Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andi Setyo Pambudi
Abstrak :

ABSTRACT
Cimanuk Watershed is one of the important water sources in West Java Province. The damage that occurred in Cimanuk watershed affected the sustainability of water supply in West Java. The administrative area of ​​Cimanuk watershed extends to 4 regencies, namely Garut Regency, Sumedang Regency, Majalengka Regency, and Indramayu Regency. The Cimanuk River itself has a length of ± 338 km which can supply water needs of 2.2 billion m3 every year with the main utilization for irrigation in agricultural areas. Forest areas in the upper Cimanuk watershed affect the continuity of the hydrological, erosion and sedimentation process. Changes in the upstream area in terms of land use and forest exploitation that do not consider environmental aspects can damage the entire watershed ecosystem, causing fluctuations in water flow, sediment transport, and material dissolved in the water flow system. Given the reciprocal relationship in the concept of watershed management, the implementation of the Payment Environmental Services or PES mechanism is important, where water is one of components that deserves be consideration. The economic valuation of water quantified as water prices is also a fundamental reason for the importance of PES studies. Water prices based on scientific calculations, both qualitative and quantitative, determine the feasibility value that will be given from the downstream community upstream as conservation actors to support the concept of fair environmental services. Quantitative analysis is carried out in the form of valuations involving several methods, namely the Contingent Valuation Method, Value of Marginal Product Water, and Full Cost Pricing. The price of water can be used as an indicator of the cost of forest environmental services as a water provider as well as improving market mechanisms. This paper concludes the mechanism of payment for environmental services (PES) through water pricing policies can be an alternative source of funding to improve the condition of a watershed
Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), 2019
330 JPP 3:3 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Zaherunaja
Abstrak :
Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan termasuk di dalamnya pulau-pulau kecil merupakan alternatif yang tepat bagi pembangunan nasional selanjutnya, dan dapat menjadi salah satu tumpuan harapan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dimasa mendatang. Agar tidak mengulangi berbagai kekeliruan/kesalahan yang telah/pernah terjadi dalam pemanfaatan ruang di pulau-pulau besar yang kurang mengindahkan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, maka dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara terpadu dan bijaksana. Pulau-pulau kecil yang secara fisik memiliki sumberdaya alam daratan (terestrial) sangat terbatas, tetapi sebaliknya memiliki sumberdaya kelautan yang melimpah, merupakan aset yang strategis untuk dikembangkan dengan basis kegiatan ekonomi pada pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan (environmental services) kelautan. Dalam perkembangan selanjutnya akibat dari pertambahan jumlah penduduk, perluasan permukiman dan kegiatan industri, pariwisata dan transportasi laut, maka pulau-pulau kecil merupakan potensi yang perlu dikembangkan secara hati-hati. Pendekatan secara terpadu antara potensi darat, pantai dan laut serta aktivitas yang sesuai mutlak diperlukan untuk menghindarkan kerusakan lingkungan akibat mendapat tekanan berat karena eksploitasi sumberdaya alam yang tidak memperhatikan aspek pelestarian lingkungan. Atas dasar itu, maka pendekatan secara ekonami-ekologi dalam pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan mutlak diperlukan. Oleh karena itu, sangat penting kiranya adanya suatu perencanaan ruang wilayah pesisir dan pulau kecil yang baik dan benar, yaitu suatu perencanaan ruang yang program-programnya dapat diimplementasikan, dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masalah pokok dalam perencanaan tata ruang terletak pada metode penyusunan rencana tata ruang yang kemudian dapat berlanjut pada pemanfaatan dan pengendalian tata ruang itu sendiri. Penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang disebabkan oleh ketidaksesuaian dengan harapan pengguna lahan (stakeholders). Pemanfaatan ruang oleh berbagai pengguna lahan (stakeholders) yang berbeda kepentingan, dapat menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan ruang. Salah satu pulau kecil yang mempunyai potensi kelautan yang cukup besar adalah Pulau Legundi yang terletak di Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Secara geografis pulau tersebut terletak di Teluk Lampung yang mempunyai potensi perikanan dan pertanian yang cukup besar. Oleh karena itu pada akhir tahun 2001, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan telah melakukan studi tentang Pengelolaan Kawasan Lingkungan Pesisir untuk Pelestarian Lingkungan Gugus Pulau Legundi. Sebagai kelanjutan dari studi tersebut dan agar dalam pengembangan Pulau Legundi yang berkelanjutan pada masa yang akan datang dapat tercapai, untuk itu perlu suatu analisis kebijakan yang dapat memberikan masukan (input) sebagai dasar/bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan dalam pemanfaatan ruang dan penetapan kawasan yang optimal dan proposional bagi berbagai pengguna lahan (stakeholders) yang berkepentingan dengan tidak mengesampingkan pentingnya pelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup. Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengetahui persepsi para pelaku kepentingan berkaitan dengan penentuan prioritas penggunaan ruang/kegiatan; b. Mengevaluasi kesesuaian lahan dalam pemanfaatan ruang wilayah Pulau Legundi dan kemungkinan dampaknya terhadap lingkungan hidup; c. Menentukan prioritas penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang wilayah Pulau Legundi; dan d. Memberikan rekomendasi sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif berupa studi kebijakan dengan pendekatan studi kasus dengan menggunakan pendekatan metode kuantitatif dan metode kualitatif. Untuk mengetahui persepsi/tingkat kepentingan dari para pelaku kepentingan (stakeholders) dalam penentuan prioritas kegiatan didekati dengan metode Proses Analisis Hirarkhi (PHA). Analisis spasial untuk mengevaluasi kesesuaian lahan didekati dengan menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan aplikasi Arc-info dan Arc-View. Sedangkan untuk mengidentifikasi dampak lingkungan hidup yang telah dan akan terjadi didekati dengan melakukan kajian lingkungan. Selanjutnya dengan memanfaatkan hasil ketiga analisis tersebut dilakukan analisis kebijakan untuk menetapkan rekomendasi zonasi pemanfaatan ruang Pulau Legundi. Pelaku yang mempunyai peranan penting dalam penentuan prioritas kegiatan yang akan dikembangkan di Pulau Legundi secara hirakhi adalah Pemerintah Daerah, masyarakat, Swasta dan LSM. Prioritas kegiatan yang dipilih para pelaku dalam Pengembangan Pulau Legundi secara hirarkhi perkebunan, perikanan, konservasi, permukiman, industri dan wisata. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa kesesuaian lahan bagi penggunaan/pemanfaatan ruang yang memenuhi kriteria sangat sesuai hanya untuk kegiatan konservasi dan perkebunan. Ruang yang sangat sesuai untuk konservasi seluas 492,599 Ha, dan sangat sesuai untuk lahan perkebunan seluas 846,756 Ha. Sedangkan kesesuaian lahan untuk kegiatan lainnya yaitu permukiman, industri dan tambak hanya sampai kriteria sesuai. Hasil overlay antara peta kesesuaian lahan kriteria sangat sesuai dengan peta kesesuaian lahan kriteria sesuai menunjukkan bahwa hanya kegiatan perkebunan dan konservasi saja yang sangat sesuai dalam memanfaatkan ruang Pulau Legundi. Pemanfaatan ruang Pulau Legundi untuk kegiatan pertanian/perkebunan, perikanan, permukiman dan industri diperkirakan telah dan akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan berupa pencemaran air laut, gangguan terhadap biota perairan, pengaruh terhadap kegiatan perikanan, kerusakan fisik habitat meliputi kerusakan ekosistem mangrove dan kerusakan ekosistem terumbu karang, konflik sosial serta gangguan terhadap kesehatan masyarakat. Penelitian ini menyimpulkan bahwa zonasi pemanfaatan ruang Pulau Legundi yang optimal mengalokasikan ruang daratan untuk kawasan konservasi seluas 761,207 Ha (42,32 %) dan kawasan budidaya seluas 1037,693 Ha yang terdiri dari zona perkebunan/pertanian seluas 968,704 Ha (53,85 %) serta zona permukiman dan Industri seluas 68,916 Ha (3,83 %). Sedangkan pemanfaatan ruang perairan Pulau Legundi dialokasikan untuk zona budidaya mutiara seluas 207 Ha yang terletak di Selat Siuncal, zona konservasi laut pada ekosistem terumbu karang di perairan sebelah utara seluas 1.616 Ha, zona perikanan tangkap di sekitar ekosistem terumbu karang, zona perikanan budidaya di sekitar pantai utara Pulau Legundi maksimal sejauh 100 m dari garis pantai.
