Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sidarta Ilyas
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
617.755 SID k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Chowdhury, Debashish
New Jersey: Princeton University Press, 1986
530.41 CHO s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Singapore: World Scientific, 1992
530.412 REC
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Berlin: Springer-Verlag, 1994
620.14 GLA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
New York: McGraw-Hill, 2001
R 620.14 HAN
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
USA: ASM International, 1991
R 620.11 ENG
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Haryono
"Penglihatan binokular yang normal adalah faal penglihatan maksimal yang dicapai seseorang pada penglihatan dengan kedua mata dan bayangan yang diterima setajam-tajamnya dapat diolah oleh susunan syaraf pusat menjadi satu bayangan tunggal ( fusi ) dan berderajat tinggi.( stereoskopis ) (1,2,3).
Penglihatan stereoskopis adalah derajat paling tinggi penglihatan binokular, yang merupakan kedalaman penglihatan atau lebih tepatnya persepsi kedalaman penglihatan binokular dimana dimungkinkan karena kedua mata melihat dari "vintage point" yang berbeda (4,5).
Oleh karena terpisahnya kedua mata di dalam bidang horisontal, maka kedua bayangan retina yang terbentuk menjadi sedikit berbeda. Hal ini menyebabkan disparitas bayangan retina yang akan memberi data penting untuk persepsi kedalaman penglihatan binokular. Agar terjadi penglihatan binokular yang normal, maka diperlukan persyaratan sebagai berikut : (1,2,3,5) fungsi tiap mata harus baik dimana bayangan benda jatuh tepat pada masing-masing bintik kuningnya. tidak terdapat aniseikonia. Fungsi dan kerja sama yang baik dari seluruh otot penggerak bola mata, dan susunan syaraf pusat mempunyai kemampuan untuk mensitesa kedua bayangan yang terbentuk tersebut menjadi bayangan tunggal.
Bila terjadi sedikit saja penyimpangan di atas,akan terjadi penurunan kwalitas penglihatan binokular (2,5).Sebagai salah satu syarat utama untuk terjadinya penglihatan binokular , tajam penglihatan harus baik yaitu 1.00 ( 6/6 ) dengan atau tanpa koreksi. Apabila terjadi gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi, dimana bayangan jatuh tidak tepat di bintik kuning akan terjadi gangguan penglihatan binokular ( 7 ).
Tajam penglihatan yang baik,yaitu 6/6 tanpa koreksi pada emetropia dan dengan koreksi pada ametropia. Kelainan refraksi dapat berupa miopia , hipermetropia dan astigmat. Miopia sendiri menurut derajatnya dibagi menjadi miopia ringan (1 - 3 D), sedang (3 - 6 D), berat (lebih dari 7 D).(7).
Penderita yang ternyata mempunyai kelainan refraksi yang berbeda antara mata kanan dan kiri, dan setelah diberi kaca mata dengan ukuran yang tepat ternyata ia mengeluh kacamata tersebut tidak enak dipakai atau memberikan rasa pusing. Kelainan refraksi yang berbeda antara mata kanan dan kiri disebut anisometropia.(8,9,10,11)
Sloane membagi anisometropia menjadi 3 tingkat yaitu: (12).
1. anisometropia kecil, beda refraksi lebih kecil dari 1,5D.
2. anisometropia sedang, beda refraksi antara 1,5-2,5 D.
3. anisometropia besar, beda refraksi'lebih besar dari 2,5D.
Kelainan ini dapat terjadi dalam berbagai variasi antara lain satu mata emetropia sedangkan mata lainnya lagi ametropia atau keduanya ametropia. Kelainan ini sebagian' besar disebabkan oleh karena perbedaan perkembangan sumbu bola mata antara mata kanan dan kiri. Keluhan anisometropia akan lebih jelas lagi bila perbedaan tersebut lebih dari tiga dioptri,yang akan menyebabkan aniseikonia.(2,13).
Penderita dengan anisometropia sedang akan menyebabkan gangguan stereoskopis ( 12 ).
Duke Elder menuliskan bahwa perbedaan refraksi sebesar 0,25 Dioptri antara kedua mata akan menyebabkan perbedaan persepsi besar bayangan sebesar 0,5 % .Perbedaan besar bayangan yang masih dapat ditoleransi oleh manusia adalah sebesar 5 % (13).
