Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yunial Laili Mutiari
Abstrak :
Musik rekaman suara, merupakan karya cipta seseorang atau lebih, di mana untuk menciptakannya orang harus mengeluarkan pikiran berdasarkan kemampuan, imajinasi, tenaga, keterampilan, waktu, dan biaya-biaya. Di samping mempunyai nilai moral, karya musik rekaman suara juga mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, karena mempunyai segmen pasar yang begitu luas. Apalagi pada era globalisasi saat ini yang sedang melanda dunia, dan diiringi kemajuan di bidang iptek, maka orang lebih mudah merekam karya seseorang, baik untuk diri sendiri maupun untuk diperdagangkan. Untuk itu bagaimana perlindungan hukum pencipta musik rekaman suara di Indonesia, dan apakah UD No. 7/1987 tentang Hak Cipta masih berlaku efektif, serta bagaimana jalan keluarnya apabila sudah tidak efektif lagi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perlindungan si pencipta musik rekaman suara di Indonesia. Sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Menurut analisis penulis maka perlindungan hukum pencipta musik rekaman suara tidak disertai kepastian hukum, dan UUHC Indonesia tidak efektif lagi, serta diperlakukan penyempurnaan sebagai jalan keluar yang ditempuh. Hal ini dapat dilihat dari sistem pendaftaran yang dianut oleh undang-undang ini, yaitu "Negatif Deklaratif", di mana pendaftaran bukan merupakan keharusan, serta antara tujuan dan maksud pendaftaran tidak sejalan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan perlindungan hukum, dan maksudnya adalah untuk mengejar kebenaran, prosedur formal. Selain itu, UUHC yang berlaku sekarang ini sudah memberikan perlindungan hukum yang tidak tepat, karena hak atas karya rekaman suara mendapat perlindungan sebagai hak cipta, seharusnya hak yang berdampingan dengan hak cipta. Karena itu sering menimbulkan kerancuan dan pelanggaran-pelanggaran, misalnya pembajakan kaset. Begitu juga aparat penegak hukum, dalam melakukan tugasnya tidak mempunyai keseragaman dalam mengambil keputusan. Masyarakat pun masih beranggapan, jika karya cipta tidak didaftarkan adalah milik bersama, dan masyarakat lebih merasa diuntungkan dengan membeli kaset hashl bajakan daripada kaset aslinya. Selain harganya lebih murah, juga kualitasnya sama dengan yang asli. Selanjutnya dalam melakukan operasi di lapangan terhadap pembajakan, petugas tidak mempunyai fasilitas pendukung, misalnya dana, pakaian seragam dan lain sebagainya. Pembahasan di atas memberikan kesimpulan, perlindungan hukum karya musik rekaman suara tidak mempunyai kepastian hukum, dan UU No. 7/1987 tidak berlaku efektif lagi, serta jalan keluar yang ditempuh adalah mengadakan penyempurnaan terhadap undangundang tersebut dengan menghadapi era globalisasi. Sebagai saran, perlu diadakan penyuluhan hukum Hak Cipta kepada masyarakat dan aparat penegak hukum, sebagai fasilitas pendukung digunakan sistem komputerisasi terpadu di setiap Kantor Wilayah Departemen Kehakiman di seluruh Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Antonio Rajoli
Abstrak :
Film sebagai salah satu karya sinematografi yang dilindungi dalam Hak Cipta. Keterlibatan banyak pihak dalam proses pembuatannya mulai dari Produser, Sutradara, Penulis Naskah,  Pemain Film, sampai kru film lainnya memberikan kesempatan kepada insan perfilman untuk dapat memperoleh hak ekonominya. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pengaturan film sebagai ciptaan karya sinematografi dalam Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang Perfilman serta kepatutan pemberian royalti sebagai hak ekonomi pelaku pertunjukan pemain film. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum empiris untuk meenganalisa pemberlakuan Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang Perfilman terhadap kepatutan pemberian royalti sebagai hak ekonomi pelaku pertunjukan pemain film. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan dan wawancara dengan narasumber yakni akademisi Institut Kesenian Jakarta, Sutradara, Produser, dan Pemain Film. Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-Undang Perfilman telah memberikan payung hukum terhadap kemungkinan pemain film memperoleh hak ekonomi berupa royalti atas fiksasi akan karakter yang diperankannya. Namun pada prakteknya, hubungan kerja antara Produser dan Pemain Film merupakan hubungan perburuhan yang mana pekerjanya dibayar sekali atas pekerjaan yang dilakukan sehingga jarang sekali ditemui adanya pemberian royalti kepada pemain film karena dalam perjanjian hanya menyepakati pembayaran sekali saja dan hak ciptanya dipegang oleh Produser atau pemilik rumah produksi.  ......Film as one of the cinematographic works protected by copyright. The involvement of many parties in the production process, from Producers, Directors, Scriptwriters, Film Players, to other film crews, provides an opportunity for filmmakers to be able to obtain their economic rights. The problems discussed in this study are the regulation of films as cinematographic creations in the Copyright Act and the Film Act and the appropriateness of granting royalties as an economic right for actors performing film performers. This research is a type of empirical legal research to analyze the application of the Copyright Law and the Film Law on the appropriateness of granting royalties as an economic right for film performers. Data collection was carried out by means of literature studies related to problems and interviews with informants, namely academics from the Jakarta Art Institute, directors, producers, and film actors. The Copyright Law and the Film Law have provided a legal umbrella for the possibility of film actors obtaining economic rights in the form of royalties for fixations on the characters they play. However, in practice, the working relationship between Producers and Film Actors is a labor relationship in which the worker is paid once for the work performed, so that royalties are rarely found for film actors because the agreement only agrees to pay once and the copyright is held by the Producer or the owner of the house production.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Anindhita Nugroho
Abstrak :
Seiring dengan majunya teknologi serta globalisasi menyebabkan lahirnya peluang bagi para pelaku di Industri musik untuk menyesuaikan karya ciptanya pada era digital. Salah satunya adalah kegiatan pengaransemenan atau daur ulang suatu karya cipta lagu menjadi karya yang baru. Dalam melakukan kegiatan aransemen diperlukan adanya teknik serta keahlian yang dilakukan oleh Arranger maupun Komposer. Sebagai bentuk dari pelestarian suatu karya musik, Undang-Undang Hak Cipta menyertakan adanya Hak Eksklusif yang dimiliki oleh Pencipta maupun Pemegang Hak Cipta dimana salah satunya adalah kegiatan untuk mengaransemen sebuah karya cipta lagu. Kegiatan aransemen kemudian menjadi hak bagi para pihak yang memiliki wewenang untuk melakukan daur ulang tersebut. Namun, pada Industri Musik saat ini banyak sekali pihak-pihak yang melakukan aransemen hingga mendapatkan hasil ekonomi dari karya tersebut tanpa adanya prosedur yang dilakukan sesuai dengan keberlakuan Undang-Undang Hak Cipta. Terhadap adanya karya aransemen yang lahir atas karya turunan dari sebuah ciptaan dimana karya tersebut merupakan hasil fiksasi oleh Arranger. Problematika yang mendasari penelitian ini berkaitan dengan bentuk ciptaan dari Aransemen Musik serta kedudukan Arranger sebagai Pihak utama tetapi bukan sebagai Pencipta atas adanya ketidaksesuain dalam Undang-Undang Hak Cipta. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis-normatif dengan data yang diperoleh dengan studi kepustakaan dan waawancara serta perbandingan dengan Undang-Undang di Amerika Serikat. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa hasil dari karya cipta aransemen merupakan ciptaan tersendiri karena lahir dari Hak Eksklusif Pencipta maupun Pemegang Hak Cipta. Namun, yang menjadi problematika adalah kedudukan Arrangersebagai pihak utama yang tidak termasuk dalam Pencipta dalam Undang-Undang Hak Cipta. Kemudian adanya keterkaitan pada Hak Ekonomi serta Hak Moral dari Pencipta untuk kemudian dapat mengklasifikasikan apakah benar adanya pelanggaran Hak Cipta atau tidak. ......Along with the advancement of technology and globalization, it causes the birth of opportunities for actors in the music industry to adapt their creative works to the digital era. One of them is the activity of arranging or recycling a song into a new work. Arranging activities require techniques and expertise carried out by arrangers and composers. As a form of preservation of a musical work, the Copyright Act includes the existence of Exclusive Rights owned by the Creator