Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maryati
"Penumonia menjadi penyebab utama kematian balita. Penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan memberi gambaran asuhan keperawatan pada balita dengan pneumonia. Berdasarkan hasil pengkajian pada klien dengan pneumonia didapatkan tanda dan gejala demam, batuk, pilek, sesak, pernafasan cuping hidung, frekuensi pernafasan meningkat, hasil laboratorium leukositosis, serta gambaran foto thorak terkesan gambaran pneumonia. Intervensi tepid water sponge adalah salah satu tindakan mandiri perawat untuk menurunkan gejala demam. Evaluasi menunjukan bahwa tindakan tepid water sponge yang disertai dengan pemberian antipiretik adalah tindakan efektif untuk menurunkan demam pada anak. Karya ilmiah ini memberikan saran bagi perawat rumah sakit agar mengoptimalkan tindakan tepid water sponge untuk menurunkan demam pada anak dan penerapanya dapat melibatkan keluarga.

Pneumonia is to be the main cause of infant death. Final Scientific Writing nurses aims to give an overview of nursing care in children with pneumonia. Based on the results of the assessment on a client with pneumonia found the signs and symptoms of fever, cough, cold, breathless, nostril breathing, increased respiratory rate, leukocytosis laboratory results, as well as an overview of photos thoracic impressed pneumonia. Intervention tepid water sponge is one nurse independent action to reduce fever. Evaluation shown that tepid water sponge action coupled with antipyretic treatment is effective measures to reduce fever in children. This paper provided advice to nurses in order to optimize tepid water sponge action to reduce fever on children and their applicability can involve the family.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sunarso Brotosoetarno
"ABSTRAK
Demam tifoid dan paratifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman golongan Salmonella. Penyakit ini disebut pula demam enterik, tifus, dan paratifus abdomen. Paratifoid biasanya lebih ringan perjalanannya dan menunjukkan gambaran klinis yang sama seperti tifoid atau menyebabkan enteritis akut. Kedua jenis penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang penting, terutama di negara-negara yang sedang berkembang baik ditinjau dart segi epidemiologi, segi diagnosis laboratoriumnya serta kelengkapan dart laboratorium kliniknya. Hal ini berhubungan erat pula dengan keadaan sanitasi dan kebiasaan higiene yang kurang memuaskan.
Diagnosis demam tifoid ditegakkan atas dasar klinis dan ditopang oleh diagnosis laboratorium. Pemeriksaan jumlah leukosit pada penderita demam tifoid kurang dapat menyokong diagnosis kliniknya. Walaupun menurut literatur pada demam tifoid terdapat leukopenia dan limfositosis relatif, tetapi kenyataannya leukopenia tidak sering dijumpai. Pada sebagian besar kasus demam tifoid, jumlah leukosit pada darah tepi masih dalam batas-batas normal, malahan kadang-kadang terdapat leukositosis walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu, pemeriksaan jumlah leukosit kurang dapat menyokong diagnosis klinis demam tifoid.
Sejak ditemukannya uji serologi Widal lebih kurang 80 tahun yang lalu, uji ini mempunyai nilai diagnostik yang tinggi dan masih luas dipergunakan di negara-negara yang sedang berkembang. Uji serologi ini didasarkan atas pemeriksaan adanya antibody dalam serum penderita akibat infeksi oleh kuman Salmonella. Tetapi akhir-akhir ini kegunaan uji serologi Widal masih banyak diperdebatkan oleh para ahli. Hal ini disebabkan adanya berbagai faktor yang dapat mempengaruhi hasil uji Widal, antara lain : keadaan gizi penderita, nengobatan dengan antibiotika, pernah mendapat vaksinasi Typhus Paratyphus A-Paratyphus B ( TAB ) atau infeksi sebelumnya, saat pengambilan darah, dan sebagainya.
