Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dody Freddy Stevanus Yonatan
"Pendahuluan. Malaria adalah salah satu penyakit infeksi parasit yang masih menjadi permasalahan di Indonesia. Meskipun sebagian besar daerah di Indonesia sudah bebas malaria, namun masih cukup banyak daerah yang masih endemis dengan prevalensi malaria yang tinggi.
Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan, perilaku pencegahan terhadap malaria pada karyawan, adanya perbedaan tingkat pengetahuan  antara karyawan yang pernah dan belum pernah ke daerah endemis malaria dan bagaimana peran perusahaan terhadap pencegahan malaria.
Metode. Penelitian ini menggunakan Mix Method (deskriptif kualitatif dan kuantitatif). Penelitian kualitatif dilakukan dengan pendekatan melalui wawancara secara mendalam menggunakan adaptasi kuesioner untuk mengetahui pencegahan malaria dan penerapan di perusahaan yang meliputi manajer, supervisor dan dokter klinik perusahaan. Penelitian kuantitatif untuk mengukur tingkat pengetahuan serta perilaku karyawan terhadap malaria. Analisis data dilakukan dengan program statistic menggunakan uji Man-Whitney.
Hasil. Seluruh responden masuk ke dalam kategori tingkat  pengetahuan dan pencegahan malaria yang masih buruk. Tidak ada perbedaan pengetahuan yang bermakna antara karyawan yang sudah ataupun belum pernah ke daerah endemis malaria (menggunakan uji Man-Whitney, p: 0,371). Peran perusahaan dinilai masih kurang dalam melakukan pencegahan malaria.
Kesimpulan. Masih kurangnya nilai pengetahuan karyawan secara keseluruhan terkait malaria dan pencegahan penularannya. Dan tidak ada perbedaan bermakna antara pengetahuan karyawan yang belum dan sudah pernah bertugas ke daerah endemis malaria. Masih kurangnya peran perusahaan terhadap pencegahan malaria

Introduction. Malaria is one of the parasitic infectious diseases that remains as a main problem in Indonesia. Even though most regions in Indonesia are malaria free, there are still many areas that are endemic with high prevalence.
Objective. The purpose of this study were among others to identify the level of knowledge of malaria among employess, to determine whether there was a difference between thelevel of knowledge among those who had and never had been to Papua or other malaria endemic area and to find out company’s role towards prevention of malaria.
Method. This study was using a descriptive study with a Mix Method (qualitative and quantitative method). Qualitative research was carried out by a system approach through in-depth interviews using adaptated questionnaires as guidance to learn about malaria prevention and control practices of the company involving manager, supervisor and clinical physician. Quantitative research measures the level of knowledge and behavior of employees towards malaria. Data analysis was performed with statistical program using Man-Whitney test.
Results. All respondents had  poor  knowledge and prevention practices towards malaria There was no significant difference in knowledge between employees who had or had not been to malaria endemic areas (p: 0.371). The role of company towards malaria prevention is still not optimal.
Conclusion. Overall knowledge related to malaria and it’s prevention was poor. And there was no significant difference between the knowledge of employees who have not and have been assigned to malaria-endemic areas. The role of company towards malaria prevention is still lacking.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Is Suhariah Ismid
"

Filariasis yang oleh orang awam disebut penyakit kaki gajah, adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk. Cacing dewasa filaria hidup di pembuluh dan kelenjar getah bening, sehingga penyakit ini sering disebut filariasis limfatik. Cacing betina akan menghasilkan keturunan yang disebut mikrofilaria yang dapat ditemukan dalam darah tepi hospes (inang).

Di dunia terdapat 3 spesies cacing filaria limfatik pada manusia yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Penyebaran filariasis dapat ditemukan di daerah tropik maupun subtropik. Menurut WHO terdapat kurang lebih 1 milyar penduduk tinggal di daerah endemik yang berisiko terinfeksi filaria dan 120 juta penduduk di antaranya terinfeksi filaria, dengan rincian 90% terinfeksi W. bancrofti dan 10% terinfeksi B. malayi dan B. timori. W. bancrofti tersebar di Asia, Afrika, Cina, Kepulauan Pasifik dan sebagian Amerika Latin. B. malayi tersebar luas di Asia Tenggara, sedangkan B. timori mempunyai penyebaran yang terbatas hanya di Nusa Tenggara Timur.