and Copyright Holder where one of them is the activity to arrange a song copyrighted work. The arrangement activity then becomes the right for the parties who have the authority to recycle it. However, in the Music Industry today there are many parties who make arrangements to get economic results from the work without any procedures carried out in accordance with the enforceability of the Copyright Act. Against the existence of arrangement works that are born on derivative works of a work where the work is the result of fixation by the Arranger. The problems underlying this research relate to the form of creation of the Music Arrangement as well as the position of the Arranger as the main party but not as the Creator for the existence of inconsistencies in the Copyright Law. This research was conducted using juridical-normative research method with data obtained by literature study and interviews as well as comparison with the Law in the United States. The results of the research show that the results of the copyrighted work of arrangement is a separate creation because it was born from the exclusive rights of the creator and copyright holder. However, what is problematic is the position of Arranger as the main party that is not included in the Creator in the Copyright Act. Then there is a connection to the Economic Rights and Moral Rights of the Creator to then be able to classify whether there is a true copyright infringement or not.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryasa Ali Shahab
Abstrak :
Negara Indonesia memberikan kebebasan kepada warga negaranya untuk menyalurkan kreativitasnya ke dalam bentuk yang nyata atau disebut karya cipta yang salah satunya adalah lagu dan/atau musik. Dalam membuat suatu karya lagu, banyak hal yang dikorbankan beberapa diantaranya ialah waktu dan biaya. Oleh karena itu, bentuk perlindungan diberikan kepada mereka para Pencipta lagu untuk dapat terus berkembang dengan menyalurkan hasil kreativitasnya dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Menunjukkan bentuk penghargaan melalui Hak Ekonomi dan Hak Moral juga diberikan kepada Pencipta oleh negara untuk membantu ekonomi Pencipta dan tidak melepaskan ikatan batin antara Pencipta dan karya ciptanya. Pencipta tidak dapat berdiri sendiri dalam membuat suatu karya cipta lagu. Hadirnya perusahaan rekaman dalam industri musik, membantu Pencipta lagu untuk dapat memproduksi lagu-lagunya menjadi karya yang sempurna. Problematika yang mendasari penelitian ini muncul dari hasil kerjasama Pencipta dan perusahaan rekaman. Sampai saat ini, masih terdapat pihak dari perusahaan rekaman yang tidak memahami pentingnya Hak Pencipta. Hak Pencipta sering dikesampingkan untuk mendapatkan keuntungan yang sepihak. Kepercayaan telah diberikan secara penuh oleh Pencipta kepada perusahaan rekaman, namun pada akhirnya Pencipta mendapatkan kerugian besar karena tidak terpenuhi Hak Pencipta nya. Pencipta merupakan akar dari industri musik, sudah seharusnya Pencipta lebih di prioritaskan dalam industri musik karena tanpa Pencipta tidak ada karya cipta yang lahir.  ......The State of Indonesia gives freedom to its citizens to channel their creativity into tangible forms or are called copyrighted works, one of which is songs and/or music. In making a work of songs, many things are sacrificed, some of which are time and cost. Therefore, the form of protection given to them, songwriters, is to be able to continue to develop by channeling the results of their creativity in Law no. 28 of 2014 concerning Copyright. the appearance of a form of appreciation through Economic Rights and Moral Rights is also given to creators by the state to help the creator's economy and not release the bond between the creator and his copyrighted work. The creator cannot stand alone in making a song copyrighted work. The presence of record companies in the music industry helps songwriters to be able to produce their songs into perfect works. The problems that underlie this research arise from the results of creation and record companies. Until now, there are still parties from record companies who do not understand the importance of copyright creators. Author rights are often set aside to gain unilateral benefits. Trust has been given in full by the Author to the record company, but in the end the Creator suffers a big loss because he does not fulfill the Creator's Rights. Creators are the root of the music industry, creators should be prioritized in the music industry because without creators no copyrighted works are born.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Faza Qonita
