Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heru Susanto
"Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merupakan institusi yang diberi tugas mengelola penerimaan negara dari sektor pajak, Penerimaan negara perlu dikelola secara bijak dan adil. Hal itu berarti, pajak seyogyanya tidak terlalu membebani Pembayar Pajak, Di lain pihak, pengeluaran negara yang tercermin dalam APBN semakin lama semakin besar. Oleh karena itu perlu adanya program yang dapat meningkatkan tax revenue namun tidak terlalu membebani masyarakat (misalnya, peningkatan tax rate, perluasan obyek pajak, dll). Penerapan program tax amnesty merupakan program yang diharapkan dapat sesuai dengan haparan dimaksud. Indonesia pemah menerapkan program pengampunan pajak tahun 1984, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 tahun l984. Namun pelaksanaan program tersebut tidak berhasiI. Oleh karena itu, perlu kiranya pemerintah belajar dari kegagalan masa lalu dan belajar pada negara-negara lain yang sukses menjalankan program ini (rnisalnya, .beberapa negara bagian Amerika Serikat dan negara Afrika SeIatan. Program tax amnesty muncul karena adanya tax evasion (penyelundup pajak) yang berkaitan pula dengan kegiatan underground economy/shadow economy. Underground economy merupakan kegiatan ekonomi yang tidak merupakan bagian dari Produk Domestik Bruto. Program ini diharapkan dapat menarik masyarakat yang melakukan tax evasion dan pelaku underground economy untuk masuk dalam sistem perpajakan dan memulai dengan perilaku yang sesuai dengan peraturan perpajakan. Tujuan program tax amnesty dalam jangka pendek adalah mempunyai dampak pada peningkatan tax revenue dari pemasukkan uang tebusan yang berasal dari permohonan pengampunan pajak yang disetujui oleh otoritaslunit pengampunan pajak. Unit pelaksanaan program ini harus dipisah dari DJP dan unit ini bersifat ad hoc dan professional serta dilakukan pengawasan. Dampak positif lain adalah repatriasi modal dari luar negeri (capital flight in flow), mengingat banyak dana-dana milik pengusaha/ pejabat/ mantan pejabat Indonesia yang diparkir di luar negeri. Capital flight in flow dapat dipergunakan untuk investasi yang dapat menyerap tenaga kerja dan menambah produksi barang dan jasa yang akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun demikian, hal yang harus diantisipasi adalah dampak negatif yaitu menurunnya tingkat kepatuhan Pembayar Pajak. Untuk mengantisipasi dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif maka diperlukan langkah-langkah antisipasi. Antisipasi yang perlu dilakukan adalah antisipasi jangka pendek dan jangka panjang. Antisipasi jangka pendek adalah penyusunan landasan hukum berupa undang-undang dan dilakukan sosialisasi, penyederhanaan peraturan perpajakan, syarat penyelesaian kewajiban dan ooritas peiaksana, reformasi administrasi dan sistern informasi perpajakan, penentuan jenis pajak yang diampuni hanya untuk PPh Orang Pribadi dan PPh Badan, penetapan obyek pajak yang diampuni hanya untuk sanksi perpajakan, denda, dan bunga. Tindak pidana lainnya (korupsi, illegal logging, dll) tidak dapat diampuni. Pengalaman release and discharge perlu menjadi pelajaran. Sedangkan antisipasi dalam jangka panjang adalah pegawasan dan penerapan good governance dan peningkatan law enforcement terhadap Pembayar Pajak tidak patuh.

