Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdi Wijaya
Abstrak :
Latar Belakang: Sepsis neonatarum awitan dini (SNAD) mempunyai gejala klinis dan hasil laboratorium yang tidak spesifik sehingga diagnosisnya sulit ditegakkan, perlunya penelitian tentang faktor-faktor risiko ibu dan bayi yang mempengaruhi kejadian SNAD untuk diterapkan di fasilitas-fasilitas kesehatan terbatas. Tujuan: Mengetahui insiden pada sepsis neonatarum awitan dini,dan faktor-faktor risiko ibu dan bayi yang berpengaruh terhadap kejadian sepsis neonatarum awitan dini. Metode: Penelitian ini merupakan studi prognostik dengan desain kohort prospektif menggunakan data primer dari observasi dan data sekunder dari rekam medik pada bulan Juli-Oktober 2019 di Unit Perinatologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo Jakarta, Indonesia. Bayi dengan gejala klinis, disertai faktor risiko ibu (suhu ibu, leukosit darah ibu, ketuban pecah dini, karakteristik ketuban, dan antibiotik intrapartum), dan faktor risiko bayi (skor APGAR, usia gestasi, berat badan lahir) dengan hasil positif SNAD (Proven: kultur darah +, Probable: >2 septic marker + dan kultur darah-). Sebanyak 120 subyek tersangka SNAD yang dilakukan analisis. Hasil: Hasil analisis multivariat faktor risiko ibu dan bayi dengan regresi logistik ganda adalah ketuban berwarna hijau, kental dan berbau (P=0,009, RR=839,9, IK 95% 0,000-1094,9), skor APGAR <7 (P=<0,001, RR=13,06, IK 95% 3,837-44,486), usia gestasi <37 minggu (P=0,002, RR=9,47, IK 95% 2,29-39,06), serta leukosit darah ibu >15000/µL (P=0,010, RR=4,44, IK 95% 1,420-13,915). Insidens SNAD pada penelitian ini adalah 87 dari 495 kelahiran (probable sepsis 86 per 495 dan proven sepsis 1 per 495). Kesimpulan: Faktor risiko ibu dan bayi terhadap kejadian sepsis neonatarum awitan dini berdasarkan hasil analisis multivariat adalah ketuban berwarna hijau, kental dan berbau, skor APGAR <7, usia gestasi <37 minggu, serta leukosit darah ibu >15.000/µL. ...... Background: Early-onset neonatal sepsis (EONS) has non-specific clinical symptoms and laboratory results, thus the diagnosis is difficult to establish. It is important to evaluate maternal and infant risk factors for EONS, for prediction of sepsis in limited healthcare facilities. Objective: To evaluate the incidence of early-onset neonatal sepsis, and maternal and infants risk factor of early-onset neonatal sepsis. Method: This is a prognostic study with prospective cohort design using primary data obtained from observations and secondary data from the Perinatology Division medical record in July-October 2019, Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, Indonesia. Data of infants with clinical symptoms, accompanied by maternal risk factors (maternal temperature, maternal leukocytes, premature rupture of the membranes, amniotic characteristics, and intrapartum antibiotics), and infant risk factors (APGAR score, gestational age, birth weight,) with positive EONS results (Proven: blood culture +, Probable: >2 septic marker + and blood culture -) were taken. A total of 120 subjects with EONS events were analyzed. Results: Multivariate analysis with multiple logistic regression, significant maternal and infant risk factors were green, thick and foul odor of amniotic fluid (P=0.009, RR=839.90, CI 95% 0.000-1094.9), APGAR score <7 (P=<0.001, RR=13.06, CI 95% 3.83-44.486), gestational age <37 weeks (P=0.002, RR=9.47, CI 95% 2.29-39.06), and maternal leukocytes >15000/µL (P=0.010, RR=4.44, CI 95% 1.420-13.915). The incidence of SNAD in this study was 87 of 495 births (probable sepsis 86 per 495 and proven sepsis 1 per 495). Conclusion: Significant maternal and infant risk factors for the occurrence of early-onset neonatal sepsis are gestational age <37 weeks, APGAR score <7, green, thick and foul odor of amniotic fluid, and maternal leukocytes>15,000/µL.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devita Sari
Abstrak :