Policy Analysis of Small Island Space Utilization (Case Study in Legundi Island Region, South Lampung Regency, Lampung Province)The utilization of coastal area and ocean resources including Small Island is the right alternative for the following national development and it can be one of the centers of hopes to fulfill the society necessity in the future. In order not to repeat some mistakes ever occurred in space utilization of large islands by less paying attention to the conservation function and balance of living environment, utilization of natural resources in the coastal area and small islands should be done wisely and integrated. The small islands, which physically have very restricted natural land resources (terrestrial), but on the other hand very abundant marine resources are strategic assets to be developed with basic economic activity on the utilization of natural resources and the marine environmental services. Due to increasing number of population, extension of settlement and industrial activities, tourism and sea transportation, small islands need to be developed carefully. An integrated approach of land, ocean and beach potential as well as appropriate activities are absolutely needed to avoid environmental damage caused by heavy pressure due to natural resources exploitation which do not pay attention to the environmental conservation aspects. Based on these, the economic - ecological approach in sustainable development of small islands is absolutely needed. Therefore, it is very important to have a good spatial planning of coastal area and small islands that is a space planning with programs that can be implemented and accepted by stakeholders and able to improve the society's welfare. The main problem in space planning is the utilization and the restraint of the space itself. The divergence of the land use from space planning is caused by unsuitability with the stakeholders hopes. The spatial utilization by some stakeholders which have different interests can cause land use conflict. One of the small islands that have a quite large ocean potential is Legundi Island located in South Lampung Regency, Lampung Province. The island is geographically located in Lampung Bay which has a vast fisheries and farming potential. Therefore, at the end of 2001 the Directorate of Coastal Spatial Planning, and Small Islands of the Directorate General of Coastal Areas and Small Islands of The Department of Marine Affairs and Fisheries have conducted a study on the management of the coastal areas for the environmental conservation of Legundi Islands group. As a follow-up study and in order to develop Legundi Island sustainable in the future, it therefore needs a policy analysis to provide input for the decision makers to determine space for optimal and proportional area for some stakeholders with taking into account the importance of the conservation and balance functions of living environment. These research objectives are the following: 1. To know the perception of the stakeholders subjects of interest (government, entrepreneur, society and non government organization) related to the determining priorities of exploitation the area/activities. 2. To evaluate the suitability of the area in Legundi island land use and the possibility of the impacts on living environment. 3. To determine the priority of the spatial arrangement in Legundi island space utilization. 4. To provide recommendation to the government for a consideration in taking decision of the policy formulation. The research uses a descriptive study in the form of policy analysis with an approach of using quantitative and qualitative method. These methods of analysis comprises the following steps (1) To know the perception or level of the importance from stakeholders in determining the priority activities approached by hierarchy analysis procces method is applied; (2) To know land suitability by using software of geographical information system (GIS) with Arc-info and Arc-view is applied; (3) To assess the impact on living environment is approached by environmental analysis. Next, by using the above mentioned three analysis results, policy analysis is conducted to determine the zoning recommendation of Legundi island space utilization. The agents who have important role in determining priority activities to be developed in Legundi Island are hierarchically the local government, society, interpreneur and the non government organization. The priority activities selected by the agents in developing Legundi Island hierarchically are