Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Faktor budaya kerap terabaikan dalam menghadapi kebutuhan permukiman pasca bencana alam. Kealpaan ini menyebabkan banyak proyek permukiman pasca bencana dinilai tidak berhasil. Hal ini ditandai dengan ditinggalkannya rumah tinggal tersebut, seperti yang terjadi pada studi kasus permukiman pasca gempa bumi di Gediz, Turkey dan di Wolofeo, Flores, Indonesia. Sebagian masyarakat yang tetap tinggal di rumah tinggal pasca gempa tidak dapat beraktivitas seperti sebelumnya. Terlihat adanya ketimpangan-ketimpangan sehingga perkembangan budaya maupun ekonomi berjalan dengan tidak baik. Tulisan ini memperlihat pentingnya pemahaman budaya dan arsitektur vernakular masyarakat setempat sebagai preseden dalam merancang permukiman pasca bencana alam. Tujuan dari tulisan ini adalah memaparkan bagaimana faktor budaya dapat berperan dalam perancangan permukiman pasca bencana alam."
720 JIA 5:2 (2008)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Defiantoro
"Whistleblowing di sektor publik, walaupun berisiko, sangat krusial bagi akuntabilitas karena meningkatkan persepsi risiko terdeteksi bagi pelaku pelanggaran. Studi ini menyelidiki faktor-faktor penentu yang mempengaruhi niat whistleblowing, peran moderasi dari dukungan organisasi, dan pendekatan kelembagaan potensial untuk meningkatkan sistem whistleblowing. Kami membangun model PLS-SEM yang menggabungkan faktor-faktor situasional, individual, dan kultural tertentu untuk mengevaluasi niat whistleblowing. Faktor-faktor yang diperiksa meliputi keseriusan pelanggaran, posisi kuasa pelaku pelanggaran, locus of control, persepsi individualisme-kolektivisme, kecenderungan untuk melaporkan pelanggaran, persepsi kompleksitas sosial, dan persepsi keketatan budaya. Temuan kami mengungkapkan bahwa efek langsung dari keseriusan pelanggaran, kompleksitas sosial, keketatan budaya, dan kolektivisme terhadap niat whistleblowing tidak signifikan. Namun, semua faktor yang diperiksa menunjukkan efek total yang signifikan (p<0,05), dengan hasil f-test R² sebesar 0,555 untuk pelaporan internal dan 0,500 untuk pelaporan eksternal, dengan dukungan organisasi berperan sebagai moderator yang signifikan.
Untuk meningkatkan efektivitas whistleblowing di Indonesia, otoritas disarankan untuk mereformasi secara komprehensif agar memperkuat dukungan hukum, administratif, finansial, dan kultural, memastikan perlindungan dan insentif yang kuat bagi whistleblower. Mengembangkan kerangka institusional dan mengombinasikan regulasi formal dengan praktik budaya kerja, dengan menetapkan standar yang jelas, adaptif, dan dapat ditegakkan akan melindungi whistleblower dan mendorong pelaporan yang etis. Kerangka ini harus menyeimbangkan kerangka hukum dengan dinamika budaya, menciptakan lingkungan yang memprioritaskan transparansi, akuntabilitas, dan integritas. Kepemimpinan etis menjadi aspek kunci dalam mempromosikan kebijakan yang mendorong perilaku etis dan mengintegrasikan whistleblowing sebagai aspek sentral dari integritas sektor publik. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan efektivitas organisasi tetapi juga memastikan integritas etis dan transparansi, mendorong komitmen terhadap praktik etis di berbagai konteks budaya.

Whistleblowing in the public sector, while risky, is crucial for accountability as it heightens a wrongdoer's perceived risk of detection. This study investigates the determinant factors influencing whistleblowing intention, the moderating role of organizational support, and potential institutional approaches to enhance whistleblowing systems. We constructed a PLS-SEM model incorporating selected situational, individual, and cultural factors to evaluate whistleblowing intention. The factors examined include seriousness of wrongdoing, wrongdoer's power status, locus of control, perceived individualism-collectivism, propensity to blow the whistle, perceived social complexity, and perceived cultural tightness. Our findings reveal that the direct effects of seriousness of wrongdoing, social complexity, cultural tightness, and collectivism on whistleblowing intentions are insignificant. However, all examined factors demonstrated significant total effects (p<0.05), with an f-test result of R² of 0.555 for internal reporting and 0.500 for external reporting, with the organizational support serving as a significant moderator.
