Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Craig, Leonard Airell
"Pelaksanaan prosedur kateterisasi yang seringkali membutuhkan banyak waktu dan penggunaan radiasi fluoroskopi sebagai alat bantu membuat pasien menerima dosis radiasi yang cukup tinggi. Optimasi antara dosis yang diterima pasien dan informasi citra yang diperoleh untuk keperluan medis perlu dilakukan untuk meminimalisasi efek samping radiasi yang mungkin timbul. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan mode eksposi yang paling optimal dari mode fluoroskopi dan cine pada pasien dewasa menggunakan variasi konsentrasi agen kontras iodin (10%, 12%, dan 14%) dan diameter sample (1, 2, 4, dan 6 mm) menggunakan satuan Figure of Merit (FOM) . Fantom in-house dan lembaran akrilik digunakan sebagai pengganti tubuh pasien. Entrance Surface Air Kerma (ESAK) diukur menggunakan detektor bilik ionisasi RadCal®. Pixel value untuk tiap variasi yang digunakan diperoleh menggunakan software ImageJ untuk memperoleh nilai Signal-to-Noise Ratio (SNR). Hasilnya mode Low Dose pada fluoroskopi dan 15 fps Normal Dose pada cine memiliki nilai FOM tertinggi dengan nilai masing-masing 1.07 ± 0.14 dan 0.21 ± 0.02. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlunya studi lebih lanjut mengenai penggunaan FOM sebagai parameter optimasi.

The lengthy procedure and the use of radiation-based fluoroscopy in interventional procedure makes patient radiation dose inevitably high. Optimization between dose and image quality used for clinical purpose is essential to fulfill the ALARA (As Low As Reasonably Achievable) principle. This study was aimed to determine the optimum exposure among each fluoroscopy and cine modes on adult patient using a variety of contrast agent concentration (of 10%, 12%, and 14%), object size (1,2,4, and 6 mm) employing Figure of Merit (FOM) as parameter. In-house phantom and acrylic sheets with total thickness of 21,5 cm was exposed with poste-anterior projection to simulate the clinical setting. Measurement of surface dose and Signal-to-Noise Ratio (SNR) were performed using RadCal® ionization chamber and ImageJ software, respectively. The result show that Low Dose mode for fluoroscopy and 15 fps Normal Dose for cine mode have the greatest calculated FOM values of 1.07 ± 0.14 and 0.21 ± 0.02, respectively. This research also found that further studies are needed to evaluate the use of FOM as optimization parameter."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
S62486
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adnan Hasyim Malahela
"Backgrounds : Percutaneous nephrolithotomy (PCNL) is a standard procedure for treating renal stones. However, the optimal guidance method between ultrasound (US) and fluoroscopy remains debatable. The principle to reduce radiation exposure through ALARA principle is also heavily considered. This study aims to compare the efficacy and safety of US-guided versus fluoroscopy-guided PCNL in a single center over a 5-year period.
Methods: A retrospective cohort analysis of patients who underwent PCNL between 2018 and 2023 were conducted. Patients were categorized into two groups: US-guided and fluoroscopy-guided PCNL. Outcomes evaluated were stone-free rates (SFRs), fluoroscopy usage duration and intraoperative radiation.
Results: A total of 658 patients (US-guided, n=563; fluoroscopy-guided, n=95) were included. The SFRs were comparable between the two groups (p > 0.05). Meanwhile, significantly lower amounts of fluoroscopy usage duration, effective dose, and radiation exposure was found for the US-guided group (p < 0.05). Additionally, operative time was significantly faster in the US-guided procedure, despite requiring more punctures (p < 0.05). Complication rates were similar between both groups.
Conclusion: US-guided PCNL presents as an effective and safe alternative to fluoroscopy-guided PCNL with the added advantage of avoiding radiation exposure.

Latar Belakang: Nefrolitotomi perkutan (PCNL) adalah prosedur standar untuk tatalaksana batu ginjal. Namun, metode panduan yang optimal antara ultrasound (USG) dan fluoroskopi masih menjadi perdebatan. Prinsip untuk mengurangi paparan radiasi melalui prinsip ALARA juga sangat dipertimbangkan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efikasi dan keamanan PCNL yang dipandu USG versus PCNL yang dipandu fluoroskopi dalam satu pusat selama periode 5 tahun.
