Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muthia Widyaningsih
Abstrak :
Salah satu aplikasi lapisan TiOa yaitu untuk menghilangkan iemak/minyak dan kotoran {seif cleaning) pada suatu permukaan benda dan untuk mencegah kaca berkabut {anti fogging) akibat penguapan air. Penggunaan TiOa tersebut berkaitan dengan saiah satu sifat khas TiOa yaitu superhidrofilik, dimana sebagai parameter ditunjukkan dengan kecilnya sudut kontak antara suatu permukaan benda dengan cairan (<10°). Pada penelitian ini Ti02 diiapiskan pada permukaan kaca dengan metode so!-gei, kemudian disinari lampu uitravioiet (10 VV, 30 W, dan 36 W) dengan vanasi waktu penyinaran. Permukaan hidrofiiik pada kaca yang diiapisi TiOa dapat diperoleh waiaupun intensitas cahaya UV yang.diberikan sangat kecii. Diamati semakin besar intensitas cahaya UV, maka semakin cepat permukaan hidrofiiik Ti02 tercapai, terbukti dengan sudut kontak yang lebih cepat mengecii. Jika pelapisan hanya terdiri dari Ti02 keadaan superhidrofilik ini akan hiiang jika cahaya UV yang diberikan pada permukaan Ti02 dihentikan. Oleh karena itu Ti02 diiapiskan pada kaca yang telah diiapiskan Si02. Seiain berfungsi untuk menahan air pada strukturnya, SiOa juga berfungsi menahan terjadinya difusi ion Na dari kaca ke iapisan Ti02 yang dapat mengurangi aktivitas Ti02. Terbukti dari hasii penelitian bahwa perubahan hidrofiiik menjadi hidrofobik kaca yang diiapisi Si02-Ti02 iebih lama dibandingkan kaca yang hanya diiapisi TiO-,, * Studi Fenomena..., Muthia Widyaningsih, FMIPA UI, 2003 Pada penelitian ini pelapisan TiOa pada kaca dilakukan dengan metode sol-gel, dimana iarutan prekursor diratakan pada permukaan kaca dengan teknik pencetakkan. Ti02 yang dihasilkan diketahui strukturnya dengan XRD, sedangkan keadaan superhidrofilik dik
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2003
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
The calculation of water fogging system for process conditioning the flue gas processor by elecron beam machine.In the course of gas processing flue gas needed water fogging to get condition moisture the desired that is from 7 % becoming 12 % with temperature processed at about 65 oC...
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Barlian
Abstrak :
ABSTRAK Pelabuhan laut dan bandar udara merupakan pintu gerbang lalu lintas orang dan barang, baik antar pulau maupun antar negara. Dengan meningkatnya teknologi, arus pariwisata, perdagangan, haji dan transmigrasi, maka kemungkinan terjadinya penularan penyakit melalui alat angkut semakin besar, apalagi alat angkut jaman sekarang dapat mencapai jarak jauh dalam waktu yang singkat, sehingga kemungkinan seorang yang sudah ketularan penyakit menular, masih dalam masa inkubasi, masuk salah satu pelabuhan di Indonesia. Salah satu aspek penularan penyakit di pelabuhan adalah melalui serangga penular penyakit (vektor), baik yang terbawa oleh alat angkut maupun yang sudah ada di pelabuhan laut atau bandar udara. Sebagai salah satu contoh adalah meningkatnya kasus malaria di Eropa dari 6.400 orang pada tahun 1985 menjadi 7.300 orang pada tahun 1987. Penderita tersebut tidak pernah mengunjungi daerah endemis malaria, karenanya vektor malaria infektiflah yang dianggap ikut dengan alat angkut. Di pelabuhan laut atau di bandar udara salah satu vektor yang wajib dikontrol adalah nyamuk Aedes aegypti, karena naamuk Aedes aegypti selain sebagai vektor penyakit demam berdarah, juga sebagai vektor penyakit Yellow Fever (demam kuning) yang penyakitnya belum ada di Indonesia. Salah satu cara pengendalian vektor Aedes aegypti ini adalah dengan fogging. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara kelompok rumah yang difogging dengan kelompok rumah yang tidak difogging dan hubungan antara fogging dengan penurunan indeks vektor Aedes aegypti di daerah pelabuhan Pangkalpinang, dengan menggunakan desain Quasi Eksperimental. Pengambilan lokasi sebagai daerah perlakuan dan daerah pembanding diambil secara purposif dalam daerah buffer pelabuhan Pangkalpinang, sedangkan sampel rumah diambil secara acak sederhana dengan jumlah masing-masing 100 rumah. Hasil pengukuran indeks-indeks vektor setiap minggu selama 12 minggu di daerah perlakuan dan daerah pembanding, terlihat adanya tren penurunan dari indeks-indeks vektor pada daerah perlakuan.