plantation, fisheries, conservation, settlement, industrial and tourism. The result of spatial analysis shows that the suitability of land in land use which fulfill the criteria of "very suitable? is only for conservation and plantation activities. The most suitable space for conservation is 492.599 Ha, for plantation 846.756 Ha. While the suitable space for other activities are settlement, industry and fishpond. The overlay result between ?very suitable and suitable" map category shows that only plantation and conservation are very suitable to be exploited at the Legundi Island. The Legundi Island land use for farming/plantation, fisheries, settlement and industry is estimated to have an important impact to the environment, such as, sea water pollution, disturbance of the aquatic animal, the influence to the fisheries activities, the physical damage of habitat covering mangrove ecosystem, coral reef damage, social conflict and the disturbance of the society's health. This research concludes that the space utilization Zone of Legundi Island optimally allocates 761.207 Ha (42.32%) for land space conservation, and 1.037.693 Ha for cultivation area. For cultivation area are designated 968.704 Ha (53.85%) for plantation /farming zone and 68.916 Ha (3.83%) for settlement and industrial zone. While the aquatic space utilization of Legundi island the amount of 207 Ha is allocated for pearl cultivation which is located in Siuncal Strait, 1.616 Ha for the marine conservation zone on the coral reef ecosystem in the northern waters. The fisheries catch zone in coral reef ecosystem, cultivated fisheries zone is in northern beach of Legundi island is designated 100 m maximum from the shoreline.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T11040
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danang Desta Yudha
Abstrak :
ABSTRAK
Pada penelitian ini saya akan meneliti tentang pengaruh pembayaran atas servis lingkungan (Payment for environmental services-PES) terhadap status social ekonomi penduduk local. Status social ekonomi yang saya teliti terdiri dari belanja rumah tangga untuk menangkap keterpenuhan nutrisi masyarakat yang tinggal disekitar pelaksanaan proyek PES. Tidak hanya belanja yang akan saya teliti, saya juga meneliti tentang status kemiskinan dari masing-masing rumah tangga di sekitar pelaksanaan proyek. Daerah yang saya teliti untuk proyek PES ini adalah daerah yang berada disekitar Taman Nasional Meru Betir, Jawa Timur dan Danau Segara, Lombok. Saya menggunakan data SUSENAS dari Badan Pusat Statistik untuk mendapatkan data sebelum dan pada saat pelaksanaan proyek PES untuk meneliti effek dari PES di masing-masing lokasi dan gabungan dari dua lokasi tersebut.

Untuk mendapatkan hasil pengaruh dari PES, saya menggunakan metode Difference-in- Difference dan juga menggunakan Propensity Score Matching untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Pada penilitian kali ini, saya menemukan secara statistic bahwa proyek PES hanya memiliki pengaruh dengan tingkat signifikansi yang kecil terhadap status sosal ekonomi dari penduduk local. Akan tetapi, jika kita melihat dari besaran koefisiennya, dapat dilihat bahwa PES memiliki efek positf terhadap penduduk local. PES juga memiliki efek yang berbeda untuk masing-masing lokasi.
ABSTRACT
In this research paper, I attempt to investigate the impact of Payment for Environmental Services (PES) on the socioeconomic status of local livelihood. The socioeconomic status that I examine is total household expenditure to capture the nutritional well-being of people who live in an area where the PES project is implemented. Not only total household spending, but I also examine the poverty status of each household in the area of PES project. The area of PES project that I analyze are villages in the vicinity of Meru Betiri National Park, East Java and Segara Basin, Lombok. I use Indonesian Social Economy National Surveys (SUSENAS) by Central Statistics Bureau of Indonesia (BPS), before and following the implementation of two PES implementation projects to examine the effect of PES in each location and both locations combined.

To discuss the impact of PES, I use Difference-in-Difference method and also incorporate Propensity Score Matching to have a better result. I find that statistically, PES project has little significant impact on the socioeconomic status of local livelihood. However, if I look at the magnitude of the coefficient of the effect, the evidence show that PES has affected local livelihood positively. Furthermore, the effect of PES project differs between each location.