Metode: Analisis kohort retrospektif terhadap pasien yang menjalani PCNL antara tahun 2018 dan 2023 dilakukan. Pasien dikategorikan ke dalam dua kelompok: PCNL dengan panduan USG dan PCNL yang dengan panduan fluoroskopi. Hasil yang dievaluasi adalah angka bebas batu/stone free rate (SFR), durasi penggunaan fluoroskopi dan radiasi intraoperatif.
Hasil: Sebanyak 658 pasien (dipandu oleh USG, n = 563; dipandu oleh fluoroskopi, n = 95) diikutsertakan. SFR sebanding antara kedua kelompok (p > 0,05). Sementara itu, jumlah durasi penggunaan fluoroskopi, dosis efektif, dan paparan radiasi yang jauh lebih rendah ditemukan pada kelompok yang dipandu oleh AS (p <0,05). Selain itu, waktu operasi secara signifikan lebih cepat pada prosedur yang dipandu oleh US, meskipun membutuhkan lebih banyak tusukan (p <0,05). Tingkat komplikasi serupa antara kedua kelompok.
Kesimpulan: PCNL dengan panduan USG hadir sebagai alternatif yang efektif dan aman untuk PCNL dengan panduan fluoroskopi dengan keuntungan tambahan untuk menghindari paparan radiasi.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Indra Pradono
"ABSTRAK
Percutaneous nephrolithotomy (PCNL) sebagai pendekatan untuk perawatan batu ginjal membutuhkan penggunaan fluoroskopi X-ray C-arm. Namun demikian, pemanfaatan X-ray C-arm sesuai standar sulit untuk dicapai di sebagian besar rumah sakit di Indonesia. Akses ginjal dengan panduan Ultrasonografi (USG) dalam tindakan PCNL menawarkan solusi untuk mengurangi paparan radiasi selama prosedur. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan hasil operasi prosedur PCNL supine dengan panduan USG di Rumah Sakit Adam Malik, Medan. Sebanyak 13 pasien berturut-turut menjalani prosedur supine PCNL dengan panduan USG di Rumah Sakit Adam Malik Medan, Indonesia, dari bulan April hingga Juni 2018. Pasien dengan riwayat operasi batu ginjal terbuka, gangguan fungsi ginjal, dan urosepsis tidak disertakan dalam penelitian. Penelitian prospektif dilakukan dengan mencatat data pasien yang menjalani PCNL, termasuk karakteristik pasien dan batu ginjal, data intraoperatif, dan status batu sisa. Usia rata-rata pasien adalah 46,00 ± 12,92 tahun. Rasio pria-wanita pada pasien adalah 6 : 7. Lebih dari setengah pasien mempunyai batu ginjal kiri (61,54%). Ukuran rata-rata batu adalah 25,71 ± 13,17 mm. Terdapat 11 pasien (84,62%) yang menerima puncture sebanyak satu kali, sementara yang lain menerima 2 kali (1 pasien; 7,69%) dan tiga kali (1 pasien; 7,69%). Rata-rata waktu puncture hingga tindakan nefroskopi adalah 15,64 ± 3,14 menit. Tindakan dilatasi berhasil dilakukan dengan waktu rata-rata 11,46 ± 1,56 menit. Waktu rata-rata nefroskopi adalah 25 menit (18-62 menit), dan total durasi operasi adalah 85,92 ± 33,95 menit. Tingkat keberhasilan tanpa hidronefrosis, hidronefrosis ringan, sedang, dan berat masing-masing adalah 50%, 100%, 100%, dan 50%. Sepuluh pasien bebas batu setelah prosedur (tingkat keberhasilan 76,92%).USG-PCNL memiliki hasil yang memuaskan. Hal ini dapat menjadi pertimbangan bahwa USG-PCNL bisa menjadi alternatif yang baik untuk mengurangi paparan radiasi pada pasien dan ahli urologi.

