Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Sukri
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2008
S24432
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Jayanti
"ABSTRAK
Merek merupakan "tanda" berupa kata, angka, gambar, simbol ataupun
warna untuk memberikan identifikasi pembuatnya sehingga dapat membedakan
satu barang dengan barang lainnya. Hak atas merek merupakan salah satu
kelompok benda bergerak tak berwujud, yang diberikan kepada orang yang
memang berhak dan di dalamnya mengandung suatu penguasaan mutlak, sehingga
sering disebut sebagai hak milik yang sifatnya tidak berwujud. Sebagai hak milik,
maka hak atas merek pun dapat beralih salah satunya melalui perjanjian. Skripsi
ini membahas tentang pengalihan hak atas merek terdaftar melalui perjanjian jual
beli, diambil contoh kasus merek "BUGARIN". Adapun yang menjadi pokok
permasalahan adalah bagaimana pengaturan pengalihan hak milik dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata , bagaimana pengaturan pengalihan hak atas
merek terdaftar yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek, serta bagaimana analisis yuridis atas Akta Perjanjian Pengalihan
Hak atas Merek Terdaftar "BUGARIN" dikaitkan dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Metode penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif
yang memiliki makna pencarian sebuah jawaban tentang suatu masalah. Metode
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kegiatan penelitian
kepustakaan dan mempelajari data sekunder. Dapat disimpulkan bahwa hak atas
merek merupakan salah satu hak milik yang diatur dalam Pasal 570 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Sebagai hak milik, berdasarkan Pasal 40 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 hak atas merek dapat beralih karena
pewarisan, wasiat, hibah, perjanjian, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan. Pengalihan hak atas merek ?BUGARIN?,
merupakan salah satu contoh pengalihan hak atas merek terdaftar dikarenakan
oleh perjanjian. Walapun dalam Akta Perjanjian Pengalihan Merek "BUGARIN"
tidak disebutkan kata jual beli, namun akta tersebut memenuhi unsur jual beli
yang diatur dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

ABSTRACT
Trademark is a "sign" the form of words, numbers, pictures, symbols or
colors to provide identification of the manufacturer so it can distinguish between
goods. Trademark rights is one of intangible movable assets, which is given to
people who are eligible and in it contains an absolute mastery, so often referred to
as the property of an intangible nature. As property rights, trademark rights was
able to switch one of them through treaties. This thesis discusses the transfer of
trademark rights with the sale and purchase agreement, drawn brand case
"BUGARIN". The fundamental problem is how the transfer of property rights
arrangements in the Book of the Civil Code Act, how the arrangements for
transfer of trademark are set out in Act No. 15 Year 2001 about Trademark, and
how the legal analysis on the Deed of Assignment Agreement Registered brand
"BUGARIN" associated with Act No. 15 of 2001 about Trademark and the Book
of the Civil Code. The method of writing this thesis using research methods that
have a normative juridical that have purpose to seek an answers about a problem.
Collecting data methods conduct with using the research literature and study of
secondary data. We can concluded that trademark rights is one of property rights
provided for in Article 570 of Act Book of the Civil Code. As property, pursuant
to Article 40 paragraph (1) of Act No. 15 year 2001 about Trademark, transfers
of trademark be able due to inheritance, wills, grants, agreements, or other causes
which are justified by the legislation. The transfer of rights to the brand
"BUGARIN", is one example of transfer of trademark because of the agreement.
