Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M.T. Siera Santi
"Penggunaan surat kabar, radio dan televisi untuk menyeinformasi pembangunan telah sering dilakukan. Pemerintah Indonesia nampaknya mulai melirik untuk menggunakan film yang diputar di bioskop guna menyebarluaskan pesan— dikatakan oleh Menteri barkan Kini, pesan pembangunan, seperti yang Penerangan Harmoko pada HUT ke-35 Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) di Palembang. Himbauan Menpen ini nantinya menggerakkan sejumlah pengusaha untuk bekerjasama membuat Yayasan Bangun Citra Nusantara (BCN) yang memproduksi film pembangunan tersebut. Pada tanggal 11 Maret 1991, film yang diberi judul Gelora Pembangunan Indonesia (GPI) dan nantinya sejalan dengan waktu berubah judul menjadi Nuansa Pembangunan Indonesia diputar di dalam Kelompok Bioskop 21. Film 5 menit ini memaparkan keberhasilan telah dicapai dalam pembangunan Indonesia. Pendapat pro kontra terhadap film ini pun bermunculan, ada yang menyatakan GPI / NPI adalah sebuah propaganda. Sementara itu, studi tentang propaganda memperlihatkan bahwa pesan satu sisi hanya berjalan baik pada orang terten— terhadap pesan ' (NPI), mulai sepanj ang dan hal-hal yang dan antara lain tu, yaitu mereka yang sejak semula setuju tersebut dan mereka yang berpendidikan rendah. Kelompok Bioskop 21 sendiri nampaknya ingin menjaring masyarakat dengan status sosial tertentu yang mampu untuk membeli tiket pertunjukan seharga Rp 4.000,- sampai Rp 7.000,-. Karenanya, peneliti tertarik untuk mengetahui tanggapan penonton bioskop Kelompok 21 atas pemutaran film GPI / NPI tersebut. Pendekatan yang digunakan adalah kuantitatif dengan didukung data kualitatif dari responden dan orang-orang kompeten di bidang perfilman. Data dikumpulkan melalui survei di lapangan dan diperoleh melalui teknik wawancara berstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penonton Kelompok Bioskop 21 tidak berminat terhadap film GPI / NPI. Hal ini disebabkan karena mutu film kurang bagus. Responden juga kurang tertarik dengan film GPI / NPI karena tema-tema yang diangkat tidak lagi menyajikan kebaruan. Temuan menarik lain dari penelitian ini bahwasannya responden tidak menyukai isi pesan GPI / NPI yang pemerintah dan hanya menunjukkan sisi positif pembangunan semata. Sehingga responden berpendapat film GPI / NPI adalah sebuah propaganda pemerintah. cenderung menampilkan proyek Walau demikian, responden menyatakan bahwa kebutuhan akan film semacam ini tetap ada, dimana unsur informasi adalah hal yang paling diutamakan. Karenanya bila film dengan misi khusus semacam GPI / NPI ini tetap ingin dibuat hendaknya dari segi teknis harus dilakukan pembenahan. Apapun bentuknya, film f^arus dibuat dengan pendekatan seni yang tentunya mengandung keindahan. Selain itu, tema-tema yang diangkat hendaknya sederhana namun berkaitan erat dengan kebutuhan khalayak. Tak kalah pentingnya adalah tentang isi pesan, hendaknya tak hanya memaparkan satu sisi pesan sehingga kesan propaganda pun dapat dihindari."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
S4009
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Rinaldy Fakhruddin
"Propaganda dapat berpengaruh terhadap sikap ldeologi seseorang, karena propaganda umumnya bersifat psikologis bagi seseorang. Tetapi propaganda itu sendiri tidak akan mempunyai pengaruh yang efektif. apabila tidak disertai faktor-faktor Iain seperti : faktor ekonomis, faktor hubungan, faktor alat-alat propaganda lain, seperti ; media massa dan sebagainya.