ABSTRACT
Percutaneous nephrolithotomy (PCNL) as an approach to kidney stone treatment requires a C-arm X-ray fluoroscopy application. Nevertheless, the utilization of standardized C-arm X-ray is complicated to achieve in most of our country hospitals. Ultrasound (US)-guided renal access for PCNL offers the solution for reducing the radiation exposure in the procedure. The present study aims to describe the operation outcomes of US-guided supine PCNL procedure at Adam Malik Hospital, Medan.A total of 13 consecutive patients underwent US-guided supine PCNL procedure at Adam Malik Hospital Medan, Indonesia, from April until June 2018. Patients with a history of open renal stone surgery, impaired renal function, and urosepsis were excluded from the study. We prospectively recorded the data of patients undergoing PCNL, including patient and stone characteristics, intraoperative data, and residual stone status. The mean age of the patients was 46.00 ± 12.92 years. The male-to-female ratio of the patients was 6:7. More than half of the patients had left kidney stone (61.54%). The mean stone size was 25.71 ± 13.17 mm. There were 11 patients (84.62%) who received one-time successful puncture attempt, while the others received 2 (1 patient; 7.69%) and three attempts (1 patient; 7.69%). The mean puncture-to-nephroscope time was 15.64 ± 3.14 minutes. All patients had successful dilation with the mean dilation time was 11.46 ± 1.56 minutes. The median nephroscopy time was 25 (18-62) minutes, and the total operation duration was 85.92 ± 33.95 minutes. The success rates for no hydronephrosis, mild, moderate, and severe hydronephrosis were 50%, 100%, 100%, and 50% respectively. Ten patients were stone-free after the procedure (76.92% success rate). US-PCNL has satisfactory outcomes. It should be considered that US-PCNL could be a good alternative for reducing radiation exposure of the patient and urologist."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Aulia Ardyanti
"Penelitian ini membahas batas ketebalan yang diperlukan dalam penggunaan antiscatter grid pada pesawat Siemens Artis Zee yang berada di RS Kanker ldquo;Dharmais rdquo; Jakarta. Pesawat Siemens Artis Zee memiliki fitur fluoroskopi dengan mode yang dapat diatur yaitu low fluoroscopy, medium fluoroscopy dan high fluoroscopy. Pasien direpresentasikan dengan menggunakan fantom Polymethyl Methacrylate PMMA dengan variasi ketebalan 7 ndash;22 cm interval 1 cm. Dosis radiasi diukur pada titik dosis entrans kulit dan dosis transmisi, sedangkan kualitas citra menggunakan parameter resolusi spasial dan SNR, sehingga didapatkan parameter FOM sebagai hubungan antara dosis radiasi dengan kualitas citra SNR . FOM digunakan untuk menentukan batas ambang penggunaan antiscatter grid pada mode fluoroskopi berdasarkan ketebalan fantom. Hasil yang didapatkan untuk batas penggunaan antiscatter grid dimulai maksimum pada mode low fluoroscopy pada ketebalan 11 cm, mode high fluoroscopy pada ketebalan 16 cm dan pada mode medium fluoroscopy tidak disarankan penggunaannya karena hanya meningkatkan dosis tanpa meningkatkan kualitas kualitas citra.

The study discusses the threshold of thickness required for antiscatter grid use on Siemens Artis Zee at ldquo Dharmais rdquo National Cancer Center, Jakarta. The device has adjustable modes of low, medium, and high fluoroscopy. Patients are represented by Polymethyl Methacrylate PMMA phantom with a thickness variation of 7 22 cm of 1 cm interval. The dose metrics was measured as the entrance skin dose ESD and the transmission dose, while the image quality metric employed being spatial resolution and SNR, leading the result to FOM as squared SNR per dose. The FOM bridged dose and image quality to determine threshold of antiscatter grid usage on fluoroscopy based on fantom thickness. As a result, antiscatter grid are recommended to be used for objects 11 cm and thicker on the use of low fluoroscopy mode, and 16 cm and thicker objects on high fluoroscopy mode. In medium fluoroscopy mode, no threshold was yielded due to tube current being higher than other modes, hence it is recommended to remove the antiscatter grid during the use of the medium fluoroscopy mode."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S68086
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diki Arma Duha
"Pendahuluan: Dalam memberikan panduan pencitraan pada nefrolitotomi perkutan (PCNL), ultrasonografi telah menjadi alternatif panduan dalam PCNL bebas sinar-x yang akan mengurangi radiasi baik pada pasien maupun operator. Meta-analisis ini menilai literatur secara kritis dengan membandingkan keamanan dan kemanjuran PCNL bebas sinar-x dan PCNL yang dipandu fluoroskopi dengan sub-analisis dalam posisi terlentang dan tengkurap.