Although the Deed of Trademark Transfer Agreement "BUGARIN" is not
mentioned the word ?sale and purchase?, but the deed meets the elements of sale
and purcase agreement set forth in Section 1457 of Act Book of the Civil Code.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43885
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Bagus Ivan Dharmadipraja
"ABSTRAK
Merek merupakan "tanda" berupa kata, angka, gambar, symbol ataupun
warna untuk memberikan identifikasi pembuatnya sehingga dapat membedakan satu barang dengan barang lainnya. Peraturan mengenai merek diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasia Geografis. Putusan kepailitan menunjuk kurator atau Balai Harta Peninggalan (BHP) untuk mewakili Perseroan Terbatas (PT) melakukan tindakan hukum menyangkut harta Perseroan Terbatas (PT) untuk tujuan pemenuhan hak para Kreditornya. Di dalam praktek Kurator sangat terbatas di dalam melakukan tindakan hukum berkaitan dengan aset tak berwujud (intangible asset) khususnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) milik perseroan terbatas. Padahal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan aset yang paling potensial saat perseroan terabatas ada pada kegiatan usaha. Tesis ini akan membahas tentang penilaian dan kendala serta konsekuensi yuridis pada proses pengalihan asset HKI berupa merek terdaftar dalam pemberesan boedel pailit ditinjau dari aspek hukum kepailitan dan mengambil contoh kasus kepailitan PT. Nyonya Meneer yang merupakan pioneer industry jamu di Indonesia. Peneliti mengambil contoh kasus Nyonya Meneer dikarenakan banyak hal yang dapat digali dari pailitnya perusahaan jamu terbesar pada masanya itu, tesis ini juga akan membahas tentang resep jamu Nyonya Meneer yang dikualifisir dapat
dilindungi menggunakan rezim rahasia dagang (trade secret).
Metode penulisan tesis ini akan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang memiliki makna pencarian sebuah jawaban tentang suatu masalah. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kegiatan penelitian kepustakaan, wawancara, dan mempelajari data sekunder. Dapat disimpulkan bahwa penilaian suatu merek akan lebih maksimal dan/atau optimal ketika merek tersebut masih beroperasi dan/atau going concern, akan tetapi dalam keadaan pailit, suatu merek terkenal seperti Nyonya Meneer pun masih dapat memiliki valuasi merek yang tinggi, disamping itu merek Nyonya Meneer akan dialihkan dengan menggunakan perjanjian lisensi setelah kurator menjual secara lelang merek tersebut.

ABSTRACT
Trademark is a "sign" the form of words, numbers, pictures, symbols, or colors to provide identification of the manufacturer so it can distinguish between goods. Trademark protection arranged in Act No.20 Year 2016 about Trademark and Geographic Indication. The verdict has been made by bankruptcy Court of Justice which pointed the curator to represent the company to fullfil their creditor debt. In the field, curator usually has limited steps to perform legal action regarding the company assets specifically in intangible asset in the scope of Intellectual Property Rights. However, IP Rights are the most potential asset that company have when their company are still running. This dissertation will elaborate the value, the obstacle, and also the juridical consequences by transferring the trademark rights, from bankruptcy law point of view, and the researcher have chosen PT. Nyonya Meneer case, which is one of the pioneer for traditional medicine in Indonesia. The researcher chosen the Nyonya Meneer, one of the biggest traditional medicine company case because there are a lot of issue that can be observed which include the receipt of Nyonya Meneer which can be qualified as trade secret.
Collecting data methods conduct with using the research literature, interview and study of secondary data. We can concluded, that the value of the trademark are going to be higher if the company are still running their business. However, when the company bankrupt, if they have famous mark just like Nyonya Meneer, their brands are still valuable. Furthermore, the Nyonya Meneer brand are going to be transferred using license agreement after the curator sell their assets by auction methods."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50386
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laila Hafiza
"Prinsip kehati-hatian adalah salah satu asas terpenting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya. Prinsip kehatihatian harus diterapkan Notaris X dalam hal pengurusan pengalihan hak atas merek SOERABI ENHAII. Sebelum membuat akta, Notaris X dapat melakukan pengecekan dengan mengirimkan surat permohonan terkait keterangan lengkap dari merek SOERABI ENHAII melalui surat elektronik kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, kemudian Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dapat memberi tanggapannya, atau Notaris mendatangi Kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk memperoleh informasi terkait objek jual beli tersebut. Kelalaian oleh Notaris X yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian pada pembuatan Akta Jual Beli No. XX menimbulkan kerugian materiil dan immateriil bagi penghadap AA selaku pembeli atau penerima pengalihan hak atas merek tersebut. Perbuatan Notaris X yang lalai tidak menerapkan prinsip kehatihatian pada pembuatan Akta Jual Beli No.XX dapat disebut perbuatan melaan hukum sebagaimana unsur-unsu yang terpenuhi dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Bentuk Penelitian dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengutamakan penelitian kepustakaan (library research). Tipe penelitian yang digunakan ialah deskriptif analisis, mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa yang terjadi pada saat sekarang atau masalah aktual. Dalam menjalankan tugas selaku Notaris, moralitas, ketelitian, kehati-hatian merupakan faktor utama untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain, sehingga dapat mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang dapat menjerumuskan Notaris terlibat dalam permasalahan hukum.

