dry eye questionnaire and the Ocular Surface Disease Index (OSDI), followed by testing tear break-up time (TBUT), tear break-up pattern (TBUP), ocular staining, and Schirmer. Results: Thenumber of questions in the Indonesian dry eye questionnaire from the previous study was 31 items, narrowed down to 14 items through FGD with a CVI value of 0.98. In the pretesting stage, all items were found to be understandable by all subjects with good validity and reliability. In the testing phase, 10 questionnaire items showed good validity assessed from corrected item total correlation and reliability assessed from Cronbach’s alpha. The questionnaire demonstrated a sensitivity of 91.1%, specificity of 100%, and an AUC of 98.2% (95% CI 94.4%-100%), with a diagnostic cutoff score for DED at 10.5. The Indonesian dry eye questionnaire score showed a strong positive correlation with OSDI score (r=0.808; p<0.001) and a weak negative correlation (r=- 0.339; p=0.008) with TBUT, but no significant correlation was found with Schirmer and ocular staining. Conclusion: The diagnostic section of the Indonesian dry eye questionnaire has excellent validity, reliability, sensitivity, and specificity for diagnosing DED. Clinical correlations were found between the questionnaire score and OSDI score and TBUT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nendyah Roestijawati
"Latar Belakang : Penggunaan VDT merupakan salah satu faktor risiko sindroma dry eye pada pekerja. Faktor risiko lainnya adalah faktor pekerja dan lingkungan kerja. Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan penggunaan VDT, faktor pekerja dan lingkungan kerja dengan sindroma dry eye pada karyawan Universitas X Jakarta.
Metoda Penelitian : Desain penelitian cross sectional. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner, sedangkan untuk data lingkungan kerja dilakukan dengan pengukuran. Diagnosis sindroma dry eye ditegakkan dengan pemeriksaan tes Schirmer dan Break-up Time (BUT).
Hasil : Prevalensi sindroma dry eye pada karyawan Universitas X Jakarta sebesar 48,61%. Tidak didapatkan hubungan bermakna penggunaan VDT, faktor pekerja dan lingkungan kerja dengan sindroma dry eye pada karyawan Universitas X. Faktor yang berhubungan dengan sindroma dry eye pada karyawan pengguna VDT di Universitas X Jakarta adalah usia.
Kesimpulan dan saran : Perlunya upaya pencegahan sindroma dry eye melalui pemeriksaan kesehatan mata secara berkala terutama kemampuan akomodasi mata yang menurun seiring dengan meningkatnya usia.

Association Between Visual Display Terminal (VDT) Work, Worker And Workplace Environment Factors With Dry Eye .Syndrome In Universitas X JakartaBackground : VDT work is risk factor for dry eye syndrome. The other risk factor of thy eye syndrome are worker and workplace environment _factors. To find out association between VDT work, worker and workplace environment factors with thy eye syndrome a study was done in X University Jakarta.
Methods : A cross sectional study was used. Data of VDT work was collected by questionnaire, while for workplace environment was collected by measurement. Dry eye syndrome was determined using Schirmer test and Break-up Time (BUT) test.
Results' : The prevalence of dry eye syndrome among workers in X University Jakarta is 48,61%. There was no association between VDT work, worker and workplace environment factors with dry eye syndrome. The risk factor that associated with dry eye syndrome among VDT worker was age.
Conclusions : Periodical medical check up was needed to prevent dry eye syndrome especially eye accommodation examination that related with age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T 13644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darwin Gozali
"Tujuan: Menilai efektifitas dan efek samping fluorometolon (full) 0,1% dalam penatalaksanaan dry eye tipe defisiensi akuos
Metode: Penelitian ini merupakan studi uji Minis prospektif, randomisasi dan tersamar ganda di sebuah panti wredha. Sebanyak 35 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini merupakan dry eye defisiensi akuos tipe non-Sjogren. Subjek diacak ke dalam 2 kelompok yaitu kelompok I mendapatkan fluorometolon 0,1% dan kelompok 2 mendapatkan hidroksipropil metilselulosa 0,3% (kontrol). Penilaian efektifitas berdasarkan skor gejala, tes Schirmer tanpa anestesi, fluorescein break up time (FBUT), pewarnaan fluoresein dan sensitivitas kornea dilakukan pada hari 0, 14 dan 28. Pemeriksaan derajat metaplasia skuamosa dilakukan 2 kali yaitu pada hari 0 dan 28. Penilaian efek samping dilihat dari tekanan intraokular dan katarak. Analisis statistik dilakukan di dalam dan antar kelompok.