Latar belakang: Persalinan prematur semakin banyak dan memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Prematur menyumbang angka kematian tertinggi selain asfiksia, infeksi dan kelainan kongenital. Korioamnionitis merupakan salah satu penyebab persalinan prematur dan berhubungan dengan kejadian sepsis neonatal awitan dini pada bayi prematur atau berat lahir rendah. Penelitian dilakukan untuk mengetahui korioamnionitis sebagai prediktor sepsis neonatal awitan dini. Metode : Penelitian kohort prospektif dilakukan bekerja sama dengan Departemen Obstetri dan Ginekologi RSCM dan RSUD Koja. Pengumpulan sampel dilakukan selama periode Maret-September 2022. Dilakukan evaluasi terhadap gejala klinis dan pemeriksaan penunjang ibu yang terkait korioamnionitis, dihubungkan dengan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang bayi terkait sepsis neonatal awitan dini yang dirawat di NICU. Hasil : Insidens korioamnionitis sebesar 90% dan sepsis neonatus awitan dini 16%. Jenis persalinan spontan dan section caesarea dengan KPD tidak berhubungan dengan kejadian korioamnionitis (RR:1,049; IK 95% 0,982-1,120; p=1,000) and (RR:1,091; IK 95% 0,967-1,231; p=1,000).Korioamnionitis tidak berhubungan dengan sepsis neonatal awitan dini dengan p=0,358. Demam pada ibu berhubungan dengan kejadian SNAD EONS (RR:3,333: CI 95% 1,399-7,942; p=0,022) Simpulan : Korioamnionitis bukan prediktor sepsis neonatal awitan dini pada bayi usia gestasi ≤32 minggu atau bayi berat lahir ≤ 1500 gram. ......Background: Increasing number of preterm birth correlated with high morbidity and mortality rates. Prematurity contributed in high mortality rates alongside asphyxia, infections and congenital malformations. Chorioamnionitis were associated with preterm birth and early onset sepsis in preterm or low birth weight infants. Research was aimed to determine chorioamnionitis as a predictor of early onset neonatal sepsis (EONS) in preterm or low birth weight. Methodes : Multicentre, Cohort prospective study conducted in collaboration with Obstetrics and Gynaecology Department of Cipto Mangunkusumo National Hospital (CMH) and Koja General Hospital. Samples were obtained in NICU Unit during March - September 2022. Maternal clinical symptoms and diagnostic tests for chorioamnionitis evaluated as a predictor to early onset neonatal sepsis. Results : The incidence of chorioamnionitis and early onset neonatal sepsis were 90% and 16% respectively. Spontaneous and caesarean section delivery with PPROM is not associated with the incidence of chorioamnionitis (RR:1,049; CI 95% 0,982-1,120; p=1,000) and (RR:1,091; CI 95% 0,967-1,231; p=1,000). Chorioamnionitis is not a predictor of early onset neonatal sepsis with p=0,358. Maternal fever is associated with the incidence of EONS (RR:3,333: CI 95% 1,399-7,942; p=0,022). Conclusion : Chorioamnionitis is not a predictor on early onset neonatal sepsis in gestational age ≤32 weeks or birth weight of ≤ 1500 grams.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Wiratama Lokeswara
Abstrak :
Latar belakang: Menurut data WHO, sebanyak 15 juta bayi di dunia dilahirkan kurang bulan setiap tahunnya, dan Indonesia menduduki peringkat ke-5 di dunia. Salah satu komplikasi pada bayi kurang bulan yang sering terjadi adalah sepsis. Sepsis Neonatorum Awitan Dini (SNAD) merupakan infeksi sistemik pada bayi pada usia kurang dari 72 jam yang seringkali disebabkan oleh transmisi patogen secara vertikal sebelum atau saat proses kelahiran. Strategi utama dalam penanggulangan kejadian SNAD bergantung pada identifikasi faktor risiko, termasuk ketuban pecah berkepanjangan. Namun, sampai saat ini masih belum ada kesepakatan terkait ambang batas waktu ketuban pecah yang meningkatkan risiko kejadian SNAD secara signifikan pada populasi bayi kurang bulan. Tujuan: (1) Mengetahui sebaran subjek penelitian berdasarkan karakteristik jenis kelamin, usia gestasi, usia ibu, berat lahir dan metode persalinan. (2) Mengetahui sebaran subjek penelitian berdasaran gejala klinis dan hasil pemeriksaan kultur. (3) Mengetahui hubungan antara waktu ketuban pecah dengan kejadian SNAD pada ambang batas waktu 24 jam, 18 jam dan 12 jam di RSCM. Metode penelitian: Sebuah studi kasus-kontrol dilakukan pada populasi bayi kurang bulan yang lahir di RSCM dari tahun 2016-2017. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok: (1) kelompok kasus yang mengalami SNAD; dan (2) kelompok kontrol yang tidak mengalami SNAD; dipilih secara simple random sampling. Jumlah total subjek pada penelitian ini adalah 154 bayi kurang bulan (77 kasus dan 77 kontrol). Pengambilan data dilakukan pada Januari-Agustus 2018 dengan melihat rekam medis subjek penelitian, dilanjutkan dengan analisis bivariat menggunakan uji Chi Squared dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik. Hasil penelitian: Semua karakteristik tidak memiliki perbedaan yang bermakna, kecuali usia gestasi (p=0,012) dan berat lahir (p=0,02). Gejala klinis yang paling sering ditemukan dan memiliki hubungan yang bermakna adalah sesak napas (63,0%; p<0,001) dan instabilitas suhu (40,9%; p<0,001). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara waktu ketuban pecah dengan kejadian SNAD pada bayi kurang bulan di RSCM pada ambang batas waktu 12 jam, 18 jam dan 24 jam. Ketuban pecah lebih dari 12, 18 dan 24 jam meningkatkan risiko SNAD pada bayi kurang bulan 2,3 kali lipat, dan ketuban pecah lebih dari  12 jam meningkatkan risiko 2,9 kali lipat setelah adjustment.
Introduction: According to WHO, 15 million babies are born premature annually, and  Indonesia ranks 5th worldwide. One of the most frequent complications in preterm infants is sepsis. Early onset neonatal sepsis (EONS) is defined as the systemic infection in infants less than 72 hours old which is often caused by vertical transmission of pathogens before or during labour. With the current lack of consensus in the definition of neonatal sepsis, identification risk factors, including prolonged premature preterm rupture of membranes (ROM), becomes the main strategy. Unfortunately, there is also currently lack of worldwide agreement in the threshold of duration of ROM which significantly increases the risk of EONS in preterm infants. Objectives: (1) To determine the distribution of subjects based on selected characteristics: gender, gestational age, maternal age, birth weight and mode of delivery. (2) To determine the distribution of subjects based on clinical symptoms and bacterial culture examination. (3) To determine the association between the duration of ROM and the incidence of EONS in preterm infants, at the thresholds of 24 hours, 18 hours and 12 hours, in RSCM. Methods: A case-control study was done on preterm infants born in RSCM in 2016-2017. The subjects were divided into 2 groups: (1) the case group for preterm infants who had EONS; and (2) the control group for preterm infants who did not have EONS; each selected by simple random sampling. The total number of subjects in the study was 154 preterm infants (77 in the case group and 77 in the control group). Data collection from the medical records of the subjects was performed in January-August 2018, followed by bivariate analysis using Chi Square Test and  multivariate analysis using logistic regression. Result: Characteristics had insignificant differences, except gestational age (p=0,012) and birth weight (p=0,02). The clinical symptoms which were most frequent and had significant associations with EONS were respiratory instability (63,0%, p<0,001) and temperature instability (40,9%, p<0,001). Conclusion. There is a significant association between the duration of ROM at 12, 18 and 24 hours, and the incidence of EONS in preterm infants, especially at duration of more than 12 hours. Prolonged PPROM for 12, 18, and 24 hours increases the risk of EONS in preterm infants 2.3 times (unadjusted) and PPROM for 12 hours increases the risk of EONS in preterm infants 2.9 times after adjustment for other factors.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library