Abstrak :
Menciptakan audiobook merupakan tindakan yang berkaitan dengan hak cipta suatu buku. Keberadaan hak cipta memberikan perlindungan atas setiap buku sehingga tidak semua orang dapat menciptakan audiobook atas buku yang dilindungi oleh hak cipta. Penelitian ini akan membahas mengenai perlindungan hak cipta atas tindakan menciptakan audiobook dari suatu buku yang dilindungi oleh hak cipta. Penelitian ini memfokuskan pembahasan menciptakan audiobook dalam kaitannya dengan hak moral yang dimiliki oleh pencipta buku dan hak ekonomi yang dimiliki oleh pemegang hak cipta. Penelitian ini akan memecahkan permasalahan mengenai kedudukan audiobook dalam hak cipta, tindakan menciptakan audiobook yang sesuai dengan ketentuan hak cipta, serta perlindungan dan upaya hukum atas tindakan menciptakan audiobook yang melanggar hak moral yang dimiliki oleh pencipta buku dan hak ekonomi yang dimiliki oleh pemegang hak cipta. Penelitian ini dilakukan dengan dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan perbandingan yang akan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan United States Copyright Act of 1976. Penelitian ini menunjukkan bahwa menciptakan audiobook hanya dapat dilakukan oleh pencipta buku sebagai pemegang hak moral buku dan pemegang hak ekonomi sehingga siapa pun yang ingin menciptakan audiobook harus memperoleh persetujuan dari pencipta atau pemegang hak cipta. Apabila terdapat pihak yang menciptakan audiobook tanpa memperoleh izin dari pihak yang berhak maka pihak tersebut dapat digugat dan/atau dituntut secara pidana. ......The creation of an audiobook is related to copyright of a book. The existence of copyright provides protection for every book, so only certain people can create audiobook by copyright. This research will discuss copyright protection for the act of creating an audiobook from a book that is protected by copyright. This research focuses on the study of creating audiobook in relation to the moral rights owned by the creator of the book and the economic rights owned by the copyright holder. This research will solve problems regarding the position of audiobook in copyright, the act of creating audiobook that complies with copyright provisions, as well as protection and legal remedies for the act of creating audiobook that violates moral rights owned by the creator of the book and economic rights owned by the copyright holder. This research was conducted using statute and comparative approach based on The Law of The Republic of Indonesia Number 28 of 2014 on Copyright and the United States Copyright Act of 1976. This research shows that creating audiobook can only be done by the author of the book as the holder or moral rights and the holder of economic rights so that anyone who wants to create an audiobook must obtain the approval of the creator or copyright holder. If there is a party who created an audiobook without obtaining the permission from the rightful party, then that party can be sued and/or criminally charged.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudi Lesmana
Abstrak :
Perkembangan teknologi telah memudahkan proses penggandaan dari sebuah karya tulis bahkan mengalihwujudkan kedalam bentuk yang berbeda. Perlindungan atas hak cipta pun harus selaras dengan perkembangan teknologi saat ini untuk memaksimalkan hak ekonomi yang seharusnya diperoleh pencipta mengingat sifat droit de suite yang dimilikinya. Hak ekonomi penulis sebagai pencipta dapat dihasilkan melalui penerbitan; penggandaan; hingga penyewaan ciptaan. Dimungkinkan adanya suatu pemecahan Hak Cipta agar Pencipta mendapatkan keuntungan yang lebih atas karyanya. Penelitian yuridis normatif ini akan menguji apakah pasal 9 Undang- Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 sudah memenuhi kriteria kelengkapan Hak Ekonomi yang seharusnya didapatkan penulis. Penelitian ini juga menjadikan dua kasus pelanggaran Hak Cipta, yaitu kasus adaptasi Novel relatif tidak terkenal ke sinetron tanpa izin di MNC TV dengan judul berbeda dan pembajakan bit standup comedy yang dialami penulis sekaligus standup