Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Murachmad Dwi Atmanto
"Pembangunan fisik kota dan berdirinya pusat-pusat Industri disertai dengan melonjaknya produksi kendaraan bermotor, mengakibatkan peningkatan kepadatan lalulintas dan hasil produksi sampingan yang merupakan salah satu sumber pencemaran udara.
Tingginya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di kota-kota besar berkisar 8-12% per tahun. Kontribusi gas buang kendaraan bermotor sebagai sumber pencemar udara mencapai 60-70%, sedangkan industri berkisar antara 10-15%. Sisanya berasal dari rumah tangga, pembakaran sampah, kebakaran hutan/ladang dan lain-lain. Berdasarkan jumlah total tiap zat pencemar utama yang dikeluarkan setiap tahun, karbonmonoksida adalah zat pencemar terbanyak dan kendaraan bermotor adalah sumber utamanya .
Pencemaran udara akibat kegiatan transportasi yang sangat penting adalah akibat kendaraan bermotor di darat. Kendaraan bermotor merupakan sumber pencemaran udara yaitu dengan dihasilkannya gas CO,NOx, hidrokarbon (HC), SO2, dan tetraethyl lead.
Upaya pengendalian pencemaran udara akibat gas buang kendaraan dapat dilakukan dengan menggunakan bahan bakar alternatif seperti yang disebutkan oleh Maxwell (1995) bahwa bahan bakar alternatif memiliki kelebihan tertentu dibandingkan bahan bakar bensin dan solar, yaitu bahan bakar alternatif dihasilkan dari sumber domestik, secara umum bahan bakar alternatif mengurangi emisi, beberapa bahan bakar alternatif menawarkan biaya operasi yang lebih rendah.
Sektor transportasi adalah salah satu komponen yang cukup penting dalam perkembangan perekonomian. Perkembangan sektor transportasi membawa akibat peningkatan pemanfaatan bahan bakar khususnya minyak bumi. Pemakaian bahan bakar memberikan dampak meningkatnya konsentrasi pencemaran udara. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti melakukan pengkajian tentang penurunan emisi gas buang pada Kendaraan Bl-fuel . Dengan beberapa rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana perbedaan emisi kendaraan Bifuel apabila menggunakan bahan bakar gas dan menggunakan bahan bakar premium TT?, bagaimana kondisi pencemar udara apabila dilakukan substitusi bahan bakar premium TT?, dan bagaimana pengaruh penggunaan bahan bakar gas atau bahan bakar premium terhadap unjuk kerja mesin kendaraan tersebut?
Tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengantisipasi meningkatnya beban pencemar yang diakibatkan kendaraan bermotor dengan penggunaan bahan bakar alternatif khususnya bahan bakar gas, serta menunjang kebijaksanaan konservasi dan diversifikasi energi. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui perbedaan emisi CO, HC dan CO2 dari kendaraan Bi-fuel apabila menggunakan bahan bakar gas dan menggunakan bahan bakar premium TT, mengetahui pengaruh terhadap daya, rata-rata penurunan daya kendaraan, efisiensi penggunaan bahan bakar kendaraan bi-fuel apabila menggunakan BBG dan premium TT, melakukan simulasi terhadap beban pencemar udara khususnya CO, HC dan CO2.
Hipotesis yang diajukan adalah:
1. Emisi gas buang kendaraan Bi-fuel lebih baik apabila menggunakan bahan bakar gas daripada menggunakan bahan bakar premium TT.
2. Terjadi penurunan emisi CO, HC, dan CO2 apabila dilakukan substitusi bahan bakar minyak (premium) dengan bahan bakar gas.
3. Unjuk kerja mesin kendaraan (daya kendaraan, efisiensi konsumsi bahan bakar) kendaraan bi-fuel lebih baik apabila menggunakan bahan bakar premium TT dibandingkan menggunakan bahan bakar gas.
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitik, dilakukan dengan eksperimen menggunakan kendaraan minibus jenis kijang yang telah dikonversi agar dapat menggunakan bahan bakar gas atau bahan bakar premium. Pengujian dilakukan dengan menggunakan chassis dynamometer untuk mengetahui daya kendaraan serta konsumsi bahan bakar dan emisi gas buang kendaraan. Hasil pengujian dipakai sebagai dasar untuk melakukan simulasi terhadap beban pencemar khususnya CO1 HC dan CO2. Simulasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Powersim versi 2.5 d. Simulasi dilakukan dengan beberapa asumsi sebagai berikut: jumlah kendaraan selalu meningkat, jarak tempuh kendaraan 300km/hari per kendaraan, jumlah stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) bertambah setiap tahun, kapasitas pelayanan setiap SPBG 2500 isp per hari, kapasitas pengisian BBG per kendaraan 80% dari kapasitas tangki, pertambahan kendaraan BBG 1000 unit per tahun.
Keobyektivan model diuji dengan uji validitas dengan menggunakan metode Absolute Mean Error (AME) untuk mengetahui penyimpangan rata-rata simulasi dengan aktual.