Film sering dibuat sebagai propaganda, karena sebagai bagian dari media massa, film dinilai memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk opini umum. Terlebih Iagi dengan kemajuan teknologi Serta meluasnya penggunaan media audio-visual saat ini, film dapat dikemas sedemikian rupa hingga dapat membawa emosi serta persepsi penontonnya kepada keinginan para pembuat film. Oleh karena itu film dan informasi televisi dinilai lebih berpengaruh dalam menyampaikan propaganda, dibandingkan dengan media cetak.
Dalam konteks Indonesia, film yang berunsur propaganda memang tidak banyak dan tidak semaju film dari luar negeri, terutama dengan terpuruknya film-film Indonesia beberapa tahun yang lalu. Namun saat ini film Indonesia menunjukkan perkembangan kearah positif, indikasi ini diikuti dengan mulai banyaknya genre film Indonesia yang diproduksi dan diputar di bioskop-bioskop seluruh Indonesia. Salah satu yang menarik perhatian adalah diputarnya film dokumenter bertemakan politik yang berjudul Tragedi Jakarta 1998 (Gerakan Mahasiswa di Indonesia) di bioskop.
Film dokumenter mengenai politik juga berperan dalam memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Malia peneliti mencoba melihat hal tersebut lebih spesifik, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk melihat peran propaganda lilm dokumenter Tragedi Jakana 1998 dalam mempengaruhi sikap politik mahasiswa pasca refonnasi. Peneliti menggunakan Focus Group Discussion dalam pengambilan datanya Peserta mahasiswa yang merupakan subjek peserta peneliti merupakan mahasiswa yang masuk universitas mereka setelah peristiwa tahun 1998. Peneliti menganggap subjek peserta tidak mempunyai pengalaman empiris pada saat situasi reformasi bergulir, agar mereka dapat memberikan keterangan yang lebih objektif.
Dari hasil penelitian dan analisanya, didapat dua hal penting yaitu pertama terjadinya perubahan pandangan politik mahasiswa, dimana keingintahuan Serta keperdulian terhadap kasus-kasus yang terjadi saat itu relatif Iebih meningkat dibandingkan sebelumnya. Kritikan tajam pun terlontar pada cara aparat menangani aksi mahasiswa. Maka secara umum pandangan politik peserta terlihat Iebih berkembang.
Sedangkan yang kedua mengenai peran propaganda dalam film dokumenter Tragedi Jakarta 1998 yang cukup efektif dalam mempengaruhi pandangan peserta akan peristiwa yang terjadi pada tahun 1998. Perannya terlihat ketika berhasil membangun emosi peserta FGD setelah menonton Elm dokumenter ini. Dan ini juga memperlihatkan bahwa propaganda merupakan salah satu pendekatan kepada persuasi politik selain periklanan dan retorika. yang seluruhnya ini mempunyai tujuan (purposif), disengaja dan melibatkan pengaruh, serta semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayaan, nilai dan pengharapan pribadi.
Seperti diketahui bahwa kondisi utama yang mendukung keberhasilan propaganda adalah adanya monopoli terhadap informasi. Selain itu karakteristik propaganda yang berusaha mengontrol arus informasi juga turut memberikan pengaruh pada penonton, dimana apabila arus komunikasi hanya dikendalikan oleh komunikator maka situasi tersebut dapat menunjang persuasi yang efektif.

Propaganda can make influence to someone ideology, because propaganda generally act psychology to someone. But the propaganda it self cannot effectively make influence without support from other factors, such as : economic factor, relationship factor, and other propaganda tools factor, including mass media and others.
Lots of tilm being made for propaganda, because it part of mass media, film usually have a big influence in creating public opinion. Especially in advance of technology and the function of audio-visual spreads everywhere this time. The packaging of film can bring emotion and perception of the audience to a filmmaker desire. That is why film and television infomation more influence in presenting propaganda, if we compare it with printed media.
In Indonesia context, not much film with propaganda issue and not like in advance of other countries, especially when the down of Indonesian cinema. But now Indonesian cinema is growing to a positive situation. This indication follow by grow of many genre in producing Indonesian cinema and viewed in movie theater all over Indonesia. One thing that gets an attention is viewing a political documentary film in movie theater, the titfe is berjudul Tragedi Jakarta 1998 (Gerakan Mahasiswa di Indonesia).
