Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
New York: Academic Press, 1954
612.014 4 GLU
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Rizky Melati
Abstrak :
Bekatul merupakan produk samping penggilingan padi (Oryza sativa) yang umumnya digunakan sebagai pakan ternak. Bekatul telah diketahui mengandung vitamin E (tokoferol dan tokotrienol) dan γ-orizanol yang memiliki efek antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antioksidan ekstrak bekatul terhadap kadar GSH dalam paru tikus yang diinduksi karbon tetraklorida (CCl4). Sebanyak 24 ekor tikus jantan Sprague-Dawley dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu kontrol (K) dan perlakuan (P). Kelompok P1 dberikan bekatul 200 mg/kgBB, P2 bekatul 400 mg/kgBB, P3 bekatul 200 mg/kgBB dan CCl4 0,55 mg/kgBB, P4 bekatul 400 mg/kgBB dan CCl4 0,55 mg/kgBB, dan P5 CCl4 0,55 mg/kgBB. Hari ke-19, paru tikus diambil dan dilakukan pengukuran kadar GSH dengan metode Ellman. Kadar GSH meningkat pada P1 dan P2 dibandingkan Kontrol (p=0,021). Kadar GSH P2 lebih tinggi dari P1 (p=0,021). Kadar GSH meningkat pada P3 dan P4 dibandingkan P5 (p=0,021). Kadar GSH pada P3 lebih tinggi dari P4 (p=0,021). Kadar GSH P5 menurun dibandingkan Kontrol (p=0,149). Antioksidan dalam bekatul efektif dalam meningkatkan kadar GSH pada paru tikus. Dosis bekatul yang lebih tinggi berbanding lurus dengan kadar GSH yang lebih tinggi pula. Antioksidan dalam bekatul juga efektif dalam meningkatkan kadar GSH paru tikus sebelum diinduksi CCl4. Adanya fenomena khusus serta tingkat kualitas bekatul diduga berpengaruh terhadap hasil penelitian ini, dimana kadar GSH pada kelompok yang diberikan bekatul 200 mg/kgBB + CCl4 lebih tinggi dibandingkan pada kelompok bekatul 400 mg/kgBB + CCl4.
Rice bran is a by-product of rice milling (Oryza sativa), which are commonly used as animal feed. Rice bran has been known to contain vitamin E (tocopherols and tocotrienols) and γ-orizanol which have antioxidant effects. This research aims to know the effect of rice bran extract antioxidants against the levels of GSH in rat lung induced by carbon tetrachloride (CCl4). A total of 24 male Sprague-Dawley were divided into 2 groups, the controls (K) and the treatment (P). Treatment group 1 (P1) is given 200 mg/kgBB rice bran, P2 400 mg/kg rice bran, P3 200 mg/kgBB rice bran and 0.55 mg/kgBB CCl4, P4 400 mg/kgBB rice bran and 0.55 mg/kgBB CCl4, and P5 0.55 mg/kgBB CCl4. At day 19th, the rat lung was taken and carried out measurements of the levels of GSH by Ellman method. GSH levels of P1 and P2 increased compared to Control (p=0.021). GSH levels of P2 higher than P1 (p=0.021). GSH levels of P3 and P4 increased compared to P5 (p=0.021). GSH levels of P3 higher than P4 (p=0.021). GSH levels of P5 decreased compared to Control (p=0.149). Antioxidants in rice bran is effective in increasing the levels of GSH in the rat lung. Higher dose of rice bran is directly proportional to the increasement of GSH levels. Antioxidants in rice bran is also effective in increasing the levels of GSH in the rat lung prior to CCl4-induced. A special phenomenon and the rice bran level of quality allegedly influence the results of this study, where the levels of GSH in group given 200 mg/kgBB rice bran + CCl4 higher than group of 400 mg/kgBB rice bran + CCl4 rice bran.
