Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mita Indraswari
Abstrak :
Prasasti Rayung yang berada di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti Rayung tidak memiliki unsur pertanggalan dan memiliki keunikan yang tidak dimiliki prasastiprasasti lainnya. Prasasti Rayung berisi mengenai penetapan desa Rayung sebagai sima karena masyarakat Rayung membuat bangunan suci untuk dewa di Paru. Ditinjau dari unsur paleografis dan isi pada prasasti Rayung ditemukan ketidakcocokan untuk menetapkan perkiraan masa pembuatan prasasti ini sehingga diperkirakan merupakan prasasti tinulad. Pada penelitian ini dilakukan pembuktian keaslian prasasti Rayung sebagai sumber data sejarah dan meletakan prasasti Rayung dalam kronologi sejarah kuno. ......The focus of this study is Rayung inscription that is kept at National Museum, Jakarta. Rayung inscription does not contain dating element and has unique feature that other inscriptions do not possess. Rayung inscription contains the establishment of sīma in the village of Rayung because the citizen of Rayung built a holy temple for gods in Paru. From the paleography and the content of this inscription, it is found that there is incompatibility to estimate the period which this inscription was made thus leading to the conclusion that this inscription is tinulad. This study also functions as historical data sources and put this inscription on chronology of ancient history.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47031
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Ketut Puji Astiti Laksmi
Abstrak :
ABSTRAK
Nama : Ni Ketut Puji Astiti LaksmiProgram studi : Doktoral ArkeologiJudul : Identitas Keber-agama-an Masyarakat Bali Kuno Pada Abad IX-XIV Masehi: Kajian EpigrafisPenelitian tentang identitas keber-agama-an masyarakat Bali Kuno sangat penting dilakukan karena sampai saat ini masyarakat Bali masih memeluk agama Hindu dengan berbagai perkembangannya namun demikian belum jelas diketahui bagaimana identitas keber-agama-an masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi. Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi identitas keber-agama-an masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi berdasarkan data yang ditemukan dalam prasasti meliputi tempat suci keagamaan, upacara, dan persembahan keagamaan pada masa tersebut. Terkait dengan tempat suci keagamaan penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi tempat suci melalui kajian toponimi. Adapun upacara dan persembahan ditelusuri pula melalui kajian etnoarkeologi. Sehingga pada akhirnya akan diperoleh rekonstruksi identitas keber-agama-an masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi sebagai upaya memperkuat pemahaman keber-agama-an masyarakat Bali pada masa sekarang. Sumber data penelitian ini meliputi prasasti-prasasti Bali Kuno yang dikeluarkan mulai dari abad IX 804 ?aka/882 Masehi sampai dengan abad XIV 1259 ?aka/1337 Masehi . Kesimpulan yang dapat dirumuskan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, tempat suci adalah salah satu bukti fisik keber-agama-an masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi, yang di dalam prasasti disebut dengan istilah Hyang/Sanghyang, Ulan, Bhatara, Tirtha, Dangudu, Sambar, Mandala, Katyagan, dan Partapaan. Beberapa tempat suci masih dapat diidentifikasi keberadaannya dan dapat ditemukan hingga masa sekarang walaupun dengan nama yang berbeda. Tempat suci pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi dibangun bukan hanya di tempat-tempat yang tinggi gunung dan bukit , tetapi juga dekat dengan sumber air seperti danau, sungai, mata air, dan laut, serta di pusat-pusat pemukiman. Kedua, persembahan-persembahan yang dilakukan oleh masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi merupakan hasil dari segala usaha dan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat pada masa tersebut. Persembahan juga berupa hasil dari kreativitas atau ketrampilan penduduk dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari baik jasmani maupun rohani. Persembahan tersebut merupakan penyerahan dengan penuh kerelaan tulus ikhlas berupa apa yang dimiliki kepada Tuhan para dewa , leluhur, alam semesta, dan kemanusiaan, demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama dan kemuliaan Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, identitas keber-agama-an masyarakat Bali pada abad IX-XIV Masehi merupakan perwujudan dari kemampuan masyarakat Bali Kuno pada masa tersebut dalam memaknai keberlanjutan kepercayaan prasejarah dan agama Hindu/Buddha. Identitas keber-agama-an masyarakat Bali Kuno pada abad IX-XIV Masehi dapat dirinci sebagai berikut. Pada masa tersebut masyarakat menyebut Dewa Tuhan dan tempat suci dengan beragam istilah. Identitas keber-agama-an pada masa tersebut juga menunjukan adanya keseimbangan antara kebutuhan rohani dan jasmani, keharmonisan hubungan antara manusia dengan lingkungan alam, kebersamaan antara sesama manusia, dan keanekaragaman persembahan. Identitas keber-agama-an pada masa tersebut juga menunjukan adanya keberlanjutan tradisi keagamaan atau kepercayaan sebelumnya pemujaan terhadap leluhur dan ketaatan masyarakat pada masa itu dalam beribadah.