2017
T48896
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dynno Putra Asmara
Abstrak :
Luas lahan untuk perumahan di DKI Jakarta mencapai 42.440,61 ha (66,52%o dari luas Jakarta) dari luas tersebut terdapat 392 RW kumuh dengan luas mencapai 3.119,16 ha, Penggunanan lahan yang dominan untuk perumahan menyebabkan tumbuhnya kampung di Jakarta dengan kondisi kumuh. @adan Pusat Statistik, 201l). Kampung kumuh yang telah mendapat penataan pemerintah saat ini pada lokasi tertentu kondisinya mendekati kembali pada kondisi awal seperti sebelum ditata. Penelitian mengenai konsep Eko-Arsitektur belum mengakomodasi kohesi sosial dan penerapan jasa lingkungan yang berdampak pada perbaikan lingkungan fisik kampung. Kohesi sosial-arsitektur dan jasa lingkungan diperlukan untuk membentuk Model Kampung Berbasis Eko-Arsitektur pada hunian horisontal kampung di kota. Faktor eko-arsitektur belum diintegrasikan dengan faktor kohesi sosial-arsitektur dan faktor jasa lingkungan. Faktor-faktor Tata Letak Bangunan, Konservasi Energi dan Air, Jasa Lingkungan, dan Kohesi Sosial-Arsitektur secara bersama-sama memiliki korelasi dan pengaruh yang kuat terhadap pembentukan Kampung Berbasis Eko-Arsitektur di lokasi penelitian. Faktor Kohesi Sosial-Arsitektur dan faktor Jasa Lingkungan memiliki pengaruh 2 (dua) kali lipat lebih besar dari faktor lain pada model kampung berbasis eko-arsitektur. ......Area of land for housing in Jakarta reached 42,440.61 ha (66.52% of the area of Jakarta), a part of the area there are 392 slum community groups with an area of 3,1 19.16 ha, are used dominant for housing, it causes the growth ofvillages in Jakarta into slum conditions (Central Bureau of Statistics, 201 l ). Slum Villages that had been planned and structuring by govemment, at a certain location the conditions are approaching relapse as before laid. Researches about eco-architecture concept had not been integrated by social-architecture cohesion factor and environmental services factor that impact to the village environment improvement. Social Cohesion was needed to form Modelling Of Village Based On Eco-Architecture at horizontal housing village in the city. EcoArchitecture Factors had not been integrated to the Factors of: Layout Building, Energy and Water Conservation, Environmental Services, and Social-Architecture Cohesion together had strong correlation influence on the forming of village based on Eco-Architecture at t}te researchers site. Social-Architecture Cohesion and Environmental Services factors has an influence 2 (two) times greater than other factors in Modelling Of Village Based On Eco-Architecture.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aries Munandar
Abstrak :
Kehadiran Undang-Undang Otonomi Daerah menjadi momentum bagi daerah untuk dapat lebih leluasa mengatur sendiri penyelenggaraan rumah tangganya berdasarkan aspirasi masyarakat lokal di daerah. Sehingga pemerintah daerah dapat menentukan sendiri pekerjaannya sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Untuk itu pemerintah daerah perlu segera melengkapi dirinya dengan kelembagaan perangkat daerah yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Karena kelembagaan perangkat daerah adalah `tools' bagi pemerintahan daerah untuk dapat bergerak dan bekerja sesuai tugas dan tanggung jawabnya itu. Dengan penataan kelembagaan perangkat daerah yang disesuaikan dengan yang dibutuhkan di Kota Bengkulu, diharapkan Pemerintah Kota Bengkulu dapat bekerja dengan lebih optimal, efektif dan efisien dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Kota Bengkulu. Agar dapat melakukan penataan kelembagaan perangkat daerah yang sesuai dengan kebutuhan daerah maka diperlukan assesmen terhadap kebutuhan daerah itu sendiri. Dalam hal ini kebutuhan daerah ditentukan dari kebutuhan akan penyediaan pelayanan dasar (basic services) dan kebutuhan pengembangan potensi-potensi unggulan khas (core competencies) yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Dengan