A political documentary film also can make a contribute in the political education for all society. So the researcher try to see that issue more specific, that is why this research have a purpose to see the function of propaganda in Tragedi Jakarta 1998 documentary film to influence the political believes of a college student after the refomration. Researcher using Focus Group Discussion to collect data from a student. A college student participant is students who enter their University after the reformation in Indonesia. Researcher think the participant not have an experience when a following of reformation in Indonesia, to give an objective opinion.
From a result of this research, we get two important things such as; first there is change in a politi l believes of a college student participant, their seems more care of this tragedy then before. So generally their political believes seems to grow. And the second one is about the function of propaganda in Tragedi Jakarta 1998 documentary film is effectively influence to a political believes of a this tragedy. The propaganda work in building an emotion of all college student participant after watching this documentary film. This also showing that propaganda is one of part from political persuasion besides advertising and rhetoric, and all of this have a purpose, deliberate and include influence, and all of it have a result in many level of change in perception, believes, value and personal hope.
As we know that a main condition of propaganda is the monopoly of information. Besides that a propaganda characteristic who try to control the flow of information also gave a contribute to influence an audiences. Because if a flow of information only control by a communicator, this situation can make an effective persuasion."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T17365
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Woro Ayu Pangastuti
"RINGKASAN EKSEKUTIF
Bagian 1 Analisis Situasi
Kegiatan menunggu menjadi sebuah rutinitas yang sering dilakukan oleh para mahasiswa, termasuk para mahasiswa yang menuntut ilmu di Universitas Indonesia. Tak jarang saat para mahasiswa menunggu, mereka memiliki beragam pengalaman. Di samping itu, perkembangan film dokumenter saat ini sedang pesat dan sudah diminati oleh kalangan muda, dengan mendatangi festival film atau menonton video melalui gadget mereka. Maka dari itu, penulis terdorong untuk membuat film dokumenter dengan tema rutinitas mahasiswa yang selama ini tidak dianggap penting, yaitu menunggu.
Bagian 2 Manfaat dan Tujuan Pengembangan Prototipe
Manfaat utama pengembangan prototipe ini adalah memberikan wawasan pengetahuan serta himbauan mengenai kegiatan menunggu. Sedangkan tujuan utama pengembangan prototipe ini adalah sebagai bentuk teguran dan kritikan kepada beberapa pihak pengelola jasa fasilitas umum seperti perusahaan transportasi, pemerintah, dan kepolisian, agar dapat meningkatkan kualitas dan keamanan kepada fasilitas-fasilitas umum yang biasa digunakan masyarakat untuk menunggu.
Bagian 3 Prototipe yang Dikembangkan
Prototipe ini berbentuk film dan bergenre dokumenter, dengan judul "Waiting or Wasting Story", yang menceritakan tentang kisah unek-unek empat orang mahasiswa dari beragam fakultas, jurusan, dan angkatan di Universitas Indonesia, mengenai pengalaman dan tanggapannya seputar menunggu, dengan diimbangi oleh tanggapan dari narasumber ahli.
Bagian 4 Evaluasi
Evaluasi Film Dokumenter "Waiting or Wasting Story" akan dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu menggunakan fitur dalam YouTube bernama YouTube Analytics serta mengadakan screening.
Bagian 5 Anggaran
Anggaran yang digunakan dalam pembuatan prototipe ini adalah sebesar Rp. 3.977.000,00. Untuk rencana anggaran penerbitan media perlu dikeluarkan biaya sebesar Rp. 16.720.000,00. Sedangkan untuk evaluasi film dokumenter ini perlu dikeluarkan biaya sebesar Rp. 10.857.000,00.

EXECUTIVE SUMMARY
Chapter 1 Situation Analysis
Waiting becomes a routine activity that is often performed by students, especially for students in University of Indonesia. Quite often when students wait, they have a variety of experience. In addition, the development of documentary movie currently is being rapidly and already interested by young people, to go to film festivals or watch videos through their gadgets. Therefore, authors are encouraged to make a documentary movie with the theme of the routine for students who are not considered to be important, namely "waiting".