Nyamuk merupakan vektor penting dalam penularan filariasis, akan tetapi tidak semua nyamuk potensial menjadi vektor. Vektor potensial adalah nyamuk yang dapat mengembangkan mikrofilaria menjadi larva infektif. Daur hidup filaria memang agak kompleks karena dafam satu daur hidupnya mempunyai dua fase, yaitu dalam tubuh manusia dan nyamuk. Mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk akan melepaskan sarungnya di lambung nyamuk. Setelah 2 -- 6 jam berada dalam lambung nyamuk, kemudian menembus dinding lambung pergi ke otot toraks. Di otot toraks mikrofilaria akan berubah menjadi larva stadium 1, 2 hari kemudian menjadi larva stadium I I dan menjadi larva stadium I I I setelah 10 - 15 hari. Larva stadium III merupakan bentuk infektif bagi manusia. Larva stadium III dari otot toraks akan menuju kelenjar liur nyamuk siap untuk ditularkan ke manusia.

Pada saat nyamuk menggigit manusia, larva stadium III dilepaskan di kulit sekitar tempat gigitan, kemudian masuk ke peredaran darah lewat lubang gigitan nyamuk. Larva stadium III ini di badan manusia berkembang menjadi larva stadium IV kemudian masuk ke kelenjar getah bening dan berkembang menjadi cacing dewasa jantan atau betina. Setelah pembuahan, cacing betina akan menghasilkan mikrofilaria yang dilepas ke peredaran darah. Mikrofilaria dapat ditemukan di darah tepi secara periodik, kadang-kadang hanya malam saja yang disebut periodik noktuma.

Mikrofilaria yang hanya ditemukan di peredaran darah pada siang hari saja, disebut periodik diurna. Mikrofilaria yang ditemukan pada malam dan siang hari dalam jumlah yang lebih sedikit pada siang hari mempunyai periodisitas subperiodik nokturna dan bila jumlah mikrofilaria pada siang hari lebih banyak daripada malam hari mempunyai periodisitas subperiodik diurna. Selain itu terdapat mikrofilaria yang berada di darah siang dan malam sama banyaknya sehingga disebut aperiodik. Periodisitas mikrofilaria itu dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya oleh tekanan oksigen pada arteri dan vena, kegiatan hospes serta aktivitas menggigit vektor.

"
Jakarta: UI-Press, 2005
PGB 0164
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Silman
"ABSTRAK
Pada tahun 1987 dan 1991 terjadi wabah Hepatitis E (HE) di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Sampai saat ini di Indonesia belum ada angka-angka yang jelas mengenai prevalensi HE, khususnya mengenai endemisitas. Tujuan penelitian adalah mendapatkan prevalensi petanda serologik VHE pada penderita tersangka hepatitis akut dan pada orang sehat.
Pemeriksaan anti-VHE IgG dilakukan terhadap 192 sampel (31 anak, 161 dewasa) penderita tersangka hepatitis akut dan 75 sampel dari orang sehat. Hasil anti-VHE IgG yang positif dikonfirmasi dengan Western Blot (WB).
Tidak dijumpai anti-VHE IgG positif pada populasi sehat yaitu donor darah. Di Jakarta dijumpai hepatitis virus E secara endemik, dengan prevalensi anti-VHE IgG pada kelompok tersangka hepatitis akut sebesar 3,3%. Dari 48 orang dewasa tersangka hepatitis A akut ada 1 orang dengan anti-VHE IgG positif setelah konfirmasi. Adanya hasil anti-VHA IgM dan anti-VHE IgG positif mungkin disebabkan oleh adanya superinfeksi dari HA atau terjadi infeksi ganda HA dan HE. Pada anak tersangka hepatitis akut maupun hepatitis A (HA) akut tidak ada yang anti-VHE IgG positif.
Penelitian HE masih perlu dilanjutkan untuk mengetahui sampai berapa jauh dampaknya di Indonesia. Kriteria sampel dan keadaan lingkungan hidup dapat mempengaruhi prevalensi penyakit. Untuk HE akut sebaiknya dilakukan pemeriksaan anti-VHE IgM bila reagen anti-VHE IgM sudah tersedia. Pemeriksaan ini dapat dipertimbangkan sebagai salah satu pemeriksaan pada penderita hepatitis yang diduga penularannya melalui fekal-oral, terutama pada daerah endemis.