ABSTRACT
Name Ni Ketut Puji Astiti LaksmiStudy Program ArchaeologyTitle Religiosity Identities of The Ancient Balinese Society in The IX XIV Christian Centuries an Epigraphic StudyVarious information on religious lives of the ancient Balinese society in IX XIV century were found in some ancient manuscripts consisting of names of holy places, rituals, peoples rsquo obligations, and religious leaders. Hindu and Buddha followers who were at that time not spread evenly in Bali causes pre cultural traditions of Hindu and Buddha still maintains so firmly till today that the situation found in Bali is different from the ones found in the scope of the Archipelago or in the islands as the pioneers of Indonesia such as Java. This research aims to reconstruct the religious lives the ancient Bali periods of the IX XIV centuries based on the data found in the manuscripts including religious holy places, rituals, and offerings of the periods. In particular with the religious places, this research aims to reconstruct holy places through toponymy studies. Rituals and offerings as religious activities are studied through an etnoarcheological study so that a reconstruction of religious lives in the ancient Bali periods of the IX XIV centuries as identities of religious lives can be found. The data source of the research include the ancient Balinese manuscripts issued from the IX century 804 aka 882 Christian till XIV century 1259 aka 1337 Christian . Till now there are 200 cakeps of manuscripts from 24 kings found in Bali. Nevertheless, not all of them are in complete condition and contain data related to religious aspects. 30 manuscripts chosen are the ones containing religious data and represent other manuscripts of the periods. Religious data collected includedholy places and offerings and they were analyzed through toponymy and etnoarcheological studies. Several conclusions that can be taken in this research are as the followings. First, religious places become physical evidences of the religious lives in the ancient Bali periods of the IX XIV centuries with terms of Hyang Sanghyang, Ulan, Bhatara, Tirtha, Dangudu, Sambar, Mandala, Katyagan, and Partapaan. The existences of some holy places can still be identified and can be found though with different names. Holy places of the periods are not only located in high areas mountains and hills , but they are also located near water sources such as lakes, rivers, springs, and seas, and inside housings. Second, the offerings made by the Balinese people of the ancient Bali periods of the IX XIV centuries are the results of all efforts and activities in the periods. The offerings could also be in the products of their creativities or skills in fulfilling their daily needs. The rituals are offerings in sincere purpose because of the spirits of their lives. The people did them to the God gods , ancestors, nature, and humans for the sake of prosperity and perfectness of their lives and the nobility of the Almighty God.Third, rituals of the Balinese people of the ancient Bali periods of the IX XIV centuries are the forms of the abilities of the ancient Balinese people in adapting them selves to the natural and social environments as well as to the believes they followed. The religious identities in the ancient Bali periods of the IX XIV centuries can be described as the followings. In the periods people called God and holy places in different terms. Religious identities in the periods also show that there were balance of between spiritual and worldly secular needs, harmonious relations of humans with nature, togetherness of humans, and diversity of offering. Religious identities in the periods also show that there were continuity of the tradition on religion and believes existing previously rituals to the ancestors and the loyalties of the peoplesin the periods in worshipping.