Chapter 2 The Benefit and Goal for Movie
The main benefit of this prototype development is to provide knowledge and appeal about waiting. While the main goal of this prototype is as a form of rebuke and criticism to some of the managers of public facilities services such as transportation companies, government, and the police, in order to improve the quality and safety of the public facilities which are used by people to wait.
Chapter 3 Developed Prototype
This prototype is documentary movie, with the title "Waiting or Wasting Story", which tells the story of four students from various faculties, departments, and classes in University of Indonesia, about the experience and response about waiting, with balanced by feedback from expert sources.
Chapter 4 Evaluation
The evaluation of Documentary Movie "Waiting or Wasting Story" will be performed using two methods, which using YouTube Analytics and make the screening.
Chapter 5 Budget
The budget is used in the manufacture of this prototype is Rp. 3.977.000,00. For media publishing budget plans need to be issued a fee of Rp. 16.720.000,00. As for the evaluation of this documentary needs to issue a fee of Rp. 10.857.000,00.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Susilo
"Analisis SituasiFilm dapat dinikmati dari berbagai kalangan dengan latar belakang usia maupun status. Keberadaan film begitu magis karena kekuatannya yang mampu menggambarkan realitas masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Effendi, film diartikan sebagai hasil budaya dan alat ekspresi kesenian. Sebagian dari mereka yang membuat film masih berpatron pada produk budaya dan industri, yang artinya selain film dibuat sebagai medium penyalur gagasan, tujuan utama film dibuat adalah sebagai sarana hiburan bagi penontonnya yang juga mempertimbangkan sisi ekonomi komersil . Dari segi media ekspresi, sineas menarik diri dari kebutuhan penonton akan hiburan. Mereka membuat film dengan dasar panggilan jiwa yang melihat realitas kehidupan masyarakat yang dinamis dan terlepas dari faktor komersil industri. Dari sini kita bisa melihat dualisme ideologi para pembuat film tentang tujuan mereka, yaitu film sebagai produk hiburan yang komersil, serta film sebagai medium ekspresi realitas. Jika selama ini film hiburan yang komersil merajahi layar bioskop, maka pertanyaannya adalah kemana film yang lebih mengangkat ekspresi realitas alternatif dipertontonkan ?Pernyataan KebutuhanMeski sudah sepuluh tahun berdiri dan kini dikelola secara lebih professional, masih banyak perbaikan yang harus dilakukan oleh Kineforum demi mencapai tujuan luhurnya. Salah satu yang menjadi pekerjaan banyak pihak adalah kesadaran masyarakat akan keberadaan ruang ini. Dalam pengelolannya, Kineforum mendapat bantuan dari pemerintah provinsi DKI Jakarta yang artinya masyarakat juga turut andil dalam membuat Kineforum bisa hidup. Namun kenyataannya, Kineforum masih dianggap menjadi tempat berkumpulnya mereka yang memang sudah paham tentang film sehingga terkesan sangat eksklusif. Maka dari itu film pendek ini secara tidak langsung menyoroti tentang bagaimana Kineforum ini dibentuk, lalu juga melihat apa yang sedang dihadapi sekarang dan tantangan yang akan datang. Sehingga diharapkan khalayak sasaran utamanya disini adalah masyarakat Jakarta dari kalangan anak muda, dapat memiliki rasa memiliki terhadap Kineforum dan turut serta untuk mengembangkannya.Maksud dan TujuanTujuan utama dalam pembuatan karya ini adalah ingin memberikan pengenalan tentang Ruang Putar Alternatif, sehingga penonton memiliki pilihan/referensi untuk budaya menonton yang tidak hanya di bioskop. Selain itu, berdasarkan riset awal yang sudah dilakukan, masih belum ada arsip digital seperti film yang mengangkat seputar Ruang Putar Alternatif, meskipun sudah cukup banyak tulisan yang mengangkat seputar Ruang Putar Alternatif. Itulah mengapa meskipun manfaat yang didapat cukup beragam, akan tetapi masih sedikit minat penonton.Sasaran KhalayakSasaran khalayak primer dari film ini adalah laki-laki dan perempuan berusia 16-24 tahun yang masih memiliki status sebagai pelajar, mahasiswa, atau karyawan pekerja. Aspek geografisnya tinggal di wilayah Jabodetabek dengan akses ke bioskop baik komersil ataupun Kineforum lebih dekat. Aspek