Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sidabutar, Juniara Salomo
"Latar Belakang: Gangguan ginjal akut sering terjadi pada penderita sirosis hati dan berhubungan dengan meningkatnya mortalitas. Model prediksi terjadinya gangguan ginjal akut yang dapat dihitung saat masuk perawatan diharapkan dapat mnemukan pasien yang memiliki resiko dehingga dapat dilakukan upaya mencegah terjadinya gangguan ginjal akut.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perdarahan saluran cerna, riwayat parasintesis besar, skor MELD, sepsis, peritonitis bakterial spontan, kadar albumin serum, kadar hemoglobin dan rasio netrofil terhadap limfosit dengan terjadinya gangguan ginjal akut pada pasien sirosis hati dan membuat suatu model prediksi terjadinya gangguan ginjal akut pada pasien sirosis hati.
Metode: : Analisis data dilakukan terhadap 209 pasien sirosis hari yang dirawat inap di RSUPN Cipto Mangunkusumo dari tanggal 1 January 2019 hingga 31 December 2019. Gangguan ginjal akut didefenisikan dengan terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL dalam 48 perawatan.
Hasil: Terdapat 45 pasien (21,5%) mengalami gangguan ginjal akut.. rasio netrofil terhadap limfosit (p<0.001), skor MELD (p<0.001) and kadar albumin serum (p<0.001) berhubungan dengan terjadinya gangguan ginjal akut. Rasio netrofil limfosi lebih dari 8 (nilai prediksi 2), kadar bilirubin total serum lebih dari 1,9 (nilai prediksi 2) dan kadar albumin serum kurang dari 3(nilai prediksi 1) merupakan nilai batas untuk prediksi. Skor prediksi ≥4 dapat menjadi prediktor terjadinya gangguan ginjal akut pada pasien sirosis hati dengan sensitifitas 97,3%.
Simpulan: Rasio netrofil terhadap limfosit, skor MELD, kadar albumin serum berhubungan dengan terjadinya gangguan ginjal akut pada penderita sirosis hati yang dirawat inap.Suatu sistem skor dengan menggunakan rasio netrofil terhadap limfosit, kadar bilirubin total serum dan kadar albumin serum merupakan prediktor yang dapat digunakan untuk prediksi terjadinya gangguan ginjal akut ini.

Background : Development of acute kidney injury (AKI) is common and is associated with poor outcomes. A risk prediction score combining values easily measured at admission could be valuable to stratify patients for prevention, monitoring and early intervention, ultimately improving patient care and outcomes.
Objective: This study aimed to determine association of gastrointestinal bleeding history, large paracentesis history, MELD score, sepsis, spontaneous bacterial peritonitis, serum albumin level, hemoglobin level and netrophyl lymphocyte ratio for development of acute kidney injury in cirrhosis patients and to know the prediction score for the development of AKI in hospitalized cirrhosis patients
Methods: A cross-examined the data from a retrospective analysis of 209 patients with cirrhosis admitted to the Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2019 to December 2019. AKI was defined as an increase in serum creatinine ≥0.3 mg/dL within 48 hours from baseline. A receiver operating characteristic (ROC) curve was produced to assess the discriminative ability of the variables. Cutoff values were defined as those with highest validity. The final AKI risk score model was assessed using the ROC curve.
Results: A total of 45 patients (21,5%) developed AKI. Higher NLR (p<0.001), Model of End-stage Liver Disease (MELD) (p<0.001) and lower serum albumin level (p<0.001) were independently associated with AKI. Finding the prediction score of acute kidney injury, cut off values with the highest validity for predicting AKI were determined and defined as 8 for the neutrophil lymphocyte ratio, 1,9 for total bilirubine serum and 3 for serum albumin level. The risk score was created allowing 2 points if the netrophyl lymphocyte ratio is higher than 8, 2 point if the serum total bilirubine is higher than 1,9 and 1 point if the serum albumin is lower than 3. The AUROC curve of the risk prediction score for AKI was 0.842. A risk score of ≥4 points predicts AKI in cirrhotic patients with a sensitivity of 97,3%.
