Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Tiarman
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
M B Setiadharma
Jakarta: Universitas Indonesia, 2005
T37091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agiel Al Assyafar
"Terbitnya Putusan MK No.2/PUU-XIV/2021 telah menjadi acuan baru debitur dan kreditur yang terlibat dengan persoalan eksekusi jaminan fidusia akibat dari adanya wanprestasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis disparitas putusan hakim terkait proses eksekusi objek jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK No.2/PUU-XIX/2021. Penelitian yang menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (Case Approach), tipe penelitian hukum bersifat normatif (normative legal research), dan Analisis bahan hukum menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PPU-XIX/2021 menegaskan bahwa eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui Pengadilan Negeri hanya sebuah alternative, dan menjadikan titel eksekutorial sertifikat jaminan fidusia tidak serta merta mempunyai kekuatan hukum tetap pada keadaan tertentu. Hingga terdapat disparitas putusan hakim terkait eksekusi objek jaminan fidusia pasca putusan MK tersebut. Maka terlihat masih belum adanya kepastian hukum bagi kreditur pasca putusan MK. Maka dengan itu perlunya ada surat edaran Mahkamah Agung dalam menyikapi Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Nomor 2/PUU-XIX/2021 sebagai bahan pertimbangan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara eksekusi jaminan fidusia, sehingga dapat menghindari terjadinya disparitas Putusan kedepannya. Diperlukan peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang Jaminan Fidusia untuk mengakomidir terkait eksekusi jaminan fidusia sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Nomor 2/PUU-XIX/2021 sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi debitur dan kreditur terkait tata cara eksekusi jaminan fidusia dan tidak membuat salah satu pihak kesulitan dalam terjadinya eksekusi jaminan fidusia. Terlebih dengan tidak jelasnya mengenai penentuan cidera janji sehingga memperlambat proses eksekusi objek jaminan fidusia.

issuance of Constitutional Court Decision No.2/PUU-XIV/2021 has become a new reference for debtors and creditors involved in the issue of the execution of fiduciary guarantees due to default. This study aims to determine and analyze the disparity in judges' decisions regarding the process of executing fiduciary security objects based on Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees after Constitutional Court Decision No.2/PUU-XIX/2021. This research uses a statutory approach (statute approach), the type of legal research is normative (normative legal research), and the analysis of legal materials uses qualitative descriptive analysis. Constitutional Court Decision Number 2/PPU-XIX/2021 confirms that the execution of a fiduciary security certificate through the District Court is only an alternative, and makes the executorial title of the fiduciary security certificate not necessarily have permanent legal force in certain circumstances. Until there is a disparity in judges' decisions regarding the execution of fiduciary security objects after the Constitutional Court's decision. So it appears that there is still no legal certainty for creditors after the Constitutional Court's decision. Therefore, there is a need for a Supreme Court circular letter in response to the Constitutional Court Decisions Number 18/PUU-XVII/2019 and Number 2/PUU-XIX/2021 as a material consideration by the Panel of Judges in deciding cases of fiduciary guarantee execution, to avoid disparity in future decisions. An implementing regulation is needed for the Fiduciary Guarantee Law to accommodate the execution of fiduciary guarantees by the Constitutional Court Decisions Number 18/PUU-XVII/2019 and Number 2/PUU-XIX/2021 to provide legal certainty for debtors and creditors regarding the procedures for executing fiduciary guarantees and not make it difficult for one party to execute fiduciary guarantees. Moreover, the lack of clarity regarding the determination of a breach of promise slows down the process of executing a fiduciary security object."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Reza Mahendra
"Ketentuan Pasal 15 UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia khususnya yang mengatur mengenai frasa “kekuatan eksekutorial”, menimbulkan berbagai permasalahan terkait dengan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon mengenai ketentuan eksekusi jaminan fidusia, dimana kekuatan eksekutorial hanya dapat dijalankan apabila terdapat kesepakatan antara debitur dan kreditur bahwa debitur telah melakukan cidera janji, dan apabila tidak ada kesepatan dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia maka segala mekanisme pelaksanaan eksekusi harus dilakukan melalui Pengadilan. Putusan tersebut menarik perhatian Penulis untuk meneliti bagaimanakah pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia di Bank BNI Syariah sebelum dan sesudah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Untuk itu agar dapat memecahkan permasalahan ini, penulis menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, dan didukung oleh data sekunder. Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam menganalisa data yang diperoleh dari studi literatur dan hasil wawancara. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dapat berdampak pada jalannya bisnis pembiayaan, oleh sebab kreditur harus lebih selektif dalam memberikan pembiayaan kepada calon debitur guna mencegah adanya “debitur nakal” yang berusaha berlindung atau memanfaatkan ketentuan baru sehubungan dengan eksekusi jaminan fidusia dari putusan Mahkamah Konstitusi ini untuk memperoleh keuntungan.

