Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Hazim
"ABSTRAK
Penatalaksanaan striktur esofagus memerlukan aspek medis yang komprehensif untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi yang adekuat dengan terapi non bedah atau terapi bedah. Endoskopi memiliki peranan yang sangat penting pada striktur esofagus yaitu bermanfaat sebagai diagnostik dan terapi. Pilihan penatalaksaan striktur esofagus melalui bantuan endoskopi terdiri dari terapi dilatasi, pemberian kortikosteroid intralesi, pemakaian stents, dan pemandu untuk reseksi tumor. Pemilihan tindakan yang tepat sesuai dengan keadaan klinis pasien kasus per kasus merupakan hal yang penting untuk mencapai target perbaikan striktur pada esofagus, sehingga dapat membantu mengembalikan fungsinya sebagai saluran makanan dan perannya dalam proses menelan."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Laode Ma`ly Ray
"Latar Belakang: Berdasarkan alat yang digunakan, pendekatan operasi kraniofaringioma terbagi menjadi endoskopik dan mikroskopik. Masing-masing pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga akan memberikan luaran klinis, resektabilitas dan efektifitas pembiayan yang berbeda-beda. Belum diketahui luaran pasca operasi baik pendekatan mikroskopik maupun endoskopik di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.
Tujuan: Mengetahui luaran operasi pasien kraniofaringioma di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo..
Metode: Kohort retroprospektif pasien kraniofaringioma yang menjalani pembedahan sejak tahun 2012 hingga tahun 2021 di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia. Pasien dengan masalah ekstrakranial, pasien endoskopi dengan kraniotomi luas dikeluarkan dari penelitian. Dilakukan pengambilan data demografis, luaran klinis dan resektabilitas tumor dan efektifitas pembiayaan. Data dikelompokkan menjadi variabel kategorik dan numerik. Analisa variabel kategorik dan kategorik diolah menggunakan uji Chi-square. Sedangkan variabel kategorik dan numerik diolah menggunakan T-Test. Pengolahan data menggunakan SPSS 25.0.
Hasil: Pada 30 subjek penelitian, 22 subjek (73%) menjalani tindakan operasi mikroskopik dan 8 subjek (27%) menjalani tindakan operasi endoskopik. Perdarahan intraoperasi rata-rata pendekatan mikroskopik 445ml (50-1600), sedangkan endoskopik 57ml (20-200). Secara signifikan perdarahan intraoperasi pendekatan endoskopik lebih rendah dibandingkan pendekatan mikroskopik, p < 0,01. Durasi operasi rata-rata pendekatan mikroskopik 3 jam (2-4jam), sedangkan endoskopik 6,6jam (2,5-14jam). Secara signifikan waktu operasi pendekatan endoskopik lebih singkat dibandingkan mikroskopik, p=0,001. Kesimpulan: Pendekatan endoskopik memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai pilihan tatalaksana bedah pasien kraniofaringioma.

Based on the equipment used, the surgical approach to craniopharyngioma is divided into endoscopic and microscopic. Each approach has its own advantages and disadvantages so that it will provide different clinical outcomes, resectability, and cost effectiveness. The postoperative outcome for both microscopic and endoscopic approaches in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo is unknown.
Objective: Knowing the operative approach outcome of craniopharyngioma patients at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.
Methods: A retrospective cohort of craniopharyngioma patients undergoing surgery from 2012 to 2021 at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia. Patients with extracranial problems, assisted endoscopic approach were excluded from the study. Demographic data, clinical outcome, and tumor resectability and cost effectiveness were collected. The data are grouped into categorical and numeric variables. The analysis of categorical and categorical variables was processed using the Chi-square test. Meanwhile, categorical and numerical data were processed using T-Test. Data processing using SPSS 25.0.
Results: In 30 study subjects, 22 subjects (73%) underwent microscopic surgery and 8 subjects (27%) underwent endoscopic surgery. Intraoperative bleeding using microscopic approach average 445ml (50-1600), while endoscopic 55ml (20-200). Intraoperative bleeding was significantly lower in the endoscopic approach than the microscopic approach, p<0.01. The average duration of surgery for the microscopic approach is 3 hours (2-4 hours), while the endoscopic approach is 6.6 hours (2.5-14 hours). The operating time for the endoscopic approach was significantly shorter than the microscopic one, p=0.001.