Conclusions: The netrophyl lymphocyte ratio, MELD score and albumin level are associated with the development of AKI in hospitalized cirrhosis patients. A score combining netrophyl lymphocyte ratio, serum bilirubin and albumin level demonstrated a strong discriminative ability to predict AKI in hospitalized cirrhotic patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Indrawati
"Latar belakang: Pekerja yang bekerja di lingkungan panas mempunyai resiko tinggi mengalami gangguan ginjal akibat dehidrasi kronis. Gangguan ginjal dapat dicegah jika kelainan dapat dideteksi dan diterapi sejak awal dimana resiko kesakitan dan kematian juga akan berkurang. Pemeriksaan yang biasa dilakukan dalam praktek sehari-hari pada saat ini adalah dengan kreatinin. Namun pemeriksaan kreatinin baru menunjukkan kelainan pada penurunan LFG lanjut. Cystatin C dikatakan bisa mendeteksi gangguan ginjal lebih awal sebelum kadar kreatinin meningkat sehingga dapat segera dilakukan tindakan pencegahan untuk menghindari kerusakan ginjal lebih lanjut.
Metode penelitian:` Penelitian dilakukan dengan desain Cross sectional. Dilakukan pada 94 pekerja laki-laki yang dipilih secara random sampling. Data dikumpulkan dengan wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium. Kadar cystatin c serum diukur dengan metode Immunonephelometri, kreatinin diukur dengan metode enzymatik, kemudian dihitung estimasi Laju Filtrasi Glomerulus berdasar Cystatin C dan kreatinin dengan metode CKD EPI. Hasil penelitian dilakukan analisa univariate dan bivariate.
Hasil: Didapatkan prevalensi Gangguan Fungsi Ginjal dari Pemeriksaan Cystatin C pada Pekerja terpapar panas dengan Laju Filtrasi Glomerulus normal sebesar 17 %. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia dan gangguan ginjal (p=0,000) dengan OR 13,22. Terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan gangguan ginjal (p = 0,043) dengan OR 6,67.
Kesimpulan: LFG dengan Cystatin C dapat mendeteksi lebih dini gangguan ginjal sebelum kreatininnya meningkat dengan prevalensi 17% sehingga dengan upaya promotif dan preventif yang dilakukan diharapkan dapat mencegah gangguan ginjal lebih lanjut.

Background: Workers who work in hot environments have a high risk of having renal disorders due to chronic dehydration. Renal disorders can be prevented if the abnormality can be detected and treated early in the beginning where the risk of morbidity and mortality is lower, as well. The common test conducted in daily practice today is the creatinine clearance test. However, creatinine clearance test shows abnormalities only in an advance reduced GFR. Cystatin C is known to be able detecting renal disorders in early stage before the creatinine level increases so that precautions can be taken to prevent a more advance renal damage.
Study Method: This study used a cross sectional design. It was conducted to 94 workers whom selected with random sampling. Data was collected by interview, physical examination, and laboratory tests. Serum level of Cystatin C was measured by the method of immunonephelometry. Creatinine was measured by enzymatic method and subsequently, Glomerular Filtration Rate was estimated based on cystatin and creatinine using CKD EPI method. Univariate and bivariate analysis was performed to the results.
Result: The study suggest that there is prevalence of renal disorders based on Cystatin C test in heat-exposed workers with normal glomerular filtration rate by 17%. There is a significant association between age and renal disorder (p = 0,000) with OR 13.22. There is a significant relation between period of employment with renal disorder (p = 0,001) with OR 6.57.
