Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gusti Arvianty
"Perkembangan kota-kota besar di Indonesia sejak 1990-an hingga sekarang mencerminkan perkembangan fisik kota yang lebih banyak ditentukan oleh sarana dan prasarana yang ada. Pembangunan kota cenderung meminimalkan ruang terbuka hijau dan menghilangkan wajah alam. Lahan-lahan bertumbuhan banyak dialihfungsikan menjadi kawasan infrastruktur perkotaan. Pertumbuhan populasi penduduk DKI Jakarta yang tinggi membutuhkan pemenuhan akan permukiman, sarana dan prasarana kehidupan penduduk kota yang layak. Keadaan lingkungan perkotaan menjadi berkembang secara ekonomi, namun menurun secara ekologi. Ruang terbuka hijau (RTH) DKI Jakarta merupakan aset pemerintah daerah yang dikelola oleh beberapa instansi salah satunya Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta yang mengelola aset berupa lahan seluas 114, 22 ha yang terletak di 19 lokasi instalasi kebun bibit dan tersebar di 4 (empat) wilayah kotamadya DKI Jakarta (Selatan, Timur, Utara dan Barat) serta di Pulau Tidung Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Kebun bibit merupakan unsur ruang terbuka hijau yang produktif atau menghasilkan seperti bibit tanaman buah, tanaman hias, anggrek dan sayuran dan bernilai ekonomis, ekologis, dan sosial. Setiap kawasan yang sudah ditetapkan peruntukannya sebagai ruang terbuka hijau seperti lahan kebun pembibitan sebaiknya ditetapkan dengan peraturan daerah untuk menghindari konversi lahan atau peruntukan yang tidak sesuai di masa yang akan datang.
Tujuan dari penelitian adalah :1).Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas masing-masing kebun bibit sesuai peruntukan dan fungsinya akibat adanya kegiatan revitalisasi fasilitas kebun, 2) Mengetahui preferensi masyarakat dalam mempertahankan keberadaan dan fungsi kebun bibit sebagai kawasan ruang terbuka hijau di DKI Jakarta. Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan diketahui bahwa revitalisasi fasilitas fisik dalam bentuk kegiatan pengurugan, pemagaran, jalan setapak, pembangunan green house, lathhouse, sere, sprinkle dan deep well serta vegetasi (tanaman) kebun bibit secara bersamasama tidak berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas Sedangkan preferensi berupa nilai kesediaan membayar atau WTP yang bersedia dikorbankan masyarakat dalam mempertahankan fungsi dan keberadaan kebun bibit dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat semakin tinggi tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat maka nilai WTP yang diberikan juga akan meningkat.

The development of DKI Jakarta tends to minimize green open space and diminish natural appearance. Many planted areas are functionally transferred into urban infrastructure areas. This is caused by high population growth in DKI Jakarta, which requires fulfillment of feasible settlement area, facility and infrastructure of the urban inhabitants. The condition of urban environment improves in terms of economy, but degrades in terms of ecology. In anticipating degradation to urban physical environment, the government has been making effort to optimize the existing green areas such as revitalization of nursery. Nursery is an element of cultivated open green space with economic, ecological and social values. Nursery produces plants seeds of fruit plants, ornamental plants, orchids, and protective plants. Since 2004, revitalization to nursery has been conducted. Such effort of revitalization, however, has not given maximum result in accordance with the target and investment conducted. In the framework of increasing efficiency and effectiveness of nursery revitalization, we need to see the of effectiveness of impact of farm physical facility development/repair on productivity and use of nursery environment for the surrounding community.
