Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bau Siti Hartinah
"Perjanjian merupakan hubungan hukum yang sering dilakukan pada kehidupan bermasyarakat. Salah satu syarat sah perjanjian adalah syarat subjektif, yaitu kata sepakat. Kata sepakat mungkin saja tidak tercapai pada suatu perjanjian. Tidak tercapainya kata sepakat karena adanya unsur paksaan dalam perjanjian antara para pihak. Pendapat para ahli hukum mengenai definisi paksaan dalam perjanjian dan pertimbangan hakim dalam menentukan ada atau tidaknya unsur paksaan dalam suatu perjanjian. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan deskriptif analisis. Data terdiri dari primer dan sekunder.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa definisi paksaan menurut para ahli hukum ialah perbuatan menakuti seseorang yang menyebabkan orang tersebut takut bahwa dirinya akan menderita kerugian. Terdapat kesesuaian teori dan doktrin yang menjadi dasar hukum di beberapa pengadilan di Indonesia  dalam menentukan adanya unsur paksaan dalam suatu perjanjian. Diperlukan adanya diskusi lebih lanjut untuk mendefinisikan paksaan itu sendiri di antara para sarjana. Sebaiknya Mahkamah Agung memberikan pelatihan hukum kepada hakim-hakim terkait unsur paksaan dalam perjanjian.

Agreement is a legal relationship that is often carried out in community life. One of the legitimate conditions for an agreement is a subjective condition, namely an agreement. An agreement may not be reached on an agreement. Not reaching an agreement because of the element of coercion in the agreement between the parties. The opinions of legal experts regarding the definition of coercion in the agreement and consideration of the judge in determining whether or not there is an element of coercion in an agreement. This study uses a normative juridical method and descriptive analysis. Data consists of primary and secondary.
The results showed that the definition of coercion according to legal experts was the act of frightening someone who caused the person to fear that he would suffer losses. There is a conformity of theory and doctrine which is the legal basis in several courts in Indonesia in determining the element of coercion in an agreement. Further discussion is needed to define coercion itself among scholars. It is recommended that the Supreme Court provide legal training to judges regarding the element of coercion in the agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Matheus Nathanael
"

Munculnya berbagai perdebatan mengenai Daya Paksa (Overmacht) di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keterbatasan rumusan undang-undang yang begitu singkat. Ketentuan mengenai Daya Paksa (Overmacht) pada Pasal 48 KUHP menyebutkan: barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. Undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai persyaratan maupun unsur-unsur dari Daya Paksa (Overmacht). Dengan metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini hendak membahas 3 (tiga) pertanyaan penelitian: Pertama, mengenai hal-hal yang harus dipertimbangkan hakim dalam menentukan keadaan Daya Paksa (Overmacht). Kedua, mengenai perbandingan konsep Daya Paksa (Overmacht) di negara-negara civil law system (Indonesia & Belanda) dan negara-negara common law system (Britania Raya & Australia). Ketiga, mengenai bagaimana hakim mempertimbangkan Daya Paksa (Overmacht) pada putusan pengadilan pidana di Indonesia. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pemahaman terhadap Daya Paksa (Overmacht) di Indonesia masih sangat beragam. Oleh karena itu, hakim dalam mengadili perkara Daya Paksa (Overmacht) seyogyanya mempertimbangkan dan menguji persyaratan/asas-asas penguji atau elemen-elemen Daya Paksa (Overmacht), yaitu: asas proporsionalitas, asas subsidiaritas, dan asas culpa in causa. Selain itu, peran aktif hakim untuk menggunakan sumber hukum lain di samping undang-undang, seperti yurisprudensi dan doktrin juga sangat diperlukan dalam menghasilkan putusan Daya Paksa (Overmacht) yang tepat dan adil.


The emergence of various debates concerning the defense of duress (Overmacht) in Indonesia cannot be separated from the fact that there are not many provisions regarding it. Article 48 of the Indonesian Criminal Code states: anyone who commits an act under duress is not punishable. The law does not provide further elucidation regarding the requirements or elements of duress (Overmacht). By conducting normative research, this study aims to answer three research questions. First, on the matters that the judge must consider in determining the state of duress (Overmacht). Second, on the comparison between concepts of duress (Overmacht) in civil law jurisdictions (Indonesia & Netherlands) and common law jurisdictions (United Kingdom & Australia). Third, on how judges in Indonesia adjudicate the defense of duress (Overmacht) in criminal court decisions. This thesis observes that there are still divergent understanding of duress (Overmacht) in Indonesia. Consequently, judges in deciding cases of duress (Overmacht) need to consider and examine the elements of duress (Overmacht), which are: the principle of proportionality, the principle of subsidiarity, and the principle of culpa in causa. Furthermore, the use of other legal sources, such as landmark cases and doctrines, is essential in order to produce a judgment on duress (Overmacht) which is just and proper.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library