Conclusion: Cystatin-based GFR is able to detect renal disorder at early stage before the creatinine level increases with prevalence of 17% so that further renal damage is expected to be able prevented with promotion and prevention attempts.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58717
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puja Agung Antonius
"Latar Belakang: Kanker serviks adalah keganasan ginekologi terbanyak kedua pada perempuan di seluruh dunia dengan angka kematian yang tinggi. Stadium IIIB kanker serviks didefinisikan sebagai perluasan tumor yang mengenai dinding panggul atau adanya hidronefrosis. Jika disertai dengan gangguan ginjal, angka morbiditas dan mortalitas pasien akan meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perbedaan data patologi, respon terapi, masa rawat, dan angka kesintasan satu tahun pada pasien kanker serviks stadium IIIB dengan dan tanpa gangguan ginjal.
Metode: Dengan menggunakan metode potong lintang dilakukan pengambilan data 941 sampel pasien kanker serviks stadium IIIB di RSCM Jakarta antara bulan Juli 2010 - Juli 2015.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan signifikan jumlah pasien ditinjau dari keterlibatan dinding panggul, keterlibatan KGB, derajat dan simetrisitas hidronefrosis, rerata kadar ureum, kreatinin, dan kalium serum pada pasien kanker serviks dengan dan tanpa gangguan ginjal (p<0.001). Juga ditemukan perbedaan bermakna jumlah pasien yang menjalani terapi diversi urin , dialisis, dan kemoterapi. Untuk analisis kesintasan, didapatkan hazard ratio 0.307 (IK95% 0,160-0,589).
Kesimpulan: Dengan gambaran data tersebut, perlu diusulkan suatu entitas klasifikasi baru untuk kanker serviks stadium IIIB dengan gangguan ginjal (IIIB plus), mengingat kasus ini membutuhkan penanganan yang lebih kompleks dan holistik dengan melibatkan banyak keahlian (penyakit dalam, urologi, ginjal hipertensi, gizi klinik dan paliatif) serta prognosis yang berbeda bermakna secara statistik

Background: Cervical cancer is the second most common gynecological cancer in women globally. Stage IIIB cervical cancer is defined as a local extension of tumor that affects the pelvic wall or hydronephrosis or kidney disease. If accompanied by kidney disease, the complication will increase thereby increasing patient's morbidity and mortality. The aim of this study is to know whether there are differences in the clinical data, therapy, duration of hospital, and one-year survival rate in cervical cancer patient with and without kidney disease.
Methods: This research uses cross-sectional method with samples of stage IIIB cervical cancer patients in Cipto Mangunkusumo between July 2010 and July 2015.
Results: The results showed significant difference in the number of patients with pelvic wall involvement, lymph node involvement, degree and symmetry of hydronephrosis, the serum urea, creatinine, and potassium level between cervical cancer patients with and without kidney disease (p <0.001). There are also significant differences in the number of patients undergoing urinary diversion therapy, dialysis and chemotherapy. For survival analysis, the hazard ratio obtained is 0.307 (IK95% 0.160 - 0.589).
Conclusion: With the results obtained, we suggest new entitiy for cervical cancer stage IIIB with kidney disease ( IIIB plus), according to there is an obligation of more complex involvement of specialist (internist, urologist, renal hypertension expert, clinical nutrition and palliative expert) and statistically the prognosis is different
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulianah Daya
"Latar belakang:
Luka bakar derajat berat merupakan trauma dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Salah satu komplikasi pada luka bakar derajat berat yang sering ditemui adalah gangguan ginjal akut (GGA) dan ketidakseimbangan elektrolit. Hal ini menyebabkan hiperkatabolisme yang berkepanjangan dan berujung pada malnutrisi. Terapi medik gizi yang komprehensif dan holistik diperlukan untuk mencegah bertambahnya progresivitas penyakit dan malnutrisi yang memengaruhi kualitas hidup pasien.
Kasus:
Pada serial kasus ini terdapat 4 pasien laki-laki, berusia 37-70 tahun dengan diagnosis luka bakar derajat II-III, 24-79% LPT yang disebabkan karena api dan listrik. Status nutrisi pasien bervariasi dari berat badan normal hingga obes 2. Target pemberian nutrisi berdasarkan rekomendasi ESPEN SCCM dan ASPEN untuk pasien kritikal dan luka bakar. Namun, kebutuhan nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis, data laboratorium, dan toleransi asupan harian.