Directorate General for Taxation (DGfT) is an institution assigned to manage state's tax revenues. Wise and fair management in state's revenues is mandatory. It means, taxes should not excess tax payers' liability. In the other hand, state's expenditures reflected in the state's budget (APED are getting greater every year. Consequently, it is necessary to set a program to increase tax revenues without excess tax payers' liability (e.g. tax rate adjustments, tax extensions, etc.). Tax amnesty program implementation is expected to meet the presumption. Indonesia has implemented the tax amnesty program under Presidential Decree No. 26/1984, but the program was not succeeded. Hence, the government has to learn from the failure of the program and the succeed ones in the other countries (e.g. some state in US and South Africa). Tax amnesty program is triggered by tax evasions and underground/shadow economy activities. Underground economy is economic activities out of Gross Domestic Product. Tax amnesty program is expected to give an incentive for people employ tax evasion and underground economy to enroll the taxation system and comply with the taxation rules. The short-term objective should be gained by tax amnesty is creating an effect on addition of tax revenues. This addition is from the payment of tax amnesty applications approved by tax amnesty unit. Tax amnesty unit should be segregated from (DGfT). This unit should be ad hoc, professional and controlled properly. The other gain is capital flight-in flow owned by local entrepreneurs/ (ex-)officers. Capital flight-in flow can be invested in order to reduce unemployment and increase output of goods and services and the outcome is to increase the economic growth. However, the negative effect of the tax amnesty program is the downgrading of tax payers' compliance. To minimize the negative effect and to optimize the gain of the program, the government should take any step to anticipate. The steps to be taken are long-term and short-term anticipations. Short-term anticipation steps are constructing the law basis, introducing program to the tax payers, tax rules simplification, rules of authorization and authorization unit determination, administrative and tax information system reform, sanctions, charges and interests of individual and corporate income taxes as objects those could be given a tax amnesty. Unlawful actions such as corruptions and illegal logging could not be given a tax amnesty. Release and discharge programs implemented before should be learns as a worthy experience. Long term anticipation steps are controlling, good governance implementation, and law enforcement to disobeyed tax payers."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zebua, Sadarieli
"Salah satu tuntutan masyarakat pada awal gerakan reformasi adalah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yang bertujuan mewujudkan demokratisasi melalui penerapan 3(tiga) pilar "good governance" yaitu transparansi, partisipasi dan akuntabilitas lembaga-lembaga negara. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal I ayat (2) perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar".
Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap perubahan Undang-Undang Dasar 1945, telah mendorong MPR mengeluarkan kebijakan tentang penugasan Badan Pekerja melaksanakan pemasyarakatan atau sosialisasi perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sesuai ketentuan pasal 31 huruf e, TAP MPR No. III MPR/l2003, dengan tujuan memberikan pemahaman yang utuh dan menyeluruh kepada masyarakat.
Berdasarkan kerangka teori dari Sabatier dan Mazmanian yang mengatakan bahwa implementasi merupakan tahap-tahap proses yang terdiri atas lima variabel yaitu keluaran kebijakan, kepatuhan kelompok sasaran, dampak nyata, dampak yang dikehendaki dan revisi/penyempurnaan kebijakan, serta Edwards III yang mengatakan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh variabel komunikasi, sumber-sumber, sikap pelaksana dan struktur birokrasi, serta metode penelitian deskriptif kuantitatif, diketahui bahwa implementasi kebijakan pemasyarakatan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2002-2003 oleh Badan Pekerja MPR, belum sepenuhnya berhasil memberikan pemahaman yang utuh dan menyeluruh kepada masyarakat.
Belum tercapainya tujuan kebijakan pemasyarakatan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 oleh Badan Pekerja MPR, diduga disebabkan variabel sumber daya, variabel komunikasi, variabel kelembagaan dan variabel lingkungan.
Kelemahan sumber daya pelaksanaan kebijakan terutama disebabkan oleh kurang memadainya jumlah dan kemampuan pelaksana kebijakan yang tercermin dari rendahnya jangkauan sosialisasi, kurangnya disiplin, rendahnya kesepahaman di antara pelaksana kebijakan, lemahnya persiapan dan intensitas hubungan dengan kelompok sasaran, serta lemahnya sosialisasi internal diantara para pelaksana kebijakan. Terbatasnya sumber daya tersebut di atas jugs berpengaruh terhadap kurang efektifnya komunikasi, yang tercermin dari kurangnya kesepahaman, kurang jelasnya pembagian tugas, kurangnya kesamaan bahasa diantara para pelaksana kebijakan, serta rendahnya intensitas komunikasi antara pelaksana kebijakan dengan kelompok sasaran. Frekuensi pemberitaan yang rendah, serta rendahnya citra dan penguasaan opini publik telah mengakibatkan rendahnya daya tanggap masyarakat terhadap pelaksanaan sosialisasi.
