Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lia Waslia
"ABSTRAK
Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan bakteri yang resisten
terhadap antibiotik methicillin dan antibiotik golongan β-laktam lainnya. MRSA adalah
patogen umum di rumah sakit dan masyarakat. Isolasi MRSA tidak mudah dilakukan
karena seringkali bercampur atau terkontaminasi dengan flora normal seperti coagulase
negative Staphylococci (CoNS) yaitu Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus
haemolyticus. Studi ini menggunakan metode fenotipik berupa pengamatan morfologi,
pengecatan Gram, Uji biokimia, serta kepekaan antibiotik sedangkan uji genotipik
(metode molekular) berupa PCR gen nuc dan mec, SCCmec typing, MLST dan
sekuensing. Subyek penelitian sebanyak 48 isolat tersimpan di Laboratorium
Bakteriologi Molekular, Lembaga Eijkman Jakarta. Diperoleh sebanyak 33 sampel
(68.75) memiliki tipe 5 ccr, 9 sampel (18.75) tipe 2 ccr dan 6 sampel (12.5 )
nontypeable. Sequence type (ST) yang dominan pada penelitian ini adalah ST239 (2-3-
1-1-4-4-3) dan merupakan strain yang multidrug resistant dominan. Pada penelitian ini
semua isolat MRSA yang berjumlah 48 isolat telah dikonfirmasi memiliki ciri-ciri
fenotipik yang sesuai, yaitu Gram positif coccus menyerupai buah anggur, hemolisis,
oksidase negatif, katalase positif dan koagulase positif. Sifat bakteri MRSA secara
genotipik mempunyai gen nuc dan gen mecA positif. Hubungan antara sifat genotipe
dan sifat fenotipe MRSA yang terlihat dalam penelitian ini adalah semua isolat MRSA
yang multidrug resistant (uji secara fenotipik) juga merupakan sequence type yang
dominan di rumah sakit (uji genotipik).

ABSTRACT
Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) is a bacterium that is resistant to
the methicillin antibiotics and other β-lactam group antibiotics. MRSA is a common
pathogen in hospitals and communities. Isolation of MRSA is not easy to do because it
is often mixed or contaminated with normal flora such as coagulase negative
Staphylococci (CoNS), namely Staphylococcus epidermidis and Staphylococcus
haemolyticus. This study used phenotypic methods in the form of morphological
observations, Gram staining, biochemical tests, and antibiotic sensitivity while
genotypic tests (molecular methods) in the form of nuc and mec PCR, SCCmec typing,
MLST and sequencing. The research subjects were 48 isolates stored in the Molecular
Bacteriology Laboratory, Eijkman Institute Jakarta. Thirty three samples (68.75) had
type 5 ccr, 9 samples (18.75) type 2 ccr and 6 samples (12.5) nontypeable. The
dominant sequence type (ST) in this study is ST239 (2-3-1-1-4-4-3) and is a multidrug
resistant dominant strain. In this study, all isolates of MRSA, total of 48 isolates, were
confirmed to have appropriate phenotypic features, which are Gram positive cocci
resembling grapes,-hemolysis, negative oxidase, positive catalase and positive
coagulase. Genotypically all isolates have positive nuc gene and mecA gene. The
relationship between genotype features and MRSA phenotype seen in this study is that
MRSA isolates that are multidrug resistant (phenotypic test) are also the dominant
sequence types in the hospital (genotypic test)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ribka Erdiana
"Penelitian terhadap Hibiscus rosa-sinensis variasi crested peach pada musim kemarau dan hujan menemukan plastisitas fenotipe, kemampuan genotipe untuk menunjukkan fenotipe yang berbeda berdasarkan lingkungannya. Plastisitas fenotipe tersebut menyebabkan karakter bunga menyerupai bunga single atau double dilihat dari perubahan stamen menjadi petal serta morfologi dan anatomi ovarium. Perubahan tersebut diduga disebabkan oleh perubahan ekspresi gen homeotik MADS-box, tepatnya gen AGAMOUS. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk menganalisis pengaruh lingkungan terhadap plastisitas fenotipe serta hubungan antara plastisitas fenotipe dan ekspresi gen AGAMOUS pada bunga tersebut. Pencatatan suhu udara dan tanah, kelembapan udara dan tanah, pH tanah, dan intensitas cahaya serta morfologi bunga dan ovarium dilakukan setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Isolasi DNA dan PCR dilakukan untuk menemukan primer optimal dalam amplifikasi gen AGAMOUS. Isolasi RNA dan RT-PCR dilakukan untuk menemukan primer yang menempel pada ekson. Hasil penelitian menunjukkan kombinasi suhu udara, kelembapan udara, dan curah hujan mempengaruhi plastisitas fenotipe bunga, berdasarkan data morfologi dan data ovarium. Amplifikasi DNA dengan primer A1, C6, dan C7 masing-masing menghasilkan satu pita dengan panjang 300 bp, 200 bp, dan 300 bp. Primer D3 menghasilkan pola pita yang unik; bunga single memiliki pita dengan panjang 550 bp dan 450 bp, sedangkan crested dan double memiliki pita tambahan dengan panjang 300 bp. Amplifikasi cDNA dengan sembilan primer yang diuji tidak menghasilkan pita yang terdeteksi. Pola pita primer D3 diduga merupakan gene duplication atau copy number variation pada gen AGAMOUS yang mungkin belum diekspresikan tetapi ada sebagai salah satu cara tumbuhan bertahan hidup di tengah perubahan iklim.