Dalam upaya untuk meningkatken perawatan penderita tersangka demam tifoid diperlukan suatu hasil pemeriksaan laboratorium sedini mungkin, untuk menyokong penegakkan diagno sis klinisnya. Adapun jenis pemeriksaan laboratorium yang dapat lebih menyokong diagnosis klinis demam tifoid adalah menemukan kuman Salmonella dengan cara mengisolasikannya dari darah, urin, tinja atau cairan badan lainnya. Frekuensi dapat ditemukannya kuman dari darah, urin, tinja ataupun cairan badan lainnya berhubungan dengan patogenesis penyakit. Pada permulaan penyakit lebih mudah ditemukan kuman dalam darah, baru pada stadium selanjutnya dalam tinja, kemudian dalam urin?
"
1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Hartati
"ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut tanpa sebab yang jelas disertai bintik-bintik merah pada kulit. Karya ilmiah ini membahas asuhan keperawatan yang diberikan pada anak dengan kasus demam berdarah dengue di Teratai 3 Selatan RSUP Fatmawati. Karya ilmiah ini bertujuan untuk menggambarkan asuhan keperawatan anak dengan DBD. Salah satu masalah keperawatan yang terjadi adalah hipertermia. Tindakan keperawatan terkait hipertermia meliputi monitor suhu, peningkatan asupan cairan, penggunaan pakaian yang tipis dan menyerap keringat, tepid sponge dan kolaborasi pemberian antipiretik. Asuhan keperawatan yang diberikan berupa tepid sponge dan pemberian antipiretik untuk membantu menurunkan demam pada anak. Hasil yang didapat anak mengalami penurunan suhu tubuh sebesar rata-rata 1,1ºC setelah 30 menit pemberian tepid sponge yang disertai dengan pemberian antipiretik. Tepid sponge dapat menambah keterampilan perawat dalam menurunkan demam pada anak secara nonfarmakologis. Kata kunci: Demam berdarah dengue, hipertermia, tepid sponge.ABSTRACT Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) are acute febrile illness with no obvious cause red spot on the skin. This paper discussed the nursing care given to children in Fatmawati?s Hospital with dengue hemorrhagic fever (DHF) cases. The purpose of paper is to describe the nursing care o the children with DHF. One problem that occurs is nursing a fever. Fever related to nursing actions include monitoring the temperature, increased fluid intake, use of thin clothes and absorbs perspiration, tepid sponge and collaboration antipyretic administration. Nursing care is given in the form of tepid sponge and antipyretic administration to help reduce fever in children. Having obtained a description of intervention, children decreased body temperature after 30 minutes of administration 1,1°C of tepid sponge with combined of antipyretic administration. Tepid sponge can increase the skills of nurses in reducing fever in children.;Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) are acute febrile illness with no obvious cause red spot on the skin. This paper discussed the nursing care given to children in Fatmawati?s Hospital with dengue hemorrhagic fever (DHF) cases. The purpose of paper is to describe the nursing care o the children with DHF. One problem that occurs is nursing a fever. Fever related to nursing actions include monitoring the temperature, increased fluid intake, use of thin clothes and absorbs perspiration, tepid sponge and collaboration antipyretic administration. Nursing care is given in the form of tepid sponge and antipyretic administration to help reduce fever in children. Having obtained a description of intervention, children decreased body temperature after 30 minutes of administration 1,1°C of tepid sponge with combined of antipyretic administration. Tepid sponge can increase the skills of nurses in reducing fever in children.;Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) are acute febrile illness with no obvious cause red spot on the skin. This paper discussed the nursing care given to children in Fatmawati?s Hospital with dengue hemorrhagic fever (DHF) cases. The purpose of paper is to describe the nursing care o the children with DHF. One problem that occurs is nursing a fever. Fever related to nursing actions include monitoring