Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hadrians Kesuma Putra
"Konstipasi merupakan salah satu gangguan di bidang uroginekologi yang sering diabaikan oleh pasien. Diketahui bahwa kelemahan otot dasar panggul yang dapat menyebabkan prolaps kompartemen posterior merupakan salah satu penyebab konstipasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang genital hiatus, badan perineum dan titik Bp terhadap konstipasi pada pasien dengan prolaps kompartemen posterior dan dampak yang ditimbulkannya terhadap kualitas hidup.
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan melibatkan penderita prolaps kompartemen posterior di poliklinik Uroginekologi Rekonstruksi RSUPN dr. Ciptomangunkusumo Jakarta. Data yang diperoleh berupa hasil anamnesis, pemeriksaan Pelvic Organ Prolapse Quantification (POP-Q), skor konstipasi Cleveland dan Colorectal-anal Impact Questionnaire-7 (CRAIQ-7). Sampel berjumlah 46 orang terbagi 2 masing-masing 23 sampel yang mengalami konstipasi dan tidak konstipasi.
Didapatkan bahwa jumlah panjang genital hiatus dan perineal body memiliki hubungan bermakna terhadap terjadinya konstipasi (p= 0,005) dan didapatkan titik potong 7,5 cm dengan sensitivitas 87% dan spesifisitas 52,2%. Uji multivariat menunjukkan bahwa jumlah panjang genital hiatus dan perineal body paling mempengaruhi terjadinya keluhan konstipasi (OR = 12,07, p = 0,024) dibanding dengan letak titik Bp yang juga bermakna terhadap terjadinya konstipasi (p = 0,003) pada titik potong -0,5 cm dengan sensitivitas 69,9% dan spesifisitas 65,2% akan tetapi hanya memiliki OR = 6,16 dan nilai p = 0,066. Akibat keluhan konstipasi sebanyak 52% sampel mengaku mengalami gangguan kualitas hidup. Jumlah panjang genital hiatus dan perineal body dan letak titik Bp mempengaruhi terjadinya konstipasi.

Constipation is one of the disorders in the uroginecology field which is often ignored by patients. It is known that pelvic floor muscle weakness which can cause posterior compartment prolapse is one of the causes of constipation. Aim of this study to know relationship among genital hiatus, perineal body and Bp point to constipation in patients with posterior prolapse and the impact it has on quality of life.
This study used a cross-sectional design using posterior compartment prolapse patients at the Uroginecology Polyclinic dr. Ciptomangunkusumo hospital at Jakarta. The data obtained consisted of history results, Quantitative examination of Pelvic Organ Prolapse (POP-Q), Cleveland constipation score and Colorectal-anal Impact Questionnaire-7 (CRAIQ-7). The sample consist of 46 people was divided into 2 each, 23 samples with constipation and were not constipated.
It was found that the number of genital hiatus and perineal bodies had a significant relationship to constipation (p = 0.005) and obtained 7.5 cm cut with a sensitivity of 87% and a specificity of 52.2%. Multivariate tests showed the number of length of body genital and perineal hiatus most affected the constipation (OR = 12.07, p = 0.024) cm comparing with Bp Point with sensitivity of 69.9% and specificity of 65.2% but only had OR = 6.16 and p = 0.066. As a result of complaints of constipation, as many as 52% of samples claimed to be able to eliminate quality of life. The number of genital hiatus and perineal lengths of the body and location of BP points can constipation.
"
2019
T55556
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kukuh Wibowo K
"ABSTRAK
Latar Belakang: Dimensi dari hiatus levator merupakan tempat atau portal yang berpotensi tinggi untuk terjadinya prolaps organ panggul POP dan memiliki hubungan statistik yang sangat kuat dengan gejala klinis POP. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data mengenai korelasi pengukuran area hiatus levator pada POP simtomatik mengunakan Ultrasonografi 3D/4D dengan pemeriksaan klinis yaitu panjang Gh, panjang Pb dan penjumlahannya.
Metode: Analisa data sekunder sebanyak 160 pasien POP yang diperiksa dari Januari 2012 hingga April 2017 di poliklinik Uroginekologi RSCM, Jakarta. Diambil data karakteristik pasien, pengukuran Ultrasonografi 3D/4D maksimal Area Hiatal Levator, dan hasil pengukuran secara klinis dengan menggunakan pelvic organ prolapse quantification system (POP-Q).