Uji sensitivitas dilakukan dengan memberikan perlakuan tertentu pada unsur atau struktur model. Perlakuan yang dilakukan berupa intervensi fungsional berdasarkan 2 skenario, yaitu: skenario 1 dengan memperhitungkan pertumbuhan kendaraan 2% dari jumlah kendaraan tahun 1997, pengisian bahan bakar gas 90% dari kapasitas tabung, dan pertambahan kendaraan BBG 1000 unit per tahun setelah 1997. Skenario 2 dengan memperhitungkan pertumbuhan kendaraan 5% dari jumlah kendaraan tahun 1997, pertambahan kendaraan BBG 2000 unit per tahun, dan pengisian bahan bakar sebesar 90% dari kapasitas tabung.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut: emisi CO yang dikeluarkan kendaraan bi-fuel apabila menggunakan bahan bakar premium TT sebesar 4,26% vol dibandingkan menggunakan bahan bakar gas sebesar 0,12% vol. Penurunan emisi yang terjadi sebesar 97,18%. Emisi HC yang dikeluarkan kendaraan bi-fuel apabila menggunakan bahan bakar premium TT sebesar 1606 ppm, apabila menggunakan BBG menjadi 477 ppm, penurunan emisi yang terjadi sebesar 70,30%. Emisi CO2 yang dikeluarkan kendaraan Bi-fuel apabila menggunakan bahan bakar premium TT sebesar 10,6% sedangkan apabila menggunakan BBG sebesar 7,9% vol, penurunan emisi yang terjadi sebesar 25,47%. Berdasarkan hal tersebut penggunaan bahan bakar gas (BBG) secara umum dapat menurunkan emisi CO, HC dan CO2.
Daya penuh kendaraan Bi-fuel apabila menggunakan bahan bakar gas dicapai pada kecepatan 105 kmfjam dengan daya sebesar 45,66 HP. Sedangkan daya penuh kendaraan bi-fuel apabila menggunakan premium TT dicapai pada kecepatan 120 km/jam dengan daya sebesar 53,71 HP. Penurunan rata-rata daya apabila menggunakan bahan bakar gas adalah sebesar 12,15%.
Konsumsi bahan bakar premium adalah 0,09 lt/km (1 liter untuk jarak tempuh 11 km). Sedangkan konsumsi bahan bakar gas adalah 11 (I Isp) untuk jarak tempuh 6,62 km. Dari segi biaya bahan bakar, penggunaan bahan bakar gas masih lebih rendah bila dibandingkan menggunakan premium TT.
Hasil simulasi untuk parameter CO pada tahun 1997 mencapai 614.887 ton dan pada tahun 2002 mencapai 1.436.002 ton. Peningkatan jumlah beban pencemar terjadi setiap tahun hingga mencapai 2.626.647 ton pada tahun 2008. Demikian pula untuk beban pencemar HC pada tahun 1997 menunjukkan nilai sebesar 25.167,80 ton dan meningkat menjadi 846.171,90 ton pada tahun 2002 dan sebesar 2.036.683 ton pada tahun 2008. Hal serupa terjadi untuk beban pencemar CO2. Jumlah beban pencemar CO2 pada tahun 1997 mencapai 9.702.000 ton dan meningkat menjadi 10.523.330 ton pada tahun 2002. Peningkatan terjadi terus hingga mencapai 11.714.240 ton pada tahun 2008.
Hasil uji sensitivitas berdasarkan skenario 1 dengan memperhitungkan pertumbuhan kendaraan 2% terhadap jumlah kendaraan tahun 1997, pertambahan kendaraan BBG 1000 unit per tahun dan pengisian BBG per kendaraan 90% dari kapasitas tabung menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
Hasil simulasi beban pencemar CO pada tahun 2002 sebesar 1.436.002 ton turun menjadi 610.150,93 ton (57,51%). Beban pencemar CO pada tahun 2008 sebesar 2.626.647 ton turun menjadi 593.271,25 ton (77,41%). Jumlah beban pencemar HC pada tahun 2002 sebesar 846.171,90 ton turun menjadi 96.051,88 ton (88,65%). Jumlah beban pencemar HC pada tahun 2008 sebesar 2.036.683 ton turun menjadi 169.916,67 ton (91,66%). Hal yang sama terjadi untuk beban pencemar CO2. . Jumlah beban pencemar CO2 pada tahun 2002 sebesar 10.523.330 ton turun menjadi 9.697.264 ton (7,85%). Sedangkan jumlah beban pencemar CO2 hasil simulasi pada tahun 2008 sebesar 11.714.240 ton turun menjadi 9.680, 384 ton (17,36%).
Hasil uji sensitivitas berdasarkan skenario 2 dengan memperhitungkan pertumbuhan kendaraan 5% terhadap jumlah kendaraan tahun 1997, pertambahan kendaraan BBG 2000 unit per tahun dan pengisian BBG per kendaraan 90% dari kapasitas tabung menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
Hasil simulasi beban pencemar CO pada tahun 2002 sebesar 1.436.002 ton turun menjadi 808.039,03 ton (43,73%). Beban pencemar CO pada tahun 2008 sebesar 2.626.647 ton turun menjadi 1.039.825 ton (60,41 %). Jumlah beban pencemar HC pada tahun 2002 sebesar 846.171,90 ton turun menjadi 97.271,56 ton (88,51%). Jumlah beban pencemar HC pada tahun 2008 sebesar 2.036.683 ton turun menjadi 169.682,13 ton (91,67%). Hal yang sama terjadi untuk beban pencemar CO2 . Jumlah beban pencemar CO2 pada tahun 2002 sebesar 10.523.330 ton turun menjadi 9.702.090 ton (7,80%). Jumlah beban pencemar CO2 pada tahun 2008 sebesar 11.714.240 ton turun menjadi 9.702.197 ton (17,18%).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Emisi gas buang khususnya CO, HC dan CO2 dari kendaraan Bifuel lebih baik bila menggunakan bahan bakar gas dibandingkan menggunakan premium TT. Penurunan emisi CO bila menggunakan bahan bakar gas sebesar 97,18%, penurunan emisi HC sebesar 70,30% dan penurunan emisi CO2 sebesar 25,47%.