ABSTRACT
Epidemies of Hepatitis E at Sintang, West Kalimantan on 1987 and 1991 were reported. However, endemicity of this disease in Indonesia is still unknown. The aim of this study is to determine the prevalence of serologic marker for HEV in patients with suspected acute hepatitis as well as in healthy individuals.
IgG Anti-HEV was determined on 192 samples from patients with suspected acute hepatitis (31 children and 161 adults), and 75 samples of blood donors. Positive results were confirmed by Western blot method.
None of the blood donors positive for IgG anti-HEV. We found viral hepatitis Eendemic in Jakarta with prevalence of 3,3% among acute hepatitis patients. One out of 48 adult patients with suspected hepatitis A was anti-HEV confirmed positive, this finding probably caused by HAV superinfection or coinfection of HAV and HEV. None of children with suspected acute hepatitis or hepatitis A was anti-HEV positive.
This study need to be continued on other places in Indonesia to find how big the problem of HEV infection is. For diagnosis of acute hepatitis E, IgM anti-HEV should be used. Anti-HEV should be considered as one of parameters in diagnosis of patients with acute hepatitis, especially in endemic areas."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"A total of 2,310 individuals of elasmobranch fishes consisting of 60 species from 13 families were recorded from survey trips in Kalimantan were visited from September 2005 to November 2006....."
MAREIND
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Bagus Ketut Arinasa
"Bambu alas adalah salah satu jenis bambu endemik, tumbuh di hutan alam Sepang, Bali, dimana bambu ini di habitat alaminya sangat terdesak saat ini. Bambu yang berperawakan merambat ini direkomendasi sebagai jenis bambu endemik baru dengan nama Dinochloa sepang Widjaja & Astuti, dimana populasinya belum pernah dilaporkan. Penelitian dengan metode plot dilakukan pada kawasan seluas satu ha yang terdiri atas 10 sub plot, masing-masing dengan ukuran 50 m x 20 m telah dibuat untuk menentukan populasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi Dinochloa sepang adalah sebanyak 360 batang (45 rumpun) per ha termasuk permudaan alaminya yang menghasilkan rebung sangat sedikit hanya 32 batang per ha. Terdapat 75 batang yang ditebang, melebihi jumlah rebung sebanyak 72 batang per ha. Deskripsi morfologi bambu Dinochloa sepang juga dibahas dalam naskah ini."
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI, {s.a.}
580 BKR 17:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Katili, Amalia K.M.
"Masalah TB adalah masalah kesehatan masyarakat yang merebak keseluruh dunia sehingga WHO mencanangkannya sebagai "global emergency" tahun 1993. Ini meliputi Indonesia yang menempati peringkat ke tiga sedunia. Di Rumah sakit Cibinong terdapat masalah yang berkaitan dengan TB yakni lemahnya kemampuan ketajaman diagnostik pelayanan medis, lemahnya sistem informasi medis yang berkaitan dengan sifat epidemiologis, tampilan klinis dan aspek sosial ekonomi TB, bersamaan dengan keharusan rumah sakit mengembangkan fungsi pelayanan rujukan dan pembinaan institusi lain di wilayah cakupan RS. Selain itu juga terdapat perbedaan dan variasi penanganan antar spesialisasi yang terkait dengan TB.
Dan hal tersebut diatas diperlukan upaya komprehensif dan terkoordinasi berupa pengorganisasian penanggulangan TB yang berdasarkan komitmen internal rumah sakit dan ditindaklanjuti dengan penetapan misi dan tujuan serta penetapan struktur dan rancangan organisasi. Penelitian tentang upaya pengorganisasian ini adalah penelitian partisipatif kualitatif untuk memperoleh pemikiran, pendapat dan pandangan para pelaku organisasi RSUD Cibinong terhadap pembentukan organisasi penanggulangan TB. Seluruh informasi dan data dikelompokkan dan dianalisis secara deskriptif atas pola-pola yang meliputi pemrosesan satuan, tema dan kategorisasi serta penafsiran data yang memunculkan rumusan kesimpulan.