Metode: Pencarian literatur secara sistematis dilakukan menggunakan Wiley Library, Clinicalkey, dan Pubmed. Studi yang membandingkan fluoroskopi dan PCNL bebas sinar-x hingga Agustus 2020 disertakan. Hasil yang diukur termasuk tingkat bebas batu, waktu operasi, perdarahan, komplikasi, dan lama rawat rumah sakit. Meta-analisis dilakukan pada setiap hasil.
Hasil: Dari 283 artikel yang teridentifikasi dari skrining, tujuh artikel dimasukkan ke dalam analisis kuantitatif dan kualitatif. Tingkat bebas batu (p=0,50), waktu operasi (p=0,83), perdarahan (p=0,41), komplikasi (p=0,20), dan lama rawat inap (p=0,27) pada kedua kelompok secara statistik tidak berbeda. Dalam sub-analisis, ditemukan bahwa komplikasi dan perdarahan signifikan secara statistik pada kelompok rawan, p=0,05 dengan OR 0,17 (95%CI 0,03-1,00) dan p=0,02 dengan OR 0,52 (95%CI 0,30-0,92) masing-masing.
Kesimpulan: Bukti yang mendukung pendekatan pencitraan yang lebih baik masih terbatas saat ini. Namun, sebagai pendekatan alternatif untuk PCNL dengan ultrasonografi bebas x-ray, hal ini menawarkan keamanan yang lebih baik pada posisi tengkurap dan keamanan yang sebanding pada kelompok terlentang. Efikasi antara kedua kelompok ditemukan sebanding baik dalam sub-analisis terlentang dan tengkurap.

Introduction: There are imaging guidances used for percutaneous nephrolithotomy (PCNL), Ultrasonography has been an alternative for guidance in x-ray free PCNL that would reduce radiation both in patients and operators. This meta-analysis critically appraises the literature comparing the safety and efficacy of x-ray free and fluoroscopy-guided PCNL with sub-analysis in supine and prone position.
Method: A systematic literature search using Wiley Library, Clinicalkey, and Pubmed. Studies comparing fluoroscopy and x-ray free PCNL up to August, 2020 were included. The outcome measured included the stone-free rate, operative time, bleeding, complication, and hospital length. Meta-analysis was conducted for each of the outcomes.
Result: Of 283 articles identified from screening, seven were included in quantitative and qualitative analysis. The stone-free rate (p=0.50), operative time (p=0.83), bleeding (p=0.41), complication (p=0.20), and hospital length of stay (p=0.27) in both groups statistically indifferent. In sub-analysis, we found that complication and bleeding statistically significant in prone group, p=0.05 with OR 0.17 (95%CI 0.03-1.00) and p=0.02 with OR 0.52 (95%CI 0.30-0.92) respectively.
