Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Clarissa Josephine Aditya
"[Pendahuluan: Obesitas adalah suatu permasalahan pandemik yang ditemukan di
negara maju maupun berkembang, dengan peningkatan prevalensi dalam dua
dekade terakhir. Obesitas pada anak dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit
kronik, baik fisik maupun psikis. Gangguan psikososial yang berkaitan dengan
obesitas pada anak meliputi: depresi, cemas, rendah diri, gangguan hiperkinetik,
serta peningkatan agresivitas. Diperkirakan obesitas berhubungan dengan
gangguan perilaku dan emosional akibat ekspresi genetik rentan pada individu
obes. Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada anak usia sekolah dasar
di SDN 01 Menteng Jakarta untuk mengetahui hubungan tersebut. Penelitian
dilakukan dengan membandingkan status gizi anak dengan skrining gangguan
perilaku dan emosional melalui kuesioner PSC-17. Hasil: Sebaran anak obes di
SDN 01 Menteng Jakarta mencapai 23,18%. Hasil analisis obesitas pada anak
terhadap gangguan perilaku secara signifikan bermakna untuk subskala
eksternalisasi (p = 0,036). Sedangkan obesitas pada anak tidak memiliki hubungan
bermakna secara statistik untuk subskala internalisasi (p = 0,428), perhatian (p =
0,233), dan skor total PSC-17 (p = 0,824). Secara umum, obesitas tidak
berhubungan dengan gangguan perilaku dan emosional pada anak (p = 0,602).
Diskusi: Obesitas tidak berhubungan dengan gangguan perilaku dan emosional
pada anak secara general menunjukkan bahwa ada faktor-faktor lain yang
berperan dalam menimbulkan gangguan psikis pada anak. Namun, penggunaan
kuesioner PSC-17 yang singkat dapat menunjukkan adanya kemungkinan negatif
palsu, terutama untuk gangguan cemas. Obesitas berhubungan dengan gangguan
subskala eksternalisasi (agresivitas, dissosial) yang diduga berhubungan dengan
sosial stigma dari peer group;Introduction: Obesity has become a pandemic problem, which is common in
both developed and developing countries. The prevalence of obesity in children
has increased in the last two decades. Obesity in children can increase the risk of
various chronic diseases, both physically and mentally. Psychosocial disorders
associated with childhood obesity include: depression, anxiety, low self-esteem,
hyperkinetic disorder, as well as increased aggressiveness. It is estimated that
obesity is associated with behavioral and emotional disorders are due to
vulnerable genetic expression in obese individuals. Method: A cross-sectional
study conducted in primary school age children in SDN 01 Menteng Jakarta to
determine the relationship. The study was conducted by comparing the nutritional
status of children and behavioral/emotional disorders screening through PSC-17
questionnaires. Result: Distribution of obese children in SDN 01 Menteng Jakarta
reached 23.18%. Association between childhood obesity and behavioral disorders
is significant for externalizing subscale (p = 0.036). On the other side, childhood
obesity did not have a statistically significant relationship for internalization
subscale (p = 0.428), attention (p = 0.233), and PSC-17 total score (p = 0.824). In
general, obesity is not associated with behavioral and emotional disorders in
children (p = 0.602). Discussion: No associations between obesity and
behavioral/emotional disorders in children suggest that there are other factors
playing a role in causing mental disorders in children. However, the use of brief
PSC-17 questionnaires may indicate the possibility of false negatives, especially
for anxiety disorders. Association between obesity and externalizing subscale
disorders (aggresiveness, dissocial behavior) may be caused by the social stigma
of the peer group, Introduction: Obesity has become a pandemic problem, which is common in
both developed and developing countries. The prevalence of obesity in children
has increased in the last two decades. Obesity in children can increase the risk of
various chronic diseases, both physically and mentally. Psychosocial disorders
