Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dimas Fir Rizqi
Abstrak :
Semakin pesatnya arus globalisasi membuat bisnis juga semakin meningkat. Ditambah dengan sedang terjadinya era revolusi industry 5.0 membawa dampak dan perubahan yang signifikan dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat dunia termasuk masyarakat Indonesia. Kemajuan tersebut menjadi sebuah tantangan yang wajib dihadapi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesian. Pelbagai sengketa bisnis pun juga tak dapat dihindari dikarenakan kemajuan peradaban tersebut. Lambatnya penyelesaian perkara melalui lembaga peradilan membutuhkan suatu terobosan agar terciptanya peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai lembaga peradilan memiliki tanggung jawab untuk mengatasi permasalahan demi terciptanya akses pelayanan peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan kepada para pencari keadilan. Dengan kondisi demikian, banyak pelaku usaha yang meminta agar diberikan solusi penyelesaian bagi sengketa dengan waktu yang cepat untuk nilai materiil yang dianggap tidak terlalu besar. Atas usulan dan kebutuhan tersebut Mahkamah Agung mengatur mengenai gugatan sederhana (Small Claims Court) melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2015 yang beberapa ketentuannya kemudian diubah dan ditambahkan dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2015 tentang Gugatan Sederhana dikarenakan dianggap memerlukan perubahan untuk lebih menyesuaikan dengan inflasi dan kebutuhan masyarakat. Hakim pada Putusan Pengadilan Negeri Bogor Nomor 2/PDT.G.S/2019/PN.BGR memeriksa perkara dengan dasar hukum yang tidak tepat. Pertimbangan tersebut juga tidak sesuai dengan alasan pembatalan perjanjian. Pertimbangan ini berimplikasi pada ketidakpastian hukum di masa yang akan dating. Singapura dan Kanada dapat menjadi pertimbangan dalam mengatur gugatan sederhana lebih komprehensif. Pertama, Singapura merupakan negara acuan bagi Indonesia dalam mengatur gugatan sederhana, sementara Kanada melalui British Columbia dengan tingkat kejahatan yang rendah dan regulasi yang efektif membuat British Columbia menjadikan British Columbia menjadi salah satu tempat teraman untuk berbisnis. Saya menggunakan metode yuridis-normatif untuk menganalisis bagaimana perbandingan perkembangan hukum gugatan sederhana di Indonesia dengan negara Singapura dan Kanada serta bagaimana penipuan sebagai dasar pembatalan perjanjian dalam gugatan sederhana berdasarkan studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Bogor Nomor 2/PDT.G.S/2019/PN.BGR. ......The rapid flow of globalization makes business also increase. Coupled with the ongoing era of the industrial revolution 5.0, it has had significant impacts and changes in various aspects of the life of the world community, including the people of Indonesia. This progress is a challenge that must be faced by the Unitary State of the Republic of Indonesia. Various business disputes are also unavoidable due to the progress of this civilization. The slow resolution of cases through the judiciary requires a breakthrough to create a fast, simple, and low-cost trial. The Supreme Court of the Republic of Indonesia as a judicial institution has the responsibility to resolve problems to create access to justice services that are fast, simple, and low-cost for justice seekers. Under these conditions, many business actors have requested that a solution be provided for dispute resolution in a short time for a material value considered not too large. Based on these suggestions and needs, the Supreme Court regulates simple claims (Small Claims Court) through Supreme Court Regulation No. 2 of 2015, some of the provisions of which were later amended and added to Supreme Court Regulation No. 4 of 2019 concerning Amendments to Supreme Court Regulation No. 2 of 2015 concerning Simple Claims because they are deemed to require changes to better adjust to inflation and people's needs. The judge in the Bogor District Court Decision No. 2/PDT.G.S/2019/PN.BGR examined the case on an improper legal basis. These considerations are also not by the reasons for canceling the agreement. This consideration has implications for legal uncertainty in the future. Singapore and Canada can be considered in arranging a more comprehensive simple lawsuit. First, Singapore is a reference country for Indonesia in arranging simple lawsuits. At the same time, Canada through British Columbia with a low crime rate and effective regulations makes British Columbia one of the safest places to do business. I use the juridical-normative method to analyze the comparison of the development of simple lawsuits law in Indonesia with Singapore and Canada and how fraud is the basis for canceling agreements in simple lawsuits based on the case study of Bogor District Court Decision Number 2/PDT.G.S/2019/PN.BGR.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Misael Soter Himpal