Hasil:
Selama perawatan, seluruh pasien memiliki riwayat asupan energi total <35 kkal/kgBB dan protein <1,5 g/kgBB Tiga pasien menjalani hemodialisis suportif. Terapi medik gizi diberikan sesuai kondisi klinis pasien dengan target protein 0,8-1 g/kgBB/hari pada GGA tanpa dialiasis dan 1-1,5 g/kgBB/hari dengan dialisis. Terapi nutrisi juga menyesuaikan ketidakseimbangan elektrolit pada pasien. Penurunan berat badan pada keempat kasus <10% selama perawatan. Mikronutrien diberikan untuk penyembuhan luka namun dosis menyesuaikan dengan fungsi ginjal.
Kesimpulan:
Terapi medik gizi yang adekuat mencegah progresivitas penyakit dan malnutrisi pada pasien luka bakar derajat berat dengan GGA dan ketidakseimbangan elektrolit.

Background:
Severe burn injury is a trauma with a serious morbidity and mortality. One of the most complication in severe burn injury is acute renal injury (AKI) and electrolyte imbalance. They could cause a prolonged hypercatabolism that susceptible to develop malnutrition. Comprehensive and holistic nutritional medical therapy is needed to prevent development or rapid progression of malnutrition which affects the quality of life of patients.
Methods:
The case series consists of four men, aged 37-70 years with a diagnosis of severe burn injury, degree II-III, 24-79% of TBSA caused by fire and electricity. The nutritional status of patients varies from normal body weight to obese 2. Target of nutrition based on ESPEN SCCM and ASPEN recommendation for critical and burn patients. However, nutritional requirements are adjusted according to clinical conditions and daily intake tolerance.
Results:
All patients had a history of total energy intake <35 kcal/kgs with protein <1.5 g/ kgs. Three of them underwent supportive hemodialysis. Nutritional medical therapy was given according to the clinical condition of each patient with a protein target of 0.8 -1 g/kgs/day in AKI without dialysis and 1-1.5 g/kgs/day on dialysis. Nutritional therapy also adjusts for electrolyte imbalances. Weight loss in all four cases <10% during treatment. Micronutrients are given for wound healing but the dosage adjusts to kidney function.
Conclusions:
Adequate nutritional medical therapy in severe burn injury with AKI and electrolyte imbalance preventing development of rapid progression of malnutrition in critical ill patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Rimba Prasetia
"ABSTRAK
Salah satu yang dapat memengaruhi kesehatan pekerja, hingga mengganggu produktifitas pekerja yaitu temperatur lingkungan yang ekstrim, baik ekstrim panas maupun ekstrim dingin. Tidak hanya lingkungan (suhu udara, kelembaban, radiasi, kecepatan udara) akan tetapi pakaian, aktivitas fisik, hidrasi, aklimatisasi, beban kerja, dan kondisi tempat kerja serta kondisi seseorang itu sendiri merupakan beberapa faktor yang dapat memicu heat stressyang dapat meningkatkan temperatur tubuh seseorang. Pengaruh heat stressyang tinggi pada psikologis seseorang yang dapat ditimbulkan yaitu perubahan berperilaku saat bekerja sedangkan pengaruh fisiologis akibat heat stressyang tinggi yaitu gangguan fungsi organ tertentu dalam tubuh seperti gangguan ginjal serta heat related illness. Penelitian ini dilakukan untuk mencari faktor-faktor apa saja yang dapat memengaruhi risiko terjadinya gangguan ginjal akibat pajananpanas. Penelitian ini merupakan penelitan eksploratori yang dilakukan dengan metode Systematical Literature Review. Penelitian ini menggunakan 26 literatur yang sesuai dengan kriteria inklusi peneliti. Hasil penelitian ini menemukan faktor-faktor yang dapat memengaruhi risiko terjadinya gangguan ginjal akibat pajananpanasyaitu 56,4% merupakan faktor karakteristik dari seseorang tersebut, 30,8% merupakan faktor pekerjaan dari seseorang tersebut dan 12,8% merupakan faktor dari lingkungan"
