Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Gusti Putu Arysutha Negara
Abstrak :
Di Jepang terdapat kegiatan perisakan (bullying) di dalam dunia pendidikan yang dinamakan ijime. Faktor utama penyebab terjadinya ijime adalah keinginan untuk menghilangkan perbedaan di dalam kelompok. Korban akan terus mendapatkan tindakan ijime sampai mereka menghilangkan perbedaan mereka dengan siswa lain. Terlebih lagi pada masa kini ijime dapat terjadi di media sosial yang digunakan oleh sebagian besar remaja Jepang. Ijime di media sosial dapat memiliki efek yang lebih buruk bagi korban karena tindakan ijime tidak berhenti di sekolah, tetapi selalu mengikuti sang korban bahkan sampai ke rumah. Tekanan dari lingkungan bagi korban ijime untuk mengubah kepribadian korban agar menjadi sama dengan anggota lain di dalam lingkungan sosial dapat menimbulkan tekanan batin bagi korban. Bila tekanan batin yang dirasakan korban ijime dapat membuat korban absen untuk bersekolah dalam waktu lebih dari 30 hari, hal tersebut diidentifikasi di Jepang sebagai futoko. Bila solusi atas perilaku futoko yang dilakukan korban ijime tidak dapat ditemukan, maka perilaku futoko dapat berkembang menjadi perilaku hikikomori. Hikikomori adalah perilaku di mana seseorang menolak untuk keluar rumah selama lebih dari enam bulan. Tulisan ini akan menjelaskan perilaku ijime dan fenomena hikikomori yang muncul sebagai dampaknya. Kemudian tulisan ini akan mengkaji langkah-langkah yang ditempuh untuk meminimalisir ijime di dalam dunia pendidikan.
...... In Japan, there are confirmed cases of bullying in the education system which is given the term ijime. The main factor causing ijime is the will to remove any difference that exist within a certain group. The victim will be continuously given ijime until they remove any difference they have with the other students. Nowadays ijime could happen anywhere, including in social medias which is used by the majority of Japanese teenagers. Ijime in social medias could be worse for the victims as the ijime didnt stop at school, but follows the victim anywhere. The pressure from the environment for the ijime victims to conform their personality with the other members within their group could cause stress for the victims. The stress felt by the ijime victims could cause them to be absent from school for over 30 days which is named futoko in Japan. If the solution to the victims futoko behavior couldnt be found, the futoko behavior could develop into hikikomori. Hikikomori is a behavior in which someone refuses to get out from their homes from more than six months. This article will try to explain the ijime behavior and hikikomori that appear as its impact. After that, this article will study the steps that have been taken to reduce ijime and its impact to the victims of one.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Aria Sumanti
Abstrak :
ABSTRAK
Pendidikan menjadi bagian terpenting dalam menyiapkan generasi suatu bangsa. Keberhasilan suatu bangsa juga dapat diukur dari bagaimana pendidikan diselenggarakan. Jepang adalah salah satu negara di dunia yang memiliki reputasi baik dalam hal penyelenggaraan pendidikan. Namun, dalam penyelenggaran pendidikan bukan berarti tidak terjadi masalah. Permasalahan yang menyangkut perilaku siswa juga masih terjadi di Jepang, salah satunya adalah futōkō atau ketidakhadiran siswa di sekolah dalam jangka waktu yang lama. Siswa yang tidak hadir di sekolah dalam jangka waktu lama akan menimbulkan dampak negatif, terutama dalam hal sosialisasi. Semakin banyaknya siswa yang tidak hadir di sekolah mengakibatkan keresahan para orangtua dan masyarakat, sehingga pemerintah dianggap penting untuk segera mengatasi permasalahan tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah Jepang melalui kementerian pendidikan merancang kebijakan yang dapat membantu siswa yang tidak hadir di sekolah agar tetap dapat mengenyam pendidikan. Selain pemerintah, pihak non profit organization atau NPO juga mengusahakan program untuk membantu para siswa tersebut. Salah satu program NPO yang mendapatkan perhatian pemerintah adalah
free-school, yaitu sekolah bagi siswa futōkō. Undang-undang terbaru yang
disahkan oleh pemerintah telah melegitimasi free-school sebagai salah satu bentuk sekolah yang dapat menyelenggarakan wajib belajar. Melalui undang-undang ini Jepang telah melakukan perubahan dalam sistem pendidikan dan semakin terbuka dengan sekolah-sekolah jenis baru pada era globalisasi.
ABSTRACT
Education is the most important part in preparing generation of a nation. The
success of a nation can also be measured on how education is organized. Japan is one of the countries in the world with good reputation in terms of education. However, it does not mean Japan has no problemin the delivery of education. Problems concerning student behaviour also happened in Japan, one of them is futōkō or the absence of students in school for long periods of time. Students who are absent in school for a long time will have a negative impact, especially in terms of socialization. The increasing number of students who are absent from school leads to anxiety among parents and the community, so the government is considered important to address the problem immediately. Japanese government through Ministry of Education Culture, Sport, Science and Technology (MEXT), designed policies to help students who are absent in school to continue receiving education. In addition to the government, non-profit organizations or NGOs also work on programs to help these students. One of the NPO programs that get government attention is free-school, which is a school for futōkō students. Recent legislation passed by the government has legitimized free-school as one form of school that can provide compulsory education. Through this law Japan has made changes in the education system and is increasingly open to schools of a new kind
in the era of globalization.
2018
T50040
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library