2. Bila diasumsikan kendaraan bi-fuel yang dipakai mempunyai karakteristik sama seperti kendaraan uji, maka jumlah beban pencemar CO pada tahun 2008 turun menjadi 593.271,25 ton (77,41%) bila menerapkan skenario 1, dan. turun menjadi 1.039:825,67 (60,41%) apabila menerapkan skenario 2. Jumlah beban HC turun menjadi 169.916,67 ton (turun 91,66%) apabila menerapkan skenario 1, dan turun menjadi 169.682,13 ton (91,67%) apabila menerapkan skenario 2. Jumlah beban pencemar CO2 dapat diturunkan menjadi 9.680.384 ton (turun 17,36%) apabila menerapkan skenario 1, dan turun menjadi 9.702 197 ton (turun 17,18%) apabila menerapkan skenario 2
3. Daya kendaraan dan efsiensi jumlah konsumsi bahan bakar kendaraan Bi-fuel lebih baik bila menggunakan bahan bakar premium TT
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Agar dilakukan peningkatan kapasitas stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) serta menambah jumlah stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG)
2. Penambahan kendaraan terutama kendaraan umum agar menggunakan bahan bakar gas (Bi-fuel).
3. Perlu penyebaran informasi yang lebih intensif kepada masyarakat tentang bahan bakar gas khususnya untuk kendaraan bermotor, dalam rangka upaya menurunkan emisi gas buang kendaraan.
4. Industri otomotif agar dapat menjual kendaraan yang siap menggunakan bahan bakar gas.
5. Perlu adanya insentif bagi pengguna bahan bakar gas misalnya dengan pemberian keringanan pajak kendaraan.
6. Perlu ada kemudahan pengadaan conversion kit BBG.

Exhaust Emission Reduction Analysis on Bi-fuel Vehicle with System Dynamics ApproachPhysical development of cities and development of industrial center, also increasing of vehicle products will result the increasing amount of vehicles which will produce pollutant as a source of air pollution.
The growth of the amount of vehicle in some big cities around 8-12% annually. Contribution of vehicular exhaust emission around 60-70%, industrial emitance around 10-15%. The rest of percentages of emission come from household activity, disposal burning and forest on fire. CO (carbon monoxide) is the primarily pollutant that produced from vehicles combustion.
Air pollution from land transportation is the important things. Vehicles are the source of CO, HC (hydrocarbon), 502 and tetraethyl lead pollutant.
Alternative fuel is the one of the effort for air pollution control. Maxwell (1995) mentioned that the advantages of alternatives fuel compare with gasoline or diesel fuel are: the alternatives fuel are more likely to be produced from domestic resources, alternatives fuel generally reduce vehicular emission, and some alternatives fuel offer the potential to lower operating cost.
Transportation sector is the one of important component in economic development. The growth of transportation sector will be cause the growth of gasoline utilization. Fuel utilization has impact on increasing pollutant concentration. Based on that problem, researcher has analyzed the reduce emission on bi-fuel vehicle.
The formulations of the problem are:
1. How the differences of exhaust emission from bi- fuel vehicle between using compressed natural gas (CNG) and gasoline.
2. How the condition of the pollutant if the gasoline substituted by other alternative fuel_
3. How the influenced using CNG on power output on bi-fuel vehicle.
Generally, the objectives of study are:
To anticipate the increasing of pollutant from exhaust of bi- fuel vehicle by using alternative fuel especially compressed natural gas (CNG) and to support the conservation and diversification energy policy.
In particular this study is to carry out a trial to know:
1. How the differences exhaust emission from bi-fuel vehicle by using CNG and gasoline.
2. How the CO, HC, CO2 condition for the future if there is some gasoline substituted with alternative fuel.
3. How the influence on power, average power loss and fuel efficiency of bi-fuel vehicle by using CNG versus gasoline
Result of the study disclosed that:
1. The emission testing result shown that by using gasoline produced emission of CO 4,26% vol. compare to 0,112%. Reduce of CO emission around 97,18%. Emission HC by using gasoline is 1606 ppm compare to 477 ppm by using CNG. The reduction of HC emission are 70,30%. CO2 emission by using gasoline are 10,6% vol. compare to 7,9% vol. CO2 emission will reduce to 25,47%
2. The simulation result shown that in the year of 1997 the amount of CO are 614.887, in the year of 2002 are 1.436.002 tons and in the year of 2008 are 2.626.647 tons. The amount of HC in the year of 1997 are 25.167,80 tons, in the year of 2002 are 846.171,90 tons and in the year of 2008 are 2.036.683 tons. The amount of CO2 in the year of 1997 are 9.702.000 tons, in the year of 2002 are 10.523.330 tons and in 2008 are 11.714.240 tons.
Sensitivity test has done with 2 scenarios. The first scenario based on the calculation of vehicle population growth 2% of total vehicles in 1997, the growth of bi-fuel vehicle 1000 units annually and 90% refill of CNG of tank capacity. The result shown that the amount of CO in the year of 2002 are 1.436.002 tons will be reduced to 610.150,93 tons (57,51%),' 57,51 %), ' and 2.626.647 tons in the year of 2008 will be reduced to 593.271,25 tons (77,41%). The amount of HC in the year of 2002 are 846.171,90 tons will reduce to 96.051,88 tons (88,65%). And 2.036.683 tons in the year 2008 will reduce to 169.916,67 tons (91,66%). The amount of CO2 in the year of 2002 are 10.523.330 will be reduced to 9.697.264 tons (17,85%). The amount of CO2 in 2008 are 11.714.240 tons will be reduced to 9.680.384 tons (17,36°/0).
The second scenario based on the calculation of vehicle population growth 5% of total vehicles in 1997, the growth of bi-fuel vehicle 2000 units annually and 90% refill of CNG of tank capacity. The result shown that the amount of CO in the year of 2002 are 1436.002 tons will be reduced to 808.039,03 tons (43,73%), and 2.626.647 tons in the year of 2008 will be reduced to 1.039.825 tons (60.41 %). The amount of HC in the year of 2002 are 846.171,90 tons will reduce to 97.217,56 tons (88,51%). And 2.036.683 tons in the year 2008 will reduce to 169.682,13 tons (91,67%). The amount of CO2 in the year of 2002 are 10.523.330 will be reduced to 9.702.090 tons (17,80%). The amount of CO2 in 2008 are 11.714.240 tons will be reduced to 9.702.197 tons (17,18%).