Dengan menggunakan uji stitistik (kai kuadrat dan t.test) didapatkan hasil bahwa ada perbedaan yang berrnakna antara daerah perlakuan dengan daerah pembanding setelah perlakuan selama 12 minggu, dan ada hubungan antara fogging dengan penurunan House Index vector Aedes aegypti setelah minggu keempat. Penelitian ini menyimpulkan fogging efektif untuk menurunkan indeks vektor Aedes aegypti di daerah pelabuhan Pangkalpinang disarankan program fogging merupakan pilihan terakhir, karena dikhawatirkan adanya dampak negatif terhadap lingkungan.
ABSTRACT The Effectivity of Fogging With Malathion Through The Descent Of The Index Of Vector Aedes Aegypti At The Port PangkalpinangPort and airport is the gate of the traffic and good, not only inter-island but inter-country. By the increasing of technology, tourism rate, commerce, hajj and transmigration, thus the possibility of the contagion of disease by the means of transportation is bigger, even the means of transportation today can reach far distance in a short time, so that the possibility of someone who has had a contagious disease, still in the incubation period, get into the one of the port in Indonesia. One of the aspect of the contagion of disease is through the disease infector insect (vector), not only taken by the means of transportation but also that has been at the port or airport. As an example is the increasing of malaria case in Europe from 6.400 people in 1985 to 7.300 people in 1987. The victims had never come to malaria endemic zone, therefore the vector of the infective malaria that is considered taken by the means of transportation. At the port and airport, one vector that has to be controlled is mosquito Aedes aegypti, because of mosquito Aedes aegypti not only as a vector Dengue Haemoragic Fever, but also as a vector of the disease Yellow Fever that disease has note been in Indonesia yet. One of the way to control the vector Aedes aegypti is by fogging. This research has an objective to know the differences between fogging home group and not fogging home group and the relation between fogging by descent of the index of vector Aedes aegypti at the port Pangkalpinang, by using experimental Quasy Design. Taking the position as an experiment zone and control zone taken purposively in a buffer area of port Pangkalpinang, but home sample is taken simple randomly by the number of each 100 homes. The measurement result of the indexes on vector every week during 12 weeks at the experiment zone and control zone, seen that there is a dissent trend of the index of vector at the experiment zone. By using statistics test (chi quadrat and t.test) had result that there is a meaningful differences between experiment zone and control zone after the experiment during 12 weeks, and there is a relation between fogging and the descent House Index Vector of Aedes aegypti after week four. This research concludes that fogging is effective to lower the index of vector Aedes aegypti at the region of port Pangkalpinang. It is suggested fogging program is the last choice, because it is worried that there is a negative phenomena through the environment.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Glory Lamria
Abstrak :
Jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di provinsi DKI Jakarta terus mengalami peningkatan, terlepas dari upaya pengendalian penyebaran DBD yang telah dilakukan oleh pemerintah. Contoh dari upaya pengendalian yang telah dilakukan adalah penggunaan insektisida berbasis bahan kimia malathion. Selain dapat menimbulkan resistensi dan efek samping terhadap tubuh manusia, penggunaannya dalam fogging memerlukan penambahan bahan bakar diesel sebagai pembentuk asap. Penelitian ini bermaksud untuk memformulasikan cairan yang digunakan untuk fogging di kawasan perumahan. Formulasi ini bertujuan untuk menciptakan produk cairan insektisida untuk fogging yang bebas dari pyrethroid dan petroleum sehingga lebih aman bagi pengguna. Penelitian dilakukan dengan memformulasikan ekstrak daun tembakau sebagai zat aktif insektisida dengan pelarut berupa propilen glikol dan gliserin sebagai agen pembuat asap. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi zat aktif dan rasio pelarut (PG:VG). Pengujian yang akan dilakukan terhadap sampel yang telah dibuat adalah uji toksisitas LC50, dan uji stabilitas (Uji stabilitas fisik), uji organoleptik, uji karakteristik GCMS serta penghitungan Harga Pokok Penjualan (HPP) produk. Hasil uji efektivitas cairan fogging Aedes aegypti menunjukan dengan konsentrasi ekstrak tembakau selama 10 menit antara 5%-20% belum mencapai LC50, konsentrasi 30% mencapai LC 50 pada menit ke-9, konsentrasi 40% mencapai LC 50 pada menit ke-6, dan konsentrasi 50% pada menit ke-5. Pada ekstrak tembakau dengan metode ekstraksi, konsentrasi 5%-20% belum mencapai LC 50, konsentrasi 30% mencapai LC 50 pada menit ke-9. Konsentrasi 40% mencapai LC 50 pada menit ke-4 dan konsentrasi ekstrak tembakau 50% pada menit ke-3.
The number of people with Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in the DKI Jakarta province continues to increase, eventhough there is number of efforts to control the spread of DHF from the government. An example of this control metthod is the use of malathion chemical-based fogging. Besides this insecticide able to cause resistance and side effects to the human body, its use in fogging requires the addition of diesel fuels as forming smoke. This study intends to formulate fluids used for fogging in residential areas. This formulation aims to create liquid fogging products for fogging that are free from pyrethroid and petroleum so that it is safer for users. The research was done by formulating tobacco leaf extract as an active insecticide substance with a solvent in the form of propylene glycol and glycerin as a smoke-making agent. The independent variables in this study were the concentration of the active substance and the ratio of solvent (PG: VG). Tests that will be conducted on the samples that have been made are LC50 toxicity test, and stability test (physical stability test), organoleptic test, GCMS test. The results of the Aedes aegypti fogging fluid efficiency test with pyrolysis showed that with a concentration of 10% -20% it has not reached LC50, the concentration of 30% reached LC 50 in the 9th minute. The concentration of 40% reached LC50 in the 6th minute and the concentration of 50% reached LC50 in the 5th minute. For tobacco extract with extraction method, the concentration of 5% -20% has not reached LC 50. The concentration of 30% reaches LC50 in the 9th minute. The concentration of 40% reached LC50 in the 4th minute and the concentration of 50% in the 3rd minute.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Riana Julida
Abstrak :
Penyakit Demam Berdarah Dengue masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting di Asia Tenggara karena penyebab utama perawatan di rumah sakit dan kematian anak. Di Indonesia, penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) juga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena angka insidens DBD cenderung meningkat. Dan Kabupaten Muara Enim sebagai daerah endemis DBD, angka insidens tahun 2002 berada di alas target nasional yaitu 20,57 per 100.000 penduduk sementara target nasional sampai tahun 2010 angka insidens DBD 5 per 100.000 penduduk untuk daerah endemis DBD. Program pemberantasan vektor intensif yang meliputi fogging massal sebelum musim penularan, pemeriksaan jentik berkala dan abatisasi selektif masih dilaksanakan sampai tahun 2002 di Kabupaten Muara Enim. Sementara Depkes RI sejak tahun 1998 telah menganjurkan untuk menangguhkan fogging massal sebelum musim penularan serta mengalihkan kegiatan fogging massal sebelum musim penularan menjadi bulan bakti gerakan 3M (menguras, menutup dan mengubur) sebelum musim penularan. Dan tahun 2002 ditegaskan bahwa fogging massal sebelum musim penularan tidak lagi menjadi kebijaksanaan nasional dalam program pemberantasan penyakit DBD. Penelitian ini menggunakan rancangan studi korelasi tentang pengaruh pelaksanaan program pemberantasan vektor intensif (fogging massal sebelum musim penularan, pemeriksaan jentik berkala dan abatisasi selektit) dan ketersediaan sumber daya (pendidikan petugas, lama kerja petugas, yang pernah diikuti petugas, pelatihan peralatan, bahan insektisida dan dana) terhadap angka insidens DBD selama 3 tahun (1999-2001). Unit analisis adalah kelurahan endemis DBD yang berjumlah 14 kelurahan. Data yang dikumpulkan dianalisis secara simple