Hasil: Kedua kelompok mengalami perbaikan gejala, tanda klinis dan derajat metaplasia yang bermakna dari data dasar. Namun tidak didapatkan perbaikan bermakna antara hari 14 dan 28 pada kelompok kontrol. Hasil tes Schirmer dan FBUT lebih baik secara bermakna di kelompok fluorometolon dibanding kelompok kontrol pada hari 14 dan 28. Perbaikan pewarnaan fluoresein lebih berkurang secara bermakna pada kelompok fluorometolon dibanding kelompok kontrol pada hari 28. Skor gejala, sensitivitas kornea dan perbaikan derajat metaplasia tidak berbeda bermakna antar kelompok namun cenderung lebih balk pada kelompok fluorometolon. Efek samping berupa rasa Iengket dan gatal pada ke dua kelompok tidak berbeda bermakna. Tekanan intraokular cenderung stabil dan tidak didapatkan progresifitas katarak selama penelitian.
Kesimpulan: Fluorometolon 0,1% topikal memberikan perbaikan gejala dan tanda Minis yang bermakna pada dry eye defisiensi akuos tipe non-Sjogren.

Purpose: To evaluate the effectiveness and safety of fluorometholone (fml) 0.1% in non-Surgery dry eye syndrome.
Methods: A prospective, randomized, double-masked, clinical trial was conducted in a nursing home. Thirty-five non-Sjogren dry 'eye subjects were included in the study. The subjects were randomized into two groups. Group 1 subjects received fluorometholone 0.1% and group 2 received hydroxypropyl methylcellulose (control). The eye symptom severity score, Schirmer test without anesthesia values, fluorescein break up time (FBUT), fluoresecein staining scores and corneal sensitivity were evaluated before treatment, 14 and 28 days after start the treatment. The degree of squamous metaplasia was evaluated before treatment and day 28. Intraocular pressure, cataract formation and other side effects were recorded to evaluate the safety in both groups. Statistical analyses were performed within and between groups.
Results: Both groups had significant differences compared with their baseline measurements in all of the parameters. However, subjects in the control group showed no significantly improvements between day 14 and day 30. There were no significant differences between groups on symptom severity score and corneal sensitivity on day 14 and 28. The degree of squamous metaplasia was not significantly different between groups on day 28. The FML group had significantly better Schirmer test value and FBUT on days 14 and 28 compared to control group. The fml group subjects also had significantly lower fluorescein staining on days 28. The side effects detected in fml group were sticky and itchy, comparable to control group. Intraocular pressure was stable and no progression of cataract formation.
Conclusion: Topical fluorometholone 0.1% had a clearly beneficial effect both on subjective and objective clinical parameters of non-Sjogren dry eye patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giovani Faustine
"Prevalensi populasi dan manifestasi penderita dry eye bervariasi. Aktivasi jalur pensinyalan stres pada permukaan epitel okuler, sel imun bawaan, dan sel imun adaptif akan meningkatkan produksi beberapa sitokin inflamatorik, seperti IFN-Y yang memicu apoptosis sel dan sekresi IL-17 yang melisis tight-junction, menginduksi perubahan epitel, mendestabilisasi lapisan air mata, mengamplifikasi inflamasi dan menciptakan siklus tak henti. Lutein merupakan golongan antioksidan Y-karotenoid yang terbukti memiliki efek protektif dan menghambat inflamasi yang diinduksi oleh berbagai stimulator in vitro dan in vivo. Pada penelitian ini dilakukan perbandingan kadar IFN-Y dan IL-17 pada model mencit dry eye tanpa diberi dan yang diberi suplementasi lutein selama 10 hari. Metode induksi dry eye dilakukan menggunakan kombinasi antara evaporatif dan insufisiensi lakrimal. Pengamatan kondisi akhir klinis dan perhitungan sel goblet didokumentasikan dan dihitung. Pengukuran kadar IFN-Y dan IL-17 dilakukan menggunakan ELISA. Hasil akhir menunjukkan adanya perbedaan signifikan kondisi klinis dan konsentrasi sel goblet model hewan coba antara kelompok tanpa lutein dan kelompok dengan pemberian lutein. Tidak ada perbedaan signifikan kadar IFN-Y dan IL-17 antar kelompok uji coba. Belum diketahui pasti efek langsung lutein terhadap kadar IFN-Y dan IL-17. Lutein memiliki tendensi untuk menurunkan inflamasi, melindungi jaringan permukaan okuler sel goblet, dan meregenerasi sel goblet.