2017
D2431
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasbullah Tawwus Yahuda
Abstrak :
ABSTRAK
Prasasti Meleri I merupakan prasasti yang dibuat pada tahun 10[91]?aka/1169 Masehi. Prasasti tersebut diresmikan oleh Raja Aryye?wara yang memerintah antara 1169 ndash; 1171 Masehi. Isi dari prasasti Meleri I menjelaskan tetang penetapan suatu daerah menjadi s?ma. Penelitian yang dilakukan pada Prasasti Meleri I berupa pembacaan prasasti, yakni alihaksara dan alihbahasa. Hasil dari pembacaan ini sekiranya dapat memberikan gambaran tentang struktur birokrasi, keadaan religi, kehidupan sosial ekonomi, serta militer masa Raja Aryye?wara.
ABSTRACT
Meleri I inscription was written in 10 91 aka 1169 Masehi. The inscription was issued by king Aryye wara that ruled from 1169 ndash 1171 Masehi. This inscrption explain about s ma. Research on Meleri I inscription focus in deciphering inscription, by transliteration and translation. The results of this research is providing data about the structure of the bureaucracy, religious life, social and economic life, and military during the reign of King Aryye wara.
2017
S67848
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Cholid Sodrie
Abstrak :
Brunei Darussalam banyak dikenal karena kekayaannya, dan kekayaannya itu diperoleh dari basil tambang minyak, dan sedikit penduduk. Jarang sekali Brunei dikenali dari tinggalan masa lalunya, malah mungkin tidak tahu menahu tinggalan yang menjadi hiasan, dan kebanggaan, yang terpajang pada kedua sisi sepanjang alur sungai Brunei dari Bukit Berambang dan Perbukitan Subuk. Tinggalan itu menjadi saksi bisu sepanjang masa yang dilaluinya. Nama-nama kotanya, meinggalkan kaca cerminan dari budaya yang mengiringi, balk dari melayu, maupun dari Negeri-Negeri yang terkait dengan masa lalu Brunei Darussalam. Mereka dating dari Negeri leluhur Cina, Persia, Thaif Saudi Arabia, atau negeri Jiran Johor di Malaysia dan Minangkabau di Andalas Indonesia. Dengan kedua negeri V. terakhir Brunei mengambil pusaka ""Nekara"" yang dijadikan asal-usul dari Pusaka Negeri (Batu Tarsilah) Hasil penelitian yang berjudul Batu-Batu Nisan Brunei Darussalam : Kajian bentuk dan Efigrafi ini dapat disimpulkan bahwa Brunei Darussalam banyak terkait dengan latar sejarahnya, bail: secara tekstual maupun kontekstual dari teks-teks pada bentuk batu-batu nisan, maupun inskripsi yang ditemukan tertera pada batu-batu nisannya. Hal itu terjadi dangat relevan, bila disbanding dnegan data yang terkandung pada Batu tarsilah, sebagai data awal (primer) yang ada. Kajian pada Batu-Batu Nisan di Brunei dikaji dari bentuk dan dari data efigrafi yang terukir di dalamnya. Batu-Batu Nisan di Brunei Darussalam ......Brunei Darussalam is famous of its wealth especially comes from oil mining, while its population is less dense. Brunei is rarely known if its inheritance, even none knows that it becomes decoration, and proudness, along the river of Brunei River from Hill Berambang and Ilill Subuk. The inheritance has becomes silent witness along the time it passes. The city names their cultures come from Malay and other country, Persia, Thaif Saudi Arabia, or Johor Jiran state in Malaysia and Minangkabau in Andalas Indoensia. From the last two countries, Brunei took pusaka ""Nekara"" which was used as the origin of Pusaka Negeri (Batu Tarsialah) The result of research of gravestones on Brunei Darussalam : An Analysis on The structure and Epigraphy concludes that Brunei Darussalam is much related to its, historical background, both textually or contextually from the tex on gravestones structure and inscription written on the gravestones. Compared with data in Batu Tarsilah, this is very relevant for existing primary data. Study on gravestones in Brunei Darussalam was accomplished by analyzing the structure and epigraphical data carved on them. Gravestones in Brunei Darussalam show various structures, witch can be classified into seven tipology based on four basic structures, those are square, pentagon, rectangular, and round base like bludgeon, and three of the six basic analysis of Hasan Muarif Ambary (1984), and Othman Yatim (1988) were applied