To enhance whistleblowing efficacy in Indonesia, authorities should implement comprehensive reforms strengthening legal, administrative, financial, and cultural supports, ensuring robust whistleblower protection and incentives. Developing institutional frameworks that merge formal regulations with cultural practices is crucial, establishing clear, adaptable, and enforceable standards that safeguard whistleblowers and encourage ethical reporting. These frameworks should balance legal mandates with cultural dynamics, fostering an environment that prioritizes transparency, accountability, and integrity. Ethical leadership is key in promoting policies that encourage ethical behaviors and integrate whistleblowing as a central aspect of public sector integrity. This approach not only enhances organizational effectiveness but also ensures ethical integrity and transparency, fostering a commitment to ethical practices across diverse cultural contexts.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifa Noor Aziza
"Latar Belakang: Prevalensi kecemasan pada mahasiswa lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor akademis, status sosioekonomi, faktor budaya, moral, psikologis, dan biologis. Tingginya tingkat kecemasan juga meningkatkan risiko terjadinya gangguan sendi temporomandibula pada mahasiswa.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kecemasan dan gangguan sendi temporomandibula pada mahasiswa, serta mengetahui hubungan antara jenis kelamin, status sosioekonomi (tingkat pendidikan orang tua dan jumlah pendapatan keluarga), dan faktor budaya (asal daerah) dengan kecemasan dan gangguan sendi temporomandibula pada mahasiswa.
Metode: Studi dengan desain cross-sectional berupa kuesioner online, yang disebarkan pada bulan November 2021 kepada mahasiswa Universitas Indonesia dengan jumlah responden 527 mahasiswa. Kuesioner yang diberikan merupakan State-Trait Anxiety Inventory yang terdiri dari 2 bagian dengan total 40 pertanyaan dan berfungsi untuk mengukur kecemasan, serta Temporomandibular Disorder Diagnostic Index (TMD-DI) yang berjumlah 8 pertanyaan dan digunakan untuk mengukur gangguan sendi temporomandibula.
Hasil Penelitian: Uji chi-square menunjukkan adanya perbedaan bermakna (p<0.05) kecemasan, baik A-State maupun A-Trait, terhadap gangguan sendi temporomandibula. Uji korelasi kendall menunjukkan kecemasan, baik A-State maupun A-Trait, memiliki korelasi bermakna yang bersifat positif dan lemah terhadap gangguan sendi temporomandibula. Uji chi-square menunjukkan adanya perbedaan bermakna (p<0.05) jenis kelamin terhadap kecemasan,baik A-State maupun A-Trait. Kemudian, uji korelasi kendall menunjukkan jenis kelamin memiliki korelasi bermakna secara statistik terhadap kecemasan. Namun, uji continuity correctionmenunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna (p 0.05) jenis kelamin terhadap gangguan sendi temporomandibula. Uji chi-square juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p 0.05) status sosioekonomi (tingkat pendidikan orang tua dan jumlah pendapatan keluarga) dan faktor budaya (asal daerah) terhadap kecemasan dan gangguan sendi temporomandibula.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara kecemasan, baik A-State maupun A-Trait, dengan gangguan sendi temporomandibula pada mahasiswa. Terdapat pula hubungan antara jenis kelamin dengan kecemasan, baik A-State maupun A-Trait, pada mahasiswa. Namun, tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan gangguan sendi temporomandibula, serta status sosioekonomi (tingkat pendidikan orang tua dan jumlah pendapatan keluarga) dan faktor budaya (asal daerah) dengan kecemasan, baik A-State maupun A-Trait, dan gangguan sendi temporomandibula pada mahasiswa.

Background: The prevalence of anxiety in college students are higher than in general population. This can be influenced by several factors, including academic, socioeconomic status, cultural, moral, and also biological factors. The high level of anxiety also increases the risk of temporomandibular disorder in college students.
Objective: This study aims to find out the association between anxiety and temporomandibular disorder, and also find out the association between gender, socioeconomic status (parental education and monthly family income), and cultural factor (origin) with anxiety and temporomandibular disorder in college students.