the temperature, increased fluid intake, use of thin clothes and absorbs perspiration, tepid sponge and collaboration antipyretic administration. Nursing care is given in the form of tepid sponge and antipyretic administration to help reduce fever in children. Having obtained a description of intervention, children decreased body temperature after 30 minutes of administration 1,1°C of tepid sponge with combined of antipyretic administration. Tepid sponge can increase the skills of nurses in reducing fever in children.;Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) are acute febrile illness with no obvious cause red spot on the skin. This paper discussed the nursing care given to children in Fatmawati?s Hospital with dengue hemorrhagic fever (DHF) cases. The purpose of paper is to describe the nursing care o the children with DHF. One problem that occurs is nursing a fever. Fever related to nursing actions include monitoring the temperature, increased fluid intake, use of thin clothes and absorbs perspiration, tepid sponge and collaboration antipyretic administration. Nursing care is given in the form of tepid sponge and antipyretic administration to help reduce fever in children. Having obtained a description of intervention, children decreased body temperature after 30 minutes of administration 1,1°C of tepid sponge with combined of antipyretic administration. Tepid sponge can increase the skills of nurses in reducing fever in children."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adityo Susilo
"ABSTRAK
Latar Belakang : Demam berdarah dengue (DBD) dicirikan dengan terdapatnya kebocoran plasma yang signifikan. Sejauh ini metode yang tersedia untuk menilai kondisi tersebut dengan pemeriksaan serial hematokrit, USG, dan kadar albumin darah, yang pada kenyataannya masih sulit untuk menilai kebocoran plasma secara dini. Kebocoran plasma yang terjadi sejak fase awal dapat menimbulkan gangguan mikrosirkulasi, hipoperfusi jaringan, dan berakibat asidosis yang ditandai dengan penurunan kadar bikarbonat (HCO3-) dan base excess (BE) darah.
Tujuan : Mengevaluasi peran bikarbonat dan base excess vena sebagai prediktor dan deteksi terjadinya kebocoran plasma pada pasien DBD saat akhir fase akut dan fase kritis.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif untuk menilai perbedaan rerata kadar bikarbonat dan BE vena pada pasien DBD dan DD (demam dengue) pada akhir fase akut dan fase kritis. Data yang diolah berdasarkan data rekam medis dan data penelitian sebelumnya pada pasien yang dirawat dengan diagnosis demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) di bangsal Penyakit Dalam RSUP Persahabatan dan RSUPN Cipto Mangunkusumo dari Maret 2014 sampai April 2015.
Hasil : Dari 66 sampel, proporsi pasien pria lebih banyak yang dengan diagnosis DBD (59,4%), dengan kelompok usia 21-30 tahun merupakan yang terbanyak (p > 0,05). Rerata kadar BE lebih rendah pada pasien DBD dibandingkan DD pada hari ke-3 (p 0,014) dan hari ke-5 (p 0,005). Rerata bikarbonat juga diperoleh lebih rendah pada kelompok DBD dibandingkan DD pada hari ke-3 (p 0,004) dan hari ke-5 (p 0,003).
Simpulan : Rerata bikarbonat dan base excess vena lebih rendah pada pasien DBD dibandingkan DD pada akhir fase akut dan fase kritis dan dapat membantu untuk memprediksi dan mendeteksi terjadinya kebocoran plasma pada dengue.

ABSTRACT
Background: Dengue infection tends to cause plasma leakage. Serial hematocrit, USG, and serum albumin are methods used for monitoring dengue infection. Yet, those methods are still lack in detecting early plasma leakage. It is important to determine plasma leakage, thus early management and monitoring could be conducted before severe stage. Plasma leakage occurs at acute phase of infection and causes microcirculation disturbance, tissue hypoperfusion, and acidosis based on reduction of bicarbonate and base excess.
Objective: To evaluate the role of vein bicarbonate and base excess in predicting and detecting plasma leakage in adult patients with dengue infection during end stage of acute phase and critical phase.