Abstrak :
Tulisan ini menganalisis bagaimana konsep gugatan sederhana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Pelaksanaan Gugatan Sederhana (Perma TCPGS) No. 2 tahun 2015 jo. Peraturan Mahkamah Agung tentang Perubahan Tata Cara Pelaksanaan Gugatan Sederhana (Perma PTCPGS) no. 4 tahun 2019, khususnya dalam pelaksanaan terhadap sengketa yang berhubungan dengan tanah sebagai objek yang dikecualikan untuk mengajukan gugatan sederhana. Lembaga peradilan diharapkan mampu untuk mengikuti perkembangan ekonomi masyarakat, sehingga Mahkamah Agung membentuk suatu peraturan tentang Gugatan Sederhana sebagai suatu respon atas hal tersebut. Gugatan sederhana berdasarkan Perma TCPGS jo. Perma PTCPGS secara khusus mengecualikan sengketa hak atas tanah dari Gugatan Sederhana, hal ini berlaku untuk gugatan cidera wanprestasi ataupun gugatan perbuatan melawan hukum dan merupakan syarat mutlak supaya suatu gugatan dapat diterima dalam tata cara gugatan sederhana. Namun dalam pelaksanaannya dalam perkara no. 5/Pdt.G.S/2020/PN Bik di Pengadilan Negeri Biak, ditetapkan bahwa gugatan wanprestasi yang diajukan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Kantor Cabang Biak tidak dapat diterima dengan alasan bahwa di dalam perkara tersebut terdapat objek terkait atas barang milik tergugat berupa sebidang tanah. Hal ini dikarenakan ketentuan mengenai sederhana atau tidaknya suatu gugatan serta sederhana atau tidaknya suatu pembuktian dalam Perma TCPGS Jo. PTCPGS belum diatur dengan jelas. Idealnya ditinjau dari tujuan hukum, maka perlu adanya definisi atau acuan mengenai sengketa hak atas tanah yang jelas, ketentuan sederhana tidaknya suatu gugatan yang dibuat secara objektif, ketentuan yang mengharuskan hakim untuk memeriksa pokok perkara cidera janji, serta ketentuan pembuktian sederhana terhadap sengketa yang berkaitan dengan tanah sebagai objek. ......This paper analyzes how the concept small claim court is regulated in the Supreme Court Regulation on Procedures for Implementing small claim court (Perma TCPGS) No. 2 of 2015 Jo. Supreme Court Regulation concerning Amendments to Procedures for Implementing small claim court (Perma PTCPGS) no. 4 of 2019, especially in the implementation of disputes related to land as an object that is excluded from filing a small lawsuit. Judicial institutions are expected to be able to follow the economic development of society, so that the Supreme Court forms a regulation regarding small claim court to respond the expectation. Small claim court based on Perma TCPGS Jo. The PTCPGS Perma specifically excludes land rights disputes, this applies to lawsuits for breach of contract or lawsuits for unlawful acts and is an absolute requirement for a lawsuit to be accepted in the small claim court procedure. However, in its implementation in case no. 5/Pdt.G.S/2020/PN Bik at the Biak District Court, it was determined that the breach of contract lawsuit filed by PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Biak Branch Office cannot be accepted on the grounds that in the case there is an object related to the defendant's property in the form of a plot of land. This is due because the rule regarding whether a claim is simple or not and whether the proof is simple or not in Perma TCPGS Jo. Perma PTCPGS have not been clearly regulated. Ideally, in terms of legal objectives, there needs to be a clear definition or reference in Perma TCPGS Jo. Perma PTCPGS regarding land rights disputes, an objective rule on whether or not a claim is small claim, a rule that requires the judge to examine the subject matter of breach of contract, as well as a rule for simple proof related to land as an object.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clara
Abstrak :