3. By using CNG, powers acquired are 45,66 HP on 105-km/hours speed and 53,71 HP on 120 km/hours by using gasoline. The averages of power losses are 12,15%. Fuel consumption by using gasoline are 0,09 lt/km (1 liter for 11 kilometers distance) and 1 liter for 6,62 kilometers by using CNG.
Conclusion:
1. Engine flue gas emission of bi-fuel vehicle especially CO, HC and CO2 more better if using compressed natural gas than gasoline, showing approximately 97,18% reduction in CO, a 70,30% reduction in HC and a 25,47% reduction in CO2.
2. If bi-fuel has same characteristic with the vehicle has been used for testing, so the amount of CO in the year of 2008 will be reduced to 593.271,25 tons (77,41%) if we perform scenario 1, and will be reduced to 1.039.825,67 tons (60,41%) if we perform scenario 2. The amount of HC will be reduced to 1 69.916,67 tons (91,66%) if we perform scenario 1 and will be reduced to 169.682,13 tons (91,67%) if we perform scenario 2. The amount of CO2 will be reduced to 9.680.384 tons (17,36%) if perform scenario 1 and will be reduced to 9.702.197 tons (17,18%) if perform scenario 2.
3. The maximum power output of the bi-fuel engine, and fuel efficiency was better by using gasoline than CNG.
Recommendation:
1. The quantity and capacity of the CNG refueling station need to be raised.
2. The addition of public transportation must use CNG.
3. The information about CNG needs to be distributing spreadly and intensively to the public.
4. Automotive industries must sold the CNG vehicle.
5. Some incentive needed for CNG user in the form of reduction on vehicle tax.
6. Easy in providing CNG conversion kit.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T 11113
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Wardani
"Studi ini bertujuan memprediksi dampak kebijakan penurunan emisi di Indonesia yang berdasarkan pada kebijakan pada Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN GRK) Indonesia. Studi ini menggunakan metode analisis Input-Output untuk mengestimasi dampak kebijakan terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan, dan kesempatan kerja, dengan menggunakan data Tabel Input-Output Indonesia tahun 2016 dan data emisi Indonesia dari tahun 2010 hingga 2020. Hasil studi ini menunjukkan bahwa sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan merupakan sektor yang paling terpengaruh akibat kebijakan penurunan emisi, dan kebijakan penurunan emisi ini secara umum memberi dampak cukup besar terhadap perekonomian Indonesia.

This study aim to predict the impact of implementing emission reduction policies to Indonesian economy based on National Action Plan on Green House Gas Emission Reduction or RAN GRK Indonesia. This study used Input-Output analysis method to estimate the policy impact on domestic output, gross added value, income, and employment opportunities based on Indonesia’s Input-Output table 2016 and Indonesia’s emissions data from 2010-2019. The result of this study shows that Agriculture, Livestock, Forestry and Fisheries is the sector that mostly affected by the emission reduction policies, and the policies that is implemented to reduce emissions have quite an impact on Indonesian economy."
2022: Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwita Sulistyaningsih
"Sehubungan latar belakang dan kondisi Indonesia saat ini, diversifikasi energi sudah saatnya dilakukan dengan lebih intensif. Indonesia merupakan negara dengan sejumlah besar gunung api yang memiliki sumber daya energi panas bumi dalam jumlah melimpah. Pengembangan sumberdaya panas bumi memerlukan investasi yang cukup besar, sehingga pengembangannya relatif sangat lambat, namun demikian ia memiliki keunggulan yaitu emisi CO2 yang sangat rendah.
Protokol Kyoto disusun untuk menentukan target dan cara-cara penurunan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) dunia. Di dalam Protokol tersebut telah disepakati bahwa sebagai langkah awal stabilisasi konsentrasi GRK negara-negara maju akan menurunkan emisi GRK sedikitnya sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990. Penurunan tersebut ditargetkan akan tercapai sekitar tahun 2008-2010. Target penurunan emisi tersebut bersifat mengikat (Legally Binding) bagi negara-negara maju. Negara-negara berkembang tidak memiliki obligasi untuk menurunkan emisinya.
Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism (CDM) adalah mekanisme dalam Kyoto Protokol berupa kerangka multilateral yang memungkinkan negara maju melakukan investasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. Negara berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Kerangka tersebut dirancang untuk memberikan aturan dasar bagi kegiatan proyek yang dapat menghasilkan pengurangan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction CER). Mekanisme ini merupakan partisipasi negara-negara berkembang untuk terlibat aktif dalam protokol ini.
Dari segi bisnis, pengesahan Protokol Kyoto akan menarik investasi baru melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/ CDM} dimana kegiatan investasi itu akan memberikan dana tambahan atau insentif sebagai kompensasi atas pembatalan emisi GRK karena proyek tersebut dilaksanakan pada sektor-sektor yang mampu menekan emisi atau meningkatkan penyerapan karbon. Oleh karena itu, bagaimana energi panas bumi dapat berkembang dalam kondisi lingkungan global ini.
Penelitian aplikasi mekanisme CDM pada PLTP Panasbumi ini melihat berapa besar insentif CDM tersebut dalam mendukung pengembangan proyek PLTP Panasbumi dari segi ekonomi serta tatanan kelembagaan yang ada pada sektor energi.
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran ekonomi proyek PLTP panasbumi dari insentif CDM yang didapatkan, yaitu dengan cara mendapatkan besar reduksi emisi CO2 PLTP Panasbumi terhadap baselinenya dan mendapatkan perhitungan ekonomi proyek PLTP tersebut, serta tatanan kelembagaannya saat ini.Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kontribusi insentif CDM pada PLTP Panasbumi untuk mendukung diversifikasi energi serta pembangunan berkelanjutan sebagai pertimbangan meratifikasi Protokol Kyoto.
