Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Reza Aditya Arpandy
"ABSTRAK
Latar belakang. Multipel Sklerosis MS dan Neuromyelitis Optica Spectrum Disorder NMOSD adalah penyakit autoimun yang mengakibatkan lesi inflamasi dan demielinisasi pada sistem saraf pusat. Salah satu manifestasi klinis yang paling menonjol pada kedua penyakit ini adalah neuritis optik NO . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan struktur dan fungsi nervus optikus pada pasien MS dan NMOSD serta melihat hubungannya dengan derajat disabilitas yang dinilai dengan EDSS, durasi penyakit, dan jumlah relaps. Metode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan jumlah sampel 30 mata MS dan 15 mata NMOSD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM , tanpa riwayat neuritis optik dalam 6 bulan terakhir. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2017. Struktur nervus optikus dinilai dengan menggunakan optical coherence tomography yang menilai ketebalan GCL-IPL ganglion cell layer-inner plexiform layer dan RNFL retinal nerve fiber layer serta foto fundus. Sedangkan fungsi nervus optikus dinilai dengan ketajaman penglihatan logmar , sensitivitas kontras, dan latensi P100. Hasil. Rerata usia MS 30 6 tahun tahun dan NMOSD 23,19 7,25 tahun. Hanya terdapat satu orang laki-laki pada kelompok MS, sedangkan subjek NMOSD keseluruhannya adalah perempuan. Kelompok NMOSD memiliki ketebalan lapisan GCL-IPL, RNFL serta ketajaman penglihatan yang lebih rendah dibandingkan MS. Pada kelompok ini juga didapatkan korelasi positif antara nilai EDSS dengan ketajaman penglihatan r=0,74 dan korelasi negatif dengan rerata ketebalan lapisan GCL-IPL r=-0,67 dan RNFL r=-0,46 . Pada kelompok MS, subjek dengan nilai EDSS yang tinggi cenderung memiliki lapisan GCL-IPL yang lebih tipis. Korelasi negatif antara durasi penyakit dengan ketajaman penglihatan r=0,65 dan ketebalan lapisan GCL-IPL r=-0,63 terlihat pada kelompok NMOSD. Sedangkan pada MS didapatkan korelasi negatif antara durasi penyakit dengan sensitivitas kontras r=-0,42 serta ketebalan lapisan GCL-IPL r=-0,40 dan RNFL r=-0,38 . Jumlah relaps berkorelasi negatif dengan ketebalan lapisan RNFL r=-0,63 pada kelompok NMOSD. Pada kelompok MS, jumlah relaps tidak berkorelasi dengan parameter struktur dan fungsi nervus optikus. Kesimpulan. Ketebalan lapisan GCL-IPL dan RNFL lebih tipis pada kelompok NMOSD. Fungsi nervus optikus pada NMOSD juga lebih inferior dibandingkan MS. Derajat disabilitas dan durasi penyakit berkorelasi dengan parameter struktur dan fungsi nervus optikus pada pasien MS dan NMOSD. Sedangkan korelasi dengan jumlah relaps hanya didapatkan pada kelompok NMOSD.