This research is aimed to identify the factors unified as the activity of revitalization of nursery physical and supporting facilities that influence the level of farm productivity, and to find out community preference in maintaining the existence and function of nursery as green open space area in DKI Jakarta. Revitalization of physical facility and level of productivity are obtained from the result of survey and documents applying multiple linear regression analysis. Next, result of WTP is obtained from result of interview and questionnaire provided to the community around nursery, by applying method of contingent value. Result of discussion shows that revitalization of physical facilities in the form of activities of filling up, fencing, path making, green house construction, lathhouse, sere, sprinkle, and deep well as well as procurement of seed farm plants together does not have an impact on productivity. Partially, however, the activity of revitalization by filling up, fencing, path making, sere construction, sprinkle, deep well and procurement of nursery plants has an impact on productivity increase. Meanwhile, community preference in determining the payingpreparedness value be sacrificed in maintaining the function and existence of seed farm as green open area is influenced by level of education and income. The higher the level of education and income of the community, values of being prepared to pay will increase. Therefore, every area whose allocation has been determined as green open space such as seed farm area is better stipulated in regional regulation to avoid improper land conversion or allocation in the future."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T 307.76 / 2008 (25)
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Effa Millya Yulief
"Pembangunan kota Jakarta yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan kecenderungan terjadinya penurunan kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik, terutama ruang terbuka hijau (RTH). Kini luasan RTH Jakarta diperkirakan 9,67% pada tahun 2006 dari total luas kota Jakarta yaitu 66.152 hektar. Namun keberadaan hutan kota sering dianggap bernilai ekonomi rendah sehingga cenderung diabaikan dan dialihfungsikan. Kondisi tersebut menyebabkan pembangunan dan pemeliharaan hutan kota tidak menjadi prioritas, akibatnya kondisi hutan kota yang ada tidak berkembang sebagaimana harapan. Penilaian ekonomi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan perlu dilakukan. Nilai ekonomi hutan kota dilakukan melalui pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh manfaat dari barang dan jasa yang lain. Konsep ini yang disebut dengan keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan konsep ini, maka nilai ekologis hutan kota dapat dihitung secara ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa. Untuk mengetahui nilai ekonomi total dari hutan kota Srengseng didapatkan melalui nilai guna dan non guna dari hutan kota Srengseng yang terdiri dari nilai ekonomi kayu, nilai sewa lapak tanaman hias, nilai rekreasi, nilai serapan karbon, nilai kesejukan, nilai resapan air, nilai option dan nilai keberadaan hutan kota. Metode yang digunakan untuk menghitung nilai ekonomi hutan kota Srengseng antara lain melalui : 1) metode penilaian secara langsung (berdasarkan nilai pasar), 2) metode menggunakan nilai pasar barang pengganti, dan 3) metode survey. Contingent valuation method merupakan metode untuk penilaian barang publik melalui nilai kesediaan berkorban (willingness to pay). Nilai WTP yang diberikan masyarakat dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi. Kemudian untuk memperkuat nilai ekonomi hutan kota yang didapatkan, dilakukan konversi nilai lahan Hutan Kota Srengseng dengan menggunakan harga NJOP wilayah setempat. Dengan demikian akan diperoleh keberadaan hutan kota Srengseng secara ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh nilai ekonomi total hutan kota Srengseng sebesar Rp 310.075.842.525,- per tahun atau Rp 20.671.722.835,- per hektar lebih tinggi dari nilai lahan Hutan Kota Srengseng adalah sebesar Rp 172.928.550.000,-. Nilai ekonomi total Hutan Kota Srengseng yang diperoleh merupakan nilai aset Pemda DKI Jakarta yang belum pernah diketahui. Perolehan nilai ekonomi Hutan Kota Srengseng merupakan masukan bagi Pemda DKI Jakarta untuk dapat meningkatkan keberadaan hutan kota sebagai sebuah aset xekologis yang mempunyai nilai tinggi. Masukan tentang nilai ekonomi hutan kota akan memperkuat Pemda DKI Jakarta dalam meningkatkan dan mengembangkan ruang terbuka hijau khususnya hutan kota.

The quantity and quality decreasing of public spaces, especially the Green Public Spaces, is the impact of Jakarta development that focuses on its economical improvement. To be more precise, the width of Green Public Spaces in 2006 is only about 9,67% of 66.152 hectar of Jakarta total areas. In this case, the urban forest socialization is one of the concrete ways to develop the Jakarta Green Public Spaces. The existence of urban forest, how ever, is often defined as the low economical value thing that leads to dysfunction and negligence. Such condition makes the development as well as the preservation of urban forest has not become a priority. Therefore, economic valuation of natural and environmental resources is considered to be a significant point. The concept of willingness to pay is one method in mensuring the economical value of urban forest. It is the concept of estimating the maximum cost that sameone is willing to pay for a natural or environmental product/service. Related to this, the ecological value of urban forest can be economically measured by evaluating its monetory value. In this study, the economical value of urban forest. This the existence of Srengseng Urban Forest will be economically obtained. Based on the study, it is defined that the total economical value of Srengseng Urban Forest is Rp 310.075.842.525/ year or Rp 20.671.722.835,- /hectar or higher than Srengseng Urban Forest land value as Rp 172.298.550.000. In this sense, the obtained Srengseng Urban Forest total economical value is the asset value of Pemda DKI Jakarta that has never been identified. It can be used to increase the existence of urban forest as a ecological valuable asset. Therefore, the proposal about economical value of urban forest will empower Pemda DKI Jakarta in increasing as well as improving the green public space, especially the urban forest."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library