Methods: It is a cohort retrospective study to evaluate the mean difference of vein bicarbonate and base excess during the end stage of acute phase and critical phase, between dengue hemorrhagic fever (DHF) and dengue fever (DF) groups. The data being used, derived from medical record and previous study of hospitalized patients diagnosed with DF and DHF in Internal Medicine Ward RSUP Persahabatan and RSUPN Cipto Mangunkusumo from March 2014 until April 2015.
Results: From 66 samples, there was higher number of male patients with DHF (59.4 %) and most of them was in age group 21-30 years (p > 0.05). In DHF group, mean of hematocrit was higher compared to DF group at the end of prodromal phase (p 0.059), then tended to reduce at acute phase (p 0.308). Mean of thrombocyte ( p < 0.05) in DHF group were lower at the end of prodromal phase and critical phase than in DF group. Most of the serotype found was DENV2 (30.3 %). Mean of BE on the 3rd day (p 0.014) and 5th day (p 0.005) of fever was lower in DHF group than DF group. Mean of bicarbonate on the 3rd day (p 0.004) and 5th day (p 0.003) of fever was also lower in DHF vs DF groups.
Conclusion: Mean of vein bicarbonate and base excess was lower in DHF group compared to DF group at the end of prodromal phase and critical phase. Moreover, bicarbonate and base excess can be used for predicting and detecting plasma leakage in dengue infection."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbantobing, S.M.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
617.22 LUM k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ambar Wahdini
"Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan Indonesia, hal ini tampak dari kenyataan yang ada dan terjadinya KLB DBD pada tahun 2004. DKI Jakarta merupakan daerah endemis bagi penyakit Demam Berdarah. Selalu terjadi peningkatan kasus tiap tahunnya untuk penyakit DBD di DKI Jakarta yakni 114.656 penderita pada tahun 2006 menjadi 124.811 penderita di penghujung tahun 2007. Namun berdasarkan data yang diperoleh dari Dinkes Propinsi DKI Jakarta diketahui bahwa ada satu wilayah yang memiliki jumlah kasus terendah pada tahun 2006 hingga Februari 2008 bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Wilayah tersebut adalah Jakarta Pusat dengan jumlah jumlah angka kesakitan pada tahun 2006 sebesar 3150 kasus. Untuk tahun 2007 jumlah kasusnya hanya mencapai 3849 kasus. Sedangkan pada tahun 2008 hanya sampai bulan Februari jumlahnya sebesar 447 kasus. Puskesmas sebagai unit pelaksana kegiatan program maka penting untuk melihat bagaimana pelaksanaan kegiatan program P2DBD di Puskesmas Kecamatan Tanah Abang yang memiliki jumlah kasus yang rendah dalam tiga tahun terakhir agar dapat dijadikan contoh bagi wilayah lain yang jumlah kasusnya selalu meningkat. Berdasarkan latar belakang di atas, maka diperlukan penelitian berupa gambaran pelaksanaan kegiatan program P2DBD tahun 2007.
Kegiatan P2DBD terdiri dari penyuluhan, PSN, PJB, PE dan pengasapan. Penyuluhan berkaitan dengan DBD lebih sering dilakukan oleh jumantik saat kegiatan PSN. Kegiatan PSN yang harus dilakukan oleh warga masih belum dilaksanakan secara serentak. Hanya wilayah yang akan dilakukan pengawasan saja yang melakukan PSN. Namun tingginya semangat kerja dari petugas puskesmas dan jumantik menyebabkan pelaksanaan PSN dapat berjalan dengan baik. Kegiatan PJB dilakukan oleh jumantik berbarengan dengan kegiatan PSN yaitu setiap Jumat mulai pukul 09.00 hingga selesai. Jika ada kasus yang dilaporkan ke Puskesmas Kecamatan Tanah Abang maka petugas akan menghubungi jumantik untuk melakukan PE saat itu juga. Kegiatan PE tidak hanya mengunjungi rumah penderita saja namun juga 20 rumah di sekitarnya untuk diperiksa jentik dan penderita panas lainnya.