Hipotesis dari penelitian ini adalah bahwa kontribusi insentif CDM mampu meningkatkan faktor ekonomi PLTP Panasbumi untuk mendukung perkembangan energi panas bumi sebagai salah satu mekanisme pengelolaan global perubahan iklim, namun tidak cukup besar untuk mempercepat pergembangan PLTP Panasbumi. Kelembagaan pemerintah, masyarakat dan swasta berperan dalam mekanisme CDM.
Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental atau penelitian deskriptif-analitik dengan menggunakan metode survey dan ekspos fakto. Penelitian deskriptif merupakan penelitian untuk mengumpulkan informasi mengenai status gejala yang ada, pada saat penelitian dilakukan. Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tetang variabel-variabel, gejala atau keadaaan. Variabel yang satu tidak dihubungkan dengan variabel yang lain, tetapi ingin mengetahui keadaan masing-masing variabel secara lepas, pengumpulan data kualitatif (survey dan wawancara mendalam) dengan dilengkapi data kuantitatif sejumlah sampel dari populasi dalam suatu penelitian, akan saling melengkapi, memperluas ruang lingkup dan kedalaman studi atau kajian.
Berdasarkan hasil dari pembahasan data yang diperoleh dari penelitian ini, maka kesimpulan yang diperoleh adalah:
  1. Besar emisi gas CO2 PLTP Panasbumi diperhitungkan dari jumlah kandungan gas yang tidak terkondensasi (non-condensable gas) dalam sejumlah uap yang dikonsumsi untuk membangkitkan listrik 100 MW. Pada tahun 2003 sebanyak sekitar 23.894 ton gas CO2 setiap tahun diemisikan dari menara pendingin PLTP Panasbumi. Dibandingkan dengan pembangkit listrik untuk menghasilkan listrik yang sama, sistem Jawa-Bali mengemisikan gas CO2 sebanyak 722.365 ton. Dengan demikian PLTP Panasbumi mampu mereduksi sebanyak 698.471 gas CO2 setiap tahun untuk kapasitas 100 MW.
  2. Dengan berkembangnya pasar untuk perdagangan karbon yang telah dilakukan di Eropa saat ini, setiap ton CO2 dihargai antara 5 hingga 10 dollar Amerika. Dengan reduksi emisi CO2 setiap tahunnya, maka PLTP Panasbumi berpotensi untuk mendapatkan insentif CDM sebesar hampir sekitar 3,5 hingga 7,0 juta dollar Amerika setiap tahunnya, atau 100 hingga 200 juta dollar Amerika selama masa kontrak produksinya (30 tahun). Hal ini yang disebut sebagai Certified Emission Reduction (CER) dalam mekanisme Clean Development Mechanism (CDM) pada Kyoto Protokol. Insentif CDM ini mampu meningkatkan IRR 1,5% yaitu dari 15,3% menjadi 16,8% bila dibandingkan dengan tidak adanya CDM, serta meningkatkan NPV sebesar 15,9 juta dollar Amerika yaitu dari 56,8 juta dollar Amerika menjadi 72,7 juta dollar Amerika dengan asumsi pajak CDM sebesar 10%. Mengingat kondisi perpajakan yang berbeda dengan kontrak PLTP Panasbumi, maka pajak CDM tidak dimasukkan dalam perhitungan earning perusahaan, sehingga insentif CDM ini tidak cukup besar untuk dapat mempercepat perkembangan PLTP Panasbumi. Selain itu, jumlah insentif CDM tidak cukup signifikan dibandingkan dengan besar investasi yang harus ditanamkan, namun demikian CER tersebut cukup mampu untuk merangsang perkembangan panas bumi di Indonesia. CDM bila dilihat dari segi energi, mampu meningkatkan tingkat pengembalian bunga investasi proyek atau IRR sebesar 1.5%. Kontribusi ini relatif kecil ketika kepentingan komitmen atas penurunan GRK untuk menekan dampak perubahan iklim dunia terhadap mahluk hidup mulai dirasakan. Sehingga jenis energi yang rendah emisi, terbarukan serta memiliki efisiensi tinggi menjadi pilihan perkembangan diversifikasi energi dimasa mendatang.
  3. Kementerian Lingkungan Hidup yang merupakan focal point dari mekanisme CDM Kyoto Protokol sangat mendukung dan aktif mendorong terciptanya kelembagaan dan perangkat kesiapan implementasi CDM serta ratifikasi Kyoto Protokol. Tatanan kelembagaan CDM di sektor energi telah berkembang relatif lebih cepat.

Considering the current background and conditions of Indonesia it is already high time that diversification of energy should be applied more intensive. With it chain of several volcanic mountains Indonesia has enormous resources of geothermal energy. The development of these resources requires quite high investment, causing its relative slow development, although its superior very low CO2 emission.
The Kyoto protocol was formulated to stipulate the target and means of reducing the concentration of Greenhouse Gasses (GHG). The protocol stated the agreement that as a preliminary step developed countries should reduce their GHG concentration up to 5.2% of the emission level in 1990. This is targeted to be achieved at around 2008-2010. This emission reduction is legally binding for developed countries. Developing countries are not obligated to reduce their emission.
The Clean Development Mechanism (CDM) is a mechanism in the Kyoto Protocol, a multilateral framework providing the opportunity for developed countries to invest in developing countries to achieve their emission reduction. Developing countries have an interest in achieving their sustainable development. The framework was designed to provide the legal basic for project activities, which could result in a Certified Emission Reduction, CER. A mechanism for developing countries to be actively involved in this protocol.
