Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Barus, Dany Petra Pranata
Abstrak :
Penyakit infeksi masih menjadi permasalahan mayor pada negara berkembang. Berdasarkan data WHO, setiap tahun penyakit infeksi membunuh 3,5 juta penduduk dunia terutama pada masyarakat berpendapatan rendah dan anak-anak. Antibiotik menjadi terapi utama untuk menangani masalah infeksi. Namun penggunaan yang irasional mengakibatkan munculnya strain bakteri yang tahan terhadap antibiotik tertentu. MRSA menjadi penyebab utama infeksi nosokomial. Saat ini pengobatan untuk infeksi MRSA bergantung kepada vankomisin. Dibutuhkan terapi pendukung dan apabila memungkinkan menggantikan vankomisin dalam penanganan infeksi MRSA. Swietenia mahagoni diduga memiliki potensi dalam mengatasi infeksi terutama akibat bakteri. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri Swetenia mahagoni terhadap bakteri MRSA. Ekstrak Swietenia mahagoni didapatkan dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Ekstrak kemudian dilarutkan menjadi 10 tabung dengan konsentrasi 1280 μg/mL, 640 μg/mL, 320 μg/mL, 160 μg/mL. 80 μg/mL, 40 μg/mL, 20 μg/mL, 10 μg/mL, 5 μg/mL, dan 2,5 μg/mL. Kemudian, setiap tabung diujikan kepada bakteri MRSA secara in vitro dengan metode dilusi. Hasil penelitian, tidak ditemukan Konsentrasi Hambat Minimum dan Konsentrasi Bunuh Minimum dari ekstrak Swietenia mahagoni yang di uji. Hal ini dapat diakibatkan oleh berbagai faktor, baik dari proses ekstraksi Swietenia mahagoni, konsentrasi ekstrak, ataupun proses persiapan bahan kultur bakteri
Infectious diseases remain major problems in developing countries. Based on data from WHO, infectious diseases kill 3.5 million people worldwide each year, especially in low-income communities and children. Antibiotics become the primary therapy to treat infectious diseases. However, irrational use of antibiotics leads to antimicrobial resistance among pathogenic bacteria. MRSA is a major cause of nosocomial infections. Currently the treatment for MRSA infections relies on vancomycin. Supportive therapy is needed and preferrable to vancomycin in the treatment of MRSA infections. Swietenia mahagony was thought to have the potential to overcome bacterial infections. Therefore, this study was conducted to determine the antibacterial activity of Swietenia mahagony against MRSA. Swietenia mahagony extract is obtained from LIPI (Indonesian Institute of Sciences). Extract is then dissolved into 10 tubes with the highest concentration of 1280 μg/mL and the lowest concentration of 2.5 μg/mL. Then, each tube was tested for MRSA bacteria in vitro using dilution method. The results showed that Minimum Inhibitory Concentration and Minimum Bactericidal Concentration of extracts of Swietenia mahagoni were not found. It might be caused by various factors, such as the extraction process of Swietenia mahagoni, the concentration of the extract, or the bacterial culture material preparation process.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rowi Alfata
Abstrak :
ABSTRAK
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan scaffold, banyak dilakukan penelitian untuk meningkatkan kualitas daripada scaffold dalam berbagai aspek, termasuk dalam kemampuan perlindungan terhadap bakteri penyebab infeksi. Dalam penelitian ini, bone scaffold berbahan dasar kitosan-kolagen dengan penambahan seng oksida sebagai agen antibakteri. Terdapat empat variabel yang digunakan yaitu tanpa penambahan seng oksida dan dengan penambahan 1 , 3 , dan 5. Metode yang digunakan adalah Thermally Induced Phase Separation TIPS . Dari penelitian ini didapatkan scaffold berpori dan memiliki permukaan kasar yang teramati melalui SEM. Dari uji SEM juga terlihat bahwa semakin banyak seng oksida yang didapatkan, ukuran dan persentase pori semakin kecil. Karakterisasi dengan FTIR membuktikan bahwa dari proses ini didapatkan scaffold yang memiliki gugus fungsi yang sama dengan kitosan dan kolagen. Selanjutnya, hasil uji DSC-TGA menunjukkan bahwa proses pemanasan sampai 105 oC yang dilakukan pada dehydrothermal treatment DHT tidak menyebabkan degradasi pada scaffold karena dari grafik yang didapatkan terlihat bahwa kitosan dan kolagen memiliki temperatur degradasi yang lebih yaitu mencapai diatas 200 oC. Untuk mengetahui kemampuan aktivitas antibakterinya, scaffold diuji dengan menggunakan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Hasilnya menunjukkan bahwa sampel tanpa penambahan seng oksida tidak memiliki aktivitas antibakteri. Sedangkan dengan penambahan 1, 3, dan 5 scaffold memiliki diameter zona hambat sebesar 1.25 mm, 1.68 mm, 2.50 mm terhadap bakteri E. coli dan 2.40 mm, 4.02 mm, 5.10 mm terhadap bakteri S. aureus. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kekuatan perlindungan terhadap bakteri berbanding lurus dengan banyaknya seng oksida yang ditambahkan.
ABSTRACT
Along with the increasing need for scaffold, many studies have been conducted to improve the quality of scaffolds in various aspects, including the ability to against infectious bacteria. In this study, bone scaffold was made from chitosan collagen with the addition of zinc oxide as an antibacterial agent. There are four variables used without zinc oxide and with 1, 3, and 5 zinc oxide addition. Thermally Induced Phase Separation TIPS is used for the fabrication method. This process has successfully fabricated a porous scaffolds with rough contour that has been observed by SEM. However, SEM images of the scaffolds show that addition of more zinc oxide could reduce the percentage of porosity and pores size of the scaffold. Chemical characterization by using FTIR shows that the scaffolds have similar functional group to chitosan and collagen. Furthermore, the DSC TGA test result indicates that the heating process at 105 oC on dehydrothermal treatment DHT did not cause degradation of the scaffold, because the graph shows that chitosan and collagen have higher degradation temperatures that reach above 200 oC. Antibacterial testing was conducted using Escherichia coli and Staphylococcus aureus to observe the ability of scaffold to against bacteria. The result shows that scaffold without zinc oxide has no antibacterial activity, whereas scaffold with the addition of 1 , 3 , and 5 zinc oxide have antibacterial activities that are shown by inhibition zone diameter of 1.25 mm, 1.68 mm, 2.50 mm against E. coli and 2.40 mm, 4.02 mm, 5.10 mm against S. aureus. Thus it can be concluded that the strength of antibacterial activity is directly proportional to the amount of zinc oxide added to the scaffold.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library