psikografisnya memiliki ketertarikan tinggi terhadap film dan suka menonton. Secara status sosial ekonomi, terbuka untuk semua kalangan yang memiliki daya beli terhadap tiket bioskop.Ide DasarMembuat film dokumenter yang tujuannya untuk mengenalkan ruang putar alternatif utamanya Kineforum kepada khalayak sasaran, sehingga memiliki referensi dalam budaya menonton yang tak hanya di bioskop.Pendekatan Struktur dan Gaya PenulisanStruktur yang digunakan dalam film ini adalah kronologis dengan pendekatan gaya penuturan sejarah profil. Menampilkan ulasan tentang perjalanan berdirinya Kineforum dan juga bagaimana perkembangannya, lalu dilanjutkan ke bagian pengelolaannya sekarang serta sistem programasi yang digunakan.SinopsisRuang putar film di Indonesia didominasi oleh bioskop komersil yang notabene hanya memutarkan film-film tertentu. Film alternatif, film indie, maupun film pendek jarang mendapat tempat di layar lebar. Oleh karena itu, Kineforum lahir sebagai sebuah ruang putar alternatif yang menjadi wadah bagi film-film yang tidak terjamah bioskop arus utama.Anggaran DanaPra Produksi : Rp. 675.000Produksi : Rp. 675.000Pasca Produksi : Rp. 460.000 Total Biaya Produksi : Rp. 1.810.000

Situation Anasysis Film can be consumed by audiences in various ages and status backgrounds. Its existence is magical because of its power to depict the society. According to Effendi, film can be defined as a culture produt and a device to express art. For some filmmakers, film is patronized by culture product and industry, which means film is not just be made as a medium of idea, but it also has a main goal to become a medium of entertainment for the audience that considers commercial aspect. As a medium of expression, filmmakers pull theirselves out from the audience rsquo s need of entertainment. They create film based on the calls from their hearts who see the dinamical social reality despite the commercial industry factor. From here, we can see the filmmakers rsquo ideology dualism according to their goals, which are film as commercial entertainment products, and film as media to express the reality. If nowadays commercial entertainment films dominate theaters, where films which express the reality go Question of Need Even though Kineforum has been established for ten years and has professionally been managed, Kineforum needs to do a lot of fixations to achieve its noble goals. One of the jobs is to encourage the people rsquo s awareness of Kineforum rsquo s existence. In its management, Kineforum is supported by the Governor of DKI Jakarta, which means the society can also help Kineforum to survive. However, in reality Kineforum is viewed just to be a place for people who has deep knowledge about film, so it is considered as exclusive. In response to that, this film indirectly highlights to how Kineforum was established, what is the problems it has to face, and its challenges for the future. The main aim for this film is Jakarta rsquo s young audiences, so they can have affections toward Kineforum and take parts to improve itAim and Purpose The main purpose of this project is to give an introduction to alternative theater, so the audience can have the choices or references to watching culture outside the mainstream theater. Besides, according to the early research, there is no digital archive such as film which pick up the issue related to alternative theater. That is why the benefit gained from the film is abundant, but the audience rsquo s interest is small.Audience Target The primary audience target in this film are men and women age 16 24 years old who are still having status as students, college students, or workers. The geographic aspect of the target is that the audiences live in Jabodetabek with near access to commercial theaters and Kineforum.The psychographic aspect is that the audiences have high interest in film and love to watch movies. In economic status, it is open for all people who can afford buying box office ticket.Basic idea Produce a documentary film which aim is to introduce alternative theater especially Kineforum to the audiences, so they have more references in watching culture outside the commercial theater.Structure Approach and Writing Style Structure used in this film is a