The precautionary principle is one of the most important principles that must be implemented or implemented by a Notary in carrying out his position. The precautionary principle must be applied by Notary X in terms of handling the transfer of rights to the SOERABI ENHAII brand. Before making a deed, Notary X must check by sending a letter of application related to the complete information of the SOERABI ENHAII trademark by electronic mail to the Directorate General of Intellectual Property Rights, then the Directorate General of Intellectual Property Rights can respond, or the Notary Public comes to the Office of the Directorate General of Intellectual Property Rights obtain information related to the buying and selling object. Negligence by Notary X who did not apply the precautionary principle in the making of Sale and Purchase Deed No. XX incurs material and immaterial losses for AA users as buyers or recipients of the transfer of rights to the mark. The act of Notary X who neglected not to apply the precautionary principle in making the Sale and Purchase Deed No. XX can be called an act of law enforcement as the elements fulfilled in Article 1365 of the Civil Code. The form of research in this paper is normative juridical, which is research which prioritizes library research. The type of research used is descriptive analysis, describing a symptom, an event that is happening at the present time or an actual problem. In carrying out their duties as a Notary, morality, accuracy, prudence are the main factors to avoid abuse of authority that causes harm to other parties, so as to prevent the occurrence of crimes that can get the Notary involved in legal issues."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54846
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nini Nuraini
"Berkembangnya masalah merek dewasa ini merupakan konsekwensi logis dari bertambah ramainya dunia perdagangan. Dan sejalan dehgan semakin pesatnya arus perdagangan tersebut, masuk pula pengaruh-pengaruh asing ke Indonesia sehingga menimbulkan orientasi pada konsumen kita bahwa segala sesuatu yang bermerek luar negeri itu baik. Keadaan ini tentunya tidak akan disia-siakan begitu saja oleh para produsen/pengusaha yang cepat tanggap terhadap kehendak konsumen. Ironisnya hal ini kemudian terwujud dengan dipalsukannya atau ditirunya merek-merek asing tersebut oleh para produsen/pengusaha kita dengan maksud agar produk-produk yang dipasarkannya tersebut laku terjual dan menjadi laris di pasaran. ' Hal ini dilakukan mereka karena di dalam UU Merek 1981 tidak ada ketentuan yang- mengatur mengenai larangan pemakaian merek luar negeri. Namun keadaan ini justru menimbulkan kecaman dari pihak pemilik merek asing yang mereknya ditiru/dipalsu tersebut. Sebagai salah satu negara anggota Konyensi Paris, Indonesia tentunya harus memperhatikan " kritikan ini. Karenanya kemudian dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.02-HC.01.01 tahun 1987 tentang Penolakan Permohonan Merek Yang Mempunyai Persamaan Dengan Merek Terkenal Orang Lain. Adapun dasar pertimbangan dikeluarkannya SK Menteri ini adalah bahwa pemakaian merek terkenal milik orang lain tersebut akan menyesatkan masyarakat tentang asal-usul serta kwaiitas sesuatu barang sehingga masyarakat akan keliru untuk memilih barang yang bermutu baik . Mengingat usia UU Merek yang sudah relatif' tua dan efektivitasnya yang kurang mengenai sasaran lagi, maka adalah wajar apabila dalam perkembangan selanjutnya peraturan ini seringkali kurang mampu lagi mengatasi kesulitan-kesulitan atau permasalahan yang ada. Oleh karenanya perlu segera dilakukan revisi terhadap undangundang ini agar mengenai sasaran yang tepat dan sesuai dengan tujuan pembangunan.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mayadita Fathia Waluyo