......Population prevalence and manifestation of dry eye patient vary statistically. Activation of stress signaling pathways, residential immune cells, and adaptive immune cells on ocular epithelial surface will increase inflammatory cytokines, such as IFN-Y production which ignites cell apoptosis and IL-17 which lyses tight-junction, induces epithelial changes, destabilizes tear film, amplifies inflammation and creates an endless loop. Lutein is a Y-carotenoid antioxidant which has been proven to has protective and anti-inflammatory effect. This research compared IFN-Y and IL-17 levels between dry eye mice model without and with lutein supplementation for 10 days. Combination between evaporative and lacrimal insufficiency as dry eye induction method was choosen. Clinical condition and goblet cells concentration were documented and measured. IFN-γ and IL-17 measurements were done using ELISA. There were significant differences between clinical descriptions and goblet cell concentration between groups but there are no statistically significant differences in IFN-Y and IL-17 level between groups. There has been no specific direct effect of lutein on IFN-Y and IL-17 level. Lutein has tendencies to lower inflammation, protects ocular surface from dessication, and has potency to regenerates goblet cells."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fredy Christianto
"Latar Belakang: Dry eye disease (DED) merupakan sekelompok gangguan pada lapisan tirai mata yang terjadi akibat penurunan produksi air mata atau instabilitas dari tirai mata. Salah satu penyebab terjadinya DED adalah penurunan sekresi air mata akibat penurunan refleks berkedip, yang sering terjadi pada pekerja visual display terminal (VDT). Blinking therapy merupakan salah satu terapi yang dapat diberikan pada penderita DED untuk meningkatkan blink rate dan menurunkan jumlah incomplete blink. Metode: Pencarian literatur dilakukan pada database Pubmed, Cochrane Library, dan Google Scholar dengan kata kunci dry eye disease, blinking therapy, dan ocular surface disease index. Pencarian menghasilkan tiga artikel terpilih yang kemudiaan ditelaah kritis. Hasil: Blinking therapy dapat dilakukan secara konvensional, menggunakan software animasi pada komputer, ataupun menggunakan kacamata khusus wink glass. Blinking therapy dapat memberikan perubahan nilai OSDI yang signifikan secara statistik dalam jangka waktu terapi 20 menit hingga 4 minggu. Kesimpulan: Blinking therapy dapat digunakan sebagai tata laksana pada pasien dengan DED untuk memperbaiki gejala mata kering sesuai dengan parameter yang dinilai pada OSDI.
......Background: Dry eye disease (DED) is a group of tear film disturbances that is caused by decrease in tear production or tear film instability. One of the causes of DED is reduced tear secretion, which often happens in visual display terminal (VDT) workers. Blinking therapy is one of the therapies that can be given to DED patients to increase blink rate and reduce the number of incomplete blinks.
Methods: Literature searching was done on database such as Pubmed, Cochrane Library, and Google Scholar. The keywords used on the literature searching were dry eye disease, blinking therapy, and ocular surface disease index. Three articles were chosen and critically appraised.
Results: Blinking therapy can be done using conventional method, using animation software on computer, or by using specifically designed wink glass. Blinking therapy shows statistically significant changes in OSDI scores with therapy duration ranging from 20 minutes to 4 weeks.
Conclusion: Blinking therapy can be done as a treatment for DED patients to improve dry eye symptoms as measured in OSDI. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Ardiyati Apriani
"Latar belakang dan tujuanDry eye merupakan kelainan yang paling sering ditemui dalam bidang ilmu kesehatan mata dan sering dialami oleh wanita menopause. Gejala yang dikeluhkan pasien yaitu mata terasa perih, seperti ada pasir, lengket, gatal, pegal, merah, rasa menusuk, rasa terbakar, cepat merasa mengantuk dan cepat lelah. Keluhan ini mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Akupunktur dapat memperbaiki keluhan pasien dry eye. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek dan angka keberhasilan akupunktur terhadap perbaikan nilai Uji Schirmer I dan Skor OSDI dibandingkan dengan Carboxymethyl-celullose CMC 0,5 pada dry eye yang dialami wanita menopause.MetodePenelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimental. Penelitian terdiri atas 69 pasien dry eye yang dialami wanita menopause terdiri dari 23 orang kelompok CMC 0,5 , 23 orang kelompok 1x akupunktur dan 23 orang kelompok 2x akupunktur. Pada kelompok CMC 0,5 diberikan obat tetes mata CMC 0,5 4 kali 1 tetes setiap hari selama 7 hari. Pada kelompok 1x akupunktur dilakukan penusukan pada titik Ex HN3 Yintang, GB 1 Tongziliao, BL1 Jingming, LI 4 Hegu, LR 3 Taichong, SP6 Sanyinjiao dan GB 37 Guangming selama 20 menit. Pada kelompok 2 kali akupunktur dilakukan penusukan pada titik yang sama dan diulang pada hari ketiga setelah perlakuan pertama. Dilakukan evaluasi efek terapi pada hari ke-1, hari ke-3, hari ke-7 dan hari ke-14 pasca perlakuan.HasilAkupunktur mempunyai efek dalam meningkatkan nilai uji Schirmer I dan menurunkan skor OSDI. Angka keberhasilan CMC 0,5 87 , 1x akupunktur 91.3 dan 2x akupunktur 100 terhadap nilai uji Schirmer I pada evaluasi hari ke-7 pasca perlakuan. Angka keberhasilan CMC 0,5 91.3 , 1x akupunktur 87 dan 2x akupunktur 100 terhadap skor OSDI pada evaluasi hari ke-7 pasca perlakuan. Tidak ada efek samping yang timbul pada penelitian ini.KesimpulanEfek Akupunktur sama baiknya dengan tetes mata CMC 0,5 dalam memperbaiki Uji Schirmer I dan Skor OSDI pada dry eye yang dialami wanita menopause.