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T37331
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dody Ginanjar
Abstrak :
Penelitian sejarah kuno di Indonesia bersumber pada berbagai informasi yang salah satunya adalah prasasti. Fungsi prasasti pada masanya sebagai dokumen resmi yang mempunyai kekuatan hukum karena merupakan suatu keputusan resmi. J. G De Casparis menyebut prasasti sebagai tulang punggung sejarah kuno Indonesia. Jumlah prasasti di Indonesia diperkirakan mencapai ribuan, tetapi pada kenyataannya sejarah kuno Indonesia masih banyak masa-masa yang belum diketahui dengan pasti. Oleh karena itu penting bagi peneliti epigrafi untuk meneliti prasasti-_prasasti yang belum diterbitkan dan prasasti-prasasti yang baru terbit dalam transkripsi sementara, kemudian diterjemahkan dalam bentuk alih aksara sementara, sekaligus menelaah isinya. Dengan demikian data yang terkandurng dalam prasasti tersebut dapat digunakan sebagai sumber sejarah kuno Indonesia. Prasasti dari Sidotopo merupakan prasasti dari peninggalan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya pada tahun 1408 Saka (1486 Masehi). Kajian terhadap prasasti ini merupakan kajian awal. Prasasti terbuat dari batu andesit dan disimpan di Museum Trowulan, Jawa Timur. Prasasti dari Sidotopo berisikan tentang pengukuhan kembali anugerah sima yang telah diberikan oleh sira san mokta rii amretabhasalaya, bhatara prabhu san mokta rin amretawisesalaya dan san mokteri mahalayabhawana kepada Sri Brahmaraja Gangadara oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Tokoh Dyah Ranawijaya selama ini hanya dapat diketahui dari sumber prasasati yang berasal dari masa Majapahit akhir. Di dalam prasasti-prasastinya Dyah Ranawijaya menggunakan Girindrawarddahanlancana yang berupa gambar atau tulisan, yaitu danda (tongkat pemukul yang dililit ular), kamandalu (kendi air), suryya (matahari), candra (bulan), padaraksa (telapak kaki), dan catra (payung) sebagai lambang kerajaannya. Dalam Prasasti dari Sidotopo ini disebutkan Brahmaraja Gangadara mendapat anugerah karena telah berusaha mencapai kemenangan bagi sang raja Majapahit pada waktu peperangan (sinun ganjaranira dukayunayunan yudha san ratu hin majapahit). Berdasarkan perbandingan dengan prasasti yang sejaman seperti Ptak, Trailokyapuri I, II dan III serta naskah-naskah mengenai kerajaan Majapahit dan sesudahnya dapat ditafsirkan ketika itu ada ada perebutan kekuasaan antara keluarga raja, di mana Dyah Ranawijaya dengan bantuan Sri Brahmaraja Gangadara seorang pendeta utama kerajaan, menyerang kerajaan Majapahit yang dikuasai Bhre Krtabhumi. Prasasati dari Sidotopo mempunyai huruf yang buruk selain juga batu andesit sebagai alas tulisan kualitasnya bukan merupakan yang paling baik. Karena itu, pembuatan alih aksara Prasasti dari Sidotopo ini diharapkan dapat memberikan koreksi kesalahan penulisan oleh citralekha. Sebab kesalahan dalam pembacaan bisa mengakibatkan salah penafsiran dan kesalahan penafsiran dapat mengakibatkan ketidaktepatan dalam penomoran sejarah yang terjadi.
2000
S11581
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noerhadi Magetsari
Abstrak :
Essays on theory of archaeology and civilization in Indonesia.