Konsumen yang mengalami kerugian akibat perbuatan wanprestasi oleh pelaku usaha dapat mengajukan tuntutan ganti rugi melalui gugatan sederhana di Pengadilan Negeri. Adapun dalam skripsi ini membahas tentang tuntutan ganti rugi oleh konsumen terhadap pelaku usaha yang melakukan wanprestasi. Studi kasus perkara antara Clara melawan Surya dan Novi Wijayanti dalam Putusan No.02/Pdt.G.S/2017/PN.Jkt.Timur, Hakim hanya mengabulkan biaya yang telah dibayarkan oleh Clara sebagai konsumen selaku Penggugat, sedangkan biaya-biaya lainnya menjadi risiko Penggugat. Rumusan masalah dari permasalahan tersebut adalah 1 apakah konsumen dapat menuntut ganti rugi berupa biaya-biaya lainnya yang timbul akibat terjadinya wanprestasi oleh pelaku usaha di luar yang diperjanjikan dalam gugatan sederhana, 2 apakah putusan No.02/Pdt.G.S/2017/PN.Jkt.Timur sudah tepat dalam memberikan ganti kerugian kepada konsumen terhadap pelaku usaha yang melakukan wanprestasi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan hasil penelitian bahwa konsumen Penggugat dapat menuntut ganti rugi berupa biaya-biaya lainnya akibat wanprestasi oleh pelaku usaha di luar yang diperjanjikan dalam gugatan sederhana sesuai dan berdasarkan Pasal 19 jo Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 1246 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Yurisprudensi, Putusan Pengadilan Negeri Tanggerang yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Banten yang telah berkekuatan hukum tetap, serta pendapat Hakim-hakim yang diwawancarai. Oleh karena itu, Putusan No.02/Pdt.G.S/2017/PN.Jkt.Timur khususnya tentang ganti rugi adalah tidak tepat. Disarankan untuk mencegah terjadinya ketidakseragaman para Hakim dalam memutus tentang ganti rugi akibat wanprestasi, maka Mahkamah Agung selaku lembaga tertinggi yang melakukan pengawasan dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, agar segera membuat aturan atau surat edaran mengenai komponen ganti kerugian akibat wanprestasi yang dapat dikabulkan oleh Hakim. ......Consumers who suffer disadvantage due to breach of contract by business actors may file a lawsuit of a small claim court at the District Court. This thesis discusses about the claims of compensation by consumers against the business actors who violate a contract. The study is conducted on the case of Clara against Surya and Novi Wijayanti in Decision No.02 Pdt.GS 2017 PN.Jkt.Timur where the Judge only granted the suit of cost which Clara had paid as a consumer, regarding her status as the Plaintiff. Meanwhile, the other costs were determined to be under the Plaintiff 39 s risk. T he scoop of analysis of this case are 1 whether the consumers may claim a compensation in the form of other costs as the result of contract violation conducted by business actors beyond the agreement in a small claim court, 2 whether the decision No.02 Pdt.GS 2017 PN.Jkt.Timur is appropriate in providing compensation to consumers against business actors who breach of contract. This study uses the normative juridical research method with the result that the consumer as the Plaintiff may claim the compensation of other expenses arising from contract violation conducted by the business actor beyond the agreement in a small claim court according to Article 19 jo Article 64 of the Protection Act Consumers, Articles 1246 Indonesian Civil Code, Jurisprudence, Judgment of Tanggerang District Court upheld by Banten High Court with the permanent legal force, as well as the opinion of the Interviewed Judges. As the conclusion, the Decision No.02 Pdt.G.S 2017 PN.Jkt.Timur particularly regarding the compensation is considered as inappropriate. It is advisable for the Supreme Court, as the highest institution who supervise the exercise of judicial power, to make a regulation or circular regarding the component of compensation cost regarding contract violation to be granted by the judges in order to prevent dissimilarity of judges rsquo decision on compensation loss of contract violation.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faqih
Abstrak :