The provisions of Article 15 of Law 42/1999 on Fiduciary Security, particularly those that regulate the phrase "executorial power", causes various problems related to the implementation of fiduciary security. There was a Constitutional Court Decision which partially granted the Petitioners' petition regarding the provisions for the execution of fiduciary security, where executorial power can only be exercised if there is an agreement between the debtor and creditor that the debtor has committed a breach of contract, and if there is no agreement and the debtor objected to voluntarily hand over the object of the fiduciary security then all mechanisms for carrying out the execution must be carried out through the Court. This decision attracted the attention of the author to examine how the execution of fiduciary security at Bank BNI Syariah before and after the Constitutional Court decision Number 18/PUU-XVII/2019. For this reason, in order to solve this problem, the author uses a form of normative juridical research which in character of descriptive analytical, and is supported by secondary data. In addition, this study uses a qualitative approach in analyzing data obtained from literature studies and interviews. Based on the results of this study, it is concluded that the Constitutional Court's decision could have an impact on the running of the financing business, because creditors must be more selective in providing financing to prospective debtors in order to prevent “bad debtors” who seek to take shelter or take advantage of the new provisions in connection with the execution of fiduciary security of decisions of this Constitutional court change of provisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Tiarman
"ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan data sekunder
sebagai sumber datanya. Yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas adalah
kewenangan pelaksanaan lelang eksekusi secara mandiri atas objek jaminan
fidusia oleh PERUM Pegadaian. Permasalahan tersebut dianalisis dengan
menggunakan pendekatan kualitatif yang disusun secara deskriptif analitis. Lelang
Eksekusi merupakan bentuk dari penegakan hukum (law enforcement) yang
dilakukan oleh negara dalam hal ini oleh Kantor Pengurusan Piutang dan Lelang
Negara (KP2LN), hal ini tegas diatur dalam Vendu Reglement stbl no 189 tahun
1908, Vendu Instructie stbl No 190 tahun 1908 beserta peraturan pelaksana
lainnya yang dikeluarkan olen Menteri Keuangan. Sebagai hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa PERUM Pegadaian memiliki kewenangan untuk melakukan
lelang eksekusi secara mandiri tanpa campur tangan KP2LN berdasarkan
ketentuan lex specialist yang diatur dalam Pandhuis Reglement stbl No 81 Tahun
1928 yang menyatakan bahwa Hoofdt Pandhuisdienst (Direktur Pegadaian)
berhak mengatur sendiri lelang yang dilakukan oleh Pegadaian. Meskipun pada
awalnya ketentuan ini dimaksudkan terbatas untuk objek jaminan gadai yang ada
di PERUM Pegadaian,namun seiring perkembangan bisnis PERUM Pegadaian
juga menyalurkan kredit dengan jaminan fidusia. Terhadap objek jaminan fidusia
inipun PERUM Pegadaian berwenang melelang objek jaminan fidusia tersebut
secara mandiri. Karena previllege yang diberikan Vendu Reglement dan Pandhuis
Reglement adalah bertolak pemberian kewenangan kepada institusi Pegadaian
nya bukan bertumpu khusus pada objek jaminan gadai. Sepanjang anggaran dasar
perusahaan memperbolehkan PERUM Pegadaian melakukan pengikatan jaminan
di luar jaminan gadai maka Pegadaian sah dan berwenang melakukan lelang
secara mandiri.

