Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wulan Ayudyasari
"Prediktor keparahan pankreatitis bilier yang telah banyak digunakan seperti kriteria Ranson, Imrie modifikasi, dan APACHE II membutuhkan waktu pengumpulan data hingga 48 jam dengan variabel diagnostik multipel sehingga sulit untuk diterapkan. Studi ini bertujuan untuk mencari prediktor keparahan tunggal agar dapat segera ditentukan tatalaksana terbaik bagi tiap pasien.Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien-pasien pankreatitis bilier akut di RSCM tahun 2008-2016. Kadar glukosa darah sewaktu GDS awal, derajat keparahan, dan mortalitas dicatat dan dianalisis menggunakan SPSS 20.0.Sebanyak 41 pasien pankreatitis bilier dari 140 pasien pankreatitis akut memenuhi kriteria inklusi dari studi ini. Rerata usia pasien 49,2 tahun, 24 58,5 laki-laki dan 17 41,5 perempuan. Median kadar GDS kasus ringan, sedang, dan berat adalah 109,5 mg/dL; 131 mg/dL; dan 171 mg/dL. Terdapat perbedaan bermakna antara kadar GDS pada pankreatitis bilier ringan dengan berat, nilai p 0,008.Pada kurva ROC GDS terhadap pankreatitis bilier berat didapatkan AUC 0,885 IK 95 0,743 ndash; 1,000 . Nilai cut-off GDS 154,5 mg/dL memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang optimal dalam memprediksi pankreatitis bilier akut berat, yaitu 75 dan 91,8 . Kadar GDS tersebut memiliki nilai prediksi positif dan negatif sebesar 50 dan 97,1 . Tidak didapatkan hubungan antara kadar GDS dengan mortalitas, nilai p 0,249. Didapatkan hubungan antara derajat keparahan dengan mortalitas dengan nilai p 0,021 dan OR 0,028. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar GDS 154,5 mg/dL dapat memprediksi pankreatitis bilier akut berat dengan akurasi yang baik.

The established severity predictors of gallstone pancreatitis such as Ranson criteria, modified Imrie, and APACHE II usually require several days and multiple diagnostic variable to be fulfilled so that they are not convenient to use. This study was held to find a simple severity predictor of gallstone pancreatitis to immediately choose the best management for each patient.The data were derived retrospectively from the medical records of acute gallstone pancreatitis patients during 2008 2016. Random blood glucose RBG level on admission, severity grading, and mortality were recorded and analyzed using SPSS 20.0.Forty one gallstone pancreatitis out of 140 acute pancreatitis patients were included in this study. The mean age was 49,2 years old, 24 58,5 were male and 17 41,5 were female. The median RBG level in mild, moderately severe, and severe disease were 109,5 mg dL 131 mg dL and 171 mg dL respectively. There was a significant difference of RBG level on mild and severe disease, p value 0,008.The ROC curve of RBG and severe gallstone pancreatitis revealed the AUC of 0,885 CI 95 0,743 ndash 1,000 . The cut off point of RBG level 154,5 mg dL had the optimal sensitivity 75 and specificity 91,8 to predict severe disease. The positive and negative predictive value of RBG level 154,5 mg dL were 50 and 97,1 . There was no significant difference between RBG level and mortality, p 0,249. There was a relationship between severity grading and mortality, p 0,021 and OR 0,028. We can conclude that RBG level of 154,5 mg dL can acurately predict severe disease.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aini Djunet
"Latar belakang. Bedah kanker kolorektal (KKR) adalah kasus terbany1k di Divisi Bedah Digestif RSUPNCM, di mana 46% di antaranya adalah karena kanker rektum I (K.R). Trauma pembedahan menimbulkan inflamasi, respon fase akut (RFA), dan stres metabolik. C- reactive protein (CRP) adalah protein fuse akut (PFA) dengan peningkatan tertinggi di antara PFA lainnya dan telah digunakan secara luas sebagai penanda inflamasi. Stres metabolik menyebabkan perubahan metabolisme zat gizi yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah sewaktu (GDS) plasma. Secara tidak langsung, pemberian terapi gizi adekuat dapat menekan laju inflamasi dan mempercepat proses penyembuhan pasca bedah.
Tujuan. Untuk mengetahui peran terapi gizi adekuat selama tujuh hari terhadap perubahan kadar CRP serum dan GDS plasma pasien pasca bedah KR pada hari ke satu dan ke tujuh pengamatan.
Metode. Penelitian ini adalah studi eksperimental dengan desain paralel, acak, dan tidak tersamar. Penelitian dilaksanakan di ruang rawat bedah kelas Ill RSUPNCM, pengumpulan data dilaksanakan pada bulan April- Agustus 2009. .9erdasarkan kriteria penelitian didapatkan 24 subyek yang dibagi menjadi dua, kelompok perlakuan (P) dan kontrol (K). Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, pengukuran antropometri, dan pemeriksaan laboratorium.