"Doktrin Likelihood of Confusion sebagai doktrin yang terkandung dalam Article 16 (1) TRIPs Agreement telah menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam menentukan suatu pelanggaran merek. Namun demikian, Doktrin Likelihood of Confusion saat ini belum dianut oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Meski begitu, beberapa Majelis Hakim dalam menyelesaikan sengketa merek di Indonesia telah berusaha memberikan pertimbangan terkait Likelihood of Confusion seperti Pada Putusan Nomor 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst antara pemilik merek “FORMULA STRONG” melawan pemilik merek “PEPSODENT STRONG 12 JAM” serta pada Putusan Nomor 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. antara merek “PUMA” melawan merek “PUMADA”. Untuk itu, penelitian ini akan menganalisis terkait penerapan Doktrin Likelihood of Confusion dalam penyelesaian sengketa merek di Indonesia, serta membandingkannya dengan pengaturan dan penerapannya di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Adapun penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis-normatif dengan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah Majelis Hakim dalam menerapkan Doktrin Likelihood of Confusion di Indonesia masih bersandar kembali dengan hanya menitikberatkan pada ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya antara kedua merek. Padahal, adanya kesamaan antara kedua merek tidak serta merta menimbulkan kebingungan bagi konsumen, yang berujung pada kerugian bagi pemilik merek. Kedua merek juga tetap dapat dibedakan satu sama lain, dan fungsi utama merek sebagai daya pembeda masih terpenuhi. Oleh karenanya, Indonesia diharapkan dapat memperhatikan syarat Likelihood of Confusion dalam penentuan pelanggaran merek dengan cara merumuskannya ke dalam Undang-Undang ataupun menyatukan pemahaman penegak hukum dalam memberikan pertimbangan hukum guna mewujudkan keadilan dalam perlindungan hak atas merek.
......The doctrine of Likelihood of Confusion as a doctrine contained in Article 16 (1) of the TRIPs Agreement has become the basis for consideration by the Panel of Judges in several countries such as the United States and the European Union in determining a trademark infringement. However, the Likelihood of Confusion doctrine is currently not adopted by Indonesia in Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. Even so, several Panel of Judges in resolving trademark disputes in Indonesia have tried to provide considerations related to Likelihood of Confusion such as in Decision Number 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst between the owner of the trademark of "FORMULA STRONG" against owner of the trademark of "PEPSODENT STRONG 12 HOURS" as well as in Decision Number 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. between the trademark “PUMA” against the trademark “PUMADA”. For this reason, this study will analyze the application of the Likelihood of Confusion Doctrine in the trademark disputes resolution in Indonesia, and compare it with the regulation and implementation in the United States and the European Union. This research was conducted using a juridical-normative method with data obtained through a literature study. The conclusion that can be drawn is that the Panel of Judges in implementing the Likelihood of Confusion Doctrine in Indonesia still relies on and by only focusing on whether or not there are similarities in substance or in its entirety between the two trademarks. In fact, the similarities between the two trademarks do not necessarily