ABSTRACT<>br>
Background. Multiple Sclerosis MS and Neuromyelitis Optica Spectrum Disorder NMOSD is an autoimmune disease that results in inflammatory lesions and demyelinization of the central nervous system. One of the most prominent clinical manifestations in both diseases is optic neuritis ON . This study aims to determine the differences in structure and function of the optic nerve in MS and NMOSD patients and to see its relationship with the degree of disability assessed by EDSS, duration of disease, and number of relapse. Method. This study used cross sectional design with 30 MS eyes 15 NMOSD eyes at Cipto Mangunkusumo Hospital RSCM , with no history of optic neuritis in the last 6 months. The study was conducted in December 2017. The optic nerve structure was assessed using optical coherence tomography by measuring the thickness of GCL IPL ganglion cell layer inner plexiform layer and RNFL retinal nerve fiber layer and fundus photography. While optic nerve function is assessed with visual acuity, contrast sensitivity, and P100 latency. Results. Mean age of MS subjects were 30 6 years and NMOSD 23.19 7.25 years. There is only one male in the MS group, while the entire NMOSD subject is female. The NMOSD group has lower GCL IPL and RNFL thickness and also lower visual acuity than MS. In this group there was also a positive correlation between EDSS value with visual acuity r 0.74 and negative correlation with mean GCL IPL r 0.67 and RNFL thickness r 0.46 . In the MS group, subjects with high EDSS values tend to have thinner GCL IPL. The positive correlation between disease duration and visual acuity r 0.65 and negative correlation with GCL IPL layer thickness r 0.63 was seen in the NMOSD group. While in MS, there was a negative correlation between duration of disease with contrast sensitivity r 0.42 and mean GCL IPL r 0.40 and RNFL thickness r 0.38 . The number of relapse were negatively correlated with mean RNFL thickness r 0.63 in the NMOSD group. In the MS group, the number of relapse was not correlated with the structural and functional parameters of the optic nerve. Conclusion. The thickness of the GCL IPL and RNFL is thinner in the NMOSD group. The optic nerve function in NMOSD is also inferior to MS. The degree of disability and duration of disease correlates with the structural and functional parameters of the optic nerve in MS and NMOSD patients. While the correlation with the number of relapse is only found in the NMOSD group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58954
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Firdausia
"Latar Belakang: Multipel sklerosis (MS) merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi dan demielinasi pada sistem saraf pusat. Proses tersebut mengakibatkan penurunan volume, tidak hanya di substansia alba namun juga di substansia grisea. Laju atrofi tersebut berlangsung lebih cepat 0,5-1,3% per tahun dibandingkan orang normal 0,1-0,4% per tahun. Proses inflamasi dan atrofi tersebut menyebabkan semakin beratnya disabilitas pada pasien dan nantinya memengaruhi kualitas hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara atrofi baik di substansia alba dan grisea dengan derajat disabilitasnya serta mencari faktor-faktor yang memengaruhi atrofi.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain deskriptif potong lintang yang melibatkan 28 pasien MS. Seluruh pasien MS dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan EDSS, pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal, dan MRI kepala kontras. Gambaran MRI potongan 3DT1 diambil dan dilakukan penghitungan volume otak dengan piranti lunak freesurfer 6.0.
Hasil: Volume substansia alba maupun grisea pasien MS lebih rendah signifikan dibandingkan kontrol sehat (p<0,001 dan p=0,001). Untuk proporsi atrofi juga lebih banyak dibandingkan kontrol sehat. EDSS pasien dengan atrofi substansia alba berbeda bermakna dibandingkan dengan yang tidak atrofi (p=0,009). Faktor-faktor yang berhubungan dengan atrofi substansia alba adalah usia, usia onset, jenis kelamin, pendidikan, tipe MS, dan jumlah lokasi lesi. Faktor-faktor yang berhubungan dengan atrofi substansia grisea adalah jumlah lokasi lesi.
Kesimpulan: Volume substansia alba dan grisea pasien MS lebih rendah dibandingkan kontrol sehat. Atrofi substansia alba memengaruhi disabilitas pasien.
......Background : Multiple sclerosis (MS) is an autoimmune disease that causes inflammation and demyelination in the central nervous system. The process resulted in a decrease in volume, not only in the white matter but also in the gray matter. The rate of atrophy is 0.5-1.3% per year faster than normal people 0.1-0.4% per year. These inflammatory and atrophic processes cause more severe disability in patients and later affect the quality of life of patients. This study aims to assess the relationship between atrophy both in gray and white matter with the degree of disability and to look for factors that influence atrophy.
Methods : This research was a cross-sectional descriptive study involving 28 MS patients. All patients underwent history taking, physical examination and EDSS examination, laboratory tests of kidney function, and contrast head MRI. MRI images of 3DT1 pieces were taken and the brain volume was calculated using freesurfer 6.0 software.