ABSTRACT
This research used library research which secondary data as its data resources.
The main discussion point is PERUM Pegadaian Authority on Fiducia collateral object.
This research is analyzed by description methode. Auction is a government law
enforcement which is operated by Kantor Pengurusan Piutang dan Lelang Negara
(KP2LN), strictly regulated in Vendu Reglement staablaad No 189 Year 1908., Vendu
Instructie Stbl no 190 Year 1908 and Ministry of Finance regulations. This study result
showed that PERUM Pegadaian has the Independent Executionary Auction Authority
outside KP2LN intervention based on Lex specialist which stated in Pandhuist Reglement
stbl No 81 1928 that Pegadaian President Director has the right to arrange Pegadaian
auction independently. Though on its first application this regulation limited to its pawn
collateral only, due to its business development PERUM Pegadaian provide fiduaciary
loan services for public, this causes Pegadaian has the authority to do an Independent
Auction Excecution. Due to its privilege given by Vendu Reglement and Pandhuis
Reglement, Perum Pegadaian authority is not only on its collateral pawn object. As long
as the statute institution allowed PERUM Pegadaian to charge collateral outside its pawn
business, Pegadaian legally has the Independent Auction Excecution Authority."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T36680
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raras Nadifah Cahyaningtyas
"Putusan MK 18/PUU-XVII/2019 membuat sertifikat fidusia menjadi tidak memiliki kekuatan eksekutorial lagi dan melemahkan sertifikat fidusia. Hal ini tidak sejalan dengan Pasal 119 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang menjelaskan bahwa jaminan fidusia yang diterima oleh penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagai jaminan dalam rangka pemenuhan kewajiban konsumen sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang mengenai jaminan fidusia memiliki kekuatan eksekutorial. Putusan MK 18/PUU-XVII/2019 juga memberikan kesempatan bagi debitur untuk melakukan pembelaan dan menunda eksekusi atas sertifikat fidusia. Kekuatan eksekutorial sertifikat fidusia yang melalui jalur pengadilan juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan yaitu penerapan Asas Kemanfaatan dalam Putusan MK 18/PUU/XVII/2019 memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi debitur sehingga menimbulkan tantangan dan konsekuensi bagi perusahaan pembiayaan. Mereka harus menyesuaikan strategi dan proses bisnis mereka dengan persyaratan baru yang diatur oleh Putusan MK 18/PUU-XVII/2019, yang mungkin mempengaruhi efisiensi dan kemampuan mereka dalam menangani kasus-kasus wanprestasi debitur. Saran dari penelitian ini adalah kekuatan eksekutorial fidusia harus tetap dipertahankan, dengan memiliki kekuatan eksekutorial yang masih berlaku, perusahaan pembiayaan dapat lebih mudah melakukan reposisi aset yang dijaminkan dalam situasi di mana nasabah tidak memenuhi kewajibannya. Hal ini memungkinkan perusahaan pembiayaan untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian yang lebih cepat dan efisien, tanpa harus melibatkan proses hukum yang panjang dan mahal. Penting bagi perusahaan pembiayaan untuk tetap mematuhi ketentuan hukum dan melaksanakan proses reposisi dengan itikad baik.