Utang merupakan salah satu opsi untuk Perseroan yang ingin mengembangkan usahanya, tetapi memiliki keterbatasan dana. Meskipun, terkadang utang itu tidak dapat dilunasi oleh debitornya. Sehingga, memaksa kreditor menempuh upaya hukum, di antaranya adalah gugatan wanprestasi, gugatan perbuatan melawan hukum, permohonan pernyataan pailit, dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang masing-masing memiliki tujuan dan akibat hukum yang berbeda. Menjadi masalah ketika para kreditor menghendaki untuk memberikan kesempatan bagi debitor untuk melunasi utangnya serta menlanjutkan usahanya, tetapi Pengadilan justru menolak dengan alasan nilai tagihan utang terlalu kecil. Hal tersebut ditemui pada kasus Putusan No. 446/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Jkt Pst. Berdasarkan analisis hukum yang diuraikan, Majelis Hakim menyatakan bahwa seluruh syarat PKPU dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 (UUK-PKPU) telah terpenuhi. Namun, Majelis Hakim menolak permohonan tersebut dengan alasan UUK-PKPU tidak mengatur jumlah minimum tagihan, tetapi terdapat Perma No. 4 Tahun 2019 yang mengatur mengenai tata cara gugatan sederhana. Sehingga, oleh karena nilai tagihan pada kasus ini di bawah Rp500.000.000,00, Majelis Hakim menolak permohonan PKPU. Atas putusan tersebut, terdapat dissenting opinion yang menyatakan pemberian PKPU Sementara beralasan hukum untuk dikabulkan. Oleh karena itu, penulis membahas fenomena ini dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai upaya hukum yang tepat berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, pembahasan ini menjadi suatu hal yang memiliki urgensi karena dapat menjadi preseden atas kasus serupa. Dalam menganalisis kasus tersebut, penulis menyusun penelitian yang menerapkan metode yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif, di mana penulis menganalisis kedudukan Perma No. 4 Tahun 2019 terhadap UUK-PKPU dan analisis penolakan PKPU yang ditinjau dari Asas Kelangsungan Usaha. Hasil dari penilitian ini adalah Perma No. 4 Tahun 2019 bukanlah peraturan pelengkap dan tidak relevan terhadap permohonan PKPU. Selain itu, pemberian PKPU merupakan implementasi dari Asas Kelangsungan Usaha yang mana dapat memberikan kesempatan bagi debitor untuk melanjutkan usahanya, serta melunasi utang-utangnya. ......Debt is an option for companies that want to expand their business, but have limited funds. Although, sometimes the debt cannot be repaid by the debtor. Thus, forces creditors to take legal action, including lawsuits for default, lawsuits against the law, requests for bankruptcy statements, and requests for suspension of payment (PKPU), each of which has a different purpose and legal consequences. It becomes a problem when the creditors want to allow the debtor to pay off his debts and continue his business, but the Court refuses because the value of the debt invoice is too small. This was found in the case of Decision No. 446/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Jkt Pst. Based on the legal analysis described, the Panel of Judges stated that all PKPU requirements in Law no. 37 of 2004 (UUK-PKPU), have been fulfilled. However, the Panel of Judges rejected the request because UUK-PKPU does not regulate the minimum amount of bills, but there is Perma No. 4 of 2019 which regulates the procedures for simple lawsuits. So, because the value of the invoice, in this case, was below IDR 500,000,000.00, the Panel of Judges rejected the PKPU request. Regarding this decision, there was a dissenting opinion that stated that the temporary PKPU had legal reasons to be granted. Therefore, the author discusses this phenomenon to provide information to the public regarding appropriate legal remedies based on the objectives to be achieved. In addition, this discussion becomes a matter of urgency because it can set a precedent for similar cases. In analyzing the case, the authors compiled a study using normative juridical methods with a qualitative approach, in which the authors analyzed the position of Perma No. 4 of 2019 against UUK-PKPU and an analysis of PKPU rejection in terms of the Going Concern Principle. The result of this research is Perma No. 4 of 2019 is not a complementary regulation and is irrelevant to the PKPU application. In addition, PKPU is an implementation of the Going Concern Principle which can provide opportunities for debtors to continue their business and pay off their debts.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Setyaningsih