2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caecilia Vitasyana
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian :
Keadaan hipoksia pada berbagai macam organ menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel tubuh. Pemberian oksigen kembali (reoksigenasi) pada jaringan menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari sel tersebut, yang berat ringannya tergantung dari lamanya terjadi hipoksia. Baik pada kondisi hipoksia maupun reoksigenasi terjadinya kerusakan pada sel diduga disebabkan oleh terbentuknya spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species=ROS). Adanya ROS tersebut akan menyebabkan perubahan pada kadar dan aktivitas beberapa antioksidan dalam tubuh seperti glutation (GSH) dan enzim glutation reduktase (GR). Kurkumin yang merupakan zat aktif berwarna kuning yang terdapat pada rimpang suku temu-temuan telah diteliti memiliki efek sebagai antioksidan. Efek antioksidan kurkumin akan dilihat dengan mengukur kadar glutation (GSH) dan aktivitas enzim glutation reduktase pada mitokondria jantung marmut yang mengalami hipoksia dan reoksigenasi. Hasil dan kesimpulan : Kemurnian mitokondria yang diisolasi dari jantung marmut cukup baik dengan RSA untuk enzim suksinat dehidrogenase (SDH) berkisar antara 7,89 dan 12,72 pada semua kelompok (6 sampel per kelompok). Keadaan hipoksia dan reoksigenasi menyebabkan terjadinya penurunan kadar glutation (GSH) dari rata-rata (SD) 4,06 (1,09) nmol/mg protein menjadi 2,89 (1,07) nmol/mg protein (p<0,05) dan 1,43 (0,43) nmol/mg protein (p<0,05). Penurunan aktivitas enzim glutation reduktase (GR) juga terjadi pada keadaan hipoksia dan reoksigenasi yaitu dari 0,0796 (0,0157) µmol/menit/mg protein menjadi 0,0253 (0,0135) µmol/menit/mg protein (p>0,05) dan 0,0065 (0,0030) µmol/menit/mg protein (p<0,05). Kurkumin 0.25 µM dan 0.5 µM mengubah kadar glutation pada hipoksia dari 2,29 (1,07) nmol/mg protein menjadi 1,95 (0,71) dan 2,32 (0,70) nmollmg protein tetapi perubahan ini tidak bermakna secara statistik (p>0.05). Kurkumin 0.25 µM dan 0.5 µM menurunkan aktivitas glutation reduktase pada hipoksia dari 0.0253 (0.0138) µmol/menit/mg protein menjadi 0,0146 (0,0107) dan 0,0140 (0,0063) µmol/menit/mg protein tetapi penurunan ini tidak bermakna secara statistik (p>0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kurkumin baik pada dosis 0,25 maupun 0,5 µM tidak dapat meningkatkan kadar GSH dan aktivitas enzim GR pada keadaan hipoksia. Pemberian kurkumin dengan dosis 0,25 µM meningkatkan kadar GSH menjadi 2,70 (1,12) nmol/mg protein (p<0,05) dan aktivitas enzim GR menjadi 0,0087 (0,0040) µmol/menit/mg protein (p>0,05) pada keadaan reoksigenasi. Pemberian kurkumin dosis 0,5 µM meningkatkan kadar GSH dan aktivitas enzim GR menjadi 2,83 0,80) nmol/mg protein (p<0,05) dan 0,0193 (0,0092) µmol/menit/mg protein (p<0,05) pada keadaan reoksigenasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kurkumin memiliki efek proteksi terhadap kerusakan mitokondria pada reoksigenasi yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar GSH dan aktivitas GR baik dengan dosis 0.25 µM maupun 0.5 µM.
