Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurarni Widiastuti
"Identitas menjadi suatu hal yang penting bagi muslim keturunan Cina dalam berinteraksi dengan masyarakat luas. Kebanyakan masyarakat muslim keturunan Cina adalah muallaf atau memeluk Islam tidak sejak lahir melainkan karena proses pindah ke agama Islam. Mereka lebih diterima oleh orang pribumi meskipun dari keturunan Cina, mengingat banyak stereotip dan penolakan yang terjadi terhadap etnis Cina oleh warga pribumi selama ini.
Penerimaan tersebut terkait dengan tumbuhnya perasaan sense of belonging yang muncul di tengah-tengah masyarakat pribumi dan muslim keturunan Cina. Inilah yang menyebabkan leburnya sekat sosial di antara pribumi dan muslim Cina bahkan membentuk suatu ikatan positif di antaranya. Meskipun muslim keturunan Cina menjadi lebur dengan masyarakat pribumi, bukan berarti tidak ada rintangan dalam menjalani kehidupan barunya sebagai seorang muslim. Mereka juga menjadi dijauhi oleh keluarga atau temantemannya yang nonmuslim keturunan Cina. Oleh karena itu, penggunaan simbolsimbol atau atribut Islam menjadi penting bagi muslim keturunan Cina ini dalam strategi berinteraksi.
Terbentuknya komunitas muslim keturunan Cina menjadi suatu hal yang tidak dapat ditepis lagi. Interaksi dengan sesama muallaf Cina lainnya, bertukar pikiran atau sharing satu sama lain pada akhirnya menimbulkan rasa nyaman dan menjadi ?rumah kedua? bagi mereka.

Identity became an important thing for Chinese Moslem in order to interact with the other society. Mostly, The Chinese Moslem was Muallaf, a person who became Moslem not because they were born as moslem but with changing their religion into Moslem. They?ve been accepted by the local society, despite the fact that there are a lot of stereotype and rejection towards the Chinese by the local society.
The acceptance towards the Chinese Moslem arisen the sense of belonging between the local society and the Chinese Moslem Society itself. This condition had loosened the social barriers between the two societies. In fact, those two societies are now bounded in some kind of positive atmosphere. Eventhough, the Chinese Moslem had already melted with the local society, but there are still some problems that occur in their new life as a Chinese Moslem. Somehow, they got abandoned by their own non-Moslem Chinese family or friends. So that?s why, for the Chinese Moslem, symbols and attributes are really important as a part of interaction strategy.
We can?t set aside the existence of the Chinese Moslem community as a place for them to interact, communicate, or share their thoughts and opinions with the other Chinese Muallaf. This community already became their nice and comfort second home.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: DPP Partai Golkar Korbid Keagamaan, Harian Umum Suara Karya, 2005
305.895 109 598 TEL (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Syahrul
"Kerusuhan-kerusuhan etnis yang meledak sejak awal era reformasi berakar dari kesenjangan sosial-ekonomi dan merupakan protes budaya yang memberikan petunjuk kuat bahwa tatanan sosial dalam kehidupan majemuk telah dilanggar dan dihancurkan. Kesenjangan ini merupakan usaha rekayasa class forming pemerintahan Orde Baru yang menempatkan kelompok etnis pendatang tertentu pada lapisan menengah dalam proses pembentukan piramida sosial masyarakat setempat. Kelompok menengah yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) ini telah memaksa etnis pribumi setempat untuk puas di papan bawah, walaupun mereka merasa telah diperas dan dipinggirkan. Potensi konflik antara kedua kelompok telah memanfaatkan label etnis dan agama untuk memperkuat solidaritas dan legitimasi perlawanan terhadap ketidakadilan yang dirasakan selama ini.
Gerakan reformasi telah memberikan momentum untuk membangkitkan perlawanan dengan menggunakan label etnis dan agama tersebut. Konflik terbuka seperti di Bagan Siapi-api dan daerah lainnya pada hakekatnya adalah proses budaya untuk mendapatkan keadilan.
Pertanyaan mendasar dalam menganalisa berbagai kerusuhan etnik diberbagai daerah di nusantara ini adalah "mengapa upaya-upaya pembauran belum juga mendatangkan hasil yang optimal ?". Sudah banyak pakar yang mencoba memberikan pandangan mengenai sebab-akibat alotnya proses pembauran etnik di berbagai daerah dan berakhir dengan pertikaian yang setiap pertikaian meninggalkan kesan traumatis yang dalam dari kedua belah pihak.
Warisan sejarah yang ditinggalkan Hindia Belanda, yang dikenal dengan politik "devide de impera", serta mengkategorikan penduduk nusantara kedalam tiga golongan ; orang Eropa (posisi sosial paling tinggi), Timur Asing (posisi sosial menengah) yang terdiri dari orang Cina, India dan Arab, sedangkan golongan pribumi menempati golongan paling bawah. Ketiga golongan ini hidup secara terpisah dalam kantong-kantong dan lingkungannya masing-masing.