2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kelly Nagaruda
"Etilen glikol dan dietilen glikol ditemukan sebagai cemaran pada gliserin atau propilen glikol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan pada sediaan sirup yang beredar di Indonesia sehingga menyebabkan kasus GGAPA meningkat. Penulisan tugas khusus ini bertujuan untuk mengkaji bahaya cemaran etilen glikol dan dietilen glikol pada sediaan sirup dan mengkaji sediaan sirup yang dijual di Apotek Roxy Ciledug bebas dari cemaran etilen glikol dan dietilen glikol sehingga aman untuk dijual. Pada pengerjaan tugas khusus kali ini, sumber data akan diambil melalui literatur. Hasil yang didapatkan adalah bahaya yang ditimbulkan dari konsumsi etilen glikol dan etilen glikol adalah toksisitas ginjal yang akan mengarah pada gagal ginjal akut yang bersifat tidak reversibel. Selain itu, sediaan sirup yang dijual di Apotek Roxy Ciledug merupakan sediaan yang sudah dipastikan keamanannya bebas dari cemaran etilen glikol dan dietilen glikol.

Ethylene glycol and diethylene glycol are found as contamination in glycerin or propylene glycol which are used as additional solvents in syrup preparations circulating in Indonesia, causing increased cases of acute kidney injury. Writing this special task aims to examine the dangers of ethylene glycol and diethylene glycol contamination in syrup preparations and ensure syrup preparations sold at Roxy Ciledug pharmacies are free from ethylene glycol and diethylene glycol contamination so that it is safe for sale. In this special task work, data sources will be taken through literature. The results are consumption of ethylene glycol and ethylene glycol leading to kidney toxicity that will lead to acute kidney failure that is irreversible. In addition, syrup preparations sold at Roxy Ciledug pharmacies are preparations that have been confirmed to be free from ethylene glycol and diethylene glycol contamination."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Usman Sulaeman Markum
"Latar Belakang: Contrast Induced Acute Kidney Injury (CIAKI) merupakan gangguan ginjal akut sebagai komplikasi pemberian Media Kontras (MK) tanpa ada sebab yang lain. Gangguan ginjal akut (GGA) karena MK merupakan penyebab ketiga GGA tersering yang terjadi di rumah sakit. Skor Mehran 2 merupakan prediktor timbulnya CIAKI pasca Intervensi Koroner Perkutan (IKP) pada pasien Sindrom Koroner Akut (SKA) dan Sindrom Koroner Kronik (SKK) yang merupakan pengembangan dari skor Mehran yang telah dipakai sejak tahun 2004 dan telah mengalami berbagai validasi. Skor Mehran 2 masih belum secara luas dipakai dan belum pernah dilakukan validasi di Indonesia yang mempunyai karakteristik demografi yang berbeda.
Tujuan : Melakukan validasi dan mempelajari performa skor Mehran 2 pada pasien IMA-EST, IMA-NEST, Angina pektoris Tidak Stabil dan Angina pektoris Stabil yang menjalani IKP
Metode: Studi kohort retrospektif terhadap 292 pasien yang menjalani IKP di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta selama periode Januari 2021 sampai Juli 2024. Uji validasi dilakukan untuk menilai performa skor Mehran 2 pada pasien pasca IKP.
Hasil: Didapatkan hasil 56 pasien (19,17%) mengalami CIAKI dengan 71,43% laki-laki. Median total skor Mehran 2 pada pasien yang mengalami CIAKI adalah 13. Area under curve (AUC) skor Mehran 2 didapatkan 0,658 (95% IK 0,577-0,738 p<0,0001).