Hasil yang diperoleh menunjukkan hampir semua jawaban responden memenuhi tema misi dan tujuan pengorganisasian secara umum yang sejalan dengan tujuan jangka pendek nasional penanggulangan TB. Tujuan khusus menggambarkan komitmen internal menjadikan rumah sakit Cibinong adalah rumah sakit rujukan untuk kasus TB dan puskesmas di wilayah Bogor. Strategi dasar adalah upaya terpadu dan komrehensif disertai pendidikan dan penyuluhan internal rumah sakit. Rancangan struktur organisasi P2TB didasarkan pada produk yakni manajemen kasus TB, berdasarkan suatu proses yang memungkinkan pengembangan derajat keahlian yang lebih baik dengan penekanan pada output. Rancangan juga berdasarkan orientasi pada masalah pasien yang lebih spesifik yakni tipe kasus. Organisasi P2TB berada di dalam wadah Komite Medik, terintegrasi dengan komponen Komite Medik yang lain. Model organisasi divisualisasikan melalui dokumen yang terdiri dari penjabaran misi dan tujuuan, administrasi dan pengelolaan, staff dan pimpinan, fasilitas dan peralatan, kebijakan dan prosedur, pengembangan staf dan pendidikan serta evaluasi dan pengendalian mutu.
Saran yang diajukan adalah SMF Paru diharapkan dapat memberi masukan yakni pendapat dan pengarahan dalam perencanaan tujuan, prosedur operasional dan cara terbaik melaksanakan suatu keputusan berbagai masalah penanggulangan yang menghubungkan kerjasama rawat berbasis klinis pada organisasi rumah sakit dengan yang berbasis kesehatan masyarakat di puskesmas dalam wilayah cakupan RS.

Development of TB Care Organization in Cibinong District Hospital Tuberculosis (TB) is a community health problem that spread over the world so WHO put its condition as "global emergency" in 1993. This part's included Indonesia that rose the third grade of the world. Cibinong Hospital believes that many problems of ineffective global action, which relates to TB endemic. They are representing a diagnostic sharpness of medical service ability, the weakness of medical information system and report's registration that have to do with epidemiological-clinical appearance and TB's social economic aspect, along with the obligation to construct improving the referral and educational function in hospital's area.
Beside that, there are also differences and various ways to handle, among parts of specialization connected to TB. From several things above. we need a comprehensive and coordinated exert that appear as TB's preventive organizing based on hospital's internal commitment and continue with mission, purpose confirmation and organizational structure and design. This participatory qualitative research's constructed to get several opinion, thinking and vision of organization's staff of Cibinong Hospital to create TB care and preventive organization. All information and data's being grouped and analyzed descriptively in patterns containing unity, theme, categorization and interpretation resulting of conclusion.
The results show that almost all respondents' answers granted the general organizing missions and purposes, along with National short time purposes of TB prevention. The particular is the drawing of internal commitment makes Cibinong Hospital becomes referral center for TB cases and public health facility in Bogor area. The basic strategies are coordinated and comprehensive expedients along with internal hospital's education and instruction. The structural design of TB care organizations based on product. That's the management of TB cases, constructed on a process that allows the improvisation of a better ability, forced on outcome. The design also based on orientation inside more specific patient's problem, the type of case. TB care and prevention organization is inside the medical committee, integrated with other component. The types of organization's being visualized by document consist of explanation such factors as missions and purposes, administrations and management, staff and leader, facilities and instruments, ability and action, staff improvement and education also evaluation and quality control.
It was suggested to conduct another continuing research on the developing of collaborative care organization for all of case management. We hope pulmonary staff medical becomes a director in planning, operational procedure and to make a decision in any kinds of TB prevention problem that contain of clinical-base collaborative care on hospital organization with the ones that based on community health in hospital's area.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T3740
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Said Syuherman S.Y.