Kelemahan organisasi pelaksanaan/kelembagaan, terutama disebabkan oleh rendahnya akses kelembagaan Badan Pekerja MPR sebagai pelaksana kebijakan kepada kelompok sasaran, serta tidak adanya kelembagaan khusus yang menangani kebijakan sosialisasi perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Kondisi demikian mengakibatkan pola hubungan dengan masyarakat sebagai kelompok sasaran bersifat insidental.
Pencapaian tujuan kebijakan sosialisasi juga dipengaruhi oleh kelemahan kondisi lingkungan, terutama lemahnya layanan informasi, kurang sesuainya metode sosialisasi, kurangnya kesepahaman dan rendahnya tindak lanjut aspirasi masyarakat telah menimbulkan kejenuhan diantara kelompok sasaran.
Untuk memperbaiki implementasi kebijakan sosialisasi perubahan Undang-Undang Dasar 1945, perlu dilakukan beberapa hal antara lain :
1. Meningkatkan disiplin, pemahaman dan penguasaan substansi materi perubahan Undang-Undang Dasar 1945, serta meningkatkan sosialisasi internal di antara Anggota Badan Pekerja MPR, untuk mencapai pemahaman yang sama terhadap substansi materi perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Meningkatkan intensitas dialog untuk mencapai kesepahaman, kejelasan pembagian tugas, kesamaan bahasa diantara pelaksana kebijakan sosialisasi dan intensitas pemberitaan atau komunikasi antara Badan Pekerja MPR dengan kelompok sasaran (public relations), untuk menjaga citra dan opini publik terhadap Badan Pekerja MPR.
3. Membentuk sebuah kelembagaan khusus yang dapat melakukan evaluasi dan pengkajian menyeluruh terhadap metode sosialisasi, serta menjalin kerjasama atau hubungan kelembagaan dengan kelompok sasaran dan seluruh pihak terkait (stakeholders).
4. Mengoptimalisasikan sistem informasi yang ada (website dan Internet) secara profesional dengan memanfaatkan teknologi informasi yang tepat dan sesuai, sehingga perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dapat disebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat atau kelompok sasaran."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11550
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delanie Arestha
"Dalam penelitian ini terdapat dua permasalahan yakni: 1) Bagaimana regulasi komisi pemberantasan korupsi di bidang pencegahan dalam mengoptimalkan prinsip Good Governance? 2) Bagaimana implementasi prinsip Good Governance pada pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi di bidang pencegahan? jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sesuai ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 mengenai tugas Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan Akuntabilitas, Keterbukaan, dan Kepentingan Umum. Namun pada pelaksanaan tugas dan fungsi dibidang pencegahan masih ditemukan tidak terlaksana atau memiliki kelemahan merujuk penerapan Prinsip Good Governance dalam upaya Laporan Harta Kekayaan (LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, serta Koordinasi dan Supervisi. Sehingga, dalam mengoptimalkan Prinsip Akuntabilitas, Partisipasi, Transparansi penting untuk Komisi Pemberantasan Korupsi menguatkan pertanggungjawaban serta secara berkala memberikan akses keterbukaan dan perlibatan pada masyarakat di dalam melaksanakan tugas pencegahannya. Diharapkan menjadi perubahan agar meningkatkan integritas Komisi Pemberantasan Korupsi hingga layak memenuhi Prinsip Good Governance.

In this research, there are two problems, namely: 1) How is the regulation of the Corruption Eradication Commission on the prevention in optimizing the principles of good governance? 2) How is the implementation of the principles of Good Governance in the implementation of the Corruption Eradication Commission's duties and functions on the prevention? This research uses normative legal research. It concludes that according to the provisions of Article 5 of Law Number 19 of 2019 concerning the duties of the Corruption Eradication Commission, about the principles of Accountability, Transparency and Participation. But the implementation of duties and functions on the prevention is still not carried out or have a weaknesses of the Principles of Good Governance in managing Public Official’s Wealth Reports (LHKPN), Gratuities, Education and Community Services, and Coordination and Supervision. Thus, in optimizing the Principles of Accountability, Participation, Transparency, it is important for the Corruption Eradication Commission to strengthen accountability and periodically provide access to transparency and public involvement for doing the prevention duties. These changes are expected to improve the integrity of the Corruption Eradication Commission so that is worthy of fulfilling the Principles of Good Governance."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library