The state of hypoxia in different organs causes damage to cells. Reoxygenation to the tissues causes further damage to the cells; the degree of damage depends on the duration of hypoxia. In both hypoxia and reoxygenation, the damage is suspected to be caused by the formation of reactive oxygen species (ROS). The presence of ROS will cause changes in the concentration and activity of some antioxidant in the body such as glutathione (GSH) and glutathione reductase enzyme (GR). Curcumin, a yellow active component found in curcuma, has been found to have an antioxidant property. The protective effect of curcumin will be investigated by measuring the cellular parameters such as glutathione (GSH) concentration and the activity of glutathione reductase enzyme (GR) in isolated heart mitochondria of guinea pig undergoing hypoxia and reoxygenation. Results and conclusions The mitochondria isolated from guinea pig had enough purity, as shown by the relative specific activity (RSA) of succinate dehydrogenize (SDH) for all groups which ranged from 7.89 to 12.72 (6 per group). Hypoxia and reoxygenation decreased the glutathione content from mean (SD) 4.06 (1.09) nmol/mg protein to 2.89 (1.07) nmol/mg protein (p<0.05) and 1.43 (0.43) nmol/mg protein (p<0.05). The activity of glutathione reductase also decreased during hypoxia and reoxygenation from 0.0796 (0.0157) µmol/min/mg protein to 0.0253 (0.01353) µmol/min/mg protein (p>0.05) and 0.0065 (0.0030) µmol/min/mg protein (p<0.05). Curcumin 0.25 µM and 0.5 µM changed the glutathione content during hypoxia from 2.29 (1.07) nmol/mg protein to 1.95 (0.71) and 2.32 (0.70) nmol/mg protein, but these changes were not statistically significant (p>0.05). Curcumin 0.25 µM and 0.5 µM decreased the activity of glutathione reductase during hypoxia from 0.0253 (0.0138) µmol/min/mg protein to 0.0146 (0.0107) and 0.0140 (0.0063) µmol/min/mg protein, but these decreases were also not statistically significant (p>0.05). These results showed that curcumin did not have any effect on the glutathione content and the glutathione reductase activity during hypoxia either with 0.25 µM or 0.5 µM dose. Curcumin 0.25 µM increased the glutathione content to 2.70 (1.12) nmol/mg protein (p<0.05) and glutathione reductase activity to 0.0086 (0.0040) µmol/min/mg protein (p>0.05) during reoxygenation. With curcumin 0.5 µM the glutathione content increased to 2.83 (0.80) nmol/mg protein (p<0.05) and the glutathione reductase activity to 0.0193 (0.0092) µmol/min/mg protein (p<0.05) during reoxygenation. These results showed that curcumin had a protective effect on the mitochondria injury during reoxygenation as it increased on the glutathione content and the activity of glutathione reductase with both 0.25 µM and 0.5 µM doses.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T9592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Cokroningrum Dewi Windarsih
Abstrak :
Latar Belakang : Kelelahan merupakan suatu permasalahan umum di segala bidang pekerjaan. Didalam proses kelelahan ini tidak lepas dari adanya peran suatu sistem dalam eliminasi Reactive Oxygen Species (ROS) yang juga melibatkan peran antioksidan endogen baik antioksidan enzimatik maupun antioksidan non enzimatik seperti Glutathione (GSH). Dalam proses patofisiologinya terdapat titik dimana pemberian oksigen hiperbarik dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kelelahan tersebut; sehingga menjadikan peneliti tertarik untuk mengetahui efek pemberian oksigen hiperbarik terhadap kadar glutathione pada perawat dengan kelelahan.  Metode : Penelitian ini merupakan bagian dari suatu penelitian payung dengan desain randomized control trial. Penelitian ini dilaksanakan pada 30 orang perawat yang sebelumnya telah terdiagnosis dengan kelelahan secara subjektif dan terbagi dalam kelompok intervensi dan kontrol, dengan pada masing-masing kelompok dilakukan pemeriksaan kadar glutathione (GSH) sebelum dan setelah perlakuan.  