cause consumers confusion, which leads to the trademark owner’s loss. The two trademarks can also still be distinguished from one another, and the main function of the trademark to distinguish goods and/or services is still fulfilled. Therefore, Indonesia is expected to be able to pay attention to the terms of Likelihood of Confusion in determining trademark infringement by formulating it into the law or uniting the understanding of law enforcer in providing legal considerations in order to realize justice in the protection of trademark rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toto Sugiatno Samingan
"Berkembangnya perdagangan yang melewati batas-batas negara dan adanya perdagangan bebas mengakibatkan semakin terasa kebutuhan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual yang sifatnya tidak lagi timbal balik, tetapi sudah menjadi urusan masyarakat internasional. Organisasi Perdagangan Dunia WTO mengatur dan mewajibkan negara-negara anggotanya untuk memberikan perlindungan yang ketat terhadap hak kekayaan intelektual. Indonesia sebagai anggota WTO telah mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual, selain itu negara-negara anggota WTO harus menetapkan otoritas kepabeanan untuk menegakkan hukum hak atas merek dan hak cipta. Dalam posisinya sebagai otoritas pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah pabean Indonesia, otoritas kepabeanan diwajibkan mengendalikan, mengawasi dan menegakkan hukum atas impor atau ekspor barang hasil pelanggaran hak intelektual sebagai lanjutan dari ratifikasi persetujuan WTO untuk memberikan perlindungan kepada pemilik hak. Dengan meningkatnya upaya perlindungan hak atas merek dan hak cipta, peran pihak otoritas kepabeanan dalam melaksanakan perlindungan hak kekayaan intelektual juga semakin penting, karena tugas dan wewenangnya yang sangat efektif dalam menghadapi perdagangan barang khususnya terhadap barang-barang yang diduga melanggar hak atas merek dan hak cipta, baik barang yang dipalsukan maupun barang hasil bajakan sebelum beredar ke pasar domestik atau sebelum barang tersebut di ekspor keluar wilayah pabean Indonesia. Praktek peredaran barang palsu atau bajakan menyebabkan sejumlah kerugian ekonomi. Selain itu, pemalsuan dan pembajakan memiliki efek merugikan bagi kesehatan publik dan keamanan produk. Selanjutnya, pemalsuan merek maupun pembajakan hak cipta merupakan masalah yang perlu dicarikan solusi tindakan untuk memberantasnya. Banyaknya pemalsuan merek, pembajakan hak cipta ataupun pelanggaran hak kekayaan intelektual, konsekuensi logisnya dapat menimbulkan sanksi masyarakat internasional terhadap Indonesia. Sanksi tersebut tidak hanya berdampak ekonomis serta moral yang dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Jika Indonesia tidak dapat melaksanakan penegakan hukum hak atas merek dan hak cipta secara efektif dan memadai, Indonesia akan dikucilkan dari pergaulan internasional. Terdapat beberapa kesimpulan hasil penelitian yang dicapai dari penelitian ini yakni: Pertama, bahwa penegakan hukum hak atas merek dan hak cipta yang dilaksanakan oleh otoritas kepabeanan belum efektif untuk memberikan perlindungan kepada pemilik hak ditinjau dari sudut pandang peraturannya; Kedua, penegakkan hukum hak atas merek dan hak cipta untuk memberikan perlindungan kepada pemilik hak belum efektif karena adanya hambatan dari faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum; Ketiga, dalam upaya mencegah pelanggaran hak atas merek dan hak cipta, perlu dipertimbangkan adanya sistem pengelolaan terintegrasi antar institusi yang berkaitan dengan efektivitas penegakkan hukum oleh otoritas kepabeanan dalam pelaksanaan perlindungan hak.
......