regression linier analysis dan multiple regression linier analysis dengan software Stata 6.0 dengan melihat nilai p (p-value). Dari analisis diperoleh hasil bahwa ada pengaruh pelaksanaan program pemberantasan vektor intensif terhadap angka insidens DBD, dimana pelaksanaan program pemberantasan vektor intensif yang tidak sesuai petunjuk meningkatkan angka insidens DBD sebesar 10,25 per 100.000 penduduk (p=0,036) untuk tahun 1999 dan untuk tahun 2001 meningkatkan angka insidens DBD sebesar 4,89 per 100.000 penduduk (p=0,047). Petugas yang sudah dilatih akan menurunkan angka insidens DBD sebesar 18,32 per 100.000 penduduk (p=0,048) untuk tahun 1999. Tabun 2000, ketersediaan bahan insektisida malathion yang tidak mencukupi kebutuhan akan meningkatkan angka insidens DBD sebesar 1,34 per 100.000 penduduk (p=0,024). Sedangkan petugas yang sudah lama bekerja akan menurunkan angka insidens DBD sebesar 2,74 per 100.000 penduduk (p=0,022) di tahun 2000. Ketersediaan Jana yang tidak mencukupi kebutuhan tahun 2001 akan meningkatkan angka insidens DBD sebesar 23,51 per 100.000 penduduk (p=0,025). Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah bahwa sebaiknya kegiatan fogging massal sebelum musim penularan tidak dilaksanakan lagi kecuali bila terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), karena membutuhkan biaya yang besar untuk operasional dan tidak efektif lagi untuk menurunkan angka insidens DBD. Terbukti bahwa angka insidens DBD terus meningkat setiap 3 tahun, sehingga sejak tahun 2002 dianjurkan untuk diganti menjadi kegiatan bulan bakti gerakan 3M selama sebulan penuh pada saat sebelum musim penularan, pemeriksaan jentik berkala 4 kali setahun dan abatisasi selektif sebanyak 4 kali setahun. ...... Effect of intensive vector eradication program implementation against incidence rate of Dengue Haemorrhagic Fever in Muara EnimDengue Hemorrhagic Fever (DHF) still constitutes an important public health problem in South East Asia due to the principle cause of treatment in hospital and infant mortality. In Indonesia, DHF is also a public health problem because DHF incidence rate has the tendency to go up. Muara Enim District as a DHF endemic region, the annual incidence rate for 2002 stands above the national target at 20.57 per 100,000 inhabitants, while the national target up to 2010 for DI-IF incidence rate is 5 per 100,000 inhabitants for DHF endemic region. The intensive eradication program covering mass fogging prior to contamination season, periodic larva inspection and selective abatitation is still being implemented 'up to year 2002 in Muara Enim District. Meanwhile, Ministry of Public Health since 1998 has already suggested to postpone mass fogging prior to contamination season and to transfer mass fogging activities prior to contamination season to become "activites of 3M monthly action" (to clean by draining, to cover and to bury) before contamination season. Furthermore, in 2002 it was confirmed that the mass fogging prior to contamination season is no longer a national policy in DHF eradication program. The study employs a correlation study plan concerning intensive vector eradication program implementation (mass fogging prior to contamination season, periodic larva inspection and selective abatitation) as well as the availability of resources (education of officers, work duration of officers, type of training followed by officers, insecticide material and funds) vis-a-vis DHF incidence rate during a period of '3 years (1999-2001). The analyzed unit is a DID endemic village consisting of 14 counties. The collected data are analyzed by simple regression linear analysis and multiple regression linear analysis using Stata 6.0 software by considering the p-value. Results obtained from the analysis revealed that there is an impact of intensive vector eradication program implementation vis-a-vis DHF incidence rate, where the intensive vector eradication program implementation is no longer compatible with the guidelines to enhance DHF incidence rate of 10.25 per 100,000 inhabitants (p--0.036) for year 1999 and for year 2001 to raise the DEF incidence rate to 4.89 per 100,000 inhabitants (p= 0.047). Officers that have undergone training will lower DI-IF incidence rate by 18.32 per 