Ketika terjadi perubahan sosial besar-besaran akibat bergulirnya era reformasi sekarang ini, berlangsung reaksi yang berbeda di kalangan golongan kedua diatas. Karena jumlah mereka relatif kecil, orang-orang keturunan India, Arab dan minoritas lainnya tidak mengalami goncangan yang berarti. Tetapi, bagi orang-orang keturunan Cina, reformasi merupakan perubahan sosial yang besar yang akibat-akibat psikologisnya menyimpan traumatis yang dalam. Kenyataan ini merupakan akibat status dan perlakuan yang istimewa, seperti diberinya hak memonopoli penjualan candu, sebagai perantara jual beli antara pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sedangkan pemerintahan berikutnya dimana etnis Cina diberi kemudahan dengan model hubungan ekonomi politik cukong di zaman Orde Baru. Sebagai akibatnya terjadilah kesenjangan ekonomi yang begitu hebat antara pribumi dan non-pribumi, sehingga berakibat kecemburuan sosial dan berakhir dengan konflik. Belum optimalnya proses pembauran sekarang ini disebabkan oleh banyak faktor seperti faktor historis, kultural, politis dan upaya penyeiesaiannya hendaklah dengan memahami secara mendasar tatanan sosial kemasyarakatan yang ada serta menggunakan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda dan dilakukan kajian secara berkesinambungan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7139
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pakhrudin
"Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah kelompok pemuda keturunan Tionghoa yang ada di masyarakat, ada yang bersifat eksklusif dan ada pula yang bersedia melibatkan dalam organisasi seperti Karang Taruna. Apabila pemuda keturunan Tionghoa yang bersifat eksklusif dibiarkan terus menerus dimungkinkan dapat menimbulkan kesenjangan sosial yang memicu terjadinya konflik antar etnik. Sebaliknya, ada pemuda keturunan Tionghoa yang bersedia melibatkan diri dalam organisasi seperti Karang Taruna yang memungkinkan dapat mempererat hubungan dengan. pemuda pribumi.
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran mengenai keterlibatan pemuda keturunan Tionghoa dalam kegiatan Karang Taruna di Kelurahan Pasar Baru Jakarta Pusat, yang mungkin dapat berpengaruh terhadap proses pembauran dalam rangka menciptakan integrasi sosial. Untuk mengetahui hal tersebut perlu diperoleh data mengenai karakteristik informan (pemuda keturunan Tionghoa), minat/motivasi informan dalam kegiatan Karang Taruna, aktivitas informan dalam kegiatan Karang Taruna dan pandangan informan mengenai interaksinya dengan pemuda pribumi.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam terhadap enam informan dimana mereka sebagai anggota dan pengurus Karang Taruna, dengan tujuan untuk mendapat kejelasan terhadap informasi yang dibutuhkan yang kemudian disajikan secara deskriptif.
Hasil atau temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pemuda keturunan Tionghoa yang terlibat aktif dalam kegiatan Karang Taruna nampaknya lebih mudah membaur dengan pemuda keturunan pribumi.
Motivasi para pemuda keturunan Tionghoa aktif dalam kegiatan Karang Taruna yaitu untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam memperluas wawasan dan menambah pengalaman, mengembangkan kreativitas yang mereka miliki serta yang tak kalah penting yaitu untuk memperluas pergaulan. Hal ini juga memperlihatkan bahwa para pemuda keturunan Tionghoa yang masuk dan aktif dalam kegiatan Karang Taruna mempunyai motivasi yang beragam.
Aktivitas yang dilakukan oleh pemuda keturunan Tionghoa dalam kegiatan Karang Taruna meliputi kegiatan olah raga dan seni, kegiatan rekreatif dan kegiatan sosial. Berbagai aktivitas yang dilakukan oleh para pemuda keturunan Tionghoa, nampak ada kecenderungan bahwa keterlibatan mereka masih memakai ukuran pertemuan secara fisik, dimana frekuensi tatap muka menjadi tolok ukur dari keaktifan seseorang. Dan ternyata ini masih belum disadari oleh para pemuda keturunan Tionghoa yang aktif dalam organisasi Karang Taruna.