Simpulan: Skor Mehran 2 memiliki nilai diskriminasi moderate atau sedang dalam memprediksi CIAKI pada pasien SKA yang menjalani IKP dan mempunyai nilai kalibrasi yang baik

Background: Contrast Induced Acute Kidney Injury (CIAKI) is an acute kidney disorder as a complication of the administration of contrast media without any other cause. Acute Kidney Injury (AKI) due to contrast media is the third most frequent cause of AKI that occurs in hospitals. Mehran score 2 is a predictor of the onset of CIAKI after Percutaneous Coronary Intervention (PCI) in patients with Acute Coronary Syndrome (ACS) and Chronic Coronary Syndrome (CCS) which is a development of previous Mehran score that has been used since 2004 and has undergone various validations. The Mehran score 2 is still not widely used and has never been validated in Indonesia which has different demographic characteristics from other countries.
Objective: To validate and study the performance of Mehran score 2 in patient with ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI), Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI), Unstable Angina Pectoris (UAP) and Stable Angina Pectoris who undergo PCI.
Methods: A retrospective cohort study of 292 patients who underwent PCI at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta during the period January 2021 to July 2024. A validation test was carried out to assess the performance of the Mehran 2 score in post PCI patients.
Results: The results were obtained that 56 patients (19.17%) experienced CIAKI with 71.43% subject are male. The median total score of Mehran score 2 in subject who experienced CIAKI was 13. Area under curve (AUC) Mehran score 2 score 0,658 (95% IK 0,577-0,738 p<0,0001).
Conclusions: Mehran score 2 has a moderate discrimination value in predicting CIAKI in patients undergoing PCI and it has good calibration level
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Misbahul Munir
"ABSTRAK
Suhu di area hot pres dalam kisaran 1650 C-185 0 C. Tingkat beban kerja ringan sampai dengan sedang, lama kerja 8 jam per hari. Upaya perlindungan tidak selalu bisa dicapai akibat faktor alam, teknis maupun faktor individu. Efek tekanan panas terhadap tubuh memberikan reaksi vasodilatasi pembuluh darah dan efek berkeringat. Belum ada data yang memberikan gambaran efek tekanan panas dalam jangka panjang terhadap fungsi ginjal. Diperlukan upaya deteksi secara dini untuk menghindari efek kerusakan ginjal yang bersifat permanen.
Metode :
Penelitian ini dilakukan secara potong lintang. Responden dipilih secara rendom. Tekanan panas diukur dengan alat Quest temp 34. Kadar cystatin C serum dianalisa dengan metode PENIA yang dijabarkan dalam estimasi laju filtrasi glomerolus dengan metode CKD EPI. Berat jenis urin diukur pada awal kerja dan akhir shift kerja. Variabel lainnya diperoleh melalui pemeriksaan fisik dan wawancara. Outcome didefiniskan sebagai gangguan ginjal yaitu kenaikan atau penurunan estimasi laju filtrasi glomerulus dibadingkan dengan nilai rerata sesuai usia dengan standar deviasi sebesar 15 ml/menit. Faktor dominan yang mempengaruhi gangguan ginjal diperoleh dari analisa multivariat dengan regresi logistik menggunakan SPSS 17,5.
Hasil :
Penelitian ini dilakukan terhadap 101 responen di area dengan tekanan panas antara 28,50 C-31,50 C (ISBB). Prevalensi gangguan ginjal sebesar 17,9%(hyperfiltrasi sebesar 16% dan hipofiltrasi 1,9%). Lama terpajan >15343 jam memiliki risiko terjadinya gangguan ginjal sebesar 7 kali lipat (OR 7,919) dibandingakan dengan lama terpajan ≤15343 jam dengan nilai p 0,001. Pada uji multivariat diperoleh faktor usia >29 tahun merupakan faktor risiko. Terjadi peningkatan risiko 16 kali lipat (OR16,39) pada pekerja dengan usia > 29 tahun dengan nilai p 0,000.
Kesimpulan : Prevalensi gangguan ginjal (abnormal eLFG) pada pekerja hot press sebesar 17,9% (hyperfiltrasi sebesar 16% dan hipofiltrasi 1,9%). Usia merupakan faktor dominan gangguan ginjal. Usia >29 dan memiliki risiko 16 kali lipat lebih tinggi sedangkan lama terpajan >15343 jam memiliki risiko 7 kali lipat (OR 7,919).