Hasil : Terdapat kenaikan tidak bermakna kadar GSH sebelum dan setelah perlakuan pada kelompok kontrol dengan p=0,074, dan terdapat penurunan kadar GSH sebelum dan sesudah perlakuan yang bermakna pada kelompok intervensi dengan p=0,012. Selisih GSH sebelum dan setelah perlakuan pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi secara berurutan adalah sebesar 0,68±1,353 µg/ml dan -1,46±1,526 µg/ml dengan nilai uji perbandingan rerata keduanya meunjukkan hasil signifikan (P<0,05) yaitu dengan nilai sebesar p=0,001.  Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna pada selisih kadar GSH Kelompok Intervensi setelah perlakuan pemberian oksigen hiperbarik dibandingkan dengan kelompok Kontrol. ......Background: Fatigue is a common problem in all fields of work. In fatigue process, it is inseparable from the role of a series elimination process of Reactive Oxygen Species (ROS) which also involves the endogenous antioxidants both enzymatic and non-enzymatic antioxidants such as Glutathione (GSH). In the pathophysiological process there is a point where hyperbaric oxygen administration can be utilized to overcome fatigue; thus, making researchers interested in knowing the effect of hyperbaric oxygen administration on glutathione levels in nurses with fatigue. Methods: This study is part of joint research with double blinded-randomized control trial design. This study was conducted on 30 nurses having fatigue condition defined by the Japan Industrial Fatigue Research Committee (JIFRC) and Maslach Burnout inventory (MBI) then divided them into intervention and control groups, with plasma glutathione (GSH) levels retrieved before and after treatment. Results: There was no significant increase in GSH levels before and after treatment in the control group with p=0.074, and there was a significant decrease in GSH levels before and after treatment in the intervention group with p=0.012. The difference in GSH before and after treatment in the control group and intervention group respectively was 0.68±1.353 µg/ml and -1.46±1.526 µg/ml with the value of the comparison test of the two means showing significant results (P <0.05), namely with a value of p=0.001. Conclusion: There is a significant difference of Plasma GSH levels in the Intervention Group after hyperbaric oxygen treatment compared to the Control group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
The reaction of cis-[Pt(15NH3)2(H2O)2]2+ (3) with glutathione (GSH) was investigated in aqueous solution. In this reaction, the ammine in the platinum complex formed was liberated. Surprisingly two chelate rings were observed, six-membered-S,O-chelate ring complex cis-[Pt(15NH3)2(SG-S,O) (7) and five-membered-S,N-chelate ring complex cis-[Pt(15NH3)2(SG-S,N)] (8). The bis (thiolate) platinum(II) complex, cis-[Pt(15NH3)2(SG)2] (9) was always present in this reaction in any mole ratio used. The dinuclear sulphur-bridged complex (10), giving a broad peak in 15N NMR, was only present in very tiny amounts.
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Riani
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian : Likopen (Lycopene) tergolong antioksidan karotenoid yang banyak ditemukan dalam buah dan sayur, terutama pada buah tomat berwarna merah. Likopen dari tomat olahan diserap lebih baik dibanding dengan likopen yang terdapat dalam tomat segar. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat efek hepatoprotektif likopen sebagai antioksidan pada tikus yang diracun karbontetraklorida. Penelitian dilakukan terhadap 4 kelompok tikus strain Sprague Dawley. Kelompok I adalah kelompok kontrol, kelompok II adalah kelompok yang mendapat emulsi tomat, kelompok III yang diracun dengan CCl4 dan kelompok N adalah kelompok yang mendapat emulsi tomat sebelum diracun CCl4. Pada penelitian ini tomat terlebih dahulu dibuat menjadi serbuk dengan teknik "drum drier". Sebelum diberikan pada hewan coba serbuk tomat dibuat menjadi emulsi dengan minyak. Efek hepatoprotektif emulsi tomat dinilai