Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Taniawati Supali
"Filariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oieh cacing filaria pad pembuluh dan kelenjar limfe, dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Gejala klinik akut berupa demam beruiang, peradangan saluran atau kelenjar limfe, oedema dan gejala kronis berupa elefantiasis. Penyakit ini menyerang kelompok masyarakat yang aktif bekerja di daerah pedesaan sehingga dapat menurunkan produktivitas ekonomi suatu komunitas.
Di Indonesia lebiii dari 20 juta penduduk tinggal di daerah endemis filariasis dan kira-kira 3-4 juta dari jumlah tersebut terinfeksi filariasis (Partono & Bintari, 1989). Dan ke-3 spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia, Brugia malayi mempunyai penyebaran yang paling luas di Indonesia.
Program pengendalian filariasis telah dilakukan pemerintah sejak tahun 1970, melalui pemberian DEC secara massal pads penduduk yang tinggal di daerah endemis. Ada beberapa kendala dalam memantau keberhasilan program tersebut, yaitu: (I) Keengganan penduduk diambil darah malam berulang-ulang (2) Mahalnya biaya operasional pengambilan darah malam, dan (3) Pemeriksaan entomologis konvensional melalui pembedahan nyamuk langsung di bawah mikroskop di lapangan tidak dapat membedakan spesies larva parasit, terutama di daerah B. malayi terdapat bersamaan dengan parasit filaria hewan B. pahangi.
Dengan menggunakan bioteknologi telah dikembangkan pelacak DNA yang ditandai molekul radioaktif untuk parasit B. malayi (Piessens dkk., 1987), tetapi pelacak DNA radioaktif tersebut mahal, waktu parch pendek, perlu latihan khusus untuk pemakaiannya, perlu pembuangan khusus dan berbahaya bagi pemakainya.
Akhir-akhir ini telah dikembangkan pelacak DNA yang ditandai molekul nonradioaktif, tetapi pelacak DNA non-radioaktif ini kurang sensitif dibandingkan dengan pelacak DNA radioaktif. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah mengembangkan pelacak DNA B. malayi non-radioaktif yang spesifik dan sensitif pada tes dot blot dan dapat digunakan sebagai alat pemantau secara entomologis pada program pengendalian filariasis B. malayi di daerah-daerah endemis di Indonesia. Ada 7 persyaratan yang harus dipenuhi sebelum pelacak DNA digunakan sebagai alat pemantau, yaitu: (1) Harus dapat dihasilkan dalam jumlah yang tidak terbatas dengan waktu yang relatif singkat di Indonesia, (2) Harus stabil dalam kurun waktu lama, (3) Harus spesifik dan sensitif untuk parasit B. malayi, (4) Harus dapat bereaksi dengan B. malayi di Indonesia, (5) Harus sensitif untuk mendeteksi I larva infektif B. malayi dalam nyamuk, (6) Tes dot blot harus dapat diulang, dan (7) Tes dot blot harus mudah dilakukan.
Sikuensing DNA berulang B. malayi dari beberapa daerah di Indonesia telah dilakukan sebelum menentukan sikuen pelacak DNA B. malayi barn. Tiga strain B. malayi dari Indonesia, yaitu B. malayi strain Kendari (zoofilik subperiodik), B. malayi strain Bengkulu (zoofilik subperiodik), dan B. malayi strain Buton (antrofilik) telah dianalisis hasil sikuen DNA berulangnya dengan komputer untuk mendapatkan suatu konsensus sikuen DNA berulang B. malayi Indonesia.

Filariasis is a disease resulting from an infection with a nematode parasite in lymph vessels and lymph nodes, and is transmitted by mosquito bites. The acute clinical manisfestations of lymphatic filariasis are characterized by fever, lymphadenitis, retrograde lymphangitis, oedema and the chronic clinical manisfestation is characterized by elephantiasis. The disease is predominantly affecting the young and the active working people in rural and slum areas, therefore it will decrease the economic productivity of the community significantly.
More than 20 million people live in endemic areas and approximately 3-4 million are currently infected. From the three species of parasites infecting man, drug malayi is the major and is widely distributed throughout the Indonesian islands.
Filariasis control program has been launched by the government since 1970, however, it met the following constraints in monitoring the progress of control program, (I) Poor participation in night blood collection from the people, (2) High costs of surveillance, and (3) Inappropriate technology in conventional entomological assessment to distinguish the infective larvae in vector mosquitoes.