associated with childhood obesity include: depression, anxiety, low self-esteem,
hyperkinetic disorder, as well as increased aggressiveness. It is estimated that
obesity is associated with behavioral and emotional disorders are due to
vulnerable genetic expression in obese individuals. Method: A cross-sectional
study conducted in primary school age children in SDN 01 Menteng Jakarta to
determine the relationship. The study was conducted by comparing the nutritional
status of children and behavioral/emotional disorders screening through PSC-17
questionnaires. Result: Distribution of obese children in SDN 01 Menteng Jakarta
reached 23.18%. Association between childhood obesity and behavioral disorders
is significant for externalizing subscale (p = 0.036). On the other side, childhood
obesity did not have a statistically significant relationship for internalization
subscale (p = 0.428), attention (p = 0.233), and PSC-17 total score (p = 0.824). In
general, obesity is not associated with behavioral and emotional disorders in
children (p = 0.602). Discussion: No associations between obesity and
behavioral/emotional disorders in children suggest that there are other factors
playing a role in causing mental disorders in children. However, the use of brief
PSC-17 questionnaires may indicate the possibility of false negatives, especially
for anxiety disorders. Association between obesity and externalizing subscale
disorders (aggresiveness, dissocial behavior) may be caused by the social stigma
of the peer group]"
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Kusumowardhani
"ABSTRAK
Tes Bender Gestalt adalah tes yang dirancang oleh Dr. Lauretta Bender untuk penggunaan klinis khususnya mengukur kemampuan organisasi persepsi visual-motor. Bender menggambarkan secara detil mengenai proses kematangan
persepsi visual-motor. Menggambar sembilan figur tes Bender Gestalt menurutnya berkaitan dengan prinsip biologis dari sensori-motor yang tergantung pada
perkembangan tingkat kematangan dari individu dan ada tidaknya keadaan patologis baik dalam fungsi maupun organisnya. Melalui banyak penelitian ternyata terbukti bahwa tes Bender Gestalt juga dapat mengungkap indikasi brain injury melalui beberapa indikntor pada beberapa figur, mengukur kematangan persepsi visual-motor, dan mengungkap kondisi gangguan emosi melalui kriteria-kriteria gangguan emosional. (Koppitz 1970).
Di Sisi lain, Attention Deficit Disorder (ADHD) adalah satu kondisi gangguan perkembangaa pada anak yang dikaitkan dengan adanya keadaan disfungsi minimal otak yang mengakibatkan burnknya perilaku kontrol motorik
(Wenar, 1994). Adapun Flick (1998) mengemukakan bahwa di samping karakteristik utama yang disebutkan di dalam DSM V-R, ada karakteristik tambahan yang terdapat pada anak ADHD yaitu disorganizotion: poorpeer-sibling relalion; aggressive behavior; poor self-concept self-esteem; senstion seeking behavior; daydreaming; poor coordination; memory problem; persistent obsessive thinking; dan inconsistency. Karakteristik tersebut sesuai dengan gangguan emosional yang diungkap dalam tes Bender Gestalt melalui kriteria-kriteria yang diinterpretasi secara kualitatif. Adapun kritetia-kriteria gangguan emosional
tersebut adalah confused order; wavy line; dashes for circle: progressive increase: large size of drawing: fine line: overwork; second attempt: expansion: constriction
Serta frame dan spontaneous elaboration (Koppitz, 1970).
Berkaitan dengan adanya karakteristik problem perilaku dan gaugguan emosi pada anak ADHD yang sesuai dengan yang diungkap oleh tes Bender Gestalt, muncul beberapa pertanyaan yang berkisar pada (1) apakah ada kecenderungan profil yang khas dari performance anak ADHD pada tes Bender Gestair(2) apa saja kriteria gangguan emosional yang muncul atau dilakukan oleh anak ADHD dalam tes Bender Gestalt tersebut serta seberapa besar manfaat tes Bender Gestalt dalam mengungkap masalah perilaku dan gangguan emosional pada anak ADHD?