"Kabupaten Simeulue masih merupakan daerah endemis penyakit diare, dimana setiap tahun masih terjadi KLB diare dengan jumlah penderita dan Case Fatality Rate (CFR) cukup besar, yaitu berturut-turut tercatat tahun 1997 jumlah kasus 564 orang, dengan kematian sebanyak 18 orang (CFR = 3,19%), tahun 1998 jumlah kasus 1131 orang, kematian sebanyak 23 orang (CFR = 2,03%), tahun 1999 jumlah kasus 186 orang, kematian sebanyak 6 orang (CFR = 3,23%). Hal inilah yang masih merupakan masalah kesehatan di Kabupaten Simeulue, maka salah satu upaya untuk menanggulanginya dengan mengintensifkan kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit diare.
Sehubungan dengan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kinerja puskesmas dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta mengidentifikasikan berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja Puskesmas dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit diare.
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Simeulue, rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional (belah lintang) dan bersifat kuantitatif untuk mendapatkan data deskriptif dan kualitatif untuk menggali informasi secara mendalam tentang kinerja Puskesmas dengan unit analisis petugas Puskesmas yang terdiri atas petugas surveilans, sanitarian dan penyuluh dengan total sampel sebanyak 14 orang.
Variabel-variabel yang diteliti meliputi variabel dependen yaitu kinerja Puskesmas dalam kegiatan P2 diare (pengumpulan data, kompilasi data analisis dan interpretasi data, penyajian hasil analisis data, pengiriman laporan W2 dan W1, diseminasi informasi, investigasi KLB diare, pengambilan spesimen yang dirujuk ke laboratorium, pemetaan daerah berpotensi KLB diare. Sedangkan variabel independen adalah vaktor resources (input), faktor proses (process) dan faktor lingkungan.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gambaran kinerja Puskesmas dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit diare secara umum dapat dikatakan masih kurang baik, dapat terlihat dari komponen-komponen kinerja, dimana sebagian besar menunjukkan hasil yang kurang baik. Hal ini mungkin merupakan pengaruh baik dari faktor resources, proses maupun faktor lingkungan yang terdapat pada masing-masing Puskesmas sehingga mempengaruhi kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit diare di Puskemas tersebut.
Penelitian ini menyarankan kepada pihak Dinas Kesehatan Dati II agar baik meningkatkan perbaikan dalam aspek ketenagaan, sarana, dana serta manajemen khususnya dalam frekuensi dan mutu dari umpan balik, pembinaan, monitoring dan kepada pihak Puskesmas agar lebih memperhatikan khususnya dalam hal pemahaman tugas, insentif, pembinaan rutin, perencanaan, pengorganisasian, pengawasan/penanggulangan, ketepatan waktu pelaporan, analisis data serta penyebarluasan informasi. Sedangkan untuk penelitian selanjutnya, subjek penelitian lebih diperluas dengan metode yang lebih tepat dan variabel yang spesifik serta akurat.

Study on Health Center Synergy in Prevention and Control of Diarrhea at Simeulue DistrictSimeulue District is still an area still affected by diarrhea endemic, where the wide spread diarrhea occurs every year with large Case Fatality Rate (CFR). In 1997, the diarrhea victims were 564 persons with 18 fatalities (CFR = 3.19%). In 1998, the victims were 1131 persons with 23 fatalities (CFR = 2.03%), while last year (1999) the diarrhea victimized 186 persons with 23 fatalities (CFR = 3.23%). These statistics show that, at Simeulue, diarrhea is still the major public health problem. The main effort to cope with this diarrhea problem is to intensify the prevention and control of the disease.
With regard to the above mentioned diarrhea problem, this study is to understand the synergy of Health Center and all the factors that affect the synergy. Also, this study is to identify all elements to increase the Health Center synergy in preventing and controlling the diarrhea.
This study was performed at Simeulue District. The investigation method used was cross sectional and quantitative in nature to collect descriptive and qualitative data to obtain detailed information regarding the synergy of Health Center. The analyzed units were Health Center surveillance, sanitation and field information personnel. The total number of samples was 14.
The variables used consist of dependent and independent variables. The dependent variable includes all Health Center synergy in diarrhea P2 (disease abolishment). The activities consist of several stages. Stage 1: data collecting, data compilation, data analysis and data interpretation. Stage 2: presentation of analyzed data, reports on WI and W2 documents and information deployment. Stage 3: the investigation of the wide spread of diarrhea, specimen sampling (sent to lab) and the mapping of potentially diarrhea endemic area. The independent variables are resources factor, process factor and environment factor.