set of chronology with historical profile description approach. It shows review of Kineforum rsquo s establishment and how it improves, then it continues to its managerial nowadays along with its programation system.Synopsis Theaters in Indonesia are dominated by commercial theaters which just play particular kinds of film. Alternative movies, Indie movies, or short movies are scarcely have place in the big screen. In response to that, Kineforum was born as an alternative theater which can be a place for films that do not have a place in mainstream theather.BudgetingPre Production Rp. 675.000Production Rp. 675.000Post Production Rp. 460.000 Total Budget Rp. 1.810.000 "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Rahmadianti
"Penggusuran di Provinsi Jakarta seringkali diberitakan dan mengambil hanya dari sudut pandang pemerintah dimana pemerintah dalam opininya secara tendensius menyudutkan korban penggusuran sebagai pelanggar hukum tanpa melihat realitas lain dari korban penggusuran beserta polemik penggusuran lainnya. Tulisan ini mengindentifikasi konstruksi realitas penggusuran oleh media dan pemerintah yaitu labelisasi terhadap korban penggusuran sebagai penduduk liar dan klaim pemerintah terhadap tidak adanya pelanggaran hukum dan ham dalam kasus penggusuran Jakarta. Di dalam Kriminologi Konstitutif sendiri dikenal istilah lsquo;wacana pengganti rsquo; yang mana bertujuan untuk menggantikan wacana-wacana yang ada dan dianggap sebagai wacana yang merugikan. Jakarta Unfair dalam hal ini penulis deskripsikan sebagai wacana pengganti terhadap realitas penggusuran oleh media dan pemerintah. Dengan film Jakarta Unfair sebagai sumber data dalam bentuk audiovisual, penulis mencoba mengkonversikan data tersebut ke dalam bentuk data narasi dan visual.

Eviction cases In Jakarta are often being portrayed biasly by media which only take the sides of the Government and take the blame on the eviction victim as the law violator without revealed another reality from eviction victims and the problem of the eviction itself. This writing identified the construction of eviction reality by media and government which are the labeling of eviction victims as the illegal resident and the government claim that there are no law and human right violation in eviction process. In Constitutive Criminology, the term of replacement discourse is being sugested as the the replacing of the harmful discourse. Jakarta Unfair is being described as the replacement discourse of the eviction reality created by media and government. As the data source of this in the form of audiovisual, the writer tried to convert those data to be narration and visual data."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Simamora, Naomi Hadiah Berliana
"Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai kondisi film dokumenter di Indonesia sebagai sebuah media alternatif, sebagai akibat dari keterbatasan dalam ruang eksebisinya. Keterbatasan ruang eksebisi tidak hanya secara fisik namun juga secara ide atau kebebasan ekspresi. Eksebisi merupakan muara dari dua tahapan sebelumnya yakni tahapan produksi dan distribusi. Masingmasing tahapan memiliki peran penting sebelum pada akhirnya dapat menikmati film dokumenter di ruang yang mudah diakses dan sejajar dengan media arus utama. Menggunakan metode kualitatif, film dokumenter dilihat sebagai media alternatif (Bailey, dkk, 2007), dengan ciri-ciri yang melekat, dan kemungkinannya menjadi sebuah produk industri budaya dalam kerangka kajian ekonomi politik berdasarkan struktur pasar melalui indikator-indikator dalam kebijakan perdagangan dan kebudayaan menurut Andrew Flibbert (2007). Dengan pendekatan kritis, film dokumenter dapat diagendakan untuk menyuarakan sebuah penolakan atas sebuah wacana dominasi dari pemilik kepentingan tertentu yang merugikan masyarakat. Dengan segala keterbatasan dukungan dari pemerintah dan pemilik media massa arus utama, film dokumenter digunakan komunitas dan kelompok masyakarat dalam menyampaikan sesuatu. Penelitian ini menemukan bahwa film dokumenter masih terhambat dalam setiap tahapannya, pendanaan pada produksi, jalur distribusi, dan ruang eksebisi, yang semuanya berujung pada kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya diterapkan.