100,000 inhabitants (p=0.048) for year 1999. In year 2000, where the supplies of malathion insecticides are not sufficient to meet the needs will raise DHF incidence rate by 23.51 per I00,000 inhabitants (p=0.025). The conclusion that can be drawn from the study results is that it would be better if mass fogging activities prior to contamination season be discontinued except in outbreak or a case of emergency, cause it requires large expenses to operate while it is no longer effective to lower DHF incidence rate. Evidence show that DHF incidence rate continou to increase every 3 years, thus for year 2002 it is recommended to replace this to become activities of 3M monthly actions during one full month at a time before eradication season, periodic larva inspection 4 times a year and selective abatitation 4 times a year.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12641
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyanto Martomijoyo
Abstrak :
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Salah satu upaya dalam pengendalian vektor DBD adalah membunuh nyamuk dengan cara fogging (pengasapan insektisida) sebelum musim penularan yang disertai dengan abatisasi untuk mematikan jentiknya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji efektifitas fogging masal terhadap pengendalian vektor DBD di Kecamatan Indramayu dan Kecamatan Sindang Kabupaten Indramayu tahun 1996. Data House Index (populasi nyamuk), Angka Bebas Jentik (ABJ) dan incidence DBD dikumpulkan dari desa/kelurahan tertentu di Kecamatan Indramayu dan Kecamatan Sindang selama tahun 1996. Tercatat ada 15 desa/kelurahan endemis yang mendapatkan kegiatan fogging masal dan abatisasi masal dan 7 desa/kelurahan sporadis yang hanya mendapatkan kegiatan abatisasi saja. Data diolah dengan menggunakan Epi-Info V6 dan dilakukan uji statistik sederhana dengan menghubungkan kejadian yang satu dengan kejadian lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama : fogging masal yang dilaksanakan setiap tahun antara bulan Agustus dan bulan September, efektif mengendalikan vektor selama kurang lebih 2 bulan, kedua : tidak ada perbedaan yang bermakna antara Angka Bebas Jentik (ABA) desa/kelurahan yang mendapatkan fogging masal dengan desa/kelurahan yang tidak mendapatkan kegiatan fogging masal. Disimpulkan bahwa : Fogging masal efektif mengendalikan vektor DBD selama 2 bulan di Kecamatan Indramayu dan Kecamatan Sindang. ......Mass Fogging Role in Demolishing of Dengue Haemorragic Fever (DBD) in Indramayu and Sindang Regions, Indramayu District During 1996Dengue fever disease (DBD) is an acute infection caused by virus and endemic by Aedes aegepti mosquitoes. One of the prevention to avoid DBD vector is by killing mosquitoes using fogging method before the epidemic period (SMVkP) which includes abatement the larvae. The purpose of the research are to observe the mass fogging effectiveness, especially to control DBD vector on Indramayu and Sindang regions, both in Indramayu Districts. House Index Data of mosquitoes population indicated that some free larvae numbers rate of DBD casualties, from certain endemic and sporadic districts, namely Indramayu and Sindang during 1996, it was found that only 15 Endemic villages have spent the mass fogging and abatement activities, and only 7 sporadic villages have spent the abatement activities. The data processing used Epi-Info V6 and examination of statistic samples were connected from one case to another. The result has shown that, first: mass fogging done annually between August and September are effective under control as long as 2 months, and second: nearly indifference of free larvae numbers (ABU), between fogged and unfogged villages. Conclusion: the mass fogging are effective only to control the DBD vector during 2 months in Indramayu and Sindang Regions.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Mustikasari
Abstrak :