Hasil. Karakteristik awal kedua kelompok adalah sebanding pada HI. Rerata asupan energi kelompok P adalah 1 211 ,23 ± 161 ,95 kkallh ari (82,86 ± 9,91 % kebutuhan energi total atau KET), adekuat, dan lebih tinggi bermakna (p< 0,001) dibandingkan kelompok K yaitu 831,93 ± 129,58 kkal/hari (55,75 ± 9,48% KET). Rerata asupan protein subyek tidak adekuat meskipun asupan protein kelompok P lebih tinggi bennakna (p< 0,001). Kelompok P mengalami peningkatan berat badan (BB) 0,71 ± 0,79 kg sedangkan kelompok K mengalami penurunan BB 0,85 ± 1,06 kg. Penurunan kadar CRP serum kelompok P (7,13 ± 1,43 mg/L) berbeda bermakna (p=0,005) dengan kelompok K (5,20 ± 1,58 mg/L). Peningkatan kadar GDS plasma kelompok P (26,00 ± 29,67 mg/dL) cenderung lebih tinggi dari kelompok K (10,00 ± 24,40 mg/dL), sejalan dengan peningkatan asupan energi yang lebih tinggi. Kadar CRP serum memiliki korelasi positif derajat rendah (r-0,266) dan tidak bennakna (p=0,358) dengan kadar ODS plasma.
Kesimpulan. Pemberian terapi gizi adekuat selama tujuh hari berperan untuk mempercepat penurunan kadar CRP serum pasien pasca bedah KR. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T20988
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andhiky Raymonanda Madangsai
"Latar belakang: Bedah pintas arteri koroner merupakan tindakan yang memiliki risiko kematian. Terdapat beberapa skor prediksi mortalitas jangka pendek yang saat ini digunakan untuk memprediksi risiko kematian 30 hari pasien pasca-bedah pintas arteri koroner salah satunya skor ACEF. Namun skor yang telah digunakan saat ini masih memerlukan penyempurnaan karena kemampuan prediksinya yang belum optimal. Peningkatan kadar glukosa darah berkaitan erat dengan peningkatan mortalitas. Namun peranan glukosa darah sebagai prediktor mortalitas belum terdapat dalam skoring ACEF.
Tujuan: Mengetahui kemampuan kadar glukosa darah satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner sebagai prediktor mortalitas 30 hari dan kemampuan sebagai modifikator skor ACEF.
Metode: Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien yang menjalani prosedur bedah pintas arteri koroner di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode januari 2015 hingga desember 2022. Pada data umur, kreatinin, fraksi ejeksi, glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan kematian dari rekam medis pasien dibuat model prediksi dan dilakukan analisis performa diskriminasi dan kalibrasi.
Hasil: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan variabel ACEF dari 322 pasien dikaji dan dianalisis. Terdapat 11,8% pasien meninggal dengan median Glukosa Darah Sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner 220.  Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner memiliki AUC terbesar 0,537. Skor ACEF memiliki AUC 0,843. Modifikasi skor ACEF dengan glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner berupa skor prediksi baru memiliki AUC 0,843
Simpulan: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner tidak dapat memprediksi mortalitas 30 hari.

Background: Coronary Artery Bypass Graft Surgery (CABG) is one of cardiac surgery with risk of mortality. There are already many scores to predict mortality in 30 days after CABG, one of them is ACEF score. Although it is relatively easy to use, ACEF score is still considered imperfect. Other studies have shown that hyperglycemia increases risk of mortality, including post CABG. Hyperglycemia or blood glucose is still rarely found in established scoring systems.
Objective: To find added predictive value of adding blood glucose to ACEF score in predicting 30-days post CABG mortality.
Methods: This study is a retrospective cohort study. Data was collected from medical records of patients who went CABG in RSUPN Cipto Mangunkusumo from January 2015 to December 2022. Age, creatinine, ejection fraction, and mortality were analyzed and synthesized to make new models. We calibrated and found the discrimination of new model.
Results: We analyzed one hour-post CABG blood glucose level and ACEF score component from 322 patients. Thity-day mortality following surgery was observed in 38 subjects (11.8%). The median blood glucose was 220. The AUC of blood glucose to predict 30-days mortality is 0,537. The AUC of ACEF score in this study is 0,843. The model of adding blood glucose to ACEF score has AUC 0,843.
Conclusion: One hour post CABG blood glucose level didn’t add predictive value to ACEF of 30 days post CABG mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library