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas bagaimana pengaturan dan proses penyelesaian sengketa konsumen melalui prosedur beracara cepat di Indonesia dan Australia. Penyelesaian sengketa konsumen melalui prosedur beracara cepat di Australia dapat dilaksanakan melalui suatu lembaga Small Claims Tribunal (SCT) dibawah Pengadilan Negeri pada masing-masing Negara bagian di Australia. Sedangkan di Indonesia sendiri, penyelesaian sengketa yang berazaskan proses beracara cepat dikenal melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang pada saat pembentukannya memiliki visi sebagai Small Claims Court seperti SCT di Australia. Namun setelah diadakannya perbandingan, BPSK ternyata tidak sejalan dalam hal prinsip sebagai Small Claims Court. Pada tahun 2015, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Melalui Gugatan Sederhana. PERMA inilah yang diharapkan dapat menjadi alternatif penyelesaian sengketa konsumen dengan prinsip Small Claims Court di Indonesia. Dalam skripsi ini, penulis juga membahas jalur penyelesaian sengketa melalui BPSK atau Gugatan Sederhana kah yang paling menguntungkan bagi konsumen apabila dilihat dari beberapa sudut pandang.
ABSTRAK
This thesis examines how the regulation and process of consumer dispute resolution through small claims court procedure in Indonesia and Australia. Consumer dispute resolution through small claims court can be carried out quickly in Australia through an institution namely Small Claims Tribunal (SCT) under the Court in each states in Australia. While in Indonesia, the dispute resolution proceedings which adheres to the principle of small claims court recognized by Consumer Dispute Resolution Body (BPSK), which at the time of its formation has a vision as a Small Claims Court just like SCT in Australia. However, after the holding of comparison, BPSK was not consistent in terms of principles as the Small Claims Court. In 2015, the Supreme Court enforced Supreme Court Regulation No. 2 Year 2015 on Procedures for Settlement of Dispute Through Simple lawsuit. This PERMA is expected to be an alternative consumer dispute resolution with the principles of Small Claims Court in Indonesia. In this thesis, the author also discusses the dispute resolution path through BPSK or Simple Lawsuit is the most favorable to the consumer when viewed from several perspectives.
2016
S65051
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Sophia Fitri
Abstrak :
Skripsi ini membahas pengaturan penyelesaian sengketa kredit perbankan dan penerapan gugatan sederhana dalam menyelesaikan sengketa kredit perbankan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Pengaturan penyelesaian sengketa kredit perbankan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mekanisme Internal Dispute Resolution dan External Dispute Resolution. Penerapan gugatan sederhana dengan dasar Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini dimanfaatkan oleh perbankan untuk menyelesaikan sengketa kredit antara bank dengan nasabah debiturnya. Sebanyak 70 dari keseluruhan perkara gugatan sederhana diajukan oleh bank. Saran dari penelitian ini yaitu agar Mahkamah Agung membuat petunjuk teknis pelaksanaan gugatan sederhana, menaikkan ketentuan nilai gugatan materil dari Rp200.000.000,00 menjadi Rp500.000.000,00, serta memasukkan aturan eksekusi gugatan sederhana. ...... This thesis discusses about the regulations of banking credit dispute settlement and the small claim court implementation in settling banking credit disputes in the South Jakarta District Court. This research is a normative juridical research. The regulations of banking credit dispute settlement are set forth in Bank Indonesia Regulations and Financial Services Authority Regulations governing the mechanism of Internal Dispute Resolution and External Dispute Resolution. The implementation of small claim court under the Supreme Court Regulation Number 2 of 2015 in the South Jakarta District Court was used by banks to settle credit disputes between banks and debtor customers. As many as 70 of all small claim court cases were filed by banks. The suggestion from this study is that the Supreme Court should make technical instructions for the implementation of a small claim court, increase the provisions for the value of material claims from Rp200.000.000,00 to Rp500.000.000,00, and make small claim court execution rules.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library