ABSTRACT
Background: Temperature in hot press area in the range 1650 C-185 0 C. Workers performed of activity with mild to medium load for 8 hours per day. Protective measures can not always be achieved due to natural factors, technical and individual factors. The effects of heat stress on the body to react vasodilatation and sweating effect. No data that gives an explanation of the effects of heat stress in the long term on kidney function. Early detection efforts are needed to avoid the effects of permanent kidney damage.
Metode: The motode of this study is a cross-sectional basis. Respondents were selected rendom. Heat stress was measured by Quest temp 34. Cystatin C serum level was analyzed by the method PENIA which described into glomerular filtration rate estimate by the method of CKD EPI. While the urine specific gravity was measured at the beginning and end of the work shift work. Other variables obtained through physical examination and interviews. Outcome of renal disorder is defined as an increase or decrease in filtration rate estimation glomerular which is compared to an average value according to age with a standard deviation of 15 ml / min. Dominant factor affecting kidney disorders derived from multivariate logistic regression analysis using SPSS 17,5.
Result: The study was conducted on 101 responen who work in areas with hot pressure between 28.50 C to 31.50 C (WBGT). The prevalence of renal disorder was 17.9%(16% classified as hyperfiltration and 1,9% as hypofiltration). Period of long term exposure > 15343 hours had a risk of kidney disorder by 7-fold (OR 7.919 with p value of 0.001. In multivariate analysis obtained risk >29 years of age is the dominant factor of risk to kidney disorders. Occurred 16-fold increased risk (OR16,39) in workers with age> 29 years with p value of 0.000.
Conclusion: The prevalence of kidney disorder to hotpress workers at 17.9% (16% classified as hyperfiltration and 1,9% as hypofiltration). Period of long term exposure > 15343 hours had a risk of kidney disorder by 7-fold (OR 7.919). Dominant factor related to kidney disorder is age.>29 years. Occurred 16-fold increased risk (OR16,39) in workers with age> 29 years.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Tri Septyani
"Penyakit ginjal merupakan kelainan struktur atau fungsi ginjal yang terdiri dari gangguan ginjal akut (GGA) dan penyakit ginjal kronis (PGK) yang mengalami penurunan fungsi ginjal. Hal tersebut dapat menyebabkan akumulasi obat di ginjal sehingga meningkatkan risiko toksisitas. Oleh karena itu, penyesuaian dosis obat perlu diperhatikan pada pasien penyakit ginjal. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi peresepan obat yang membutuhkan penyesuaian dosis pada pasien rawat inap dengan penurunan fungsi ginjal di Rumah Sakit Universitas Indonesia tahun 2023. Desain penelitian ini adalah cross sectional dengan menggunakan data rekam medis, resep dokter, dan hasil laboratorium. Kriteria sampel pada studi ini adalah pasien diagnosis GGA atau PGK, >18 tahun, LFG<60 mL/menit, dan menerima obat yang membutuhkan penyesuaian dosis. Dalam penelitian ini, mayoritas pasien laki-laki (51,0%), dengan jenis gangguan ginjal PGK (67,4%), > 60 tahun (52,1%), jumlah komorbid ≥ 5 (55,6%), jumlah obat 5–10 (45,2%), nilai LFG 30–59 (44,1%), serta tidak menjalani hemodialisis (75,5%). Prevalensi pasien dengan penyesuaian dosis yang tepat (51,7%) lebih besar dibandingkan pasien dengan penyesuaian dosis yang tidak tepat. Obat dengan penyesuaian tidak tepat yang paling banyak ditemukan adalah meropenem (96,3%). Hasil uji Chi-square menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara jenis gangguan ginjal, jumlah penyakit komorbid, nilai LFG, serta status hemodialisis dengan penyesuaian dosis (p < 0,05) dan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin, usia, serta jumlah obat dengan penyesuaian dosis (p > 0,05). Dapat disimpulkan bahwa masih banyak ketidaksesuaian penyesuaian dosis yang diresepkan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal sehingga diperlukan intervensi tenaga kesehatan untuk mengurangi hal tersebut.