dengan menetapkan aktivitas enzim GPT plasma. Pada tikus kelompok III aktivitas enzim GPT lebih tinggi (190,185 U/L) daripada kelompok IV (54,596 U/L), walaupun tidak menyamai aktivitas enzim GPT plasma tikus kelompok kontrol (33,464 U/L). Glutation tereduksi (GSH) dan enzim katalase tergolong antioksidan endogen. Pemberian emulsi tomat pada kelompok tikus sebelum diracun CCla menunjukkan kadar GSH plasma sebesar 2,761 μmol/mL dan GSH jaringan hati sebesar 1,236 μmol/mL lebih tinggi secara bermakna dari kelompok yang diracun dengan CCl4 (2,280 µmol/mL dan 0,669 µmol/mL). Aktivitas katalase plasma pada kelompok tikus yang dilindungi dengan emulsi tomat sebelum diracun CCl4 menunjukkan aktivitas katalase lebih tinggi (0,323 U/mL) dibandingkan kelompok yang diracun dengan CCl4 (0,160 U/mL). Gambaran yang sama juga diperlihatkan oleh aktivitas katalase jaringan hati. Aktivitas katalase jaringan hati yang diberi perlindungan emulsi tomat lebih tinggi secara bermakna (121,328 U/g) dibandingkan yang diberi CCl4 (64,914 U/g). Pemberian emulsi tomat dapat melindungi hati terhadap kerusakan akibat radikal bebas yang disebabkan oleh pemberian CCl4.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13680
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nurul Kirana
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Kerusakan oksidatif berperan dalam proses penuaan dan juga beberapa penyakit degeneratif. Menjaga status antioksidan tubuh merupakan hal penting dalam mencegah terjadinya kerusakan oksidatif. Selenium adalah mineral yang penting mengingat perannya dalam pembentukan enzim antioksidan (selenoprotein), salah satunya glutation peroksidase untuk perlindungan terhadap radikal bebas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari hubungan antara asupan selenium dan aktivitas glutation peroksidase dengan karbonil plasma pada usia lanjut. Metode Penelitian: Penelitian potong lintang ini dilakukan di 5 Posbindu di Jakarta Selatan. Dilakukan wawancara untuk mengetahui identitas dan riwayat penyakit kronis. Data aktivitas fisik didapat melalui wawancara dengan kuesioner Physical Activity Scale for the Elderly (PASE). Indeks massa tubuh diperoleh dari hasil pemeriksaan antropometri berupa berat badan dan tinggi badan dari konversi tinggi lutut. Data asupan makan subjek diperoleh dari wawancara food recall 24 jam pada satu hari kerja dan satu hari libur serta Semi Quantitative-Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ). Pemeriksaan laboratorium dilakukan di laboratorium biokimia FKUI untuk mengetahui aktivitas glutation peroksidase, dan karbonil plasma. Hasil: Sebanyak 94 usia lanjut dengan rerata usia 70,34 ± 6,079 tahun mengikuti penelitian ini. Sebanyak 40% subjek mempunyai status gizi normal dengan 69,1% subjek memiliki riwayat penyakit kronis. Sebanyak 75,5% subjek pada penelitian ini belum mencukupi kebutuhan asupan selenium yang direkomendasikan Rerata kadar karbonil plasma 5,83 ± 1,95 nmol/ml dan 69,1% subjek mempunyai aktivitas glutation peroksidase yang rendah.. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat korelasi antara asupan selenium dengan aktivitas glutation peroksidase. Pada analisis multivariat asupan selenium dan tiga variabel perancu yaitu usia, indeks massa tubuh, dan asupan beta karoten hanya mempengaruhi kadar karbonil plasma sebanyak 3,7%. Diskusi: Hasil asupan selenium pada penelitian ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya. Makanan sumber selenium banyak berasal dari makanan berprotein yang dikonsumsi sehari-hari sehingga data asupan selenium didapat dari gabungan antara food recall 2 x 24 jam dan SQ-FFQ. Pemeriksaan status kognitif subjek juga perlu dilakukan untuk memastikan ada tidaknya gangguan kognitif. Pemeriksaan status antioksidan endogen lain seperti glutation (GSH) juga perlu dilakukan pada penelitian berikutnya untuk mengetahui faktor lain yang mempengaruhi aktivitas glutation peroksidase dalam menekan kerusakan oksidatif pada usia lanjut.