Jakarta: Kompas, 2016
930.109 598 NOE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chacuk Tri Sasongko
Abstrak :
Sumber karya sastra Jawa kuno, khususnya cerita-cerita Panji, memuat nama-nama karakter yang berasal dari nama binatang seperti Kuda Narawangsa, Kebo Kanigara, and Kidang Walangka. Fenomena penamaan semacam ini rupanya juga ditemui dalam sumber epigrafi masa Jawa kuno. Permasalahan penelitian meliputi motivasi penamaan dan hubungan antara nama diri dengan jabatan dan status sosial penyandangnya. Seluruh permasalahan tersebut dijawab melalui studi pustaka yang melibatkan metode pengumpulan data, analisis, dan intepretasi. Hasilnya menunjukkan bahwa fenomena penamaan tersebut secara umum dilatarbelakangi oleh apresiasi terhadap binatang-binatang tertentu yang memiliki tempat dan peran penting dalam kebudayaan masyarakat sehingga dianggap penting dan istimewa. Secara garis besar terdapat kecenderungan perkembangan fenomena pada masa Mataram kuno (Abad ke-9-11 M) dan Kadiri-Majapahit (Abad ke-12-16 M). Periode Mataram kuno didominasi oleh nama diri tunggal yang tidak terkait dengan jabatan tertentu kecuali status sosial kelas bawah, sedangkan periode Kadiri-Majapahit terdapat hubungan nama diri dengan jabatan ketentaraan (makasirkasir) dan status kasta ksatria yang sangat mungkin ditandai oleh pemakaian nama binatang di awal nama diri.

Kata kunci: epigrafi, antroponomastika, nama diri, binatang, makasirkasir ......Old Javanese literary works, especially panji tales, contain many character names derived from animal names such as Kuda Narawangsa, Kebo Kanigara, and Kidang Walangka. This naming phenomenon also appears to be found in the old Javanese inscriptions. The research problems of this study include motivation for naming and correlation between the personal names, social status, and official position of the users. This research uses archaeological method involving data collection, analysis, and interpretation. The results show that the naming phenomenon was generally motivated by the appreciation towards certain animals that had a place and roles in the culture of society so that they were perceived as being important and special. Broadly speaking, there was a different development trend in the ancient Mataram period (9th-11th Century AD) and Kadiri-Majapahit period (12th-16th Century AD). The ancient Mataram period was dominated by a single personal name that was not related to any particular position. During the Kadiri-Majapahit period, there was a correlation between the personal names and the official position of the army (makasirkasir) and kshatriya caste which was very likely to be marked by the use of the name of the animal at the beginning of the personal name.

Keywords: epigraphy, anthroponomastics, personal name, animal, makasirkasir

 

Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Griffiths, Arlo
Jakarta: UI-Press, 2010
PGB 0518
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Kruyt, Albertus C.
Abstrak :
Buku Tijdschrift voor Indische Taal Land en Volkenkunde Deel LXXXIII Aflefering 1 tahun 1949 adalah jurnal yang dikeluarkan oleh KBG van Kunsten en wetenschappen. Dalam edisi ini terdapat 6 artikel dan 5 pembahasan buku antara lain : - catatan epigrafi oleh L.C. Damais, - tentang hikayat Abdul Kadir Jaelani oleh Dr. P. Voorhoeve - tulisan Dr. H.J. de Graaf tentang Sakyamuni - Pembahasan buku J.L. Swellengrebel mengenai cerita-cerita Bali
Batavia: Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1949
BKL.1152 - JR 38
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Kayato Hardani
Abstrak :
Penempatan prasasti merupakan suatu cara, proses dan perbuatan secara sadar maupun nirsadar dari sang penulis prasasti yang dapat berupa aktifitas meletakkan teks prasasti dalam suatu ruang (posisi dan lokasi) tertentu yang dilatarbelakangi oleh logika, ide, gagasan dan konsep tertentu. Peran penulis prasasti di dalam menulis/memahatkan prasasti di dalam batur candi perwara dan stupa perwara menjadikan informasi yang ia sampaikan menjadi suatu bekuan peristiwa di masa lampau. Ia mempunyai kewajiban menyampaikan ide gagasan kepada pembaca atau masyarakat pendukung budaya candi melalui media yang memuat tanda (aksara dan bahasa) yang bisa dipahami bersama-sama oleh suatu