Dari hasil PE yang berstatus positif maka akan ditindaklanjuti dengan pengasapan. Sebelum pengasapan dilakukan, koordinator menginformasikan pada RW dan RT setempat bahwa wilayahnya akan dilakukan pengasapan. Cakupan ABJ di Puskesmas Kecamatan Tanah Abang telah memenuhi standard (≥ 95%) yaitu 99,7% pada tahun 2007 dan 98,6% untuk tahun 2008. Sedangkan untuk kegiatan PE, respon time yang dilakukan puskesmas kecamatan selalu memenuhi 1x24 jam kecuali jika ada laporan di hari sabtu atau minggu. Darr i247 kasus hanya dilakukan PE sebanyak 242 kasus. Untuk kegiatan fogging, jarak waktu antara pelaporan hasil PE (+) dengan pelaksanaan fogging adalah 2 hari. Dari 242 kasus yang dilakukan PE hanya 137 yang berstatus PE (+) dan dilakukan pengasapan. Namun yang berhasil difogging 2 siklus hanya sebesar 197 sikus dari yang seharusnya 274 siklus.
Adapun saran untuk PKM Tanah Abang diantaranya adalah mengadakan pelatihan baik untuk petugas puskesmas maupun jumantik agar dapat meningkatkan kualifikasi yang dimilikinya; dan menambah pengadaan untuk sarana yang sudah tidak nummdapat digunakan serta pemeliharaan untuk sarana yang masih dapat diperbaiki. Selain itu pihak puskesmas kelurahan juga harus memperbaharui sistem pelaporan yang mewajibkan jumantik untuk melaporkan kegiatan ke PKL kemudian ke PKM; serta meningkatkan koordinasi dengan PKM dan Kelurahan dalam hal pengawasan setiap kegiatan P2DBD. Sedangkan untuk pihak kelurahan harus meningkatkan koordinasi dengan RW dan RT serta puskesmas dalam hal pengawasan kegiatan P2DBD; meningkatkan sosialisasi kepada warga berkaitan dengan kegiatan P2DBD; serta mengadakan kegiatan yang dapat melibatkan kerjasama warga dan petugas puskesmas untuk ikut mensukseskan P2DBD seperti lomba pencarian jentik antar Kelurahan."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Szekely, Ladislao
Singapore: Oxford University Press, 1984
959.81 SZE t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbantobing, S.M.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
617.22 Lum k (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hamdan Yuwaafii
"Saat ini pemberantasan vektor di tekankan pada pemberantasan biologis antara lain menggunakan Bacillus thuringiensis israelensis (Bti) untuk menghindari efek samping larvasida. Penggunaan Bti dalam memberantas vektor demam berdarah dengue (DBD), yaitu Ae. aegypti, masih dalam tahap laboratorium sehingga penelitian mengenai efektivitas Bti di lapangan perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas Bti dalam pemberantasan Ae. aegypti di Kelurahan Cempaka Putih Barat, sebagai salah satu kelurahan dengan insidens DBD yang tinggi.
Penelitian ini menggunakan desain eksperimental dengan single-larval method. Data diambil pada tanggal 28 Maret dan 25 April 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa house index (HI) menurun dari 19% menjadi 10%, container index (CI) menurun dari 10,32% menjadi 4,37%, breteau index (BI) menurun dari 26 menjadi 11. Berdasarkan uji McNemar diketahui bahwa penurunan tersebut bermakna, namun tidak dapat dikatakan bahwa Bti efektif memberantas Ae. aegypti, karena tidak semua container mendapatkan Bti. Jumlah container positif dari seluruh container yang mendapatkan Bti mengalami penurunan setelah pemberian Bti namun tidak bermakna. Disimpulkan bahwa Bti tidak efektif dalam memberantas Ae. aegypti di Kelurahan Cempaka Putih Barat.

