Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Neuerburg, E.N.
Alphen aan den Rijn: Samsom H.D.Tjeenk Willink, 1988
BLD 336.2 NEU s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanus Munadjat Danusaputro
Bandung: Binacipta, 1983
344.046 MUN e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mohd. Afandi Salleh
Selangor: International Law Book Services, 2002
344.04 MOH i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Suparto Wijoyo
Surabaya: Airlangga University Press, 2003
344.046 SUP p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Koesnadi Hardjasoemantri
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991
344.06 KOE h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Takdir Rahmadi
Jakarta: Rajawali, 2013
344.046 TAK h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nasichatun Asca
Abstrak :
Kebijakan hukum di bidang lingkungan hidup dalam pengelolaan B3 harus direncanakan dengan cermat karena merupakan bagian dari proses pembangunan industrialisasi. UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Dalam UUPLH, mengenai pengelolaan Limbah B3 diatur dalam pasal 17 dan pasal 21. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pengelolaan B3, antara lain PP No.19/1994 tentang Pengelolaan Limbah B3. PP No.19/1994 merupakan jawaban pertama Pemerintah dalam upaya untuk memberikan pedoman peraturan yang dapat diterapkan oleh para pelaku usaha atau dunia industri yang berhubungan langsung dengan lingkungan terutama dengan limbah B3 lain. PP No. 19 Tahun 1994 dengan perangkat hukum yang dimaksudkan untuk mendorong industri penghasil limbah B3 agar meminimalisasi jumlah limbah B3, PP ini kemudian digantikan dengan PP No. 12 Th 1995 tentang Pengelolaan Limbah B3, diganti lagi dengan PP No. 18 Th 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, kemudian dirubah dengan PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, diganti dengan PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3. Ada banyak perubahan yang dalam PP yang baru ini, antara lain mengenai istilah, tidak lagi dengan istilah limbah tetapi langsung dengan penyebutan Bahan Berbahaya dan Beracun dan diijinkan kegiatan ekspor dan impor B3. Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan lalu lintas batas limbah, dengan dasar ratifikasi Konvensi Basel, yang bertujuan mengatur ekspor dan impor serta pembuangan limbah B3 secara tidak sah, antara lain: Keputusan Presiden RI No. 61/1993 tentang Pengesahan Convention on The Control of Trans-boundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal, Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 349/Kp/X/f92 tentang Pelarangan Limbah B3 dan Plastik, Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 155/Kp/VII/95 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Import dan Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 156/Kp/VII/95 tentang Prosedur Impor Limbah. Penegakan hukum dalam masalah B3, berkaitan erat dengan kemampuan aparat dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Hal ini merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana administrasi, kepidanaan dan keperdataan. Aparat penegak hukum lingkungan adalah: Polisi; Jaksa; Hakim; dan Pejabat/Instansi yang berwenang memberi izin; serta Penasihat Hukum. Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Penegakan yang bersifat preventif berarti bahwa pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung. Instrumen bagi penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan. Penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan. Penegakan hukum secara pidana umulnnya selalu mengikuti pelanggaran peraturan dan biasanya tidak dapat meniadakan akibat pelanggaran tersebut. Penegakan hukum lingkungan keperdataan hendaklah dibedakan dari upaya penyelesaian sengketa dengan cara gugatan lingkungan. Untuk memperoleh ganti kerugian bagi korban pencemaran akibat perbuatan melawan hukum oleh pencemar, karena sifatnya individual. Gugatan perdata yang dimaksud dalam penegakan hukum lingkungan dilakukan oleh penguasa apabila sarana penegakan hukum administratif kurang memadai. Sarana yang dipergunakan dalam upaya penegakan hukum lingkungan meliputi: sarana administrasi; pidana dan Perdata. Sarana administrasi bersifat preventif dan tujuannya sebagai penegakan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan. Dalam sarana administrasi ini dapat diterapkan konsep "Pollution Prevention Pays" terhadap perusahaan dalam proses produksinya. Sanksi administrasi memiliki fungsi instrumental, yaitu untuk mengendalikan perbuatan terlarang, juga sebagai perlindungan kepentingan yang dijaga dengan ketentuan tersebut. Bentuk administrasi ini antara lain: Paksaan Pemerintah atau tindakan paksa, Uang paksa, Penutupan tempat usaha, Penghentian kegiatan mesin perusahaan, Pencabutan izin melalui proses, teguran, paksaan pemerintah, penutupan dan uang paksa. Sarana Kepidanaan, dalam delik lingkungan diatur dalam