komunitas atau masyarakat pada abad ke-9 Masehi. Sang penulis prasasti yang diasumsikan adalah para bhiksu memiliki ciri personal sebagai cerminan kebahasaan masyarakat pada masanya, segala proses penulisan prasasti yang dibuat oleh bhiksu tersebut tidak mungkin menggambarkan realita masa itu secara keseluruhan, oleh karena itu pemahaman terhadap prasasti tidak hanya dibatas pada kata saja melainkan kata dalam konteks. Konteks tersebut adalah penempatan prasasti tersebut di dalam satu konteks keruangan yakni relasi-relasi yang terbentuk pada satu halaman kompleks percandian Buddha. Relasi-relasi tersebut dapat diungkapkan kembali maknanya menjadi narasi sejarah yang logis dengan menggunakan pendekatan strukturalisme yang terbingkai dalam perspektif agama Buddha Mahayana abad ke-9 Masehi. Pendekatan strukturalisme Levi-Strauss adalah untuk menemukan struktur dan memberi makna dengan tafsir di luar stuktur atas suatu fenomena budaya. Prasasti pendek yang ditempatkan di candi perwara dan stupa perwara dapat dipahami sebagai fenomena budaya yang mengandung logika, ide dan gagasan dari sang penulis prasasti ketika memulai memahatkan tulisan di batu andesit komponen candi sebagai media penyampaian informasi. Melalui pendekatan strukturalisme Levi-Strauss terlihat bahwa penempatan di dalam posisi yang sejajar dan seimbang memberi asumsi bahwa kesemua prasasti berada di dalam relasi sintagmatik untuk makna yang sama meskipun tidak dalam bentuk sinonim. Kedekatan jarak penempatan prasasti dapat dimaknai sebagai kedekatan di dalam struktur birokrasi maupun kekerabatan. Simpul penting formula dharmma di dalam satu baris candi perwara terlihat dengan pola yang berulang yakni kehadiran Çri Mahàràja yang senantiasa diapit oleh pejabat kerajaan dan pejabat daerah watak.
Inscription placement is a way, process and action consciously and unconsciously from the author of the inscription which can be in the form of activities putting the inscription text in a certain space (position and location) against the background of a certain logic, ideas, ideas, and concepts. The role of the writer of the inscription in writing / carving inscriptions in the batur (base) of perwara temples and ancillary stupas makes the information he presents becomes a record of events in the past. He should convey ideas to readers or the people who support the culture of the temple through media that contain signs (characters and languages) that can be understood together by a community or society in the 9th century AD. The writer of the inscription which is assumed is that monks have personal characteristics as a reflection of the language of society at the time, all the process of writing inscriptions made by the monk is not possible to describe the reality of the period as a whole, therefore understanding inscriptions is not limited to words but words in context. The context is the placement of these inscriptions in a spatial context, namely the relationships formed on a complex page of Buddhist temples. These relations can be re-revealed to be a logical historical narrative by using a structuralism approach framed in the perspective of 9th century Mahayana Buddhism. Levi-Strauss's structuralism approach is to find structure and give meaning to interpretations outside the structure of a cultural phenomenon. Short inscriptions placed in perwara temples and ancillary stupas can be understood as cultural phenomena that contain logic, ideas and ideas from the writers of inscriptions when they began sculpting writing on andesite stone components of the temple as a medium for delivering information. Through Levi- Strauss's structuralism approach, it is seen that placement in equal and balanced positions assumes that all inscriptions are in syntagmatic relations for the same meaning even though they are not synonymous. The proximity of the placement of the inscription can be interpreted as closeness in the bureaucratic structure and kinship. The important knot of the dharmma formula in a row of perwara temples is seen with a repetitive pattern, namely the presence of Çri Maharaja, which is always flanked by royal officials and regional officials.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T53613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>