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan di samping, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. juga sebagai studi pendahuluan mengenai profil tes Bender Gestalt pada anak ADHD, khususnya mengenai ada tidaknya kekhasan dalam respon terhadap figur-figur tes Bender Gestalt serta kriteria gangguan emosional yang cenderung dibuat oleh anak ADHD, sehingga membuat psikolog klinis anak dalam menegakkan diagnosa ADHD sertn menjadi bahan pertimbangan
untuk perlu atau tidaknya penggunaan tes Bender Gestalt dalam pemeriksaan kasus ADHD.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan profil yang cenderung khas dari anak ADHD pada klasifikasi kesalehan distorsi, rotasi, integrasi dan perseverasi pada
masing-masing figur tes Bender gestalt. Klasifikasi kesalahan distorsi terbanyak muncul di figure 6, figur 7, dan tigur 8; rotasi terbanyak muncul di tigur 7 dan di
figur 4 tetapi tidak terlalu menonjol; integrasi di figur 3 dan figur 4 sedangkan
perseverasi pada frgur 6 dan figur I tetapi tidak terlalu menonjol. Untuk figur A di antara empat klasifikasi kesalahan yang ada, distorsi mempakan kesalahan yang
paling banyak dilakukan. Pada figur 1, kesalahan yang paling banyak muncul adalah integrasi. Pada figur 2, klasifikasi kesalahan yang terbanyak muncul adalah
Integrasi dan perseverasi tetapi kemunculannya tidak terlalu menonjol. Pada figur 3. Klasifikasi kesalahan yang banyak terjadi adalah integrasi sedangkan pada figur
4 yang terbanyak muncul adalah integtasi dan rotasi. Pada figur 5, yang terbanyak muncul adalah klasifikasi rotasi tetapi tidak menonjol. Adapun di Figur 6 sangat menonjol kemunculan klasifikasi distorsi kemudian diikuti klasifikasi perseverasi dan rotasi sangat kecil kemunculannya pada figur 6 ini. Pada figur 7 distorsi juga
sangat menonjol yang diikuti pula oleh rotasi tetapi tidak terlalu menonjol untuk kesalahan integrasi, sedangkan pada figur 8 masih didominasi oleh kesalahan distorsi dan kurang menonjol pada klasifikasi kesalahan rotasi.
Kriteria gangguan emosional yang muncul dalam performance tes Bender Gestalt yang dibuat oleh anak ADHD sesuai dengan karakteristik emosi anak ADHD, yaitu dengan urutan peluang kemunculan sebagai berikut; large size of
drawing terutama pada tigur 8; overwork yang bisa terjadi di figur munapun:fine line tertama di figul 3; confused order; wavy line terutama di figur 1 dan figur 2
progressive increase di figur 1, figur 2, dan figur 3 dengan kemunculan terbanyak pada figur 1; second attempt yang kemunculannya tidak dapat dibedakan figur mana yang menonjol karena semua figur punya persentasi rata-rata; small size of drawing tidak ada figur yang menonjol; expansion dengan maksimal 2 halaman kertas; dashes for circle di figur 3; dan constriction, box around design Serta spontaneous elaboration tidak termasuk kriteria respon yang dibuat.
Dari hasil tersebut dapat dikemukakan beberapa saran: (1) dalam pemeriksaan anak dengan keluhan yang mengarah pada karakteristik dan riwayat ADHD sebaiknya menggunakan tes Bender Gestalt sebagai salah satu alat bantu diagnostik karena tes Bender Gestalt di samping mengungkap kematangan persepsi visual motor juga mengungkap gangguan emosional yang terjadi pada anak ADHD; (2) perlu ada penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih hesar serta diuji secara statistik; (3) Informasi atau laporan hasil tes Bender Gestalt sebaiknya ditulis Secara lengkap dan rinci mulai dari observasi, skoring dan interpretasi sesuai dengan panduan skoring tes Bender Gestalt agar dapat menjadi keterangan bantu yang lebih besar manfaatnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T38370
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Siti Zahra
"Latar belakang: Hemofilia merupakan penyakit kronis yang dapat memengaruhi aspek psikososial penderitanya. Gangguan psikososial yang mungkin dialami adalah gangguan tidur serta gangguan emosi dan perilaku. Penelitian ini bertujuan untuk menilai gangguan tidur, gangguan emosi dan perilaku, dan hubungan keduanya pada pasien anak dengan Hemofilia.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada pasien anak dengan hemofilia di poli hematologi anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari November 2022-Januari 2023. Penilaian gangguan tidur dilakukan melalui kuesioner the Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) berbahasa Indonesia. sedangkan gangguan emosi dan perilaku dinilai berdasarkan kuesioner Pediatric Symptom Checklist-17 (PSC-17) berbahasa Indonesia, Analisis hubungan antara keduanya dinilai melalui uji Fisher.