Constitutional Court Decision 18/PUU-XVII/2019 renders fiduciary certificates no longer having enforceable power and weakens fiduciary certificates. This is inconsistent with Article 119 of the Republic of Indonesia Law Number 4 of 2023 concerning the Development and Strengthening of the Financial Sector, which states that fiduciary guarantees received by Financing Service Providers as guarantees for meeting consumer obligations, as referred to in the law on fiduciary guarantees, have enforceable power. Constitutional Court Decision 18/PUU-XVII/2019 also provides an opportunity for debtors to defend themselves and delay the execution of fiduciary certificates. The enforceable power of fiduciary certificates through the judicial process can also create legal uncertainty. The research method used is normative juridical with descriptive analytical research specifications. From the results of this research, it is concluded that the application of the Principle of Benefits in Constitutional Court Decision 18/PUU/XVII/2019 provides stronger protection for debtors, thus posing challenges and consequences for financing companies. They must adjust their strategies and business processes to the new requirements set by Constitutional Court Decision 18/PUU-XVII/2019, which may affect their efficiency and ability to handle debtor default cases. The suggestion from this research is that the enforceable power of fiduciary should be maintained, with its enforceable power still applicable. Financing companies can better reflect the guaranteed asset in situations where customers fail to fulfill their obligations. This allows financing companies to take faster and more efficient resolution steps without involving lengthy and costly legal proceedings. It is important for financing companies to maintain legal certainty and implement restructuring processes with good faith."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Roselind
"Dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang pengujian UU Jaminan Fidusia Pasal 15 ayat 2 dan 3 memberi penafsiran baru terhadap beberapa frasa dan penjelasannya dalam UU Fidusia, di mana hal ini memberikan implikasi terhadap proses eksekusi jaminan fidusia. Tulisan ini bertujuan untuk menelaah dampak dari putusan MK terhadap perusahaan pembiayaan X dengan melihat tiga hal yakni: a) proses eksekusi jaminan fidusia di Perusahaan Pembiayaan X sebelum adanya putusan MK b) pengaruh Putusan MK terhadap proses eksekusi jaminan fidusia di Perusahaan Pembiayaan ; c) kendala-kendala yang dilalui Perusahaan Pembiayaan X setelah adanya Putusan MK. Dengan menggunakan metode penelitian social legal dengan pendekatan kualitatif, penulis menemukan bahwa meskipun proses eksekusi jaminan fidusia kendaraan bermotor di perusahaan X tidak berubah, namun terdapat perubahan terkait pemaknaan dokumen.

The issuance of the Decision of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia Number 18/PUU-XVII/2019 regarding the review of the Fiduciary Law Article 15 paragraphs 2 and 3 provides a new interpretation of several phrases and explanations in the Fiduciary Law, where this has implications for the process of executing fiduciary collaterals. This paper aims to examine the impact of the Constitutional Court's decision on financing company X by looking at three things, namely: a) the process of executing fiduciary collaterals at Financing Company X prior to the Court's decision b) the effect of the Constitutional Court's decision on the process of executing fiduciary collateral in Financing Companies; c) the obstacles faced by Financing Company X after the Constitutional Court's Decision. By using the social legal research method with a qualitative approach, the authors found that although the process of executing motor vehicle fiduciary collaterals in Company X did not change, there were changes related to the meaning of the document"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Anastasia Salvia Salsabila
"Dalam memberikan pinjaman, pemberi pinjaman seperti bank maupun lembaga pembiayaan lainnya mensyaratkan adanya pemberian jaminan dari penerima pinjaman. Salah satu bentuk lembaga jaminan yang ramai diminati oleh masyarakat yaitu jaminan fidusia. Salah satu ciri khas dari jaminan fidusia yaitu kemudahan bagi Penerima Fidusia untuk mengeksekusi objek jaminan apabila Pemberi Fidusia melakukan cidera janji. UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memperbolehkan Penerima Fidusia untuk melakukan parate eksekusi atau mengeksekusi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri, yaitu dengan tanpa campur tangan pengadilan. Pada tahun 2019, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 terkait pengujian Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa: pertama, cidera janji tidak dapat ditentukan secara sepihak oleh kreditur, melainkan harus disepakati oleh kedua belah pihak, atau atas dasar upaya hukum lain yang menentukan telah terjadinya cidera janji. Kedua, Apabila debitur menolak untuk menyerahkan objek jaminan fidusia secara sukarela, maka pelaksanaan eksekusinya harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam skripsi ini, penulis menjelaskan implikasinya berdasarkan analisa dari dua putusan pengadilan terkait eksekusi jaminan fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, yaitu Putusan No.50/Pdt/2020/PT KDI dan Putusan No.17/Pdt.Plw/2020/PN.Pml. Skripsi ini
membahas tentang penafsiran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUUXVII/ 2019 dan implikasinya terhadap eksekusi jaminan fidusia.