From the business point of view, the ratification of the Kyoto Protocol should attract new investment through the Clean Development Mechanism, CDM, where the investment activity shall give additional funds or incentive as compensation for the reduction of GHG emission for such project is implemented in sectors reducing emission or improve carbon absorption. This is the reason why geothermal energy will be able to develop in the present global environmental condition.
The research of the CDM mechanism application in this Geothermal Power Station considers the amount of the CDM incentive in supporting the development of such project from its economic aspects and the existing institutional structures in the energy sector.
The objective of this research is to obtain an economic overview of the geothermal power station from the CDM incentive to be obtained that is by the amount of CO2 emission reduction of the geothermal PowerStation against its baseline and obtain the economic calculation of such project, also the institutional structure in the present energy sector.
This study is hoped to provide the CDM intensive contribution on the geothermal Power Station to support energy diversification and sustainable development as consideration to ratify the Kyoto Protocol.
The research hypothesis is that the CDM incentive is able to enhance the economy of the geothermal power station to support the development of geothermal energy as one of the global management mechanism of climatic change, but not powerful enough to accelerate the development of geothermal Power station. The government, community and private institutions also play a role in the CDM.
This research is a non-experimental research or an analytical-descriptive research by using survey methods and facts exposure. A descriptive research is a research to collect information on the status of existing symptoms, at the time of the research. Descriptive research is not intended to test any given hypothesis, only present the facts about variables, symptoms or situations. One variable is not connected to another, just to understand the respective variables independently, collecting qualitative data (in-depth survey and interview) completed by a number of quantitative data of the population, in a research it will supplement one another, extend the scope and depth of the study or research.
Based on the results of the data description obtained from this study, the following conclusion may be drawn:
  1. The amount of emission of the geothermal power station to raise 100 MW is calculated from the amount of vapor consumed and the non-condensed gas containing CO2 gas. 23,894 ton of CO2 gas is annually emitted from the cooling tower of the Geothermal Power Station. Compared to power stations to produce the same amount of electricity, the Java Bali network emits 722,365 ton of CO2 gas. Which mean that the geothermal power station will be able to reduce 698,471 ton of CO2 gas annually to raise 100 MW electricity. This is valued or called Certified Emission Reduction (CER) in the Clean Development Mechanism (CDM) of the Kyoto Protocol mechanism.
  2. With the development of markets for carbon trading presently carried out in Europe, the price of each unit ton of CO2 varies between 5 to 10 US dollars. With a reduction of 698,471 ton CO2 annually, the geothermal power station is potential to receive a CDM intensive of about 3.5 to 7.0 million US dollars annually, or 100 to 200 million US dollar during its production contract (30 years). The CDM incentive is able to increase IRR to 1.5 % which is from 15.3% to 16.8% compared to non-existence of CDM also increases NPV to 15.8 million from 56.8 to 72.7 Million. The insinuative is calculated in the company cash liquidity but not included in the company's earning, due to the difference in the tax condition with the geothermal power station. Besides, the CER provides enough incentive to the development of geothermal sources but will not be able to accelerate its development investment due to its riot significant amount compared to the huge amount of investment. CDM from energy sector overview, it is potential to increase 1.5 Internal Rate Ratio. This contribution relatively low when we compared with Greenhouse Gas reduction commitment to mitigate climate change impact in the world. Therefore, low emission energy technology, renewable energy which is have high efficiency become good choose alternatives in the future to support diversification energy development.
  3. The CDM institutional structure in the energy sector has developed relatively more rapid due to the fact that the CDM project is related to renewable energy, which is very low in emission such as geothermal and efficient energy (cogeneration etc.) The Ministry of Living Environment as the focal point of the CDM mechanism of the Kyoto Protocol support and actively boost the creation of institutions and means of implementing the CDM and ratification of the Kyoto Protocol.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11981
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miftahul Jannah Arrahmah
"Penelitian ini menganalisis jejak karbon yang dihasilkan dari aktivitas mudik menggunakan transportasi pribadi berfokus pada pemudik asal Kota Tangerang dan Kota Bekasi. Emisi gas rumah kaca dari kategori transportasi, khususnya transportasi darat, memiliki kontribusi signifikan terhadap total emisi sektor energi di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi jejak karbon dalam aktivitas mudik serta memberikan pemahaman yang lebih baik terkait hal ini. Metode perhitungan jejak karbon dalam penelitian ini mengacu pada metode fuel-based dari dokumen World Resources Institute (WRI) Indonesia. Faktor emisi (EF) bahan bakar di Indonesia digunakan untuk memastikan relevansi hasil perhitungan. Data dikumpulkan melalui kuisioner yang disebarkan kepada pemudik asal Kota Tangerang dan Kota Bekasi. Analisis korelasi Pearson dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap jejak karbon, di mana hasilnya menunjukkan bahwa jarak perjalanan memiliki pengaruh paling signifikan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jejak karbon dari pemudik asal Kota Tangerang mencapai 10396,8 kgCO2, sementara pemudik asal Kota Bekasi memiliki jejak karbon sebesar 7218,5 kgCO2. Implikasi dari penelitian ini adalah pentingnya kesadaran terhadap dampak jejak karbon dalam aktivitas mudik menggunakan transportasi pribadi, dengan harapan dapat menghasilkan rekomendasi yang lebih baik untuk penurunan emisi di masa mendatang.