In the last few years, new techniques for entomological assessment were explored using biotechnology. A radioactive B. malayi DNA probe was developed (Piessens et al., 1987) The radioactive labelled DNA probes are not suitable for field use because they are expensive, they have a short shelf life, and special training for handling the probes is imperative. Besides, laboratories arrangements for safe disposal are necessary.
Recently, non-radioactive labelled DNA probes have been developed but these probes were less sensitive compared to the radioactive labelled probes. Therefore, the objective of this experiment is to develop a new non-radioactive B. malayi DNA probe, which has more advantages than the conventional radiolabelled DNA probe, is specific and sensitive in a dot blot assay as a tool in entomological assessment for monitoring the progress of the filar ias i s control program in B. malayi infected areas of Indonesia. There are 7 requirements to be fulfilled before the probe can be widely used, such as:
1. The probe should be produced in a sufficient quantity in a relatively short period in Indonesia.
2. The probe should be stable.
3. The probe should he specific and sensitive for B. malayi parasite.
4. The probe should be able to hybridize with the Indonesian B. malayi strains.
5. The probe should be sensitive enough to detect 1 L3 in mosquitoes.
6. The dot blot assay should be reproducible.
7. The dot blot assay should be simple.
A new 25-mer (25 nucleotides) B. malayi DNA probe was designed by-comparing the consensus sequences of B. malayi to B. pahangi. In order to produce the probe in Indonesia, it needs to be cloned in the plasmid DNA (plasmid bluescript). However, it was found that the probe is too small to be an effective probe in a vector DNA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
D348
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suherni
"Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Pengobatan massal filariasis merupakan salah satu pilar program eliminasi filariasis yang bertujuan untuk memutuskan rantai penularan filariasis sehingga terjadi pengurangan drastis mikrofilaria dalam darah tepi dan dengan demikian mengurangi potensi penularan oleh nyamuk. Dalam pelaksanaan pengobatan massal filariasis di daerah endemis filariasis, obat filariasis dibagikan secara cuma-cuma kepada masyarakat. Namun demikian masih ada saja masyarakat yang menolak untuk minum obat filariasis. Belum diketahuinya faktor yang mempengaruhi perilaku minum obat filariasis merupakan perumusan masalah penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui gambaran perilaku minum obat filariasis serta mengetahui beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan perilaku minum obat filariasis di Kabupaten Subang, Jawa Barat tahun 2007. Rancangan penelitian mengunakan studi cross sectional dengan metode cluster sampling yang diadopsi dari EPI WHO menggunakan data primer. Besar sampel sebanyak 264 responden. Penelitian ini dilakukan pada bulan April - Juli 2008 di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Penduduk di Kabupaten Subang, Jawa Barat yang berusia di atas 14 tahun dan merupakan kelompok sasaran pengobatan massal filariasis dipilih sebagai populasi studi.
Rata-rata umur responden adalah 38,32 tahun, dengan sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan (79,2%). Responden sebagian besar bersuku sunda (91,7%), 83% responden berpendidikan rendah, 55,3% responden tidak bekerja dan 67,4% responden memiliki pengetahuan yang kurang tentang filariasis. Sebanyak 98,5% responden menerima obat filariasis dengan pendistribusian obat filariasis melalui pendekatan pos pengobatan massal (47,7%) dan pendekatan datang ke rumah (47,7%). Sebanyak 78,4% responden mengatakan di daerahnya tersedia TPE filariasis. 57,2% responden tidak dikontrol petugas pemberi obat filariasis. Responden yang menerima sosialisasi pengobatan massal filariasis sebanyak 99,6% dan sebagian besar responden menerima sosialisasi pengobatan massal filariasis melalui komunikasi interpersonal (55,9%).
Faktor risiko penentu yang berhubungan dengan perilaku minum obat filariasis adalah pendistribusian obat filariasis dan jenis sosialisasi pengobatan massal filariasis. Responden yang memperoleh obat melalui pendekatan selain rumah ke rumah (puskesmas, pos pengobatan, pengajian) berisiko untuk tidak minum obat filariasis 0,26 kali dibanding responden yang memperoleh obat filariasis melalui pendekatan rumah ke rumah, OR = 0,26 (95% CI : 0,07 - 0,98). Responden yang memperoleh sosialisasi pengobatan massal filariasis melalui selain komunikasi intepersonal (penyuluhan massal, media cetak) berisiko untuk tidak minum obat filariasis 0,1 kali dibanding responden yang memperoleh sosialisasi pengobatan massal filariasis melalui komunikasi intepersonal, OR = 0,1 (95% CI : 0,01 - 0,07).