mengidentifikasi kebutuhan basic services dan core competencies pemerintah daerah dapat diketahui kewenangan rill pemerintah Kota Bengkulu, berupa jenis-jenis pelayanan pemerintahan yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bengkulu yang selanjutnya akan menjadi rujukan untuk melakukan penataan kelembagaan perangkat daerah. Basic services diidentifikasi dengan 5 indikator, yaitu : protective services, environmental services, personal services, recreation services dan commercial services. Dan core competencies diidentifikasi dengan melihat struktur mata pencaharian penduduk, struktur penggunaan lahan serta kontribusi lapangan usaha terhadap PDRB Kota Bengkulu. Sementara penataan kelembagaan dioperasionalisasikan dengan merujuk kepada 5 komponen dasar organisasi, yaitu : strategic apex, middle line, techno-structure, support staff dan operating core. Permasalahan penelitian dirumuskan dengan 3 pertanyaan penelitian, yaitu: 'Bentuk pelayanan apa saja yang dibutuhkan dan perlu diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bengkulu `Bagaimana format kelembagaan perangkat daerah yang sesuai untuk Kota Bengkulu berdasarkan kebutuhan tersebul T dan ' Apakah kelembagaan perangkat daerah yang telah dibentuk di Kota Bengkulu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sudah sesuai dengan yang dibutuhkan ?' Untuk mencari jawaban atas pertanyaan diatas digunakan metode penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Proses pengumpulan data dilakukan dalam dua tahapan, tahap pertama adalah studi dokumen dan kepustakaan sedang untuk tahap kedua dilaksanakan studi lapangan dengan 'observasi non partisipan' dan `interview'. Analisa data menggunakan teknik analisa kualitatif-deskriptif sehingga terhadap data-data statistik yang bersifat kuantitatif dipergunakan sebagai pendulum analisa. Dari proses analisa data diketahui bahwa bentuk-bentuk pelayanan dasar (basic services) yang menjadi kebutuhan di Kota Bengkulu terdiri dari 49 jenis urusan. Sementara berdasarkan karakteristik potensi unggulan khas (core competencies) yang dimiliki oleh pemerintah daerahnya, di Kota Bengkulu dibutuhkan pelayanan-pelayanan yang berhubungan dengan bidang usaha jasa, perdagangan dan pertanian. Setelah dikurangi dengan 8 jenis pelayanan yang telah diselenggarakan oleh pihak-pihak lain diluar Pemerintah Kota Bengkulu, diketahui bahwa pelayanan yang perlu diselenggarakan di Kota Bengkulu terdiri dari 41 jenis pelayanan. Dengan menggunakan teori-teori organisasi dan aturan-aturan norrnatif yang ada dirumuskan 3 alternatif bentuk kelembagaan untuk perangkat daerah Kota Bengkulu, Dan dari masing-masing alternatif itu dapat dibagi lagi ke dalam 2 altematif format susunan organisasi. Sehingga secara keseluruhan terdapat 6 alternatif kelembagaan perangkat daerah yang cukup sesuai untuk Kota Bengkulu. Dari keenam alternatif tersebut teridentifikasi bahwa format kelembagaan yang dinilai paling ideal untuk Kota Bengkulu adalah format kelembagaan yang terdiri dari 28 jenis lembaga dengan kedudukan Sekretaris Daerah yang `kuat'. Dan melalui proses komparasi diketahui bahwa bentuk-bentuk pelayanan yang diselenggarakan oleh kelembagaan perangkat daerah yang telah dibentuk di Kota Bengkulu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sudah cukup sesuai dengan yang dibutuhkan daerah, Ini terbukti dengan sudah tercakupnya semua unsur kebutuhan pelayanan oleh urusan-urusan yang diselenggarakan Perangkat Daerah Kota Bengkulu. Namun format kelembagaan yang telah dibentuk tersebut dinilai masih terlalu 'gemuk' dan tergolong cukup rawan untuk terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik dari para pejabat politis di daerah. Sehingga dalam rangka mendapatkan format kelembagaan yang lebih efisien dan ideal maka masih diperlukan perampingan dan penataan kembali terhadap susunan organisasi yang telah ada itu.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T4417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library