ABSTRACT
Introduction: Oxidative stress contributed in aging process and several degenerative diseases. Maintaining the body's antioxidants status were important to prevent oxidative stress. Selenium was an important trace element due to as a component of antioxidants enzymes (selenoproteins), including glutathione peroxidase for protection against free radical. We aimed to study the association between selenium intake and glutathione peroxidase activity with plasma carbonyl in elderly. Methods: Cross sectional study was held in 5 elderly communities in south Jakarta. Identity and chronic disease history were obtained from interview and Physical activity scale for the elderly (PASE) questionnaire used for assess physical activity. Weight and knee height measurement used to determine body mass index. Dietary intake data obtained from repeated 24 hours recall and Semi Quantitative-Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ). laboratory examination held in laboratory of biochemistry FKUI for assess glutathione peroxidase activity and plasma carbonyl level. Results: There were 94 elderly with mean of age 70.34 ± 6.079 years old contributed to this study. 40 % subjects had normal nutritional status and 69.1 % subject had history of chronic disease. There were 75.5 % subject had low intake of selenium. Mean of plasma carbonyl was 5.83 ±1.95 nmol/ml and 69.1% subject had low glutathione peroxidase activity. Statistical analysis results showed there were no significant correlation between selenium intake and glutathione peroxidase. In multivariate analysis selenium intake, age, body mass index, and beta-carotene intake explained 3,7% of the plasma carbonyl. Discussion: The result of selenium intake in current study much lower than previous study. Dietary selenium data obtained from repeated 24 hours recall combine with FFQ-SQ because the selenium food source similar with protein foods that consume daily. Assessment of cognitive function among subject needed for ensure cognitive status related to ability to remember dietary intake. Status of endogen antioxidant including glutathione (GSH) need to be considered for understanding about another factor that influence glutathione peroxidase in preventing oxidative stress.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imma Fatayati
Abstrak :
Latar belakang: Akumulasi volume latihan fisik yang berlebihan (overtraining/OT), dalam jangka panjang dapat menimbulkan penurunan performa yang disebut overtraining syndrome (OTS). Patofisiologi OTS banyak dihubungkan dengan stress oksidatif, kondisi ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan endogen, yang dapat berujung pada gangguan kardiovaskular. Beberapa penelitan menunjukkan bahwa stres oksidatif dapat dihambat melalui suplementasi antioksidan. Hibiscus Sabdariffa Linn. (H. sabdariffa) adalah tanaman yang mengandung antioksidan tinggi. Tujuan: Melihat efek OT terhadap tingkat stress oksidatif jantung tikus dan efek pemberian H. sabdariffa terhadap stress oksidatif jantung tikus OT. Metode: Studi eksperimental menggunakan 25 tikus Wistar dewasa, 8-10 minggu, 300-350 gr, diacak menjadi lima kelompok: Kontrol (C), Kontrol+Hibiscus (C-Hib), Latihan Aerobik (A), Overtraining (OT) dan Overtraining+Hibiscus (OT-Hib). Dosis H. sabdariffa yang diberikan: 500 mg/kgBB/hari. Latihan fisik (A dan OT) dilakukan 5x/minggu selama 11 minggu. Dihitung kadar MDA, SOD dan GSH pada jantung tikus menggunakan spektrofotometri dan Nox2 pada jantung tikus menggunakan ELISA pada akhir Minggu 11. Hasil: Pada kelompok OT-Hib kadar MDA secara bermakna mengalami penurunan, kadar GSH secara bermakna mengalami peningkatan, didukung dengan kadar SOD yang cenderung meningkat, namun tidak signifikan, dan Nox2 mengalami peningkatan yang tidak signifikan. Kesimpulan: Overtraining menyebabkan kondisi stres oksidatif pada jaringan jantung tikus dan pemberian suplementasi H. sabdariffa memiliki potensi menangani stres oksidatif pada jantung tikus overtraining