Teknologi fotokatalis TiO2 terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dan banyak dimanfaatkan dalam berbagai macam aplikasi. Salah satu bentuk pemanfaatan fotokatalis TiO2 adalah sebagai material anti kabut dan swa bersih. Dengan sifat hidrofilik yang dmiliki material ini, tetesan air yang jatuh ke permukaan yang dilapisi katalis TiO2 tidak membentuk butiran melainkan terdispersi sehingga mampu mencegah terbentuknya kabut yang menghalangi visualisasi pada kaca. Selain itu, sifat super-hidrofilik pada TiO2 dapat menyebabkan kotoran yang menempel pada permukaan kaca yang dilapisi TiO2 akan terdegradasi dan dapat dibersihkan dengan lebih mudah. Untuk dapat meningkatkan performa dari katalis, dilakukan penambahan beberapa jenis aditif ke dalam fotokatalis TiO2. PEG (polyethylene glycol) adalah salah satu jenis aditif yang sering digunakan karena diyakini mampu meningkatkan porositas, memperkecil ukuran kristal serta menurunkan kemungkinan terjadinya peretakan (cracking) film saat proses kalsinasi. Selain PEG, SiO2 juga diyakini mampu meningkatkan keasaman dari katalis sehingga mampu meningkatkan hidrofilisitas dari katalis meskipun pada kondisi kurang cahaya. Pada percobaan ini, kedua macam aditif ini digunakan secara simultan untuk dapat memperbaiki performa dari katalis film yang dihasilkan. Fotokatalis dalam percobaan ini dipreparasi dengan precursor TiAcAc dengan metode sol-gel dan kristalisasi panas. Sol dengan penambahan PEG dan SiO2 yang bervariasi kemudian dilapiskan pada penyangga kaca preparat dan keramik dengan metode spin coating yang dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu 100_C dan kalsinasi mencapai suhu 520_C. Selanjutnya untuk mengetahui hasil dari preparasi katalis ini akan dilakukan karakterisasi dengan XRD, SEM/EDAX , FTIR, dan BET untuk mengetahui karakteristik fotokatalis yang terbentuk. Uji aktivitas juga dilakukan untuk mengetahui kemampuan swa bersih dan anti kabut dari material yang dihasilkan yang meliputi pengukuran sudut kontak dengan alat contact angle meter dan pengamatan langsung dengan menggunakan kamera digital. Dari hasil karakterisasi dan uji aktivitas, didapatkan kondisi optimum yang mendukung untuk aplikasi swa bersih dan anti kabut ini adalah komposisi penambahan PEG 15% dan SiO2 30% berat. Pada komposisi ini didapati bahwa material memiliki luas permukaan, ukuran partikel, porositas, aktivitas serta hidrofilisitas yang baik yang mendukung untuk aplikasi swa bersih dan anti kabut. ......Photocatalyst technology of TiO2 has been developing and employed in many applications. One of its applications is used as self-cleaning and anti fogging material. The hydrophilic and superhydrophilic properties of its material allow water to spread completely across the surface rather than remaining as droplets so it can perform selfcleaning and anti-fogging effect. To improve performance of its material, some additives have been added to TiO2 photocatalyst. PEG (polyethylene glycol) is polymer that widely used as an additive because it can increase porosity, minimize particle size and prevent film cracking during calcination. SiO2 with its acidity also widely used as additive because it can increase hydrophilicity of TiO2 material even in dark place. In this experiment, these additives will be used simultaneously to get the better performance of catalyst. Photocatalyst in this experiment is prepared by using TiAcAc precursor by using solgel method. Sol with varies composition of PEG and SiO2 addition then coated in soda lime plate and ceramics as support by using spin coating method then dried in 100_C and calcined until 520_C. After the preparation, then catalyst has been characterized using XRD, SEM/EDAX, FTIR, and BET to know the character of material. Activity test also done to know self-cleaning and anti fogging performance of this material by using contact angle meter and by direct observation using digital camera. From characterization and activity test results, it found that optimum condition of PEG and SiO2 addition is reached in PEG 15% and SiO2 30% (weight). In this composition, its material has large surface area, particle size, porosity and hydrophilicity that support for self-cleaning and anti fogging application.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S49661
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widuri
Abstrak :