......Background and aimDry eye is most common condition reported by patients who seek opthalmologic care and by menopause women. The symptoms are ocular discomfort, foreign body sensation, sandiness, grittiness, itching,stinging, redness, blurring, burning, sleepiness and tired eyes. These symptom disturb patient rsquo s daily activity. Acupuncture can improve dry eye patient rsquo s complain. This study aim is to evaluate acupuncture efficacy in improving schirmer test I and OSDI score compared CMC 0,5 for dry eye in menopause women.MethodsThis study used the quasi experimental clinical trial. The study consist of 69 patient rsquo s dry eye in menopause women which divided in to 23 patients for CMC 0,5 group, 23 patients for once acupuncture group and 23 patients for twice acupuncture group. In CMC 0,5 group, patients was given 4 times 1 drop everyday for 7 days. In once acupuncture group, acupuncture was doing on Ex HN3 Yintang, GB 1 Tongziliao, BL1 Jingming, LI 4 Hegu, LR 3 Taichong, SP 6 Sanyinjiao dan GB 37 Guangming for 20 minutes. In twice acupuncture group, acupuncture was doing at the same points on the first day and repeated on the 3rd day after the first one. Evaluation was performed at the first, third, seventh and fourtenth days after first therapy.ResultAcupuncture has effect in increase Schirmer I test and decrease OSDI score. The efficasy CMC 0,5 87 , 1x acupuncture 91.3 dan 2x acupuncture 100 in increasing Schirmer I test on the seventh day evaluation. The efficasy of CMC 0,5 91.3 , 1x acupuncture 87 dan 2x acupuncture 100 in decreasing OSDI score on the seventh day evaluation. No side effect happened in this study.ConclusionAcupuncture can improve Schirmer Test I and OSDI score on dry eye menopause women as good as CMC 0,5 "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57641
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Rejoel Mangasa
"Latar belakang: Prevalensi meibomian gland dysfunction (MGD) dilaporkan bervariasi pada rentang 3,6-69,3% karena modalitas diagnostik yang tersedia saat ini masih belum terstandar secara baku. Penilaian meibomian gland (MG) dropout secara manual masih terbatas oleh subjektivitas penilai dalam identifikasi MG, kurang akurat dalam menilai perubahan longitudinal, serta memerlukan waktu dan biaya yang lebih besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah performa diagnostik dari penilaian MGD melalui meibografi dengan bantuan AI setara dengan penilaian MG dropout oleh klinisi menggunakan ImageJ. Metode: Penelitian dilakukan dengan desain cross-sectional dari pasien rawat jalan Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kirana, Jakarta Pusat. Pengolahan data citra meibografi dilakukan dengan dua tahap preprocessing dan pengembangan model artificial intelligence (AI). Pengembangan model AI yang dilakukan menggunakan image embedding VGG16 dan model multilayer perceptron (MLP) pada Orange v3.32.0. 
Hasil: Dari 35 subjek penelitian dengan rerata usia 60,29±2,28 tahun, terdapat 136 data citra meibografi yang dianalisis. Nilai cut-off MG dropout yang terbaik pada nilai 33% yang mana terdapat 107 citra MGD dan 29 citra normal. Model AI menunjukkan performa AUC 83,2%, sensitivitas 89,7%, dan spesifisitas 58,6%. 