This research is expected to provide an understanding of documentaries film in Indonesia as an alternative media as the result of the limitation of its exibition space. It is not only phisically limitation but also in the term of idea and expression freedom. The exibition is the end stage after film production and distribution. Every phase had important role before the film could be watched in the accesible space and be equal with the mainstream media. By qualitative method, documentary film is seen as an alternative media. (Bailey, et al., 2007), within the inherent characteristics as analysis tools and its possibility to be cultural industry production within the framework of the politic economy of media based on market structure through the trading and culture policy indicators applied, according to Andrew Flibbert (2007). By critical approach, documentary film could be used to express the rejection against a dominant discourse of certain party that takes advantage from society. Within all limited supporting from the government and mainstream media owners, the documentaries are used by community and society groups to express their opinion. This research uncovers that documentary film is limited in every phases, such as funding on production, distribution channels, and exibition space, and all of it due to government policies that do not fully implemented well."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T46673
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jugiarie Soegiarto
"Documentary maker Vincent Monnikendam compiled the film Mother Dao, the turtlelike (1995) from more than 200 titles of archived films of the Dutch-Indies, shot between 1912 to ca. 1933. This film is neither a remake nor an edited version, but a kind of collage from those hundreds of archival films, all were silent. Monnikendam re-arranged the images and provided them with a new sound frame, consisting of songs, chantings and poems, in Indonesian, Old Javanese, and Sundanese. This new composition is not just creative but also quite provocative. With this arrangement the cineast wanted to show that there was something not quite right with colonialism. Through the new composition of images and the sound framing we can observe the power relation between the colonizer and the colonized. There are contrasts between the colonial and the colonized, literally as well as metaphorically. These contrasts raised some questions about the colonial discourse."
Depok: University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arish Fadillah
"ABSTRAK
Etika seringkali menjadi masalah yang membentur pembuat film dokumenter. Dilema terjadi antara mana yang harus atau tidak harus dimasukkan ke dalam film, hingga perlakuan sang sutradara terhadap narasumber dokumenternya. Salah satu kasus yang cukup ramai di tahun 2012 adalah pengakuan dari Anwar Congo, tokoh utama di film The Act of Killing, bahwa Ia merasa ditipu dan menganggap film yang dibuat oleh Joshua Oppenheimer tentangnya lebih banyak merugikan dirinya. Sehingga terlihat bahwa ada indikasi pelanggaran etika di dalam film ini.Namun pendapat lain akan muncul ketika membawa perspektif utilitarianisme dalam keputusan Joshua untuk membuat film The Act of Killing, bukan untuk menyulut kemarahan orang Indonesia atau untuk membuka apa yang sering disebut luka lama, melainkan mencoba menyelesaikan perihal masalah sejarah yang tidak diceritakan secara lengkap atau perihal penindasan terhadap kelompok tertentu yang masih meninggalkan luka hingga sekarang.Analisis etika yang dilakukan ingin melihat apakah terbukti The Act of Killing sebagai film dokumenter melanggar beberapa nilai etika film dokumenter dan kemudian melihat etika tersebut dalam perspektif utilitarianisme, apakah tak apa melanggar etika jika untuk sesuatu yang lebih besar dan bermanfaat bagi banyak orang.
ABSTRACT

Ethics often become a problem that afflicts documentary filmmaker. The Dilemma of ethics occurs between what are should or should not be included in the film, to how the director treats the sources. One significant case on this subject appears in 2012, when Anwar Congo, the main cast of The Act of Killing, confesses that he felt cheated and considers that the film made by Joshua Oppenheimer about him brings notoriety. Thus, it is apparent that there are indications of a violation of ethics in The Act of Killing movie.However, another opinion will arise when viewing Joshua rsquo s decision to make The Act of Killing from the perspective of utilitarianism. The film is not intended to ignite the anger of Indonesian people or to open the lsquo old wounds rsquo , but rather trying to resolve the subject matter of history that was not told in full package, or about oppression against certain groups that still left them traumatized.The analysis wanted to see the proof that there are some violations of documentary ethical values in The Act of Killing and then look at the ethics from the perspective of utilitarianism, does it still violate ethics when it brings something more substantial and beneficial for many people."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Natasia Stephanie
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>