In providing loans, lenders such as banks and other financing institutions require the provision of guarantees from the loan recipient (The borrower). Fiduciary guarantee is a form of security over movable property that is in great demand by the public. One of the characteristics of the fiduciary guarantee is that lenders can easily execute the object of the guarantee if the recipient (the borrower) breaches the contract. UU no. 42 of 1999 regarding the Fiduciary Guarantee allows the Fiduciary Recipient to execute the object of the fiduciary guarantee on his own power, that is, without court intervention. In 2019, the Constitutional Court issued the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019 regarding the judicial review of Article 15 paragraph (2) and paragraph (3) of UU No. 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantee execution. The Constitutional Court interprets that: first, the breach of contract cannot be determined unilaterally by the creditor, but must be agreed upon by both parties, or on the basis of other legal remedies that determine that the default (breach of contract) has occurred. Second, if the debtor refuses to voluntarily submit the object of fiduciary security, then the execution must be carried out just like the execution procedure of a court decision which has permanent legal force. This study explains the implications based on the analysis
of two court decisions regarding the execution of fiduciary guarantees after the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019, namely Verdict
No.50/Pdt/2020/PT KDI and Verdict No.17/Pdt.Plw/2020/PN.Pml. This thesis discusses the interpretation of the Constitutional Court Decision Number 18/PUUXVII/ 2019 and its implications for the execution of fiduciary guarantees.
"
Depok: Fakultas Hukum, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nesya Fransisca
"Eksekusi jaminan fidusia merupakan masalah yang penting seiring dengan semakin berkembanganya pemberian kredit dengan jaminan fidusia dalam perjanjian kredit, Lembaga keuangan mikro Swamitra (LKM Swamitra) menyalurkan kredit untuk golongan ekonomi lemah/pengusaha kecil, berdasar prinsip collateral dari 5’C,debiturnya wajib menyediakan agunan minimal sebesar jumlah kredit jaminan. jenis jaminan yang diberlakukan hanya berupa suatu BPKB (buku pemilik kendaraan bermotor), diikat menurut ketentuan hukum UU Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF). Eksekusi Jaminan Fidusia yang tidak didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia, di LKM Swamitra diteliti untuk mengetahui Pelaksanaan Jaminan Fidusia dalam perjanjian kredit dan Implikasi penyelesaian eksekusi Jaminan Fidusia yang tidak didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia menggunakan metode pendekatan normatif terapan untuk mengkaji penerapan peraturan hukum yang terkait dengan Jaminan Fidusia dan lembaga Keuangan Mikro dengan penerapannya oleh para pihak menggunakan data primer dan data sekunder yang dianalisis secara normatif kualitatif.
Pelaksanaan jaminan fidusia di LKM Swamitra tidak dituangkan dalam Perjanjian tersendiri melainkan hanya dituangkan di dalam perjanjian kredit dan Jaminan Fidusia tersebut tidak didaftarkan ke kantor fidusia sesuai ketentuan UUJF Pasal 11 dan Penjelasan Pasal 37 ayat (3), Hal ini disebabkan oleh proses pengikatan jaminan menurut hukum yang berlaku memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit, sedangkan market Swamitra adalah debitor menengah kebawah yang kreditnya relative kecil. implikasi penyelesaian eksekusi jaminan fidusia yang tidak didaftarkan ke kantor Pendaftaran Fidusia ialah Debitor apabila wanprestasi dengan melalui beberapa tahap, tahap pertama kreditur akan melakukan pendekatan persuasif dan jika debitur belum memenuhi kewajibannya maka tahap kedua yaitu dengan memberikan surat peringatan pertama (SP 1), masih belum menanggapi maka akan dikeluarkan surat peringatan ke dua (SP 2) yang menyatakan bila debitur tidak segera melunasi maka benda yang menjadi jaminan akan dieksekusi atau dilelang sebagai bentuk pelunasan utang dari debitur serta memberikan surat penarikan jaminan.