comedian Pandji Pragiwaksono, untuk melihat bentuk perlindungan dan metode pengindentifikasian pencurian hak cipta yang tepat sehingga memudahkan pengindentifikasian apakah karyanya dibajak atau tidak. Penelitian ini juga mengkaji sarana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pencipta untuk mendapat perlindungan hukum atas dugaan pembajakan ini, baik preventif ataupun represif, dan menganalisis peran Lembaga Manajemen Kolektif serta model kerjasama yang terbaik antara penulis dengan penerbit atau calon pemegang hak cipta lainnya. ......The development of technology has facilitated the duplication process of a paper and even changes it into a different media. Protection of copyright must be in tune with the current technological developments to maximize the economic rights that have accrued creators due to the nature of the droit de suite. Economic rights of the author as the creator may be generated through the publishing; duplicating; into leasing creation. It is also possible for a disability of Copyright, which the Creator has the right to breaks down elements of Copyright and gain more profit of his/her work. This normative juridical study will test whether Article 9 of the Copyright Act No. 28 of 2014 has met the standard criteria of Economic Rights which should be obtained by the author. The study also analyze two cases of violation of copyright, namely the case of novel adaptation that relatively unwell known into film without permission on MNC TV with a different title and piracy of standup comedy bit experienced by Pandji Pragiwaksono, to see a proper form of protection and methods of identification on copyright theft, making it easier for authors to conclude whether or not his/her work have been hijacked. This study also examines the means of legal action that can be acted by the creators to get legal protection for alleged piracy, whether preventive or repressive, and analyze the role of Collective Management Institution then give suggestion about the most effective coorporation between author and publishers or other copyright holder candidates.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45249
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idzhar Maulana
Abstrak :
Hak Cipta merupakan rezim perlindungan bagi pencipta yang didalamnya terkandung hak moral dan hak ekonomi. Dilihat dari sejarahnya, kedua hak tersebut timbul dikarenakan adanya dua sistem hukum yang berbeda, yakni sistem hukum common law yang mencampurkan antara hak ekonomi dengan hak moral, dan sistem hukum civil law yang mengedepankan hak moral dibandingkan hak ekonomi serta memisahkan diantara keduanya. Namun, Indonesia sebagai negara penganut sistem hukum civil law justru mencampurkan kedua hak tersebut dengan memasukkan bentuk hak moral ke dalam pengaturan hak ekonomi pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Maka dari itu, penelitian ini mengkhususkan pembahasan pada pengaturan hak moral dan hak ekonomi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan beberapa pandangan terkait dengan kedua hak tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis-normatif yang mana berlandaskan pada bahan pustaka atau data sekunder atau dengan kata lain penelitian ini mengacu pada norma hukum peraturan perundang-undangan dan referensi dokumen lain yang terkait dengan hak cipta. Hasil penelitian ini adalah terdapat pencampuran hak moral dan hak ekonomi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menunjukkan bahwa pembuat undang-undang menggunakan monist theory dalam mengatur kedua hak tersebut. Sehingga diperlukan konsistensi dari pembuat undang-undang dalam mengatur kedua hak tersebut agar sesuai dengan sistem hukum dan filosofi bangsa Indonesia. ......Copyright is a protection for the creator that includes moral rights and economic rights. Judging from its history, the two rights arise because of two different legal systems, namely the common law legal system which mixes economic rights with moral rights, and the civil law legal system which is a moral right compared to an economic right and separates the two. However, Indonesia that adheres to a civil law system, precisely mixes the two rights by incorporating a form of moral right into the regulation of rights in Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. Therefore, this study focuses on the discussion