Nowadays, vector control is emphasized to biological agent like Bacillus thuringiensis israelensis (Bti) to avoid negative effect of insecticide. The using of Bti to control dengue hemorrhagic fever's (DHF) vector, Ae. aegypti, has only been conducted in laboratorium, so further research on the effectiveness of Bti to control Ae. aegypti in the domestic environment is needed. The aim of this study was to test the effectiveness of Bti in controlling Ae. aegypti in Kelurahan Cempaka Putih Barat, one of the district with highest DHF incidence in Jakarta.
This method of this is experimental design using single-larval method. The data was collected on March 28th 2010 and April 25th 2010. The result showed that house index (HI) decreased from 19% to 10%, container index (CI) decreased from 10,32% to 4,37%, and breteau index (BI) decreased from 26 to 11. According to the McNemar test, this result was stastically significant, but it does not show that Bti is effective in controlling Ae. aegypti because there are some containers that did not get Bti. The number of positif containers from all containers that got Bti slightly decreased after treatment, but it is not significant. In conclusion, Bti is not effective in controlling Ae. aegypti in Kelurahan Cempaka Putih Barat."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sorayah Agustini
"[ABSTRAK
Latar belakang Demam merupakan salah satu KIPI tersering terutama pascavaksinasi DTwP Bayi yang mendapat ASI eksklusif memperoleh faktor antiinflamasi dan imunomodulator dari ASI yang secara teoritis dapat menurunkan risiko demam pascavaksinasi namun belum ada penelitan di Indonesia yang menghubungkan pemberian ASI dengan kejadian demam pascavaksinasi Tujuan Membandingkan kejadian demam pascavaksinasi DTwP Hep B Hib antara bayi yang mendapat ASI eksklusif dan susu formula Metode Penelitian potong lintang pada bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat vaksinasi DTwP Hep B Hib di Puskesmas di daerah Jakarta Utara dan Jakarta Timur pada bulan Juli September 2015 Hasil Subyek penelitian ini terdiri atas 65 subyek kelompok ASI eksklusif dan 68 kelompok susu formula Median usia kedua kelompok 3 bulan sebagian besar mendapat DTP pertama dan memiliki status gizi baik Terdapat perbedaan proporsi demam antara kelompok ASI eksklusif dan susu formula yaitu 27 dan 45 p 0 045 Bayi yang mendapat ASI memiliki risiko demam lebih rendah 0 59 kali IK 95 0 37 0 96 dibanding susu formula Median awitan demam kelompok ASI dan susu formula masing masing 6 jam p 0 829 sedangkan median lama demam kelompok ASI 7 jam dan susu formula 6 jam p 0 947 Rerata suhu tertinggi kelompok ASI 37 50C dan susu formula 37 80C p 0 165 Sebagian besar subyek demam pada suhu 38 0 38 50C 72 pada kelompok ASI dan 66 kelompok susu formula p 0 97 Simpulan Proporsi demam pascavaksinasi DTwP Hep B Hib pada bayi yang mendapat ASI eksklusif lebih rendah dibanding susu formula Tidak terdapat perbedaan bermakna awitan lama demam dan suhu tertinggi pascavaksinasi antara kelompok ASI dan susu formula ABSTRACT Background Fever is one of the most common adverse events following vaccination especially DTwP vaccine Babies who are exclusively breastfed received anti inflammatory factors and immunomodulator consisted in breastmilk which theoretically can reduce the risk of fever after vaccination There is no research in Indonesia concerning breastfeeding in association with post vaccination fever Objective To compare the fever following DTwP HepB Hib vaccine between exclusively breast fed and formula fed infants Methods A cross sectional study in infants younger than 6 months who received DTwP Hep B Hib vaccinations in North Jakarta and East Jakarta primary health care in July September 2015 Results The subjects consisted of 65 exclusively breast fed infants and 68 formula fed infants The median age of both groups were 3 months most of them received the first DTP vaccines and had good nutritional status There were differences in the proportion of fever among infants who were being exclusively breast fed and formula fed 27 and 45 respectively p 0 045 The relative risk for fever among infants who were exclusively breastfed was 0 59 95 CI 0 37 0 96 Median onset of fever for each groups was 6 hours p 0 829 whereas the median duration of fever for exclusively breast fed