This research analyzes the carbon footprint generated from homecoming activities using private transportation, focusing on homecomers from Tangerang and Bekasi. Greenhouse gas emissions from the transportation category, particularly land transportation, significantly contribute to the total energy sector emissions in Indonesia. The aim of this study is to analyze the factors influencing the carbon footprint in homecoming activities and to provide a better understanding of this issue. The carbon footprint calculation method in this research refers to the fuel-based method from the World Resources Institute (WRI) Indonesia's document. Fuel emission factors (EF) in Indonesia are utilized to ensure the relevance of the calculation results. Data were collected through questionnaires distributed to homecomers from Tangerang and Bekasi. Pearson correlation analysis was conducted to identify the most influential factors on the carbon footprint, where the results showed that travel distance had the most significant impact. The calculation results indicate that the carbon footprint from homecomers from Tangerang reached 10,396.8 kgCO2, while homecomers from Bekasi had a carbon footprint of 7,218.5 kgCO2. The implications of this research underscore the importance of awareness regarding the carbon footprint impact in homecoming activities using private transportation, with the hope of generating better recommendations for emission reduction in the future."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Muswati Putranti
"Abstract. The purpose of Clean Development Mechanism (CDM) is to reduce the emission of greenhouse gas through carbon credit. The mechanism allows projects or business enterprises related to the reduction of carbon emission in developing countries to receive the Certified Emission Reduction (CER). The current research uses the qualitative approach and analyzes policies on Value-Added Taxes (PPN) and the Income Tax (PPh) to determine the ones appropriate for CER transactions in Indonesia. India?s policies of PPN and PPh on CER transactions are used as a benchmark to analyze tax policies on CER transactions in Indonesia. The current research shows that, in regard to PPN taxable objects, CER is the equivalent of a marketable security or collateral. Article 4 Clause (2) Point d in UU PPN Indonesia states that marketable securities are categorized as non-taxable goods; therefore, in accordance with UU PPN, a CER transaction is exempt from PPN. PPh laws and regulations state that the income from CER sales in Indonesia is subject to the income tax. To support the policy on carbon emission reduction, the government can issue a policy in which PPN is not levied on imported machines or equipments used in technology transfer activities, and thus facilitate the growth of CDM projects."
2011
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ahyahudin Sodri
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengembangkan model mobilitas perkotaan karbon rendah berkelanjutan sebagai bagian dari pembangunan kota berkelanjutan. Penelitian ini unik dengan pendekatan kuantitatif yang berfokus pada keterkaitan antara faktor ekonomi, penduduk, perilaku perjalanan, konsumsi energi dan emisi CO2 secara sistematik dan integralistik. Penelitian ini menggunakan pendekatan permodelan melalui beberapa tahapan, yaitu menganalisis karakteristik transportasi Kota Jakarta saat ini, menganalisis kausalitas antara variabel penelitian dengan Granger-causality dan permodelan mitigasi gas rumah kaca GRK di daerah perkotaan berbasis System Dynamics SD . Penelitian ini menghasilkan model yang dapat digunakan untuk menguji dampak kebijakan dan perencanaan penghematan energi serta penurunan emisi sektor transportasi melalui pergeseran moda angkutan pribadi ke transportasi massal. Lima skenario transportasi perkotaan karbon rendah telah diuji dengan model, yaitu skenario business as usual BAU , pembatasan usia kendaraan, peralihan moda ke transportasi umum mass rapid transit MRT dan light rapid transit LRT , elektrifikasi bus rapid transit BRT , dan skenario gabungan comprehensive policy . Berdasarkan skenario business as usual BAU , emisi CO2 yang diproyeksikan dari sektor transportasi pada tahun 2030 di kota megapolitan Jakarta mencapai 43,68 MtonCO2; kontributor utama adalah mobil pribadi yang menghasilkan emisi 25,99 MtonCO2, diikuti oleh motor 12,54 MtonCO2 dan bus 5,15 MtonCO2. Penurunan emisi CO2 pada tahun 2030 sebesar 30 hanya dapat dicapai dengan strategi intervensi komprehensif. Mendorong kebijakan yang berorientasi pada angkutan umum emisi rendah, membatasi pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi, mengurangi jarak tempuh kendaraan adalah solusi yang mungkin untuk mengurangi emisi CO2.

ABSTRACT
This study aims to develop sustainable low carbon urban mobility models as part of sustainable urban development. This study is unique with a quantitative approach that focuses on the linkages between economic factors, population, travel behaviour, energy consumption and CO2 emissions systematically and comprehensively. This study uses a modelling approach through several stages, i.e. analysing the characteristics of Jakarta 39 s current transportation, analysing the causality between research variables with Granger causality test and GHG mitigation modelling in urban areas based on System Dynamics SD . This research results model that can be used to test the impact of policy and energy saving planning and the reduction of transport sector emissions through the shift of private transport mode to mass transportation. Five low carbon urban transport scenarios have been tested with models, namely business as usual BAU scenarios, vehicle age restrictions, modal transitions to mass rapid transit MRT and light rapid transit LRT public transport, bus rapid transit BRT electrification, and combined scenarios comprehensive policy . Under the business as usual BAU scenario, CO2 emissions from the transport sector by 2030 in the megapolitan city of Jakarta projected to 43.68 MtonCO2 Main contributor is private cars that produce 25.99 MtonCO2 emissions, followed by motorcyles 12.54 MtonCO2 and buses 5.15 MtonCO2. A 30 reduction of CO2 emissions by 2030 can only be achieved with a comprehensive intervention strategy. Encouraging policies that are oriented towards low emissions public transport, limiting the growth of private vehicle ownership, reducing vehicle mileage is a possible solution for reducing CO2 emissions"
2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danang Kuncara Sakti
"BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Proses degradasi sumberdaya hutan dalam dua dekade ini telah menimbulkan dampak yang cukup luas, yang menyentuh aspek lingkungan, ekonomi, kelembagaan, dan juga sosial-politik. Kerusakan telah terjadi di semua kawasan hutan sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum, pembukaan hutan untuk keperluan pembangunan lain (pertambangan, dan industri), perambahan, kebakaran hutan, lemahnya kesadaran dan perhatian terhadap kelestarian ekosistem DAS, serta kurangnya upaya reboisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan pengguna hutan lainnya.