The study determined that the Health Center synergy in preventing and controlling the spread of diarrhea in the area is not very good. The majority of synergy components showed unsatisfactory results that were caused by resources, process and environment factors from each Health Center. These factors affected the diarrhea prevention and control at each Health Center.
This study suggests to District Health Office to increase the quality of manpower, infrastructure and management of Health Center. The management of Health Center should be emphasized on follow-ups, supervisory, monitoring, training, self-esteem, planning, organization, control, timely reports and information deployment. The next study in this field should widen the subject of the study with better methods and more accurate variables.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T7818
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasep Setiakarnawijaya
"Kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sangat tergantung sekali kepada sumber daya dan kondisi lingkungan yang mereka miliki.
Air merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi untuk berbagai keperluan sehari-hari, namun karena kurangnya air bersih didukung oleh kebiasaan dan lingkungan yang tidak sehat, tidak jarang masyarakat menggunakan air apa saja yang ada disekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan. Akibatnya tidak jarang masyarakat mengalami gangguan kesehatan seperti Hepatitis E Virus (HEV).
HEV merupakan penyakit yang sering mewabah di daerah yang sulit sumber air bersih sehingga masyarakat menggunakan satu sumber air secara bersama-sama untuk memenuhi kebutuhannya. HEV menular melalui jalur penularan fecal-oral maka penggunaan air sungai yang dipakai bersama-sama untuk berbagai penggunaan akan memicu terjadinya penularan. Diperparah oleh lingkungan dan kebiasaan yang buruk sehingga tidak jarang mengakibatkan epidemic bahkan endemis. Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang mencoba mengetahui pengaruh penggunaan air sungai untuk keperluan sehari-hari terhadap kejadian HEV.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain Kasus-Kontrol yang dilakukan di daerah endemis HEV di Bondowoso pada tahun 2000-2001 yang melibatkan 398 responden. Kelompok kasus merupakan masyarakat yang pernah mengalami HEV pada satu tahun terakhir sementara kontrol adalah masyarakat setempat yang tidak pernah menderita HEV.
Hasil penelitian menunjukan bahwa variable penggunaan sungai merupakan variable yang berpengaruh terhadap kejadian HEV (p value~,036 dan cOR=1,59). Selain penggunaan air sungai variable yang menunjukan kebermaknaan adalah variable kebersihan lingkungan (p-value=0,000 dan cOR 2,94) yang sekaligus merupakan variable perancu bagi variable penggunaan sungai. Hasil analisa multivariate menunjukan model matematis sebagai berikut :
Kejadian HEV = -0.755 + 0.216 Penggunaan Air Sungai + 1.025 Kebersihan Lingkungan Rumah
Peran faktor risiko lain diluar yang telah diteliti masih perlu untuk diteliti. Sedangkan untuk penanggulangan dan pencegahan usaha pendidikan dan penyuluhan kesehatan masyarakat mengenai PUBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) merupakan cara yang dapat dilakukan selain intervensi secara teknis.
Daftar Bacaan : 28 (1985-1999)

Effect of River Water Usage toward Hepatitis E Virus Infection (Study at S Endemic Villages in Bondowodo District, East Java 2000-2001) To gain their need people has strong dependency to natural resources surround them. Fresh water is primary need that has to be fulfilling for their survival. But one or more reason caused lack of fresh water resource and induced by unhealthy attitude and environment, people used available water in their surrounding although worse in quality. The results of this condition are people frequently get health disorder such as Hepatitis E Virus.
HEV is one of the most frequent endemic diseases in a lack of fresh water area. HEV spread trough fecal-oral transmission, so, daily usage of river water for whole community cause the spreading of disease. Induced by unhealthy attitude and environment the spreading becomes epidemic, event in most cases become endemic. To solve the-problem, a research which Their objectives are to find the effect of river usage toward HEV and others factor that may have association must be conduct.
This research is a case-control design that implemented at endemic area in Bondowoso 2000-2001 which involve 398 people as samples. Case groups selected from community who get HEV during last year and the control groups are their neighbors who never shown have HEV symptoms.