Kesimpulan: Penilaian meibografi dengan bantuan AI memiliki performa diagnostik yang baik dalam deteksi MGD. Pendekatan dengan AI dapat digunakan sebagai alat skrining potensial yang efektif dan efesien dalam praktik klinis.
......Introduction: The prevalence of meibomian gland dysfunction (MGD) is reported to vary in the range of 3.6-69.3% because the currently available diagnostic modalities have not been standardized. Manual assessment through meibomian gland (MG) dropout is still has many limitations, such as the subjectivity of the assessor in identifying MG, less accuracy in assessing longitudinal abnormalities and requires more time and costs. This study aims to determine whether the diagnostic performance of MGD assessment through AI-assisted meibography is equivalent to MG dropout assessment by the clinician using ImageJ. 
Methods: The study was conducted with a cross-sectional design from outpatients at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) Kirana, Central Jakarta. The meibography image processing is conducted in two stages preprocessing and the development of artificial intelligence (AI) models. AI model development uses Orange v3.32.0 with VGG16 as image embedding and a multilayer perceptron (MLP) model. 
Results: From 35 subjects with a mean age of 60.29±2.28 years, a meibography dataset was built from 136 eyelid images. Using the MG dropout cut-off value of 33%, there are 107 MGD images and 29 normal images. The AI model showed an AUC performance of 83.2%, a sensitivity of 89.7%, and a specificity of 58.6%. 
Conclusion: AI-assisted meibography assessment has good diagnostic performance in MGD detection. The AI approach has promising potential as an effective and efficient screening tool in clinical practice."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syougie
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penggunaan video display terminal VDT oleh pemandu lalu lintas udara PLLU dalam pekerjaan mereka dapat menyebabkan sindrom mata kering SMK yang berbahaya bagi keselamatan dan keamanan penerbangan. Tujuan: Menilai efektifitas pemberian obat tetes mata sodium hyaluronate pada PLLU Bandara Soekarno Hatta dengan sindom mata kering. Metode Penelitian: Penelitian potong lintang dengan total sampling dilakukan pada PLLU Bandara Soekarno Hatta untuk mencari prevalensi sindrom mata kering. Dilanjutkan penelitian intervensi pre-post pada lima puluh PLLU Bandara Soekarno Hatta yang didiagnosis SMK derajat ringan dengan tes Schirmer kemudian diberikan obat tetes sodium hyaluronate. Efektivitas obat dinilai secara obyektif dengan uji Schirmer dan secara subyektif dengan kuesioner Ocular Surface Disease Index OSDI sebelum dan sesudah pemberian obat. Hasil: Prevalensi sindrom mata kering pada PLLU Bandara Soekarno Hatta sebanyak 60,3 . Ada peningkatan yang signifikan secara statistik untuk kedua uji Schirmer dari 14,58 2,56 menjadi 8,22 1,33 dan skor OSDI dari 16,7 0-46 menjadi 25 0-64,6 setelah tujuh hari pemberian obat. Hal ini juga sejalan dengan kondisi klinis yang menunjukkan pergeseran dari derajat ringan menjadi normal baik untuk tes Schirmer dan kuesioner OSDI. Kesimpulan: Obat tetes Sodium hyaluronate efektif dalam mengatasi sindrom mata kering derajat ringan pada pemandu lalu lintas udara.
ABSTRACT Background The use of video display terminals VDT by air traffic guides ATC can lead to dry eye syndrome DES that rsquo s harmful for safety and security of aviation. Objective Assess the effectiveness of sodium hyaluronate SH eye drops on ATC of Soekarno Hatta Airport with DES. Research Methods Cross sectional studies with total sampling were conducted on ATC of Soekarno Hatta Airport to find prevalence of DES. Followed with pre post intervention study on fifty ATC of Soekarno Hatta Airport which was diagnosed DES mild degree with Schirmer test and then administered SH eye drops. The effectiveness of the drug was assessed objectively by Schirmer test and subjectively by Ocular Surface Disease Index OSDI questionnaire before and after drug administration. Result Prevalence of DES on ATC of Soekarno Hatta Airport is 60,3 . There was a statistically significant increase for both Schirmer tests from 14.58 2.56 to 8.22 1.33 and OSDI scores from 16.7 0 46 to 25 0 64.6 after seven days administration of drugs. This is also in line with clinical conditions that indicate a shift from mild degrees to normal for both Schirmer test and OSDI questionnaire. Conclusion Sodium hyaluronate eye drops are effective in treating mild DES on ATC. "
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library