The development of cross border trade and the presence of free trade have resulted in more senses for the needs of protection against intellectual property rights which its character is no longer reciprocal, but it has become international community affairs. World Trade Organization WTO has regulated and obligated its member countries for providing tight protection against intellectual property rights. Therefore, Indonesia as a member of WTO has promulgated law regulating intellectual property rights. Apart from that, the member countries of WTO have to stipulate customs authorities for enforcing the law on intellectual property rights. In its position as supervisory authority for goods, both entering to as well as outgoing from the Indonesian customs territory, the customs authority is obligatory to control, supervise and enforce the law on import or export of goods resulting from violation to trademark and copyright as continuation from WTO approval ratification for providing protection to the rights holder. By increasing efforts of protection for trademark and copyright, the role of customs authority in implementing protection to trademark and copyright is also getting more important, because their duties and authorities are quite effective in facing trade of goods particularly against goods which are suspected to violate trademark and copyright, both goods which are falsified and goods resulting from the result of piracy prior to circulation to domestic market or before such goods are exported outside the Indonesia customs territories. The circulation of falsified or pirated goods has caused an amount of economic losses. Other than economic impact, falsification and piracy have adverse effect to public health and product safety. Trademark falsification as well as piracy of copyright goods constitutes a problem with needs to look for solution of action for fighting against it. The increasing number of counterfeit trademark, pirated copyright goods or violations to intellectual property rights may arise in international community sanction against Indonesia. Such sanction may have economic as well as moral impact which can reduce the dignity and prestige of the Indonesian nation. If Indonesia is unable to execute the enforcement against trademark and copyright effectively and sufficiently, Indonesia will be isolated from international society. The results as achieved from this research are Firstly that enforcement of trademark and copyright as executed by customs authority have not been effective to provide protection to the owner of right as viewed from the perspective of its regulation. Secondly apart from that, enforcement against trademark and copyright for providing protection to the rights holder has not been effective because there are obstacles from the factors which have influenced the effectiveness of enforcement. Thirdly in the efforts of preventing violation to the trademark and copyright it needs to be taken into account the presence of inter authorities integrated management system in the implementation of trademark and copyright protection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
D2341
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Ridha Kinasih
"Merek merupakan suatu ‘tanda’ yang membedakan suatu barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Peran suatu merek sangat penting dalam menunjang pendapatan pelaku usaha terhadap kelangsungan kegiatan usahanya. Merek yang didaftarkan oleh pemiliknya akan melahirkan suatu hak atas merek, yang terklasifikasi ke dalam kelompok hukum kekayaan absolut atau hak kebendaan berupa benda bergerak tak berwujud, sehingga hak atas merek yang sudah didaftarkan akan dilindungi oleh hukum. Terbuka kemungkinan bahwa pemilik merek mengalami kepailitan yang dinyatakan melalui putusan pengadilan niaga. Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, merek yang dimiliki oleh pemilik merek, yang kemudian menjadi debitor pailit sekaligus, dapat dimungkinkan tergolong ke dalam harta pailit yang menjadi jaminan pembayaran utangnya kepada para kreditornya, sehingga harta pailit tersebut menjadi di bawah pengampuan seorang kurator. Proses kepailitan dapat diikuti dengan tahap pemberesan harta pailit yang ditujukan sebagai penguangan aktiva untuk tujuan pembayaran atau pelunasan utang, yang dapat dilakukan secara penjualan di muka umum saja atau dapat pula dilanjutkan dengan penjualan di bawah tangan. Hak atas merek, sebagaimana termasuk ke dalam kelompok hak kebendaan berupa benda tak berwujud, memiliki nilai yang dapat meningkatkan nilai harta pailit debitor. Akan tetapi, sifat hak atas merek yang tidak berwujud tersebut, mempersulit kurator ataupun pihak calon pembeli merek untuk menentukan harga wajar dari merek tersebut dalam hal akan dilakukan pemberesan. Dengan demikian, diperlukan mekanisme penilaian oleh penilai publik terhadap merek atas harta pailit debitor untuk kepentingan tahap pemberesan harta pailit. Penulis mengambil contoh kasus-kasus aktual, yaitu kasus kepailitan yang dialami oleh AstroTurf LLC dan Polaroid Corporation. Dari kasus-kasus tersebut, penulis akan menganalisis keabsahan dan pengalihan merek sebagai harta pailit, proses penilaiannya, dan manfaat yang didapatkan oleh debitor pailit dengan dilakukannya penilaian terhadap merek yang bersangkutan.