Background: Accumulation of overtraining/OT volume, in the long run can lead to decreased performance called overtraining syndrome (OTS). Pathophysiology of OTS is associated with oxidative stress, a condition of imbalance between free radicals and endogenous antioxidants, which can lead to cardiovascular disorders. Some research shows that oxidative stress can be inhibited through antioxidant supplementation. Hibiscus Sabdariffa Linn. (H. sabdariffa) is a plant that contains high antioxidants. Objective: This study was to look at the effect of OT on rat heart oxidative stress levels and the effect of giving H. sabdariffa to oxidative stress in OT rats. Methods: The study was an experimental study using 25 adult Wistar rats, 8-10 weeks, 300-350 gr, randomized into five groups: Control (C), Control + Hibiscus (C-Hib), Aerobic Exercise (A), Overtraining (OT ) and Overtraining + Hibiscus (OT-Hib). Dosage of H. sabdariffa given: 500 mg/kg/day. Physical exercise (A and OT) is given 5x/week for 11 weeks. Calculated levels of MDA, SOD and GSH using spectrophotometry and Nox2 using ELISA at the end of Week 11. Results: In the OT-Hib group, MDA levels significantly decreased, GSH levels significantly increased, supported by SOD levels which tended to increase, but were not significant, and Nox2 experienced an insignificant increase. Conclusion: Overtraining can causes oxidative stress conditions in rat heart tissue, and supplementation of Hibiscus sabdariffa Linn. can handle oxidative stress in overtraining rat's heart.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hansens Yansah
Abstrak :
Latar Belakang: Kondisi hypobaric diinduksi pada manusia di daerah dataran tinggi; kondisi hipoksia hypobaric intermiten adalah paparan normoxic di antara induksi hipoksia. Kondisi hipoksia hypobaric dapat membahayakan karena meningkatkan produksi stres oksidatif. GSH adalah antioksidan utama yang merupakan pertahanan utama terhadap hidrogen peroksida. Kadar hidrogen peroksida meningkat pada kondisi hipoksia. Dalam percobaan ini saya akan menelurusi pengaruh kondisi hipoksia hypobaric intermiten pada kadar glutathione GSH . Metode: Percobaan ini menggunakan otak dari tikus jantan Sprague Dawley yang berusia 2 bulan dengan berat di 200-250 gram. Kondisi hipoksia hypobaric intermiten disimulasikan menggunakan tipe I Chamber profil penerbangan hypobaric. Tikus dibagi menjadi lima kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 tikus dan diberi perlakuan kondisi hipoksia hypobaric yang berbeda. Kemudian, kandungan protein dan kadar GSH dalam homogenat otak dengan spectrofotometer. Hasil: Kadar GSH menurun di otak yang terpapar oleh efek hipoksia hipobarik. Tetapi dari hasil analisa statistic membuktikan bahwa data yang sudah peroleh tidak signifikan. Kesimpulan: Menurut hasil penelitian ini, tidak ada korelasi antara tingkat GSH dan hipoksia hypobaric intermiten tetapi penelitian lebih lanjut harus dilakukan.
Background: A hypobaric hypoxic condition is induced in human in high altitude areas an intermittent hypobaric hypoxic condition is continuous exposure with normoxic conditions in between. A hypobaric hypoxic condition can potentially be harmful because of the oxidative stress that it causes. GSH is the prime antioxidant that is the main defense against hydrogen peroxide. Hydrogen peroxide levels increase in hypoxic conditions. In this experiment, I am analyzing the effect of intermittent hypobaric hypoxic condition on the level of glutathione GSH. Method: We utilized the cerebellum of two months old healthy male Sprague Dawley rats weighing at 200 250 grams. An intermittent hypobaric hypoxic condition was simulated using a hypobaric Type I Chamber flight profile. The rats are split into five groups with 5 rats in each group of varying exposure to the hypobaric hypoxic condition. Protein content in the cerebellum homogenate was also measured and the GSH level is measured. Results: The level of GSH decreases in rat cerebellum exposed to hypobaric hypoxia. However, after statistical analysis the data is shown to be insignificant.Conclusion According to the results of this experiment, there is no correlation between the level of GSH and intermittent hypobaric hypoxia but further research should be conducted.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70420
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>