Conclusion: The endoscopic approach has good potential to be developed as a surgical treatment option for craniopharyngioma patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Hasan
"Latar Belakang. Striktur bilier ditemukan pada 70-90% kasus keganasan pankreatobilier dan menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama pada stadium lanjut yang unresectable. Pada stadium tersebut, tata laksana paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan memperbaiki kesintasan. Tata laksana paliaitf yang dapat dilakukan adalah dengan pemasangan sten bilier perendoskopik dan operasi pintas saluran bilier. Sehingga, perlu diketahui perbedaan kesintasan satu tahun pasien dengan striktur bilier maligna yang mendapatkan terapi paliatif dengan prosedur biliodigestive double bypass dan pemasangan sten bilier perendoskopik di RSCM. Tujuan. Mengetahui perbedaankesintasan antara pasien striktur bilier distal maligna yang menjalani prosedur double bypass dan prosedur pemasangan sten bilier per endoskopik.
Metode. Penelitian dilakukan dengan metode kohort retrospektif dengan subyek penelitian pasien striktur bilier maligna distal yang menjalani prosedur pemasangan sten perendoskopik atau prosedur double bypass di RSCM pada periode 1 Januari 2015 – 31 Desember 2019 dan dilakukan pengamatan selama 1 tahun sejak pasien menjalani prosedur tersebut. Kesintasan dinilai dengan metode Kaplan-Meier dan dilanjutkan dengan analisis multivariat terhadap faktor-faktor yang dinilai dapat menjadi faktor perancu.
Hasil. Penelitian ini berhasil mengumpulkan 119 subjek pada kelompok sten endoskopik dan 39 subjek pada kelompok double bypass. Pada pengamatan kesintasan satu tahun, didapatkan median kesintasan 93 hari pada kelompok sten endoskopik dan 140 hari pada kelompok double bypass [HR 0,871 (IK95% 0,551-1,377; p = 0,551)]. Tidak ditemukan perbedaan kurva kesintasan pada kedua kelompok. Pada analisis multivariat, didapatkan Charlson Comorbidity Index, usia, dan bilirubin adalah variabel perancu.
Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan kesintasan antara pasien striktur bilier distal maligna yang menjalani prosedur double bypass dan prosedur pemasangan sten bilier perendoskopik. Usia, CCI 34, dan kadar bilirubin merupakan faktor perancu terhadap kesintasan kesintasan antara pasien striktur bilier distal maligna yang menjalani prosedur double bypass dan prosedur pemasangan sten bilier per endoskopik.

Background. Biliary strictures are observed in 70-90% of cases of pancreatic malignancy and cause high morbidity and mortality, especially in advanced, unresectable stage. At this stage, palliative management aims to improve the patient's quality of life and survival. Palliative management can be done is by placing an endoscopic biliary stent and biliary tract bypass surgery. Thus, it is necessary to know the one-year survival of patients with malignant biliary stricture who received palliative therapy with billio-digestive double bypass procedures and perendoscopic biliary stent placement in RSCM. Objective. To determine the survival between patients with distal malignant biliary stricture who underwent a double bypass procedure and an endoscopic biliary stent placement procedure.
Methods. This is a restrospective cohort study with the subjects being patients with distal malignant biliary strictures who underwent endoscopic stenting procedures or double bypass procedures at RSCM in the period 1 January 2015 – 31 December 2019 and was observed for one year since the patient underwent the procedure. Survival was done using the Kaplan-Meier method and followed by multivariate analysis using the cox regression test.
Result. We collected 119 subjects in the endoscopic stent group and 39 subjects in the double bypass group. After one year, median survival was 93 days in the endoscopic stent group and 140 days in the double bypass group [HR 0,871 (95%CI 0,551-1,377; p = 0,551)]. In multivariate analysis, it was found that Charlson Comorbidity Index, age, and bilirubin were confounding variables.
Conclusion. There was no difference in survival between patients with malignant distal biliary stricture who underwent a double bypass procedure and an endoscopic biliary stent procedure. Age, CCI 4, and bilirubin levels were confounding factors for survival among patients with malignant distal biliary stricture who underwent a double bypass procedure and an endoscopic biliary stent placement procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library