Research on Hibiscus rosa-sinensis crested peach found that changes of stamen into additional petal and ovary morphology and anatomy cause flowers to resemble single or double flowers, depending on the season. Such organ changes are assumed to be caused by MADS-box homeotic gene expression changes, specifically the AGAMOUS gene. Therefore, research was done to analyze the effects of the environment on phenotypic plasticity and analyze the relationship between phenotypic plasticity and AGAMOUS gene expression. The study was conducted by observing and linking air and soil temperature, air and soil humidity, soil pH, and light intensity with flower and ovary morphology every Monday, Wednesday, and Friday. DNA isolation and PCR were conducted to find optimal primers for amplifying AGAMOUS gene. RNA isolation and RT-PCR were conducted to find primers that attach to exons. Results found that a combination of air temperature, air humidity, and rainfall affects the phenotypic plasticity, as seen from the variations of flower and ovary morphology that occurred. DNA amplification with primers A1, C6, and C7 produced one band with a length of 300 bp, 200 bp, and 300 bp, respectively. Primer D3 produced a unique banding pattern; single flowers have bands with lengths of 550 bp and 450 bp, while crested and double flowers have an additional band with a length of 300 bp. cDNA amplification with nine primers tested did not produce detectable bands. The difference in the banding pattern produced by primer D3 is suspected to be a gene duplication or copy number variation in the AGAMOUS gene that may not have been expressed but exists as one way for plants to survive amidst climate change."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rianto Setiabudy
"Salah satu masalah penggunaan obat yang dihadapi dokter di klinik ialah ketidakseragaman respons yang diperlihatkan penderita terhadap pemberian obat. Obat dengan jenis dan dosis yang sama bila diberikan pada sekelompok penderita dengan jenis dan berat penyakit yang sama biasanya hanya memberikan efek terapi pada sebagian penderita raja. Penderita lainnya mungkin tidak memperlihatkan efek sama sekali atau mengalami efek toksik.
Variasi respons ini bukan hanya terjadi antar individu, tetapi juga terjadi antar populasi dan antar etnik (Wood & Thou, 1991; Darmanssjah & Muchtar, 1992). Dewasa ini diketahui bahwa salah satu faktor penting yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut di atas ialah adanya perbedaan kemampuan antar-individu dalam memetabolisme obat, yang mengakibatkan terjadinya perbedaan besar pada kadar obat 'steady state' dalam plasma antar individu (Vesell, 1977; Vesell, 1984a; Sjoqvist et al., 1987).
Variasi respons obat yang besar antar-individu merupakan paduan pengaruh faktor genetik dan lingkungan (penyakit, polusi, nutrisi, dll). Menurut Vesell (1977), faktor genetik mempunyai pengaruh yang lebih besar dari faktor lingkungan. Faktor genetik ini dapat dikendalikan oleh gen tunggal (monogenik) atau banyak gen (poligenik). Kemampuan individu untuk memetabolisme kebanyakan obat dikendalikan oleh banyak gen bersamaan yang menghasilkan berbagai sitokrom P450 serta enzim lainnya sehingga penyebaran kecepatan metabolismenya dalam suatu populasi hanya membentuk satu modus(unimodal).
Frekuensi distribusi kemampuan metabolisme obat dari berbagai individu dalam suatu populasi terhadap obat tertentu. A dan B masing-masing adalah distribusi unimodal dan bimodal.
Metabolisme ohat-obat tertentu seperti isoniazid, debrisokuin, S-mefenitoin dan beberapa obat lainnya dikendalikan oleh gen tunggal. Bila dibuat sebaran frekuensi kecepatan metabolisme ohat-obat ini dari suatu populasi, akan diperoleh ciri yang khas yaitu adanya distribusi dengan dua modus (bimodal). Modus yang satu menggambarkan sebaran 'rapid acetylator' (RA) atau 'extensive metabolizer' (EM), sedangkan modus lainnya meggambarkan sebaran 'slow acetylator' (SA) atau 'poor metabolizer? (PM)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
D306
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library