Dewasa ini pengembangan nanomaterial TiO2 dalam bentuk film sedang mendapat perhatian karena kemudahan dalam aplikasinya. Aplikasi yang populer adalah untuk material antifogging dan self-cleaning. Aditif umumnya ditambahkan pada katalis ini untuk meningkatkan aktivitasnya. PEG (polyethylene glycol) digunakan untuk meningkatkan porositas, memperkecil ukuran kristal serta menurunkan kemungkinan terjadinya peretakan (cracking) film saat proses kalsinasi. SiO2 ditambahkan untuk meningkatkan keasaman dari katalis sehingga mampu meningkatkan hidrofilisitas dari katalis meskipun pada kondisi kurang cahaya. Dalam metode sol-gel rasio larutan prekursor dengan air sangat berpengaruh karena air memegang peranan penting dalam hidrolisis. Dalam penelitian ini rasio larutan prekursor dan air dan berat molekul PEG akan dipelajari lebih dalam. Selain itu uji self-cleaning terhadap kondisi optimum juga akan dilakukan. Fotokatalis dalam percobaan ini dipreparasi dengan precursor TiAcAc dengan metode sol-gel dan kristalisasi panas. Sol dengan variasi TiAcAc/Air, dan berat molekul PEG serta penambahan PEG dan SiO2 kemudian dilapiskan pada penyangga kaca preparat dengan metode spin coating sedangkan pada keramik dilakukan metode spray coating yang dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu 100_C dan kalsinasi mencapai suhu 520_ C. Selanjutnya untuk mengetahui hasil dari preparasi katalis ini akan dilakukan karakterisasi dengan FTIR, DRS dan TEM. Uji aktivitas juga dilakukan untuk mengetahui kemampuan swa bersih dan anti kabut dari material yang dihasilkan yang meliputi pengukuran sudut kontak dengan alat contact angle meter dan pengamatan langsung dengan menggunakan kamera digital. Pengembangan nanomaterial dengan metode sol-gel dan kristalisasi panas dengan penambahan dopan PEG dan SiO2 berhasil dilakukan, merujuk pada hasil DRS yang menunjukkan band-gap makin besar, ukuran partikel makin kecil setelah diuji dengan TEM, serta hasil uji sudut kontak yang memperlihatkan penurunan sudut kontak air. Hal ini juga didukung hasil uji kualitatif dimana kabut dan kotoran tidak menempel setelah kaca dan keramik dilapisi oleh katalis. Variasi TiAcAc/H2O yang dilakukan menunjukkan kecenderungan kenaikan aktivitas katalis sesuai dengan hasil FTIR dan uji sudut kontak yang dilakukan, sedangkan variasi berat molekul PEG tidak begitu berpengaruh pada aktivitas katalis yang digunakan.
In the recent time, the development of TiO2 nanomaterial film has been interesting because of its practical applications. Its well known functions are as an antifogging and self cleaning material. Additives are usually added in order to improve its activity. PEG (polyethylene glycol) is generally used as an additive to increase porosity, minimize particle size and prevent film cracking during calcination. SiO2 could make surface more acid, so it can in crease hydrophilicity of TiO2 material even in non-irradiation places. In the sol-gel method, ratio between precursor solution and water ratio became important because water lead the hydrolysis. In this research, ratio between precursion solution and PEG molecular weigt effect will be studied. Beside those, there are test of self-cleaning on the optimum condition. Photocatalyst in this experiment is prepared by using TiAcAc precursor by using sol-gel method. Sol with varies composition of PEG and SiO2 addition then coated in soda lime plate and ceramics as support by using spin coating method and spray coating method then dried in 100_C and calcined until 520_C. After the preparation, then catalyst has been characterized using FTIR, DRS and TEM. Activity test was also done to know self-cleaning and anti fogging performance of this material by using contact angle meter and by direct observation using digital camera. Development of nanomaterial with sol-gel method and hot crystallization and the addition of dopan PEG and SIO2 is quite success according to DRS result that shows the increasing of band gap, the decrease of particle size from TEM result and also the decrease of contact angle. These results are supported also from qualitative test which showed antifogging and self-cleaning activity of catalyst coated glass. Variation of Tiacac/H2O showed the result tends to the decrease of activity. From this research, we find also variation of PEG molecular weight does not give a lot of effects for catalyst activity.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S49695
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library