Pasal 41 s.d 48 UUPLH yang menyangkut penyiapan alat-alat bukti serta penentuan hubungan kausal antara pencemar dan yang tercemar. Tata caranya dalam beberapa pasal tersebut tunduk terhadap UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sarana Keperdataan, dalam hal ini yang dimaksud adalah penerapan hukum perdata untuk memaksakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-¬undangan lingkungan, terdapat kemungkinan beracara singkat bagi pihak ketiga yang berkepentingan untuk menggugat kepatuhan terhadap undang-undang dan permohonan agar terhadap larangan atau keharusan dikaitkan dengan uang paksa ("injuction"). Gugatan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan atas dasar Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 35 PP No. 74 Tahun 2001, dapat dilakukan baik melalui cara berperkara di pengadilan atau melalui media penyelesaian sengketa lingkungan. Mengenai hak masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan B3. Hak masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan B3 meliputi: Hak masyarakat atas hidup yang baik dan sehat dan hak untuk berperan serta dalam pengelolaan B3. Hak masyarakat atas hidup yang baik dan sehat perlu dimengerti secara yuridis dan diwujudkan melalui saluran sarana hukum, sebagai upaya perlindungan hukum bagi warga masyarakat di bidang lingkungan hidup. Dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 Pasal 5 ayat (1) disebutkan: "Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat." Peran serta masyarakat dalam pengelolaan limbah B3 lebih diutamakan dalam hal prosedur penerapan peraturan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan B3 tersebut selain memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan, juga dapat mereduksi kemungkinan terjadinya konflik. Peran serta masyarakat dapat efektif dan berdaya guna, apabila kepastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya, adanya Informasi lintas batas dan informasi tepat waktu. Pasal 35 PP No. 74 Tabun 2001 tentang Pengelolaan B3, menyebutkan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang upaya pengendalian dampak lingkungan hidup akibat kegiatan pengelolaan B3 ini sedangkan dalam Pasal 36 PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3, disebutkan setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan B3 sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T19184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Arinanto
Abstrak :
Sejalan dengan penetapan pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama pembangunan pada masa Orde Baru, pada tahun 1994 Indonesia mulai melaksanakan era industrialisasi. Dalam implementasinya, kegandrungan terhadap pembangunan industri ternyata telah mengabaikan kebutuhan pembangunan sektor-sektor lainnya. Masalah sosial dan ekonomi yang serius pun timbul, seperti ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan serta pengangguran. Bagi sebagian masyarakat, kesempatan untuk berusaha semakin sempit dan mata pencaharian mereka menghilang karena kesalahan manajemen dari kegiatan industri yang mengabaikan pertimbangan sosial budaya dan lingkungan. Program diversifikasi industri pada Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II dan IV telah mendorong tumbuhnya industri-industri kimia seperti pulp, kertas, rayon, pupuk, semen, dan industri petrokimia. Masing-masing jenis pembangunan tersebut memiliki konsekuensi terhadap lingkungan (Heroepoetri, 1994: 76-80). Semua kegiatan tersebut tentunya memerlukan aturan-aturan hukum untuk menjamin keseimbangan sumberdaya alam yang ada dengan aktivitas-aktivitas manusia yang menggangunya. Sayangnya, gegap gempita pembangunan industri tersebut tidak diikuti dengan tersedianya perangkat pengawasan terhadap pencemaran yang menyeluruh. Di tengah masih terdapatnya berbagai kekosongan hukum lingkungan ini, kendala utamanya adalah bagaimana agar para pelaku industri tersebut mentaati (compliance) peraturan yang ada, dan bagaimana hukum yang ada dapat ditegakkan (enforcement). Salah satu pihak yang diharapkan dapat berperan serta dalam upaya penegakan hukum lingkungan di tengah kondisi masih terdapatnya berbagai kekosongan hukum lingkungan tersebut ialah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Hal ini sejalan dengan ketentuan Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diubah dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberikan ruang bagi lembaga swadaya masyarakat untuk berperan sebagai penunjang dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dalam UU No. 23 Tahun 1997 tersebut, hak, kewajiban, dan peran masyarakat mendapatkan pengakuan. Hal tersebut tercantum dalam Bab III yang terdiri dari Pasal 5, 6, dan 7. Sedangkan dalam UU yang berlaku sebelumnya, yakni UU No. 4 Tahun 1982, peran serta masyarakat juga mendapatkan pengakuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 dan 19.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library