Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: LP3ES , 1990
330.959 8 IND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yudi Bachri Oktora
Abstrak :
ABSTRAK
Pada masa pemerintah Orde Baru berbagai kebijakan pembangunan terutama pertanian, tidak sedikit diantaranya yang kemudian menimbulkan kontroversial. Salah satunya adalah kebijakan atas pemenuhan terhadap kebutuhan gula nasional. Pro dan kontra atas kebijakan ini terutama pada pelaksanaannya. Kebijakan tersebut tertuang pada INPRES No. 9/1975 tentang tebu rakyat intensifikasi atau yang kemudian lebih dikenal dengan TRI. Tugas ini secara otomatis dibebankan kepada para petani untuk melaksanakannya. Salah satu daerah yang juga terkena untuk dijadikan areal perkebunan tabu adalah daerah Karesidenan Surakarta. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa daerah Surakarta merupakan salah satu daerah yang berpotensi di wilayah propinsi Jawa Tengah termasuk untuk perkebunan tabu. Bagi petani di daerah karesidenan Surakarta sesungguhnya mereka merasa berat untuk mengikuiinya namun tak ada pilihan bagi mereka untuk menghindar. Petani sebagai salah satu pelaku utarnanya diberi tanggung jawab yang besar namun dengan beban resiko yang hams mereka tanggung sendiri terutama dalam hal budi daya tabu_ Hal ini sudah merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh mereka. Mulai dari penggarapan lahan, penanaman dan pemeliharaan yang dilakukan oleh para petani tergabung di dalam kelompok-kelompok tani. Dari apa yang diutarakan oleh para petani peserta TRI nampak bahwa sesungguhnya para petani tidaklah terlalu paham dengan apa yang harus dikeajakan oleh mereka dalam hal menanam tebu. Gambaran kerja teknis yang sangat panjang dan perlunya ketelitian serta ketekunan para petani dalam merawat dan mengelola tanaman tabu, ternyata membutubkan waktu kerja yang tak sedikit pula jam kerja yang panjang merupakan hal lain yang tarut menyertai rasa enggan petani untuk mau menanam tebu. Dalam pandangan petani bila dibandingkan antara jam kerja menanam tebu dengan padi yang lebih menguntungkan bagi mereka adalah menanam padi.
2001
S12628
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tangkilisan, Yuda Benharry
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Shafwatun Nawa
Abstrak :
ABSTRAK
Pada masa Orde baru, muncul program- program agribisnis demi memenuhi kebutuhan pangan Indonesia. Program- program agribisnis ini terangkum dalam sebuah keputusan, yakni Program Tebu Rakyat Intensifikasi atau biasa disebut dengan TRI yang bercita memenuhi kebutuhan gula nasional serta mencapai swasembada gula. Beberapa daerah di seluruh Jawa terkena imbas akibat program ini. Kabupaten Cirebon, Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang mendapat program ini. Selama pelaksanaan program TRI, banyak jalan yang harus ditempuh. Di satu sisi pemerintah sudah mempersiapkan programnya dengan baik, di satu sisi para petani merasa baik- baik saja selama pelaksanaan program. Namun hal ini menjadi pertanyaan besar mengapa pada akhirnya di tahun 1997, banyak para petani tebu memilih untuk beralih ke tanaman pangan yang lain dibandingkan dengan tebu.
ABSTRACT<>br> During the New Order period, agribusiness programs emerged to meet the needs of Indonesian food. These agribusiness programs are summarized in a decision, namely the Intensification of Smallholder Sugar Cane Program or commonly referred to as TRI that fulfills the national sugar needs and achieves self sufficiency in sugar. Several areas throughout Java were affected by this program. District of Cirebon, West Java is one of the areas that got this program. During the implementation of the TRI program, there are many ways to go. On the one hand the government has prepared the program well, on the one hand the farmers feel fine during the program implementation. But this is a big question why in the end in 1997, many sugar cane farmers chose to switch to other food crops compared to sugarcane.
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Fadhilah
Abstrak :
Pasca Perang Dunia II, Pemerintah Orde Baru memiliki cara pandang yang berbeda dengan Pemerintah Orde Lama dalam memandang Jepang. Cara pandang yang berbeda ini membuat corak diplomasi kedua Pemerintahan pun berbeda dalam menjalin hubungan kenegaraan dengan Jepang. Tulisan ini menitikberatkan pada pembahasan hubungan diplomasi Pemerintah Orde Baru dengan Pemerintah Jepang, khususnya di bidang ekonomi. Tidak seperti Pemerintahan sebelumnya, hubungan Indonesia dengan Jepang pada masa Orde Baru ini dapat dikatakan dekat. Kedekatan ini tidak lepas dari peran salah seorang Asisten Pribadi (Aspri) Soeharto pada awal Pemerintahannya, yakni Soedjono Hoemardani. Lewat lobilobinya, ia berhasil membujuk Pemerintah Jepang untuk mengeluarkan berbagai bantuan ekonomi, pinjaman, hibah dan investasinya. Namun di sisi lain, ia dianggap sebagai antek Jepang yang membuat Jepang mendominasi perekonomian Indonesia sehingga menimbulkan kesenjangan di kalangan pengusaha nasional yang berujung pada Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) di tahun 1974. Perannya yang kontroversial ini membuatnya lengser dari jabatan Aspri. Meski jabatan tersebut dicabut, namun kedekatannya dengan Pemerintah Jepang masih tetap berlanjut dengan posisinya sebagai Inspektur Jenderal Pembangunan. Walaupun hubungan tersebut tidak seintensif seperti ketika ia menjabat sebagai Aspri. Pasca Peristiwa Malari, hubungan Indonesia dengan Jepang berjalan normal kembali setelah Jepang mengubah cara diplomasinya secara Heart to Heart. ......After The World War II, Indonesian government?s perspective about Japan had changed. This changing differentiated The Old Order and The New Order's bilateral relationship between the two countries. This thesis emphasize on diplomacy between The New Order Government and Japanese Government particularly on economic diplomacy. In contrast to The Old Order Government, Indonesia-Japan relation under The New Order Government was close. This closeness was a result of Soedjono Hoemardani?s diplomacy that had been commenced since the beginning of Soeharto's Government. At that time Soedjono Hoemardani was charged as Soeharto's Personal Assistance. By his lobbies, he succeeded to persuade Japanese Government to give some financial assistances through investment, grant, and credit. Nevertheless, he was judged as Japan puppet whose duty helping Japanese Government dominated economy of Indonesia on which the domination caused social discrepancy between local industrialist and Japanese industrialist that lead to The Malari Riot (riot at January 15th) 1974. This controversial role led him to retire from his position as Soeharto's Personal Assistance. Even though he had left his formal position as Soehartos's Personal Assistance, his close relation with Japanese Government set him remain lobbying Japanese Government under his new position as General Inspectorate of Development. However, the intensity of the relation was not as high as it used to be. After The Malari, Indonesia-Japan relationship returned to be normal because Japanese Government changed their diplomacy strategy to heart to heart diplomacy.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43548
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library