Penilaian penglihatan stereoskopis dapat dilakukan dengan TNO Random Dots Test yang nilainya pada orang normal sebesar 40 detik busur .Karena anisometropia kecil tidak mampengaruhi penglihatan stereoskopis sedangkan anisometropia sedang mempengaruhi penglihatan stereoskopis ( 12 ) , sehingga timbul pemikiran untuk meneliti perbandingan penglihatan stereoskopis antara anisometropia kecil dan anisometropia sedang?"
1999
T58511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Subagio S.
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang manfaat penggunaan kacamata merah sebagai alat bantu dan memperpendek waktu adaptasi gelap (WADG) awak pesawat TNI-AU / ABRI di dalam simulator "Night Vision Trainer" (NVT) Lakespra S. Kacamata mata merah telah digunakan oleh awak pesawat untuk membantu proses adaptasi gelap, tetapi belum dilakukan penelitian tentang manfaat dari alat tersebut.
Disain penelitian bersifat pre dan post eksperimen laboratorium tanpa kontrol. Sampel dengan syarat stakes I-II Jukniskesau 1993 diambil secara acak sederhana dari populasi awak pesawat TNI-AU / ABRI yang datang ke Lakespra S untuk "medical examination" (medex) dan mendapatkan Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi (ILA) secara rutin. Jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 171 awak pesawat, terdiri dari 86 penerbang dan 85 non penerbang.
Hasil penelitian menunjukkan
- Rata-rata WADG dengan memakai kacamata merah 27 men it 16 detik lebih cepat secara bermakna dibandingkan dengan rata-rata WADG tanpa memakai kacamata merah yaitu 30 menit 13 detik (p < 0,001).
- Terbukti bahwa umur dan merokok merupakan faktor perancu terhadap proses adaptasi gelap / WADG.
- Rata-rata WADG awak pesawat umur < 30 tahun lebih cepat secara bermakna dibandingkan dengan rata-rata WADG awak pesawat umur > 30 tahun.
- Rata-rata WADG awak pesawat tidak merokok lebih cepat secara bermakna dibandingkan rata-rata WADG awak pesawat yang perokok.
- Rata-rata WADG pada penerbang lebih pendek secara bermakna dibandingkan dengan rata-rata WADG non penerbang.
- Lama sebagai anggota ABRI / awak pesawat seiring dengan umur yang juga bermakna terhadap WADG tanpa kacamata merah dan WADG dengan kacamata merah. Semakin lama bekerja, semakin tua umurnya dan semakin lama WADG.
- Rata-rata WADG awak pesawat yang memakai kacamata hitam/"sunglasses" bila berada di bawah sinar yang many-Haulm / matahari lebih cepat secara bermakna dibandingkan dengan rata-rata WADG tidak memakai kacamata hitam.

ABSTRACT
A study had been carried out using the Night Vision Trainer (NVT) simulator on the efficacy of red lens goggles as a tool to shorten the dark adaptation time (DAT) among the aircrews of the Indonesian Air Force / Indonesian Armed Forces. The red lens goggles had been used for quite a long time among the aircrews but there was no evaluation study to indentify its usefulness.
The design of the study was pre and post laboratory experiment with no control. The sample of the study were aircrews with the pre requisities "Stakes I - II Jukniskesau 1993" who came to Lakespra S. for medical examination (Hedex) and got Indoctrination and Aerofisiological Training routinely. The number of the samples collected were 171 aircrews consisted of 86 pilots and 85 non pilots.
The result of the study were as follows
- the mean of the DAT using red lens gloggles was 27 minutes 16 seconds is significantly shorter compare to not using red lens goggles of 30 minutes 13 seconds (p < 0,001).
- age and smoking were proved to be the confounders to the DAT.
- the mean of the DAT among aircrews with age < 30 years old is significantly shorter compare to the mean of DAT among aircrews with age ? 30 years old.
- the mean of the DAT among smoking aircrews is significantly longer compare to not smoking.
- the mean of the DAT among pilots is significantly shorter than among non pilot.