Pemuda keturunan Tionghoa memandang bahwa interaksinya dengan pemuda pribumi, terlihat sudah berjalan cukup bagus. Hal tersebut terlihat dari kohesivitas diantara mereka dalam kegiatan Karang Taruna. Terdapat konflik kecil tetapi itu sebatas pemahaman tentang organisasi dan masalah kaderisasi. Sedangkan di luar Karang Taruna mereka yang aktif dalam kegiatan sosial seperti Karang Taruna lebih mudah diterima oleh masyarakat. Namun masyarakat sulit menerima mereka yang termasuk dalam Cina Totok, yang selalu menutup dan kurang berinteraksi dengan masyarakat. Pembauran melalui organisasi dipandang lebih efektif karena ada tujuan bersama yang selalu mengikat individu yang ada di dalamnya. Semakin mudahnya komunikasi diantara kelompok-kelompok masyarakat dengan berbagai sarana pendukungnya telah membawa semakin longgarnya sentimen-sentimen kelompok. Masyarakat semakin terdorong dan mampu untuk berfikir dalam lingkup solidaritas kehidupan bersama yang semakin besar. Sehingga dalam setiap tindakannya masing-masing unsur bangsa semakin banyak dilandasi dengan perhitungan untuk kepentingan bersama sebagai suatu bangsa.
Berpijak pada hasil penelitian bahwa pemuda keturunan Tionghoa yang aktif dalam kegiatan Karang Taruna nampaknya lebih mudah membaur dengan pemuda pribumi dan masyarakat yang ada di lingkungannya, maka organisasi kepemudaan Karang Taruna akan dapat menjadi alternatif solusi bagi pembauran dalam rangka mewujudkan integrasi sosial."
2001
T5465
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juni Alfiah Chusjairi
"Etnis Cina di Indonesia sudah beberapa generasi tinggal di Indonesia. Namun kehadirannya hingga hari ini masih belum sepenuhnya dianggap sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Era reformasi tampaknya membawa angin baru bagi etnis Cina di Indonesia. Berbeda dengan jaman Orde Baru yang cenderung membatasi gerak mereka kecuali di bidang ekonomi. Di era reformasi berbagai peraturan yang diskriminatif mulai dicabut. Termasuk juga bahasa dan budaya Cina tidak dilarang lagi. Sikap pemerintah yang melunak terhadap etnis Cina membawa perubahan juga pada media. Selain ada stasiun televisi yang menyiarkan siaran berita dalam bahasa Mandarin, televisi juga menayangkan film/sinetron tentang kehidupan etnis Cina. Film-film ini ditayangkan dalam menyambut Imlek, Tahun Baru etnis Cina.. Penelitian ini hendak meneliti tentang konstruksi identitas etnis Cina di Indonesia melalui film-film Wo Ai Ni Indonesia, Jangan Panggil Aku Cina dan Ca Bau Kan.
Penelitian ini melibatkan empat orang informan yang pernah menonton ketiga film tersebut diatas. Mereka adalah orang etnis Cina yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, namun saat ini tinggal di Jabotabek. Informan tersebut juga mencakup generasi 20130-an, 40-an, 50-an .Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan perspektif fenomenologi dan menggunakan paradigma kritis. Data dalam penelitian diperoleh dari wawancara dengan informan tersebut diatas. Analisis data kemudian dilakukan dengan methods of agreement dan methods of difference.
Teori utama yang digunakan untuk menganalisis dalam penelitian ini adalah encoding/decoding dari Stuart M. Ada tiga konsep yang dinyatakan oleh Hall yaitu preffered/dominant hegemonic position. Posisi ini terjadi bila pembuat dan pembaca teks mempunyai ideologi yang sama dalam memaknai teks. Kedua negotiated code/position. Posisi ini merupakan sebuah kompromi terhadap teks. Ideologi pembaca yang lebih menonjol berperan dalam memakai teks yang kemudian dinegosiasikan oleh ideologi yang dibawa oleh teks. Ketiga oppositional code/position. Pesan yang dibaca oleh khalayak akan dimaknai secara berseberangan atau berbeda dengan pembuat teks. Selain itu penelitian ini juga mengacu pada konsep identitas yang mencakup self sameness dan solidarity dari Paul Gilroy dalam konsep cultural studiesnya.
Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lingkungan pergaulan yang kemudian ditunjang oleh nilai-nilai budaya yang kuat mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk identitas ke Cinaan seseorang Orang yang bergaul serta berada di lingkungan Cina terus dari kecil hingga dewasa akan menimbulkan sikap eksklusif dan identitas ke Cinaannya cenderung kuat. Hal ini juga berpengaruh terhadap pemaknaan seseorang terhadap ketiga film tersebut yang cenderung negotiated dan oppositional. Berbeda dengan mereka yang lingkungannya pribumi saja atau yang lingkungannya campur antara pribumi dengan etnis Cina. Mereka yang berada di lingkungan pribumi saja atau campur antara pribumi dengan etnis Cina akan cenderung lebih permisif dan adaptif. Pemaknaan terhadap film-film tersebut cenderung dominant/preffered reading."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T21660
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library