Methods: A cross-sectional study using online questionnaire of 527 students from University of Indonesia, that conducted on November 2021. There are two given questionnaires, State-Trait Anxiety Inventory that consisted of two part and 40 questions in total to assess anxiety, and Temporomandibular Disorder Diagnostic Index that consisted of 8 questions tao assess temporomandibular disorder.
Result: The chi-square test showed that there was a statistically significant difference (p<0.05) of temporomandibular disorder based on anxiety, either A-State or A-Trait. The kendall correlation test showed that temporomandibular disorder, have positive and weak statistically significant correlation to anxiety, either A-State or A-Trait. The chi-square test showed that there was a statistically significant difference (p<0.05) of anxiety, either A-State or A-Trait, based on gender. The kendall correlation test also showed that gender, have positive and weak statistically significant correlation to anxiety, either A-State or A-Trait. However, the continuity correction test showed that there was no statistically significant difference (p 0.05) of temporomandibular disorder based on gender. The chi-square test also showed that there was no statistically significant difference (p 0.05) of anxiety, either A-State and A-Trait, and temporomandibular disorder based on socioeconomic status (parental education and monthly family income) and cultural factor (origin).
Conclusion: There was an association between anxiety, either A-State or A-Trait, and temporomandibular disorder, as well as gender and anxiety, either A-State or A-Trait, in college students. However, no association was found between gender and temporomandibular disorder, as well as socioeconomic status (parental education and monthly family income) and cultural factor (origin) with anxiety,either A-State or A-Trait, and temporomandibular disorder in college students.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Ihda Tartila
"Anak merupakan salah satu populasi yang terdampak dalam aspek kesehatan akibat infeksi coronavirus disease-19 (COVID-19). Meskipun angka kejadian COVID-19 pada populasi anak lebih kecil dibandingkan dengan populasi usia yang lebih tua, upaya pencegahan infeksi COVID-19 pada anak tetap perlu diperhatikan dan diusahakan. Salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah meningkatkan daya tahan tubuh untuk dapat meminimalisir risiko infeksi pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi upaya orangtua meningkatkan daya tahan tubuh anak selama pandemi COVID-19 berdasarkan kebudayaan daerah Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Penelitian menggunakan kuesioner berisi 13 item pertanyaan yang dikembangkan berdasarkan teori Culture Care Diversity and Universality oleh Leininger. Penelitian dilaksanakan dengan metode pendekatan survei secara daring yang melibatkan 106 orangtua dengan menggunakan teknik pengambilan sampel jenis non-proportional quota sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan upaya (culture care universality) melalui pendekatan faktor kekerabatan (69,8%), sosial (49,1%), kebijakan dan peraturan yang berlaku (78,3 %), pengetahuan (85,8%), dan pemanfaatan tanaman obat keluarga (65,1 %), serta terdapat variasi budaya (culture care diversity) melalui pendekatan teknologi, agama dan falsafah hidup, gaya hidup, pemanfaatan sarana atau fasilitas kesehatan, serta jenis TOGA yang digunakan dalam praktik peningkatan daya tahan tubuh anak selama pandemi berdasarkan kebudayaan berbagai daerah.

Children are one of the populations affected by health aspects due to infection with coronavirus disease-19 (COVID-19). Although the incidence of COVID-19 in the pediatric population is smaller than the older population, efforts to prevent COVID-19 infection in children still need to be considered and sought. One of the prevention efforts that can be done is to increase immunity to minimize the risk of infection in children. The research aims to identify the efforts of parents to increase their child's immunity during the COVID-19 pandemic based on the regional culture of West Sumatra, DKI Jakarta, West Java, East Kalimantan, and South Sulawesi. The study used a questionnaire containing 13 question items which were developed from the theory of Culture Care Diversity and Universality by Leininger. The research was conducted using an online survey approach involving 106 parents using a non-proportional quota sampling technique. The results showed that there were similarities in efforts (culture care universality) through the approach of kinship factors (69.8%), social (49.1%), applicable policies and regulations (78.3%), knowledge (85.8%), resistance and utilization of family medicinal plants (65.1% %), as well as the presence of culture through a variety of approaches to technology, religion and philosophy of life, lifestyle, utilization of health facilities or facilities, and type of TOGA used in the practice of increasing children’s immunity during pandemic based on regional culture."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library