of the regulation of moral rights and economic rights in Law Number 28 of 2014 concerning copyright and several doctrines related to these two rights. This research was conducted with a juridical-normative research method, which is based on library materials or secondary data, or in other words, this research refers to the legal norms of laws and regulations and other document references related to copyright. The results of this study show that there is a mixture of moral rights and economic rights in Law No. 28 of 2014 concerning Copyright, which shows that legislators use monist theory in regulating these two rights. Therefore, the consistency of the legislators is needed in regulating these two rights so that they are in accordance with the legal system and philosophy of Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Fatma Dewi
Abstrak :
Putting out system merupakan skema kerja pada sektor informal yang sebagian besar proses produksinya berada di rumah dan tempat yang dipilih sendiri oleh pekerjanya secara langsung tanpa adanya supervisi dari pemberi kerja. Skema kerja dengan putting out system banyak dialami oleh pekerja rumahan. Melalui sistem ini pemberi kerja dapat mengefisienkan biaya produksi dengan memberikan upah yang rendah dan tidak sebanding dengan beban pekerjaan, jumlah jam kerja serta tidak adanya jaminan ketenagakerjaan yang didapatkan oleh pekerja rumahan. Kerja rumahan secara mayoritas dilakukan oleh perempuan pekerja rumahan. Mereka harus menyelesaikan target pekerjaan dengan waktu kerja lebih dari dua belas jam dalam sehari. Akibatnya, Hak ekonomi dan sosial mereka sebagai pekerja pun tidak terpenuhi dan terabaikan. Pengabaian hak yang dirasakan oleh pekerja rumahan menandakan tidak adanya perlindungan dari pemerintah atau negara bagi para pekerja sektor informal. Perbedaan kondisi yang cukup mencolok antara pekerja formal dan informal adalah ada tidaknya daya tawar (bargaining power) pekerja. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses kerja rumahan dengan skema putting out system yang terjadi pada perempuan pekerja rumahan pengelem alas kaki; mendeskripsikan proses daya tawar (bargaining power) yang dilakukan oleh perempuan pekerja rumahan pengelem alas kaki dalam menuntut pemenuhan hak ekonomi dan sosial; serta mengidentifikasi dan menjelaskan faktor pendukung dan penghambat yang mempengaruhi kepemilikan daya tawar perempuan pekerja rumahan pengelem alas kaki. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa daya tawar (bargaining power) yang dimiliki oleh perempuan pekerja rumahan sangat lemah bahkan tidak ada. Bahkan mereka tidak memiliki ruang atau kesempatan untuk melakukan negosiasi terkait upah yang mereka terima. Padahal daya tawar (bargaining power) menjadi aspek penting bagi perempuan pekerja rumahan dalam mencapai hidup yang sejahtera. Selain itu, daya tawar juga menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh perempuan pekerja rumahan untuk menuntut pemenuhan atas Hak ekonomi dan sosial mereka. Baiknya dalam perumusan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, dapat pula memperhatikan aspek kesejahteraan bagi perempuan pekerja rumahan sebagai pertimbangan dalam penyusunan regulasi tentang pekerja rumahan. Selain itu, penelitian ini juga merekomendasikan kepada pemerintah untuk giat mengkampanyekan anti-sweatshop sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi kerja dan upah bagi perempuan ......The putting out system is a work scheme in the informal sector where most of the production process is located at home and in a place that the workers choose directly without any supervision from the employer. Work schemes with a putting out system are experienced by many homeworkers. Through this system, employers can streamline production costs by providing low wages that are not proportional to the workload, the number of hours worked and there is no employment guarantee that the homeworkers get. Homework is predominantly carried out by women homeworkers. They must complete work targets with a work time of more than twelve hours a day. As a result, their economic, social and cultural rights as workers are not fulfilled and are neglected. The denial of rights felt by homeworkers indicates the absence of protection from the government or the state for informal sector workers. The difference in conditions