Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andry Hartanto
"Intervensi yang sedang populer di kalangan perempuan sebagai rekonstruksi wajah tanpa operasi yaitu tanam benang atau tarik benang. Akupunktur tanam benang adalah salah satu jenis tindakan akupunktur yang memanfaatkan benang yang dapat diserap, yang melekat pada jarum. Kerusakan jaringan akibat penusukan dan penyisipan benang menghasilkan reaksi inflamasi aseptik dan akhirnya mendorong regenerasi jaringan sekitar. Meskipun akupunktur tanam benang telah banyak dilakukan untuk kasus-kasus tertentu, terutama untuk kasus kosmetika, namun masih kurangnya bukti mengenai keamanannya baik di Korea, yang merupakan negara yang mempopulerkan teknik ini. Infeksi, reaksi terhadap benang yang dianggap benda asing oleh tubuh, nodul subkutan atau eritem, gatal, reaksi inflamasi akibat mikrotrauma saat penusukan dan penyisipan adalah hal-hal yang mungkin terjadi dalam tindakan akupunktur tanam benang ini. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ada 4 subyek (30,77%) yang merasakan 1 jenis tanda kardinal inflamasi, 3 subyek (23,08%) yang merasakan 3 jenis tanda inflamasi, 5 subyek (38,46%) yang merasakan 4 jenis tanda kardinal inflamasi dan 1 subyek (7,69%) yang merasakan semua jenis tanda kardinal inflamasi. Bila dilihat dari tanda kardinal, maka 100% pasien mengalami dolor, 6 pasien mengalami kalor, 7 pasien mengalami rubor dan tumor, serta 5 pasien mengalami fungsio lesa. Nilai FACE-Q untuk domain penampilan wajah dan kualitas hidup terkait dengan kesehatan cukup tinggi reratanya, sedangkan untuk dampak buruk cukup rendah reratanya. Untuk uji korelasi antara perubahan kerutan nasolabial dengan nilai FACE-Q tidak ada korelasi. Dapat disimpulkan bahwa prosedur akupunktur tanam benang relatif aman dan minimal efek samping serta memberi penilaian subyektif yang tinggi.

An intervention that is popular with women as face reconstruction without surgery is planting threads or pulling threads. Thread acupuncture is one type of acupuncture that utilizes absorbable thread attached to the needle. Tissue damage due to puncturing and insertion of threads results in aseptic inflammatory reactions and ultimately encourages the regeneration of surrounding tissue. Although yarn acupuncture has been used for certain cases, especially for cosmetics, there is still a lack of evidence regarding its safety either in Korea, which is a country that popularized this technique. Infection, reactions to threads that are considered foreign bodies by the body, subcutaneous nodules or erythema, itching, inflammatory reactions due to microtrauma during pricking and insertion are things that might occur in this thread acupuncture action. The results showed that there were 4 subjects (30.77%) who felt 1 type of cardinal inflammation sign, 3 subjects (23.08%) who felt 3 types of inflammatory sign, 5 subjects (38.46%) who felt 4 types of signs cardinal inflammation and 1 subject (7.69%) who felt all kinds of inflammatory cardinal signs. When viewed from the cardinal sign, then 100% of patients experience color, 6 patients experience heat, 7 patients experience rubles and tumors, and 5 patients experience fatigue. The FACE-Q value for the domain of facial appearance and quality of life associated with health is quite high, while for adverse effects it is quite low. For the correlation test between changes in nasolabial wrinkles with the FACE-Q value there is no correlation. It can be concluded that the thread acupuncture procedure is relatively safe and minimizes side effects and gives a high subjective assessment."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Danila
"Latar Belakang: Penelitian luas dalam literatur sosial dan psikologi tentang reaksi terhadap daya tarik fisik menunjukkan dampak signifikan terhadap harga diri dan kesejahteraan individu. Dalam praktik estetika, keberhasilan prosedur terutama ditentukan oleh kepuasan pasien, yang hanya dapat dinilai secara akurat oleh pasien itu sendiri. Hal ini mengharuskan klinisi untuk mempertimbangkan perspektif pasien saat mengevaluasi hasil prosedur. FACE-Q© Aesthetics adalah alat penilaian yang divalidasi secara psikologis untuk individu yang menjalani prosedur estetika, mencakup tiga domain: penampilan wajah, kualitas hidup, dan efek samping. Menerjemahkan kuesioner pasien yang dilakukan sendiri untuk berbagai negara dan budaya, terutama di negara multikultural seperti Indonesia, memerlukan pertimbangan yang cermat untuk memastikan kesetaraan antara versi asli dan versi target. PenerjemahanFACE-Q© Aesthetics ke dalam bahasa Indonesia menekankan proses validasi lintas budaya, dengan mempertimbangkan perbedaan pemahaman bahasa dan perbedaan sosio-kultural selama fase cognitive debriefing.