Hasil: Terdapat korelasi positif antara pemeriksaan klinis dengan pengukuran luas area hiatal menggunakan USG dengan r = 0,43 untuk panjang Gh, dan korelasi pada penjumlahan Gh dan Pb dengan r=0,51 termasuk kategori sedang, sedangkan untuk panjang Pb dengan r = 0,23 tidak didapatkan adanya korelasi. Didapatkan titik potong optimal untuk membedakan derajat 2 dengan derajat 3 adalah 7,5 cm/29,7 cm2 dan derajat 3 dan derajat 4 adalah 8,3 cm/32,1 cm2.
Kesimpulan: Pemeriksaan klinis dengan menjumlahkan panjang Gh dan panjang Pb dapat dipertimbangkan untuk mencerminkan pemeriksaan area hiatal dengan mengunakan USG 3/4 dimensi transperineal pada daerah dengan sarana terbatas untuk melihat regangan pada levator ani atau yang disebut sebagai "ballooning"

ABSTRACT
Background: The dimension of levator hiatal is a site or portal that high potentially for pelvic organ prolapse POP and has a very strong statistical relationship with clinical symptoms of POP. This study aims to provide data on the correlation of levator hiatus area measurements in symptomatic POP using 3D/4D Ultrasound with clinical examination of Gh, Pb and summation Gh Pb.
Methods: Secondary data analysis of 160 POP patients examined from January 2012 to April 2017 at the Uroginekologi Clinic RSCM, Jakarta. Taken data on patient characteristics, maximum 3D 4D Ultrasound measurement of Levator Hiatus Area, and clinical measurement results using pelvic organ prolapse quantification system POP Q.
Results: There was a positive correlation between clinical examination and measurement of hiatal area area using ultrasound with r=0.43 for Gh length, and the medium correlation on the sum of Gh and Pb with r=0,51. No correlation for Pb length with r 0.23. The optimal cut to differentiate degrees 2 by 3 is 7.5 cm/29.7 cm2 and degree 3 by 4 is 8.3 cm/32.1 cm2.
Conclusion: Clinical examination by summing the lengths of Gh and Pb may be consider reflects the examination of the hiatal area by using transperineal ultrasound to see the strain on levator ani called ballooning in an area with limited resources. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggrainy Dwifitriana Kouwagam
"Latar Belakang:
Prolaps Organ Panggul (POP) merupakan kondisi kompleks yang terjadi akibat defek pada struktur penyokong vagina. Kondisi ini dapat disebabkan oleh proses trauma pada otot penyokong levator ani yang menyebabkan melebarnya luas hiatus genital. Pelebaran hiatus genital ini disebut ballooning. Prevalensi POP berkisar antara 20-50%, dengan insidensi mencapai 1,5 – 1,8 per 1000 wanita per tahun dengan puncak usia 60 – 69 tahun. Kondisi POP memberi dampak terhadap kualitas hidup seorang wanita dan sering dikaitkan dengan gangguan berkemih, buang air besar hingga disfungsi seksual. Tatalaksana definitif dalam penanganan POP adalah tindakan pembedahan. Tindakan levatorplasty dapat dilakukan pada kasus penurunan kompartemen posterior, terutama pada pasien POP dengan hiatal ballooning. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi risiko prolaps berulang di masa mendatang. Pasien dengan rencana operasi POP di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta yang disertai ballooning pada pemeriksaan USG pre-operatif dilakukan tambahan tindakan levatorplasty, namun belum ada penilaian pasca operasi mengenai perbaikan kondisi ballooning tersebut.
Objektif:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbaikan ballooning sebelum dan setelah dilakukannya tindakan levatorplasty pada pasien dengan POP. Perbaikan yang dinilai berupa perbaikan luas dan panjang diameter anterioposterior hiatus levator, perbaikan panjang Gh + Pb, serta perubahan skor keluhan disfungsi dasar panggul sebelum dan sesudah tindakan. Penilaian dilakukan dengan menggunakan USG 3 dan 2 dimensi untuk hiatus levator, pemeriksaan klinis Pelvic Organ Prolapse Quantification System (POP-Q) untuk panjang Gh + Pb, serta kuisioner Pelvic Floor Distress Inventory-20 (PFDI-20) untuk penilaian keluhan klinis disfungsi dasar panggul.
Metode:
Studi analitik komparatif berpasangan dengan desain gabungan kohort retrospektif dan kohort prospektif yang dilakukan di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan Divisi Uroginekologi dan Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Pengumpulan data retrospektif dilakukan dari Oktober 2021 hingga April 2022, dengan pengumpulan data prospektif untuk dilakukan tindakan levatorplasty dilakukan dari Oktober 2021 hingga Januari 2022. Sampel penelitian adalah wanita dengan POP dan ballooning yang dinilai dengan pemeriksaan USG Transperineal serta POP-Q, dan akan menjalani operasi levatorplasty.