Kidney disease is an abnormality in the structure or function of the kidney consisting of acute kidney injury (AKI) and chronic kidney disease (CKD) which experience decreased kidney function. It can cause drug accumulation in the kidneys so increasing the risk of toxicity. Therefore, drug dosage adjustments need to be considered in patients with kidney disease. This study aimed to evaluate the prescription of drugs that require dose adjustments in inpatients with decreased kidney function at the Universitas Indonesia Hospital in 2023. The design of this study is cross sectional using medical record data, doctor's prescriptions, and laboratory results. The sample criteria were patients diagnosed with AKI or CKD, >18 years, GFR <60 mL/minute, and receiving medication that required dose adjustment. In this study, the majority of patients were male (51,0%), with CKD (67,4%), > 60 years (52,1%), number of comorbidities ≥ 5 (55,6%), number of medications 5–10 (45,2%), GFR value 30-59 (44,1%), and not undergoing hemodialysis (75,5%). The prevalence of patients with appropriate dose adjustments (51,7%) was greater than patients with inappropriate dose adjustments. The drugs with the most frequent inappropriate adjustments was meropenem (96,3%). The results of the Chi-square showed that there were a significant difference between type of kidney disorder, the number of comorbid diseases, GFR values, and hemodialysis status with dose adjustments (p < 0.05) and there were no significant differences between gender, age, and number of medications with dose adjustments (p > 0.05). In conclusion, there are still many inappropriate dose adjustments in patients with decreased kidney function so that intervention by health workers is needed to reduce this."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggita Dwi Suryani
"Pemantauan terapi obat adalah kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien dengan mengkaji pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki, dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Kondisi pasien yang perlu dilakukan pemantauan terapi obat antara lain pasien hamil dan menyusui, pasien yang menerima regimen yang kompleks (polifarmasi) serta pasien geriatri dan pediatri. Tujuan laporan PKPA ini adalah untuk menganalisa dan mengevaluasi drug related problem (DRP) pada pasien dan diklasifikasikan sesuai kategori Hepler dan Strand. Kegiatan dilakukan melalui pengambilan data pasien dengan diagnosis syok kardiogenik dengan gagal jantung, gangguan ginjal akut, DM tipe 2, dan hipokalemia. Data yang diambil merupakan kombinasi data primer dan sekunder. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa pengobatan yang diterima oleh pasien hampir seluruhnya tepat indikasi dan dosis kecuali dosis pada sukralfat dan allopurinol yang melebihi rentang dosis seharusnya. Selain itu, ditemukan DRP berupa interaksi obat yang bersifat potensial, pemilihan obat tidak tepat, serta indikasi tanpa obat. DRP tersebut telah diatasi dengan pemberian terapi yang sesuai.

Drug therapy monitoring is an activity to ensure safe, effective, and rational drug therapy for patients by reviewing the selection of drugs, dosages, methods of drug administration, therapeutic response, unwanted drug reactions, and recommendations for changes or alternative therapies. Patients who need to be monitored for drug therapy include pregnant and lactating patients, patients receiving complex regimens (polypharmacy), as well as geriatric and pediatric patients. The purpose of this PKPA report is to analyze and evaluate drug-related problems (DRP) in patients and classify them according to the Hepler and Strand categories. Activities are carried out through the data collection of patients with a diagnosis of cardiogenic shock with heart failure, acute kidney disorder, type 2 DM, and hypokalemia. The data was took is a combination of primary and secondary data. Based on the results of the analysis, it was known that the treatment received by the patients was almost entirely in accordance with the right indication and dosage, except for the doses of sucralfate and allopurinol, which exceeded the proper dosage range. In addition, DRP was found in the form of potential drug interactions, inappropriate drug selection, and indications without drugs. The DRP has been overcome by administering appropriate therapy."
Depok: 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library