Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Naufal Musri
"Kawasan Asia Tenggara dihadapi dengan tantangan tingginya permintaan energi yang terus meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan energi dan mencapai interkoneksi energi kawasan, ASEAN membentuk platform khusus bernama ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) pada 1998. Akan tetapi, selama 25 tahun berdirinya APAEC, permasalahan-permasalahan energi di antara negara-negara anggota ASEAN tidak kunjung terselesaikan. Untuk itu, penelitian ini akan menjawab pertanyaan, “Mengapa kerja sama ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) tidak optimal dalam memenuhi kerja sama interkoneksi energi di kawasan?” Penelitian ini menerapkan konsep government networks yang dikemukakan oleh Anne-Marie Slaughter dalam menelaah kinerja APAEC. Data-data penunjang penelitian dikumpulkan melalui studi dokumen dan dianalisa dengan metode analisis kongruen. Berdasarkan data dan analisis dalam penelitian ini, ditemukan bahwa hanya norma Global Deliberative Equality dan Legitimate Difference yang terpenuhi dari lima norma yang terdapat dalam konsep government networks oleh Anne-Marie Slaughter. Sedangkan tiga norma lainnya yaitu Positive Comity, Subsidiarity, dan Checks and Balance tidak terpenuhi. Selain itu ditemukan faktor-faktor lain yang turut menyebabkan tidak optimalnya APAEC, termasuk kepentingan asimteris dan tidak ada insentif ekonomi. Hal ini menyebabkan APAEC tidak optimal dalam memenuhi kerja sama interkoneksi energi. Dengan demikian, penting bagi APAEC untuk mendorong program-programnya secara konsisten dengan memenuhi norma yang saat ini belum terpenuhi agar dapat mencapai keamanan energi secara optimal.
......Southeast Asia faces an overwhelmingly high energy demand that keeps on increasing. ASEAN developed the ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) to fulfill the energy demand and achieve regional energy security in 1998. However, after 25 years, energy issues among ASEAN member states have yet to be resolved. This research aimed to answer the question, “Why hasn’t APAEC achieved an optimal interconnected energy cooperation in the region?” To answer this question, this research applied the government network concept laid out by Anne-Marie Slaughter. This research was carried out by studying official documents utilizing a congruent analysis method. According to the findings and analysis of this study, only two of the five criteria discovered in Anne-Marie Slaughter's model of government networks, in the form of Global Deliberative Equality and Legitimate Difference, are fulfilled. The remaining three principles, including Positive Comity, Subsidiarity, and Checks and Balances, still need to be fulfilled. In addition, other contributing factors that affected APAEC performance were also found, namely asymmetrical interest and the absence of economic incentive. As a result, APAEC's performance in achieving energy interconnection cooperation has yet to be fulfilled. As a result, to achieve optimal energy security, APAEC must continually push its initiatives by achieving the already unfulfilled norms."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mustika Ayu Ningrum
"Pandemi COVID-19 di Indonesia telah menciptakan peluang kejahatan (criminal opportunity) untuk melakukan korupsi. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus, studi ini secara spesifik membahas kasus korupsi dana bantuan sosial Pandemi COVID-19 di Kementerian SS pada tahun 2020. Dipandu oleh Routine Activity Theory yang diperluas, menggabungkannya dengan konsep Corrupt Government Networks serta menggunakan metode analisis isi kualitatif, studi ini menyimpulkan sebagai berikut. Korupsi dana bantuan sosial Pandemi COVID-19 di Kementerian SS dipengaruhi oleh konvergensi dari tiga faktor utama yang hadir dalam ruang dan waktu yang sama. Pertama adanya pelaku yang termotivasi (motivated offender) yaitu kelompok korup atau jejaring koruptif (corrupt clique) dalam Kementerian SS. Kedua,  jejaring koruptif ini memiliki kekuasaan (power) untuk mengakses sumber daya (suitable target). Ketiga pemadaman pengawasan internal di dalam Kementerian SS mendorong ketiadaan penjaga yang cakap (absence of capable guardians). Secara akademis, studi ini menyumbang pentingnya memperluas teori kriminologi dari Barat agar sesuai dengan konteks kejahatan di Indonesia. Secara empiris, studi ini menyumbang para penentu kebijakan publik mengenai pentingnya mendeteksi jejaring koruptif yang sering terabaikan dalam peradilan kejahatan korupsi.
......The COVID-19 pandemic in Indonesia has created a criminal opportunity for corruption. Using a qualitative approach and case study method, this study specifically discusses cases of corruption in social assistance funds during the COVID-19 Pandemic at the Ministry of SS in 2020. Guided by an extension Routine Activity Theory, combining it with the concept of Corrupt Government Networks and using analytical methods qualitative content, this study concludes as follows. Corruption in social assistance funds during the COVID-19 pandemic at the SS Ministry was influenced by the convergence of three main factors present in the same space and time. First, there are motivated offenders, namely corrupt cliques within the SS Ministry. Second, this corrupt network has the power to access resources (suitable target). The three breakdowns of internal oversight within the SS Ministry led to the absence of capable guardians. Academically, this study contributes to the importance of expanding criminological theory from the West to adopt the context of crime in Indonesia. Empirically, this study contributes to public policy makers regarding the importance of detecting corrupt networks which are often neglected in corruption crime trials."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library