that is quite striking between formal and informal workers in the presence or absence of the bargaining power of workers. This study aims to describe the homework process with a putting out system scheme that occurs in women homeworkers who glue footwear; describe the bargaining power process exercised by women homeworkers who glue footwear in demanding fulfilment of economic and social rights; identifying and explaining the supporting and inhibiting factors that affect the bargaining power ownership of women homeworkers who glue footwear. The research was conducted using a qualitative approach. The results of the study concluded that the bargaining power possessed by women homeworkers is very weak or even non-existent. They do not even have space or opportunity to negotiate the wages they receive. Whereas bargaining power is an important aspect for women homeworkers in achieving a prosperous life. Apart from that, bargaining power is also one of the efforts that women homeworkers can make to demand the fulfilment of their economic, social and cultural rights. It is better if, in the formulation of policies carried out by the government, it can also pay attention to the welfare aspects of women homeworkers as a consideration in drafting regulations on homeworkers. Also, this study recommends the government to actively campaign for anti-sweatshops as an effort to improve working conditions and wages for women
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Celine Nauli
Abstrak :
Karya seni merupakan bagian dari masyarakat yang merepresentasikan identitas atau budaya suatu masyarakat, baik itu secara individu atau komunal. Lahir dari pemikiran manusia, lalu diekspresikan atau difiksasi ke dalam bentuk nyata dan si pencipta atau pemilik karya tersebut bisa merasakan manfaatnya. Walaupun berawal dari sebuah ide yang bersifat abstrak, dapat berubah menjadi nilai ekonomis dan juga nilai moral yang akhirnya memberikan si pencipta suatu hak eksklusif yang disebut dengan istilah Hak Kekayaan Intelektual, atau dalam kasus ini yang lebih spesifik disebut dengan Hak Cipta. Dengan berkembangnya zaman, karya seni dapat dipublikasikan baik secara konvensional atau digital. Ditambah dengan kemajuan teknologi yang memberikan akses untuk karya cipta secara global. Setiap orang dapat menikmati karya cipta dari pencipta yang berasal dari negara manapun. Tentunya, semakin banyaknya karya cipta yang dapat dinikmati, muncul juga konsekuensi berbentuk tindak pelanggaran hak cipta atau penyalahgunaan karya cipta. Salah satu bentuk tindakan tersebut yang paling umum adalah tindakan plagiarisme. Terutama dengan bantuan teknologi yang memudahkan proses plagiarisme ini. Tindakan pelanggaran hak cipta ini, dapat terjadi baik dalam ranah nasional atau internasional. Apabila dalam ranah nasional, maka yang mengatur tentang perihal pelanggaran hak cipta adalah hukum domestik negara tersebut. Apabila sudah terjadi dalam ranah internasional atau lintas batas negara, maka perihal ini diatur dalam Berne Convention for Protection of Literary and Artistic Works. Konvensi ini telah menjadi tonggak utama dalam pelindungan hak cipta terhadap karya-karya seni dan juga literasi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana pelindungan hukum hak cipta terhadap koreografi tari modern diatur menurut Konvensi Berne dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan bagaimana aspek-aspek hukum perdata internasional dalam pelindungan hak cipta terhadap koreografi tari modern. ......Artwork is a part of society which represents the identity or culture of a society, either individually or communally. Born from human thoughts, then expressed or fixed in a tangible form and the creator or owner of the work can receive the benefits. Even though it starts with an abstract idea, it can turn into economic value as well as moral value which ultimately gives the creator an exclusive right called an Intellectual Property Right, or in this case, more specifically, is called copyright. With the development of times, works of art can be published either conventionally or digitally. Added with technological advances that provide access to copyrighted works globally. Everyone can enjoy copyrighted works from creators from any country. Of course, the more copyrighted works that can be enjoyed, the consequences will appear in