The results state that river usage has a significant effect toward HEV (p-value=0.036 and crude OR--l.59). Beside, unhealthy environment shown the same result in causing REV infection (p-value=0.000 and crude OR=2.94) respectively. Further more, the multivariate analysis detect that unhealthy environment is a confounding factor to river water usage in causing HEV_ Mathematical model of interaction between HEV Infection, River Water Usage and Unhealthy Environment are shown below, respectively:
HEV Infection = -0.755 + 0.216 River Water Usage+ 1.025 Unhealthy Environment Other factor that their effect seem never been investigate toward HEV infection probably a subject for further research activities. Yet, the planning to control and prevent future infection by community empowerment trough health education and health promotion are applicable solution beside technical interventions.
Reading: 28 (1985-1999)"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 8367
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Praba Ginandjar
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Penentuan daerah endemis merupakan langkah paling awal yang harus dilakukan dalam program eliminasi filariasis. Dalam program eliminasi filariasis global WHO menganjurkan penggunaan metode serodiagnosis. Untuk filariasis brugia, metode serodiagnosis terbaik yang ada saat ini adalah deteksi antibodi IgG4 anti-filaria. Deteksi tersebut telah dikembangkan dalam bentuk dipstik (disebut brugia rapid) yang pengerjaannya sangat mudah dan singkat. Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah brugia rapid dapat digunakan untuk mendeteksi IgG4 anti-filaria terhadap B. timori dan menentukan daerah endemis filariasis timori.
Penelitian ini merupakan studi uji diagnostik dengan desain cross-sectional. Sebagai pembanding digunakan metode baku emas diagnosis filariasis secara mikroskopis melalui deteksi mikrofilaria dengan teknik membran filtrasi (data sekunder), Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Mainang di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, menggunakan 500 sampel. Untuk melihat perbedaan hasil membran filtrasi dan brugia rapid dalam mendeteksi infeksi filariasis digunakan uj: Chi-square Mc-Nemar.
Hasil dan kesimpulan: Dalam peneltitian ini diperoleh angka infeksi filariasis berdasarkan pemeriksaan membran filtrasi sebesar 27,2%, sedangkan berdasarkan brugia rapid sebesar 77%. Uji McNemar menyatakan kedua metode tersebut memiliki perbedaan bermakna (p=0,000). Hasil pemeriksaan dengan brugia rapid memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 31,59% terhadap membran filtrasi.
Disimpulkan bahwa: Metode brugia rapid dapat digunakan sebagai indikator daerah endemis filariasis timori. Brugia rapid dapat mendeteksi adanya infeksi filariasis timori, namun tidak dapat digunakan untuk memperkirakan angka mikrofilaria. Brugia rapid memberikan hasil yang lebih sensitif dibandingkan membran filtrasi. Brugia rapid dapat mendeteksi populasi normal endemik, karier mikrofilaremia dan pasien filariasis kronis di daerah endemis filariasis timori.

Scope and method: Identification of endemic area is needed to initiate global elimination program of filariasis. In such program, WHO proposed a serodiagnostic method to determine the endemic areas. The best serodiagnostic method for brugian filariasis is anti-filarial IgG4 antibody detection, which is now being available in dipstick format (named brugia rapid test). The test is easy to perform and the result can be read in ten minutes. In this study I intended to test the ability of brugia rapid to detect filariasis infection in order to determine timorian filariasis endemic area.
This was a cross-sectional diagnostic test study done in Mainang Puskesmas, Alor Island, East Nusa Tenggara. A total of 500 people were participated in this study. Conventional method, filtration membrane technique, was used as control method (secondary data). The result was analyzed by McNemar Chi-square test.
Result and conclusion: This present study showed that filariasis infection rate based on filtration membrane technique (mf rate) was 27.2%, while brugia rapid was 77.0%. McNemar test clarified that both methods were significantly different (p=0.000). Examination using brugia rapid has 100% sensitivity and 31.59% specificity against filtration membrane.
Based on the results, it was concluded that: Brugia rapid method could be applied as indicator to determine timorian filariasis endemic areas. Brugia rapid was able to detect timorian filariasis infection, but mf rate cannot be predicted by brugia rapid. However, brugia rapid gave more sensitive result compared to filtration membrane. Besides, brugia rapid was able to detect endemic normal, microfilaraemic carriers and chronic lymphoedema patients.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11293
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>