Kesimpulan: Variabel pendistribusian obat filariasis dan jenis sosialisasi pengobatan massal filariasis merupakan faktor risiko utama yang mempengaruhi perilaku minum obat filariasis. Saran: Perlu dilakukan penyegaran pelatihan kepada Tenaga Pelaksana Eliminasi (TPE) filariasis dan melakukan sosialisasi pengenalan pengobatan massal filariasis kepada masyarakat serta melakukan penelitian lebih lanjut tentang perilaku minum obat filariasis dengan menggunakan besar sampel yang lebih besar dan desain penelitian yang lebih baik."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Sutrisno
"Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Diperkirakan penyakit tersebut menginfeksi sekitar 120 juta penduduk di 80 negara. Berdasarkan hasil survei cepat (Rapid Mapping) Filariasis tahun 2000 menunjukkan jumlah kasus kronis sebesar 6.500 orang tersebar di 1.553 desa. 674 puskesmas dan 231 Kabupaten/Kota- Microfilaria Rate (Mf. Rate) : 3.1 % (Ditjen PPM-PL. 2001). angka ini jauh lebih tinggi dari standar Mf. rate < 1 %. Deegan Mf. Rate 3,1 berarti penularan masih terus berlangsung (WHO. 2000). Di Kabupaten Bekasi sampai dengan September 2003 ditemukan 61 kasus klinis dan Mf. Positif 155 orang di 13 kecamatan dari 23 kecamatan dengan Mf. Rate rata-rata 1.30 %, sehingga transmisi penyakit kaki gajah masih mengkhawatirkan. Penemuan penderita dan sebaran kasus cenderung meningkat selama 3 tahun terakhir karena meningkatnya kualitas informasi dan pengetahuan masyarakat tentang penyakit kaki gajah (Filariasis).
Langkah-langkah pengembangan mengikuti tahapan metode System Development Life Cycle (SDLC) seperti planning, analysis, design. implementation, maintenance dan evaluation yang memadukan konsep Data Base Management System (DBMS) dan data spatial sehingga menjadi kekuatan dalam SIG. Hasil analisis sistem dapat mengidentifikasi permasalah pada pengelolaan informasi penyakit kaki gajah. serta alternatif pemecahannya pada setiap aspek (input, process dan output).
SIG Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) dapat menghasilkan output dalam bentuk tabel untuk pelaporan, grafik serta peta. Dengan SIG sebaran kasus(difusi) selama 3 (tiga) tahun dapat dilihat bahwa adanya difusi ekspansi kasus klinis maupun Microfilaria Positif pada desa-desa yang telah disurvei. Hasil analisis overlay antara daerah endemis dengan sebaran kasus klinis dapat dilihat adanya kasus klinis pada daerah non endemis.
Bentuk-bentuk keluaran ini dapat dijadikan bahan masukan pada pengambil keputusan dalam eliminasi penyakit kaki gajah (frlariasis). SIG ini diharapkan dapat dijadikan alat/tools bagi pengelola program dan dimungkinkan dapat dikembangkan di Kabupaten lain.

Filariasis is a contagious disease caused by infection of filarial worm spread by a variety of mosquito. It was predicted that the disease infected around 120 million people in eighty countries across the world. In Indonesia, based on rapid mapping on filariasis at 2000, 6500 chronic cases were found, spread across 1553 villages, 674 public health center, and 231 districts/cities. Microfilaria rate (Mf rate) of 3.1% (Ditjen PPM-PL, 2001), this rate was far higher than Mf rate standard of WHO and this meant that the spreading of the disease is still going on (WHO, 2000). In Bekasi District, until September 2003, 61 clinical cases were found with positive Mf of 155 people spread in 13 sub-districts (out of 23 sub-districts) with average Mf rate of 1.30%. Those figures signal worrying threat of spreading. Case finding shows increasing trends during the last three years due to improvement of information quality and public knowledge about filariasis.
Steps of development followed the System Development Life Cycle (SDLC) method such as planning, analysis, design, implementation, maintenance, and evaluation that integrate Database Management System (DBMS) and spatial data concepts providing strong geographical information system. The result of system analysis is able to identify problems related to information management on filariasis and its solution in each aspect (input, process, and output).
Geographical information system on filariasis could produce output in form of reporting table, graphical, and maps. GIS on diffusion in three years showed clinical case expansion diffusion and positive microfilaria in the surveyed villages. Overlay analysis between endemic areas and clinical cases spread showed the existence of clinical cases in non-endemic areas.
The above outputs could be used as input for decision maker in eliminating filariasis disease. This GIS is expected to be used as tool for program managers and could be developed for other districts.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T13194
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library