Metode: Kuesioner ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mengikuti pedoman terbaik dari International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR) melalui empat tahap. Selama proses penerjemahan dan diskusi, fokus diberikan pada memastikan kesetaraan antara versi asli dan versi Indonesia dalam empat aspek: kesetaraan semantik (mempertahankan makna), kesetaraan idiom (mengadaptasi ungkapan idiomatik), kesetaraan empiris (menggunakan istilah yang relevan secara budaya), dan kesetaraan konseptual (memastikan konsistensi makna lintas budaya). Wawancara cognitive debriefing dilakukan untuk menilai pemahaman pasien dan kesesuaian budaya dari kuesioner yang diterjemahkan. Proses penerjemahan mencakup 39 skala dan 315 item pertanyaan, melewati proses ketat penerjemahan–ulang– penerjemahan, serta wawancara cognitive debriefing pada pasien berusia 18-75 tahun yang menjalani prosedur estetika oleh ahli bedah plastic minimal satu minggu setelah prosedur. Wawancara bertujuan memastikan kuesioner yang diterjemahkan mudah dipahami, relevan secara budaya, dan mempertahankan makna yang dimaksudkan dari instrumen asli. Tanggapan peserta tentang pemahaman bahasa dan relevansi sosio- kultural dikumpulkan dan dianalisis.
Hasil: Studi ini melibatkan 38 peserta dan wawancara menunjukkan bahwa hampir semua peserta memahami versi bahasa Indonesia dari kuesioner FACE-Q© Aesthetics. Permasalahan yang ditemui meliputi masalah tata bahasa, makna yang ambigu, makna ganda, kata yang mirip, dan ketidakbiasaan dengan pengalaman subjektif, dengan sedikit penyesuaian yang diperlukan untuk kesesuaian budaya. Pasien mengonfirmasi bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut relevan dengan pengalaman estetika mereka dan secara efektif menangkap kepuasan mereka terhadap hasil dan kualitas hidup. Istilah dan frasa utama disesuaikan untuk menyesuaikan dengan nuansa sosio-kultural Indonesia, memastikan integritas konseptual instrumen tetap terjaga.
Kesimpulan: Dengan mengintegrasikan umpan balik dari wawancara cognitive debriefing, kami memastikan bahwa versi Indonesia dari kuesioner ini sesuai secara budaya dan siap digunakan dalam praktik klinis. Artikel ini memberikan penjelasan rinci tentang prosescognitive debriefing, menyoroti perannya yang penting dalam mengadaptasi kuesioner untuk budaya beragam di Indonesia.

Background: Extensive research in social and psychological literature exploring reactions to physical attractiveness reveals a statistically significant impact on individuals' self-esteem and overall well-being. In aesthetic practice, the success of a procedure is primarily determined by patient satisfaction, which can only be accurately assessed by the patients themselves. This requires clinicians to consider their perspectives when evaluating procedural outcomes. FACE-Q© Aesthetics is a psychologically validated assessment tool for individuals undergoing aesthetic procedures, covering three domains: facial appearance, quality of life, and adverse effects. Translating self-administered patient questionnaires for different countries and cultures, especially in a multicultural country like Indonesia, requires careful consideration to ensure equivalence between the original and target versions. The translation of FACE-Q© Aesthetics into Indonesian emphasizes a transcultural validation process, considering variations in language comprehension and socio-cultural differences during the cognitive debriefing phase. Method: The tools were translated into Indonesian following best-practice guidelines by the International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR) and took place in four stages. During translation and discussion, emphasis was placed on ensuring equivalence between the original and the Indonesian version in four areas: semantic equivalence (maintaining meaning), idiom equivalence (adapting idiomatic expressions), empirical equivalence (using culturally relevant terms), and conceptual equivalence (ensuring consistent meanings across cultures). Cognitive debriefing interviews were conducted to assess patient understanding and cultural appropriateness of the translated questionnaire. The translation process involved 39 scales and 315 question items, underwent a strict translation–back–translation process, and included cognitive debriefing interviews among patients aged 18-75 who had aesthetic procedures by a plastic surgeon in a leading aesthetic clinic at least one-week post-procedure. The interviews aimed to ensure that the translated questionnaire is easily understood, culturally relevant, and maintains the intended meaning of the original instrument. Participants' feedback on language comprehension and socio-cultural relevance was collected and analyzed. Result: This study involved 38 participants and the interviews showed that almost all participants understood the Indonesian version of the FACE-Q© Aesthetics questionnaire, Issues encountered included grammatical problems, ambiguous meanings, multiple meanings, similar words, and unfamiliarity with subjective experiences, with minimal adjustments needed for cultural appropriateness. The patients confirmed that the questions were relevant to their aesthetic experiences and effectively captured their satisfaction with outcomes and quality of life. Key terms and phrases were adapted to suit Indonesian socio-cultural nuances, ensuring the instrument's conceptual integrity was maintained.
Conclusion: Through incorporating feedback from cognitive debriefing interviews, we have ensured that the Indonesian version of the questionnaire is culturally appropriate and ready for use in clinical practice. This article provides a detailed account of the cognitive debriefing process, highlighting its critical role in adapting the questionnaire for Indonesia's diverse culture.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library