the form of copyright infringement or misuse of copyrighted works. One of the most common forms of such action is plagiarism. Especially with the help of technology that facilitates this plagiarism process. This act of copyright infringement can occur either in the national or international realm. If it is in the national realm, what regulates copyright infringement is the country's domestic law. If it has occurred in the international sphere or across national borders, then this matter is regulated in the Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works. This convention has become a major milestone in the protection of copyrights for works of art and also literacy. Using normative juridical research methods, this paper will analyze how copyright law protection for modern dance choreography is regulated according to the Berne Convention and Law no. 28 of 2014 concerning Copyright and how are aspects of international private law in the protection of copyrights for modern dance choreography.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peter Alexander
Abstrak :
Skripsi ini menganalisis legalitas penggunaan lagu dalam aplikasi Spotify untuk hiburan karaoke massal komersial serta perlindungan hukum bagi pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Karaoke adalah suatu hiburan yang menyanyikan lagu-lagu dengan diiringi musik berbentuk rekaman. Industri karaoke ini kian berkembang hingga menciptakan berbagai konsep baru, salah satunya karaoke massal. Karaoke Massal merupakan suatu konsep karaoke dimana puluhan bahkan ratusan orang bernyanyi bersama-sama sambil mengikuti lirik yang ditampilkan di sebuah layar. Penyelenggara karaoke massal umumnya memanfaatkan aplikasi Spotify untuk memperdengarkan lagu serta menampilkan lirik kepada pengunjung. Penyelenggara karaoke massal umumnya juga mematok tiket masuk atau minimal pembelian makanan dan/atau minuman bagi pengunjung sehingga memberikan keuntungan bagi penyelenggara. Pemanfaatan lagu untuk memperoleh keuntungan merupakan bentuk dari Penggunaan Secara Komersial yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Tindakan memperdengarkan lagu kepada pengunjung dalam karaoke massal juga tergolong sebagai Pengumuman ciptaan yang merupakan hak ekonomi pencipta. Penggunaan lagu dalam aplikasi Spotify untuk hiburan karaoke massal komersial tanpa memperoleh izin dan membayar royalti adalah tindakan yang ilegal. Penggunaan lagu untuk hiburan karaoke massal komersial harus memperoleh izin dari pencipta berupa lisensi pengumuman serta membayar royalti. Lisensi dan royalti merupakan bentuk perlindungan hukum hak cipta dan hak terkait yang diberikan kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait. ......This thesis analyzes the legality of using songs in the Spotify application for commercial mass karaoke entertainment as well as legal protection for authors, copyright holders, and related rights owners. This thesis was prepared using doctrinal research methods. Karaoke is an entertainment that involves singing songs accompanied by recorded music. The karaoke industry is increasingly developing to create various new concepts, one of which is mass karaoke. Mass Karaoke is a karaoke concept where tens or even hundreds of people sing together while following the lyrics displayed on a screen. Mass karaoke organizers generally use the Spotify application to play songs and display the lyrics to visitors. Organizers of mass karaoke generally also set entrance tickets or minimum purchases of food and/or drinks for visitors, thereby providing a profit for the organizer. The use of songs to gain profit is a form of Commercial Use regulated by Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. The act of playing songs to visitors in mass karaoke is also classified as publishing works which is the economic right of the creator. Using songs in the Spotify application for commercial mass karaoke entertainment without obtaining permission and paying royalties is illegal. The use of songs for commercial mass karaoke entertainment must obtain permission from the creator in the form of a performing license and paying royalties. Licenses and royalties are a form of legal protection for copyright and related rights given to authors, copyright holders, and related rights owners.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>