Results : The volume of white and gray matter of MS patients was significantly lower than healthy controls (p <0.001 and p = 0.001). For the proportion of atrophy also more than healthy controls. EDSS of patients with white matter atrophy was significantly different compared to those without atrophy (p = 0.009). Factors related to white matter atrophy are age, age of onset, sex, education, type of MS, and number of lesion locations. Factors associated with gray matter atrophy are the number of lesion sites.
Conclusions:
The volume of white and gray matter of MS patients is lower than that of healthy controls. Atrophy of the substance of the alba affects the disability of the patient."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairunnisa
"Latar Belakang. Multipel sklerosis merupakan penyakit kronik progresif dimana selain dari berbagai gejala neurologis yang ada, gangguan tidur merupakan masalah yang juga memiliki dampak terhadap penyandang penyakit multipel skeloris. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa prevalensi gangguan tidur ditemukan lebih tinggi pada penyandang penyakit multipel skeloris dibandingkan populasi normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi serta pola gangguan tidur pada penyandang penyakit multipel sklerosis di Indonesia.
Metode. Penelitian ini merupakan studi deskritptif potong lintang. Populasi penelitian merupakan pasien dengan penyakit multiple sklerosis yang berobat di RSCM Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi, dan dilakukan pengambilan data klinis dan pengambilan sampel dengan mengisi kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Assessment (PSQI) dan STOP-BANG Sleep Apnea Questionnaire, serta The Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10 (MINI ICD-10). Data yang didapat kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data.
Hasil. Dari empat puluh dua subjek MS yang diikutsertakan pada penelitian ini, 32 (76,2%) subjek berusia kurang dari 35 tahun, 34 (81,0%) berjenis kelamin perempuan, 23 (54,8%) subjek tidak bekerja, 9 (21,4%) mengalami depresi, dan 9 (21,4%) memiliki EDSS 6 ke atas. Insomnia ditemukan pada 32 (76,2%) subjek, dengan proporsi yang lebih besar ditemukan pada subjek berusia 35 tahun ke atas (80% vs 75%, p=0,556), berjenis kelamin laki-laki (87,5% vs 73,5%, p=0,374), kelompok yang tidak bekerja (78,3% vs 73,7%, p=0,504), kelompok dengan depresi (77,8% vs 75,8%, p=0,638), dan kelompok dengan EDSS lebih dari sama dengan 6 (77,8% vs 75,8%, p=0,638). Seluruh subjek memiliki risiko OSA dengan 39 (92,9%) subjek memiliki risiko ringan-sedang dan 3 (7,1%) subjek memiliki risiko berat. Hanya laki-laki yang memiliki risiko terhadap kejadian OSA (37,5% vs 0%, p=0,005), tetapi tidak berkaitan terhadap kejadian insomnia.
Kesimpulan. Prevalensi gangguan tidur pada penyandang penyakit multipel skeloris di Indonesia sangat tingi. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi dan pemeriksaan lebih lanjut guna menunjang diagnosis.

Background. Multiple sclerosis (MS) is a chronic progressive disease in which sleep disorder, besides various neurologic manifestations, highly impacts the patients but is often neglected in clinical settings. Several studies had discovered that sleep disorder was more prevalent in MS than general population. This study aimed to investigate the prevalence and characteristics of sleep disorder in MS patients in Indonesia.
Methods. A descriptive cross-sectional study involving MS patients was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital Jakarta. In addition to clinicodemographic data collection, data regarding sleep quality, obstructive sleep apnea (OSA), and depression state were assessed using Indonesian previously-validated Pittsburgh Sleep Quality Index, STOP-BANG Sleep Apnea Questionnaire, and The Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10, respectively.
Results. Of forty MS participants included in this study, 29 (72.5%) aged less than 35 years, 32 (80.0%) were women, 20 (50.0%) were unemployed, 10 (25.0%) had depression, and 10 (25.0%) had Expanded Disability Scoring Scale (EDSS) of ≥6. Insomnia was found in 33 (82.5%) participants, of which larger proportion were male (100.0% vs 78.1%, p=0.309. Three (7,1%) participants had moderate risk of OSA. Only male had significant risk of OSA (moderate risk 25.0% vs 0%, p=0.036), but it did not associate with insomnia.