Hasil: Terdapat 43 pasien anak laki-laki dengan hemofilia dalam periode penelitian. Gangguan tidur terdapat pada 19/43 (44,2%). Gangguan emosi dan perilaku terdapat 5/43 (11,6%). Hubungan gangguan tidur dengan gangguan emosi perilaku menunjukkan nilai p sebesar 0,387 (Hasil uji Fisher).
Kesimpulan: Hubungan gangguan tidur dengan gangguan emosi dan perilaku pada pasien anak dengan hemofilia tidak dapat disimpulkan.

Introduction: Hemophilia is a chronic disease that can affect the psychosocial aspects of sufferers. Psychosocial disorders that may be experienced are sleep disturbances and so emotional and behavioral disorders. This study aims to assess sleep disturbances, emotional and behavioral disorders, and the relationship between the two in pediatric patients with Hemophilia.
Method: This cross-sectional study involved pediatric patients with hemophilia at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Assessment of sleep disturbances was carried out through the Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) questionnaire, while emotional and behavioral disorders were assessed using the Pediatric Symptom Checklist-17 questionnaire (PSC-17). Those questionnaires had already validated in Indonesian. The analysis of the relationship between the two was assessed through Fisher's test.
Result: There were 43 male pediatric patients with hemophilia in this study. It showed that 19/43 (44.2%) of pediatric patients with hemophilia experienced sleep disturbances. In addition, there were 5/43 (11.6%) of patients who had emotional and behavioral disorders. Fisher's test results showed p value=0.387.
Conclusion: Thus, the relationship between sleep disturbances and emotional and behavioral disturbances in pediatric patients with hemophilia can not be concluded.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisha Rahmi Dian Reswara
"End-stage kidney disease (ESKD) pada anak berdampak tidak terbatas pada aspek kesehatan fisik, tetapi juga perubahan emosi dan perilaku. Namun, kondisi ini seringkali diabaikan. Di Indonesia, data mengenai gangguan emosi dan perilaku khususnya pada pasien ESKD anak yang menjalani hemodialisis (HD) jumlahnya pun terbatas. Studi potong lintang ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi, jenis gangguan, dan asosiasi faktor-faktor yang berhubungan terhadap gangguan emosi dan perilaku pada pasien ESKD anak yang menjalani HD. Total 28 pasien ESKD anak di RSCM usia 4-18 tahun yang menjalani hemodialisis minimal 1 bulan diikutkan dalam penelitian. Skrining gangguan emosi dan perilaku diukur menggunakan PSC-17. Analisis bivariat dilakukan menggunakan uji Chi-Square/Fisher. Studi ini menemukan prevalensi gangguan emosi dan perilaku pada pasien ESKD anak yang menjalani HD di RSCM sebesar 32%, dengan persentase abnormal tertinggi pada subskala internalisasi (21,4%). Variabel jenis kelamin menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05) terhadap gangguan emosi dan perilaku.