Hasil:
Tingkat keberhasilan levatorplasty pada pasien POP dengan ballooning dilihat dari penurunan derajat ballooning berdasarkan kategori Lh max pada 28 pasien (87,5%), Ap hiatal pada 26 pasien (81,25%), dan panjang Gh + Pb pada 25 pasien (78,1%). Parameter PFDI yang diukur juga mengalami perbaikan dengan penurunan nilai median PFDI mencapai 31,2 (p = 0,009), serta penurunan pada nilai median sub-bagian POPDI-6 hingga 20,8 (p = 0,009), CRADI-6 hingga 6,2 (p = 0,096), dan UDI-6 hingga 10,4 (p = 0,360).
Kesimpulan:
Prosedur levatorplasty ditemukan dapat memperbaiki kondisi ballooning pada pasien POP yang dinilai dari perbaikan nilai luas dan panjang diameter anteroposterior hiatus levator, perbaikan klinis secara objektif (yang dinilai dengan pemeriksaan POP-Q) serta secara subjektif (yang dinilai dengan kuisioner PFDI-20). Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bukti untuk penerapan prosedur levatorplasty untuk dapat dilakukan pada pasien-pasien POP yang disertai dengan ballooning di tempat praktik klinis di semua penjuru Indonesia.

Background:
Pelvic Organ Prolapse (POP) is a complex condition resulting from defects in the supporting structures of the vagina. This condition can be caused by a traumatic process to the supporting muscles of the levator ani which causes the widening of the genital hiatus. This widening process is called ballooning. The prevalence of POP ranges from 20-50%, with an incidence reaching 1.5-1.8 per 1000 women each year with a peak age of 60-69 years. POP conditions may have an impact on a woman's quality of life and are often associated with urinary and defecation disorders, and also sexual dysfunction. The definitive treatment for POP is surgery. Levatorplasty can be performed in cases of posterior compartment descent, especially in POP patients with Hiatal ballooning. This action aims to reduce the risk of recurrent prolapse in the future. At Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) Jakarta, patients with POP who are found with Hiatal ballooning during pre-operative ultrasound examination will be planned for an additional levatorplasty procedure. But there was no postoperative assessment regarding the improvement of the ballooning condition.
Objective:
This study aims to determine the improvement of ballooning after the levatorplasty procedure in patients with POP. The improvements assessed were the area and length of the anteroposterior diameter of the levator hiatus, the length of Gh + Pb, and complaints improvement for pelvic floor dysfunction. The assessment was done using 3- and 2-dimensional ultrasound for levator hiatus, clinical examination of the Pelvic Organ Prolapse Quantification System (POP-Q) for length Gh + Pb, and the Pelvic Floor Distress Inventory-20 (PFDI-20) questionnaire to assess clinical complaints of pelvic floor dysfunction.
Methods:
A paired comparative analytic study with a combined retrospective and prospective cohort design was carried out at the Obstetrics and Gynecology Outpatient Unit, Division of Urogynecology and Reconstruction, Department of Obstetrics and Gynecology, dr. Cipto Mangunkusumo Central General Hospital Jakarta. Retrospective data was collected from October 2021 to April 2022, with prospective data for levatorplasty performed from October 2021 to January 2022. The study sample was women with POP and ballooning who were assessed by transperineal ultrasound examination and POP-Q examination and will undergo levatorplasty procedure.
Result:
The success rate of levatorplasty in POP patients with ballooning was seen from the decrease in the degree of ballooning by the measurement of Lh max in 28 patients (87.5%), Ap hiatal in 26 patients (81.25%), and the length of Gh + Pb in 25 patients (78, 1%). The measured PFDI parameters also improved with a decrease in the median value of PFDI reaching 31.2 (p = 0.009), as well as a decrease in the median value of the POPDI-6 subsection to 20.8 (p = 0.009), CRADI-6 to 6.2 (p = 0.096), and UDI-6 to 10.4 (p = 0.360).
Conclusion:
The levatorplasty procedure is proven to repair the ballooning conditions in POP patients as assessed by improvements in the area and length of the anteroposterior diameter of the levator hiatus, clinical improvement objectively (as assessed by the POP-Q examination), and subjectively (as assessed by the PFDI-20 questionnaire). The results of this study are expected to be evidence for the application of the levatorplasty procedure to be performed on POP patients accompanied by ballooning in many clinical practices throughout Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library