Conclusion: Evidence supporting a better imaging approach remains limited at present. However, as an alternative approach for x-ray free ultrasound-guided PCNL, it offers better safety in prone positio and comparable safety in supine group. The efficacy between both groups found comparable both in supine and prone sub-analysis.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Rifki
"Pendahuluan: Akses vaskular merupakan komponen penting pada terapi hemodialisis. Akses vaskular sementara menggunakan kateter sebelum akses permanen berupa fistula arteriovena. Kateter hemodialisis sebaiknya menggunakan tunneled double lumen catheter (TDLC). KDOQI 2006 menyarankan posisi ujung kateter berada di mid-atrium kanan. Pemasangan TDLC pada pasien-pasien dewasa di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) belum sepenuhnya menggunakan panduan fluoroskopi dalam mengetahui lokasi ujung kateter. Diperlukan penelitian untuk membandingkan ketepatan lokasi ujung kateter pada pemasangan TDLC dengan panduan fluoroskopi dibandingkan dengan tanpa panduan fluoroskopi.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang, dilakukan di RSCM dan RS. Hermina Bekasi pada bulan Maret-April 2017. Subjek penelitian adalah pasien penderita penyakit ginjal tahap akhir dewasa yang menjalani hemodialisis dengan menggunakan TDLC yang ditindak di RSCM dan RS Hermina Bekasi. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive. Luaran penelitian ini adalah ketepatan lokasi ujung kateter pada pemasangan TDLC dengan panduan fluoroskopi dibandingkan dengan pemasangan tanpa panduan fluoroskopi. Luaran lain yang dinilai adalah adekuasi berupa tarikan aliran darah pada saat hemodialisis (blood flow/Qb).
Hasil: Studi ini meliputi 97 sampel dari masing-masing kelompok pemasangan TDLC. Terdapat perbedaan bermakna pada ketepatan posisi ujung kateter di dalam mid-atrium antara pemasangan TDLC dengan panduan fluoroskopi dibandingkan dengan tanpa panduan fluoroskopi, RR 5,603 (CI 95% 3,11-10,08; p < 0,001). Studi mengenai Qb meliputi 115 sampel dari kelompok fluoroskopik dan 55 sampel dari kelompok non fluoroskopik. Pada kelompok fluoroskopi, terdapat 3 subjek blood flow nya 300mL/menit ke atas, sedangkan pada kelompok non fluoroskopi terdapat 37 subjek yang blood flow nya 300mL/menit ke atas.
Kesimpulan: Penggunaan panduan fluoroskopi pada pemasangan TDLC meningkatkan ketepatan posisi ujung kateter dibandingkan dengan tanpa panduan fluoroskopi. Terdapat limitasi penelitian pada luaran Qb, dikarenakan tidak memenuhi besar jumlah sampel minimal, sehingga penelitian ini tidak dapat melakukan analisis hubungan ketepatan lokasi ujung kateter dengan adekuasi.

Introduction: Vascular access is an important part of hemodyalisis therapy. Temporary vascular access uses catheter before permanent access is set such as arteriovenous fistula. Hemodyalisis catheters sould use tunneled double lumen catheter (TDLC). KDOQI 2006 suggested that the position of the tip of the catheter ends in right mid-atrium. TDLC installment in adult patients in Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo hospital (RSCM) does not fully use fluoroscopy guidance to ensure the locaation of the catheter tip. Research is needed to compare the position of catheter tip of TDLC installation between the usage of fluoroscopy guide and not.
Method: This was a cross sectional study conducted in RSCM and Hermina Bekasi Hospital from March to April 2017. The subjects of this research were patients with end stage kidney disease that underwent hemodyalisis with TDLC that were installed in RSCM and Hermina Bekasi Hospital. The subjects were taken consecutively. The outcome of this study was comparison between the accuracy of catheter tip position in TDLC installation with fluoroscopy guided and non guided. The other outcome was adequation in the form of blood flow in hemodyalisis (blood flow/Qb)
Results: This study included 97 samples from each group of TDLC installation. There is a significant difference between fluoroscopy guided and non guided in TDLC installation catheter tip position wether it is in the mid-atrium or not with RR 5,603 (CI 95% 3,11-10,08; p < 0,001). The study about Qb included 115 samples from fluoroscopic group and 55 samples from non fluoroscopic group. There are 3 subjects whose blood flow were >300mL/minute, while in the non fluoroscopic group there were 37 subjects whose blood flow were > 300mL/minute.
Conclusion: The usage of fluoroscopy guide in TDLC installment rises the accuracy of catheter tip position compared to non fluoroscopy guided TDLC installment. There was limitation in Qb outcome because the sample size was not enough, therefore the study about catheter tip position and adequation could not be analyzed.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library