Children with end-stage kidney disease (ESKD) have behavioral and emotional difficulties in addition to physical health problems. But this condition is frequently disregarded. Data on emotional and behavioral issues among pediatric ESKD patients in Indonesia, especially those receiving hemodialysis (HD), is still scarce. The purpose of this cross-sectional study is to identify the prevalence, type, and correlation of variables associated with emotional and behavioral issues in pediatric hemodialysis patients. There were a total of 28 pediatric ESKD patients at RSCM, ages 4 to 18, who received hemodialysis treatment for at least one month included in this study. The children were screened for emotional and behavioral problems using PSC-17 questionnaire. Bivariate analysis was measured using Chi-Square/ Fisher test. This study discovered the prevalence of behavioral and emotional issues in children with ESKD receiving HD in RSCM is 32%, high proportion found in internalization subscale (21.4%). The risk of emotional and behavioral issues was shown to be significantly correlated with gender (p<0.05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kharisma Ahmad Abdillah Putra Carensa
"xLatar belakang: Kejadian leukemia akut sebagai kanker tersering pada anak terus meningkat setiap tahun menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas tertinggi akibat penyakit. Umumnya, leukemia akut menyerang anak berusia <15 tahun dan remaja. Terapi definitif (kemoterapi) yang lama dan tidak menyenangkan berisiko dalam mengembangkan gangguan emosi dan perilaku pada anak. Di lain sisi, kehidupan pascapandemi juga turut meningkatkan penggunaan gawai pada kaum remaja yang turut berperan dalam terjadinya gangguan emosi dan perilaku. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahu hubungan antara screen-time dengan gangguan emosi dan perilaku pada remaja leukemia. Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang yang dilakukan di Poli Hematoonkologi Anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan November 2022. Penelitian ini menggunakan instrumen data screen-time dan kuesioner PSC-17. Analisis dilakukan secara univariat dan bivariat menggunakan aplikasi SPSS versi 24. Hasil: Jumlah remaja leukemia di RSCM 23 orang, tersebar merata secara usia, didominasi anak laki-laki (13/23), jenis leukemia LLA (22/23), tingkat pendidikan anak SD (12/23), tingkat pendidikan ayah dan ibu menengah (11/23; 9/23), pendapatan keluarga < UMP DKI Jakarta (10/23), dan seluruhnya mendapat dukungan emosional keluarga. Nilai median usia dan durasi sakit (bulan) adalah 12,94 (10,05-17,18) tahun dan 16 (0,83-96) bulan. Tingkat screen-time sebagian besar >2 jam/hari (22/23) dengan penggunaan terlama >6 jam/hari (12/23) dan rerata 6.5 ± 3,25 jam/hari, serta digunakan untuk hiburan. Gangguan Emosi dan Perilaku terjadi pada 2/23 orang yaitu gangguan internalisasi (1) dan gangguan eksternalisasi (1). Hubungan antara screen-time dengan gangguan emosi dan perilaku tidak dapat disimpulkan. Kesimpulan: Tingkat screen-time yang tinggi pada remaja leukemia perlu diedukasi kepada orangtua dan remaja, serta 2 orang pasien dengan gangguan emosi dan perilaku perlu diperiksa lebih lanjut.

Background: The incidence of acute leukemia, the most common cancer in children, continues to increase yearly, becoming the highest cause of morbidity and mortality due to disease. Generally, acute leukemia attacks children aged <15 years and adolescents. Long and unpleasant definitive therapy (chemotherapy) is at risk of developing emotional and behavioral disorders in children. On the other hand, post-pandemic life has also increased the use of gadgets among adolescents, contributing to emotional and behavioral disorders. This study aims to determine the relationship between screen time and emotional and behavioural disorders in leukaemic adolescents. Methods: The design of this study was a cross-sectional study conducted at the Children's Hematooncology Polyclinic at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo in November 2022. This study used screen-time data instruments and the PSC-17 questionnaire. The analysis was carried out univariate and bivariate using the SPSS version 24 application. Results: The number of leukemia adolescents in RSCM was 23 people, evenly distributed by age, dominated by boys (13/23), type of leukemia ALL (22/23), education level of children SD (12/23), middle education level of father and mother (11/23; 9/23), family income < UMP DKI Jakarta (10/23), and all of them received family emotional support. The median values for age and illness duration (months) were 12.94 (10.05-17.18) and 16 (0.83-96). The screen-time level is mostly >2 hours/day (22/23), with the most frequent use being >6 hours/day (12/23) and an average of 6.5 ± 3.25 hours/day, and it is used for entertainment. Emotional and behavioral disorders occur in 2/23 people, namely internalization disorders (1) and externalization disorders (1). The relationship between screen time and emotional and behavioral disorders is inconclusive. Conclusion: The high level of screen time in adolescents with leukemia needs to be educated to parents and adolescents, and two patients with emotional and behavioral disorders need to be examined further."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library