Conclusion. Sleep disorder in MS patients in Indonesia is prevalent. There was potencies of the risk of OSA in MS, especially in male. Detection of insomnia and risk OSA is important in MS comprehensive care."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Kusumadewi
"ABSTRAK
Latar Belakang. Defisiensi vitamin-D dapat terjadi pada sklerosis multipel MS dan neuromielitis optik (NMO), dan dapat berpengaruh terhadap proses imunologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar serum vitamin-D-25 (OH) pada orang dengan penyakit demielinisasi sistem saraf pusat dibandingkan dengan kontrol sehat.
Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada November 2016 sampai Mei 2017. Pada sampel dikumpulkan data kebiasaan makan, suplementasi vitamin-D, paparan sinar matahari, terapi medikamentosa, jumlah relaps per tahun, dan expanded disability status scale (EDSS). Kadar serum vitamin-D-25(OH) diukur menggunakan metode direct competitive chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Hasil. Tiga puluh dua pasien (18 MS dan 14 NMO) dan 33 kontrol diikutsertakan dalam penelitian ini. Jumlah laki-laki pada kelompok studi dan kontol adalah 12,5% dan 15,2%. Insufisiensi dan defisiensi vitamin-D-25(OH) (<30ng/mL) didapatkan pada 90,6% pasien di kelompok studi. Tidak didapatkan perbedaan kadar vitamin-D-25(OH) yang bermakna antara kelompok studi dan kontrol dengan median rentang adalah 17(5.2-71.6)ng/ml dan 15.7(5.5-34.4)ng/ml. Hasil tersebut tidak diduga, karena 50 pasien mendapatkan suplementasi vitamin D lebih dari 400IU. Terapi kortikosteroid juga ditemukan berpengaruh terhadap kadar vitamin-D-25(OH). Kadar vitamin-D-25(OH) tidak berhubungan dengan EDSS.Kesimpulan. Insufisiensi dan defisiensi vitamin-D didapatkan pada orang dengan MS dan NMO di Jakarta, namun kadarnya tidak berhubungan dengan EDSS. Tenaga kesehatan juga perlu mewaspadai rendahnya kadar vitamin-D pada pasien yang menggunakan kortikosteroid. Kontrol normal juga memiliki kadar vitamin-D yang rendah walaupun tinggal di negara dengan paparan sinar matahari yang cukup. Temuan ini menunjukkan risiko kekurangan vitamin-D pada masyarakat yang tinggal di Jakarta.

ABSTRACT
Introduction. Vitamin-D-25(OH) deficiency is common in Multiple Sclerosis (MS) and Neuromyelitis Optic (NMO) patients and can affect the immunological process. We performed study to evaluate serum vitamin-D-25(OH) levels in MS and NMO patients compared to healthy control.
Methods. This is a cross sectional study done in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta from November 2016 May 2017. We reviewed dietary recall, vitamin-D supplementation, sun exposure, medication, annual relapse rate and expanded disability status scale (EDSS). Vitamin-D-25(OH) level was measured using direct competitive chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Results. Thirty two patients (18 MS and 14 NMO) and 33 controls were enrolled. Male patients and controls were 12,5% and 15,2%, respectively. Vitamin-D insufficiency and deficiency (<30ng mL) among patients reached 90,6% and not associated with EDSS. It was not significantly different between patients and control, with median (range) 17(5.2-71.6)ng/ml and 15.7(5.5-34.4)ng/ml respectively. The result was unexpected because 50 patients received vitamin-D supplementation. Corticosteroid used also influenced the vitamin-D levels.
Conclusion. Vitamin-D insufficiency and deficiency was common in MS and NMO patients in Jakarta but not associated with EDSS. Practitioners need to be alert to vitamin-D low level particularly in patients using corticosteroid. Healthy control also had low vitamin-D concentrations though they lived in a sufficient sun exposure country. This finding suggests a risk of vitamin-D deficiency among community living in Jakarta. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library