infants was 7 hours and formula fed infants was 6 hours p 0 947 The peak of mean temperature for breast fed and formula fed infants was 37 50C and 37 80C respectively p 0 165 Most subjects experienced fever at 38 0 38 50C 72 in the breast fed groups and 66 in the formula fed groups p 0 97 Conclusions The proportion of fever following DTwP Hep B Hib vaccine in breast fed infants is lower than formula fed infants There were no significant differences in onset duration of fever and highest temperature after vaccination between exclusively breast fed and formula fed infants ;Background Fever is one of the most common adverse events following vaccination especially DTwP vaccine Babies who are exclusively breastfed received anti inflammatory factors and immunomodulator consisted in breastmilk which theoretically can reduce the risk of fever after vaccination There is no research in Indonesia concerning breastfeeding in association with post vaccination fever Objective To compare the fever following DTwP HepB Hib vaccine between exclusively breast fed and formula fed infants Methods A cross sectional study in infants younger than 6 months who received DTwP Hep B Hib vaccinations in North Jakarta and East Jakarta primary health care in July September 2015 Results The subjects consisted of 65 exclusively breast fed infants and 68 formula fed infants The median age of both groups were 3 months most of them received the first DTP vaccines and had good nutritional status There were differences in the proportion of fever among infants who were being exclusively breast fed and formula fed 27 and 45 respectively p 0 045 The relative risk for fever among infants who were exclusively breastfed was 0 59 95 CI 0 37 0 96 Median onset of fever for each groups was 6 hours p 0 829 whereas the median duration of fever for exclusively breast fed infants was 7 hours and formula fed infants was 6 hours p 0 947 The peak of mean temperature for breast fed and formula fed infants was 37 50C and 37 80C respectively p 0 165 Most subjects experienced fever at 38 0 38 50C 72 in the breast fed groups and 66 in the formula fed groups p 0 97 Conclusions The proportion of fever following DTwP Hep B Hib vaccine in breast fed infants is lower than formula fed infants There were no significant differences in onset duration of fever and highest temperature after vaccination between exclusively breast fed and formula fed infants , Background Fever is one of the most common adverse events following vaccination especially DTwP vaccine Babies who are exclusively breastfed received anti inflammatory factors and immunomodulator consisted in breastmilk which theoretically can reduce the risk of fever after vaccination There is no research in Indonesia concerning breastfeeding in association with post vaccination fever Objective To compare the fever following DTwP HepB Hib vaccine between exclusively breast fed and formula fed infants Methods A cross sectional study in infants younger than 6 months who received DTwP Hep B Hib vaccinations in North Jakarta and East Jakarta primary health care in July September 2015 Results The subjects consisted of 65 exclusively breast fed infants and 68 formula fed infants The median age of both groups were 3 months most of them received the first DTP vaccines and had good nutritional status There were differences in the proportion of fever among infants who were being exclusively breast fed and formula fed 27 and 45 respectively p 0 045 The relative risk for fever among infants who were exclusively breastfed was 0 59 95 CI 0 37 0 96 Median onset of fever for each groups was 6 hours p 0 829 whereas the median duration of fever for exclusively breast fed infants was 7 hours and formula fed infants was 6 hours p 0 947 The peak of mean temperature for breast fed and formula fed infants was 37 50C and 37 80C respectively p 0 165 Most subjects experienced fever at 38 0 38 50C 72 in the breast fed groups and 66 in the formula fed groups p 0 97 Conclusions The proportion of fever following DTwP Hep B Hib vaccine in breast fed infants is lower than formula fed infants There were no significant differences in onset duration of fever and highest temperature after vaccination between exclusively breast fed and formula fed infants ]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>