Berdasarkan hasil analisis data RePPProt dan data Inventarisasi Hutan Nasional (NFI) tahun 1985-1997 diperoleh angka deforestasi sebesar 22,46 juta ha atau laju deforestasi nasional per tahun sebesar 1.8 juta ha/tahun. Deforestasi terbesar terjadi di Propinsi Sumatera Selatan seluas 2,3 juta ha atau sebesar 65 % dari luas hutannya pada tahun 1985. Kemudian secara berturut-turut di Propinsi Kalimantan Selatan, Lampung dan Jambi. Namun demikian deforestasi terluas terjadi di Pulau Kalimantan seluas 10,3 juta ha, yaitu di Propinsi Kaltim 4,4 juta ha, Propinsi Kalteng 3,1 juta ha, Propinsi Kalbar 2,0 juta ha dan Propinsi Kalsel seluas 0,8 juta ha. Kontribusi sektor kehutanan dan perubahan lahan terutama disebabkan oleh tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia.
Laju kerusakan hutan di Indonesia sesudah masa reformasi justru lebih cepat dibandingkan dengan sebelumnya. Parahnya kondisi hutan Indonesia diperlihatkan oleh hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 yang menunjukkan bahwa terdapat hutan dan lahan rusak lebih dari 101,73 juta ha, seluas 59,62 juta ha diantaranya berada dalam kawasan hutan yakni di dalam hutan lindung (10,52 juta ha), hutan konservasi (4,69 juta ha) dan hutan produksi (44,42 juta ha). Laju kerusakan hutan pada periode 1997-2000 meningkat cepat menjadi 3,8 juta ha/tahun. Laju kerusakan tersebut diperkirakan semakin tidak terkendali pada periode tahun 2000-2003 karena aktifitas penebangan liar, penyelundupan kayu dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain yang semakin merajalela, pemberian ijin pemanfatan kayu hutan/IPKH oleh pemerintah daerah yang tidak terkontrol (Badan Planologi Kehutanan, 2003). Pada saat ini, dengan kondisi hutan yang sangat menyedihkan serta lembaga-lembaga kehutanan yang tidak memiliki kekuatan apa-apa dalam mengerem laju kerusakan ini, apapun akan dilakukan dalam upaya menyelamatkan pohon-pohon terakhir yang tersisa di hutan Indonesia.
Meskipun melalui perundingan yang panjang akhirnya pemerintah Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto, tepatnya pada hutan Juli 2004. Dengan meratifikasi Protokol Kyoto tersebut maka Indonesia akan memiliki komitmen terhadap negara-negara lain yang lebih dahulu meratifikasi perjanjian tersebut. Ratifikasi Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan internasional yang menunjukkan upaya yang sangat serius dalam menghadapi peruhahan iklim. Secara hukum Protokol Kyoto mewajibkan seluruh negara Annex I untuk secara bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008-2.012. Indonesia akan mendapatkan keuntungan melalui mekanisme Clean Development Mechanism -CDM yang terdapat pada perjanjian tersebut.
Clean Development Mechanism (CDM) di kehutanan ini lahir dari tuntutan terhadap fungsi dan peran hutan tropis yang tersisa dianggap sebagai "paru-paru dunia", maka negara-negara pemilik hutan ini harus diberikan kompensasi untuk sumbangannya dalam menyediakan paru-paru dunia tersebut. CDM juga dapat dilihat sebagai bentuk kompensasi dari negara maju kepada negara berkembang, sehingga CDM merupakan peluang memperoleh dana luar negeri untuk mendukung program-program prioritas, penciptaan lapangan kerja dengan adanya investasi baru. Adapun manfaat tidak langsung yang dapat dipetik Indonesia dapat berupa technology transfer, capacity building, peningkatan kualitas Iingkungan, serta peningkatan daya saing.
Bentuk lain dari komitmen antara negara-negara pengikut Protokol Kyoto ini adalah jual-beli emisi itu dalam bentuk sertifikat, yaitu jumlah emisi para pelaku perdagangan akan diverifikasi oleh sebuah badan internasional atau badan lain yang diakreditasi oleh badan tersebut namun sampai saat ini belum terbentuk. Reduksi Emisi bersertifikat (RES) atau Certified Emission Reduction (CER) inilah yang diperjualbelikan dalam sebuah pasar internasional. RES itu dinyatakan dalam ton karbon yang direduksi. Jumlah reduksi metan dan GRK lain juga dinyatakan dalam ton karbon. Jadi harus dikonversi menjadi ton karbon. Sekarang perdagangan ini sudah berjalan melalui yang disebut implementasi patungan (joint Implementation). Harga karbon masih sangat bervariasi, yaitu antara US$10 sampai US$30 per ton karbon.
Indonesia bisa mendapatkan sedikitnya US$ 500 juta dari nilai reduksi karbon yang dijual melaui mekanisme CDM. Nilal keseluruhan di atas berasal pengelolaan hutan lestari sebesar US$ 50 juta dan US$ 350 juta berasal dari sektor energi. Dengan keikutsertaan ini maka konsekuensi sektor kehutanan terhadap penebangan liar menjadi sangat penting. Keberadaan luasan hutan sebagai jaminan pasokan karbon perlu terus terjaga. Secara tidak langsung sektor kehutanan mencegah terjadi kehilangan devisa akibat penebangan liar tersebut sebesar 30 triliun rupiah (Agus P Sari, Pelangi Indonesia).
Untuk melihat dampak ekonomi dari mekanisme CDM khususnya di sektor kehutanan digunakan SAM (Social Accounting Matrix) atau di Indonesia sering disebut SNSE (Sistem Neraca Sosial Ekonomi). Dengan menggunanakan SNSE ini dapat diketahui perubahan perekonomian nasional akibat adanya suatu kegiatan perekonomian pada salah satu sektor tertentu. Perubahan tersebut dapat berdampak pada sektor-sektor yang terdapat dalam SNSE, yaitu faktor produksi, institusi dan sektor produksi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library