- both the length of time as Indonesian military and as aircrew member-ships along with increasing the age are significantly longer to the mean of the DAT both with and without red lens goggles. The longer working, the older of aircrew the longer the DAT.
- the mean of the DAT among those who wear sunglasses when they were in open area is significantly shorter than those who were not wear sunglasses.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasbi Fadli
"Daerah perkotaan yang dipadati oleh bangunan dan gedung tinggi dapat mempersulit proses pendistribusian energi listrik ke tengah kota. Adanya keengganan masyarakat jika pemukimannya dilewati saluran transmisi atau dibangun gardu induk, serta biaya pembangunan saluran kabel bawah tanah yang lebih besar dari saluran udara menambah tingkat kesulitan tersebut. Apabila penyaluran energi listrik terkendala maka daerah perkotaan akan mengalami krisis energi listrik sehingga mengganggu kehidupan masyarakat. Salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan diatas adalah dengan pemasangan solar cell kaca (glasses solar cell) bermaterial thin film (CdTe) pada gedung bertingkat, yang berada ditengah kota dan energi listriknya dipasok oleh jaringan PLN (Perusahaan Listrik Negara). Dalam penelitian ini, solar cell kaca akan dipasang pada gedung “W” yang sudah dibangun, dengan luas area pemasangan solar cell yaitu 6.916 m2. Level transparansi kaca gedung yang menjadi objek penelitian adalah 30%, sehingga pemasangan solar cell kaca dengan tingkat transparansi yang sama, mampu memasok energi listrik maksimum sebesar 339.891 kWh/tahun atau setara 13% kebutuhan energi listrik gedung. Analisa kelayakan secara ekonomi digunakan pada penelitian ini, dimana diperoleh nilai NPV (-)Rp 6.419.969.265, IRR -2,68%, dan Payback Period lebih dari 25 tahun (umur investasi), sehingga secara keekonomian, pemasangan PV thin film dengan transparansi 30% belum layak untuk diterapkan. Penggunaan solar cell kaca berkontribusi mengurangi emisi gas karbon, maksimum 277.691 kg /tahun.

Urban area populated by edifice and storey building can complicate process of electric energy distribution to the middle of city. Citizen reluctance if their settlement passed by transmission network or being built substation, and bigger cost of underground cable than overhead line increases such difficulty level. If there is problem in delivering electric energy, so the city will face electric energy crisis and disrupt society life. One of solution in overcoming that issue is by installation the glasses solar cell with thin film material (CdTe) on storey building, which located in the middle of city and its electric energy supplied by PLN. In this study, glasses solar cell will be installed in existing building “W” with solar cell area about 6,916 m2. Glasses transparency level of study object building is 30%, so by installing same transparency level of solar cell can supply maximum electric energy 339,891 kWh /year or equal to 13% electric energy demand of building. Economic feasibility analysis applied in this study, where NPV is IDR (-) 6,419,969,265, IRR is -2.68% and the payback period is more than 25 years (investment duration), so this technology is not yet feasible to be implemented economically. The usage of glasses solar cell contributes to deduct greenhouse gas emission, maximum 277,691 kg/year."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"This book focuses on the human aspects of wearable technologies and game design, which are often neglected. It shows how user centered practices can optimize wearable experience, thus improving user acceptance, satisfaction and engagement towards novel wearable gadgets. It describes both research and best practices in the applications of human factors and ergonomics to sensors, wearable technologies and game design innovations, as well as results obtained upon integration of the wearability principles identified by various researchers for aesthetics, affordance, comfort, contextual-awareness, customization, ease of use, ergonomy, intuitiveness, obtrusiveness, information overload, privacy, reliability, responsiveness, satisfaction, subtlety, user friendliness and wearability. The book is based on the AHFE 2018 Conference on Human Factors and Wearable Technologies and the AHFE 2018 Conference on Human Factors in Game Design and Virtual Environments , held on July 21–25, 2018 in Orlando, Florida, and addresses professionals, researchers, and students dealing with the human aspects of wearable, smart and/or interactive technologies and game design research."
Switzerland: Springer Cham, 2019
e20501621
eBooks  Universitas Indonesia Library