Fiduciary execution is an important issue along with the rise of fiduciary credit in the credit agreement , Swamitra microfinance institution ( MFI Swamitra ) lending to the economically weak / small businesses , according to the principle of 5'C collateral , the debtor is required to provide collateral minimum number of credit guarantee . types of guarantees imposed only in the form of a reg ( motor vehicle owner's book ) , bound by legal provisions of Law No. 42 of 1999 on Fiduciary (UUJF). Fiduciary execution is not registered to the Fiduciary Registration Office, in MFI Swamitra investigated to determine Fiduciary Implementation of the loan agreement and the completion of the execution of Fiduciary Implications are not registered to use the Fiduciary Registration Office normative approach applied to examine the application of legal regulations related to Security fiduciary and Microfinance agencies with the implementation by the parties to use the primary data and secondary data were analyzed qualitatively normative.
Implementation fiduciary in MFI Swamitra not set forth in a separate agreement but merely set forth in the credit agreement and the Fiduciary fiduciary office is not registered pursuant to Section 11 and Explanation UUJF Article 37 paragraph ( 3 ) , This is caused by the process of legally binding guarantees prevailing time-consuming and cost you a bit , while the market Swamitra debtor medium is the relatively small credit . completion of the execution of fiduciary implications are not registered to the Fiduciary Registration Office if the debtor is in default with through several stages , the first stage will be a persuasive approach creditors and if the debtor has not fulfilled its obligations then the second stage is to give the first warning letter ( SP 1 ) , is still not respond to the warning letter will be issued to two ( SP 2 ) that states if the debtor does not repay it immediately became objects that would guarantee executed or auctioned as a form of debt repayment from the debtor as well as provide a letter of guarantee withdrawal.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39088
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Sarah Lasmaria
"ABSTRAK
Jaminan merupakan hal yang penting dalam perjanjian kredit, karena dengan adanya jaminan maka seandainya debitur tidak melaksanakan kewajibannya, kreditur dapat memperoleh pelunasan dari penjualan jaminan yang ada. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata namun ada juga jaminan yang tidak di atur di dalam KUHPER, salah satunya adalah Jaminan Fidusia ( UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia). Perjanjian fidusia merupakan perjanjian jaminan hutang yang bersifat assesoir (perjanjian tambahan). Dalam hal debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka semua harta kekayaan debitor dinyatakan sebagai harta pailit, tak terkecuali benda jaminan fidusia yang haknya telah beralih kepada kreditor pemegang jaminan fidusia, yang secara fisik benda jaminan itu masih dikuasai debitor. Dalam hal kreditor pemegang hak jaminan tidak melaksanakan haknya maka kurator berhak meminta seluruh kebendaan (sertifikat-sertifikat dan bukti lainnya) dari pemegang jaminan untuk kemudian dilelang dan kemudian dibagikan kepada para kreditor tanpa mengurangi hak separatis dari pemilik hak jaminan tersebut.
Jika Debitur Pailit, maka eksekusi kreditur separatis ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

ABSTRACT
Warranties are important in the credit agreement , due to the presence of the collateral if the debtor does not perform its obligations , the creditor may obtain repayment of the existing sales collateral . In the Book of Civil Law , but there is also a guarantee that they are not set in the Civil Code , one of which is a Fiduciary ( Undang-Undang no. 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia ). Fiduciary agreement is an agreement that is collateral assesoir ( additional agreements ) . In the event that the debtor is declared bankrupt by the Commercial Court , then all assets the debtor declared bankruptcy estate , not to mention objects fiduciary whose rights have been transferred to the creditor fiduciary holder , which guarantees that the physical object is still controlled by the debtor . In terms of creditor rights holders do not exercise their rights guarantee the right to ask the curator of the whole material ( certificates and other evidence ) of the holders of a guarantee for later auctioned and then distributed to the creditors without prejudice to the rights of the owner of separatists such security interest .
If the Bankrupt Debtors , the execution creditor separatist suspended for a period not exceeding 90 (ninety ) days from the date of the bankruptcy judgment is pronounced ."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39222
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>