......Trademark is a ‘sign that distinguish goods and/or services produced by a person or a legal entity in a market of goods and/or services. The role of a trademark is very significant in supporting business’ income and for the continuity of its business activities. A trademark that is registered by the owner will bring forth a trademark right, which is classified under property law in the form of intangible assets, therefore the trademark rights will be protected by law. There is a possibility that the trademark owner runs into bankruptcy, which is declared through commercial court decision. Thus, based on Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, a trademark owned by the owner, who later becomes a bankrupt debtor at the same time, may be classified as a bankruptcy asset which is a guarantee for payment of its debts to its creditor, therefore the bankruptcy asset will be under supervision of a trustee. The process of bankruptcy can be followed by the stage of liquidation, which is intended as the cashing out of the assets for the purpose of debt repayment, which can be done by auction only or be continued with underhand sales. The trademark right, as included in the category of property law in the form of intangible assets, has a value that can increase the value of the debtor’s bankruptcy assets. However, the intangible nature of such rights makes it difficult for the trustee or the prospective buyer of the trademark, to determine the fair price of the trademark in a liquidation process scenario. The author takes examples of actual cases; the bankruptcy ran to by AstroTurf LLC and Polaroid Corporation. From these cases, the authors will analyze the legality and transfer of the trademark as bankruptcy assets, the appraisal process, and the benefits obtained by conducting a trademark valuation practice.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasya Caroline Uli
"Memasuki era baru teknologi yang semakin kompleks, hadir jenis token unik yang dapat merepresentasikan suatu aset yang dikenal dengan Non-Fungible Token (NFT). NFT beroperasi melalui proses tokenisasi aset dalam sistem blockchain yang terdistribusi dan memungkinkan semua orang dapat mengakses dan memasukan data serta informasi. Dengan begitu timbulah masalah hukum yang dapat terjadi dalam perdagangan pada media blockhain terutama menyangkut hak kekayaan intelektual khususnya bagi perlindungan merek dagang untuk menghindari persaingan tidak sehat maupun kebingungan dalam perdagangan. Dalam penulisan ini akan dijawab mengenai sejauh mana undangundang merek dan indikasi geografis dapat mengakomodasi perlindungan merek dagang dalam perdagangan NFT. Selain itu analisis dalam penulisan ini akan ditinjau pula dengan peraturan mengenai aset kripto oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Penelitian dalam penulisan ini dilakukan dengan studi kasus yang dikaji dengan peraturan perundang-undangan dan penelusuran terhadap literatur. Penulisan ini sampai kepada kesimpulan bahwa peraturan berdasarkan Undang-Undang Merek dan Indikasi masih dapat mengakomodir perlindungan merek dagang dalam perdagangan NFT. Namun peraturan aset kripto oleh Bappebti belum mengakomodir perdagangan NFT karena belum diklasifikasikannya NFT sebagai jenis aset kripto di Indonesia.
......Entering a new era of increasingly complex technology, a new type of unique token that represent an asset or known as NFT established. NFT operates through the process of assets tokenizing in a distributed blockchain system that allows everyone to access and enter any data and information. Thus legal problems arise in the trading on blockchain media, especially on intellectual property rights and trademark protection issue to avoid unfair competition and confusion in trade. This paper will answer the extent to which Trademark and Geographical Indication law can accommodate trademark protection in NFT trading. The analysis will also be reviewed with regulations regarding crypto assets by the Badan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Research in this writing is carried out using case studies that are reviewed by laws and literatures. Lastly this writing concludes that regulation based on the Trademark and Geographical Indication Law can still accommodate trademark protection in NFT trading. However, the regulation on crypto assets by Bappebti has not accommodated NFT trading as NFT has not been classified as a type of crypto assets in Indonesia. Keyword: cryptocurrencies, blockchain, trademark rights, trademark, NFT

"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>