Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anugrah Trinanto
Abstrak :
ABSTRAK
Pada kasus Putusan No. 68/Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 1 November 2010 oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, PT. Texplastindo Kemas Industry melakukan Perjanjian Kredit dengan Bank BNI, namun ternyata Objek Jaminan Fidusia Perjanjian Kredit tersebut ternyata disewakan kepada PT. Inti Abadi Karya tanpa sepengetahuan Bank BNI. Sehingga timbul permasalahan bagaimana status hukum objek jaminan fidusia Bank BNI dalam kepailitan PT. Texplastindo Kemas Industry, serta Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Bank BNI terhadap objek jaminan fidusianya tersebut. Dengan kesimpulan : Pertama, status hukum objek jaminan fidusia adalah Bank BNI tetap berstatus jaminan atas hutang PT. Texplastindo Kemas Industry dengan hak yang diutamakan daripada hak krediturkreditur lainnya, namun didalamnya terdapat pula hak pengembalian harga sewa yang sudah dibayarkan namun belum dinikmati oleh PT. Inti Abadi Karya. Kedua, upaya hukum Bank BNI adalah mendaftarkan hutang dengan mencantumkan hak istimewanya (jaminan fidusia), untuk kemudian melakukan eksekusi sebagaimana layaknya tidak terjadi kepailitan (sebagai kreditur separatis), dan melaporkan debitur atas pelanggaran Pasal 36 Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 tahun 1999, serta pengajuan sebagai kreditur konkuren dalam hal jumlah hutang lebih besar nilainya daripada nilai objek jaminan fidusianya. Saran didalam penelitian ini adalah harus adanya harmonisasi Undang-Undang Jaminan Fidusia dengan Undang-Undang Kepailitan, serta efektifitas instansi pelaksana eksekusi jaminan.
Abstract
At the Ba;nkruptcy case of Decision No. 68/Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst dated November 1, 2010, by the Commercial Court of Central Jakarta, in which PT. Texplastindo Kemas Industry entered into Loan Agreement with Bank BNI, however, it turned out that the Object of the Fiduciary Security in order to secure the Loan Agreement has been leased to PT. Inti Abadi Karya without the consent of Bank BNI. Therefore, the issues in this research are regarding the legal status of the object of fiduciary security of Bank BNI in the bankruptcy of PT. Texplastindo Kemas Industry, and what are the legal efforts which can be taken by Bank BNI against the object of its fiduciary security. With the conclusion: Firstly, the legal status of object of fiduciary security remains under the entitlement of Bank BNI as the beneficiary of fiduciary securities of PT. Texplastindo Kemas Industry as the collateral of the debt of PT. Texplastindo Kemas Industry with the right of preference over other creditors, however, in it there is also the right over the recovery of rental which has been paid that has not yet been enjoyed by PT. Inti Abadi Karya. Secondly, the legal effort of Bank BNI is to register the debt by stating its right of preference (fiduciary security), to be then executed accordingly in the case of bankruptcy (as creditor with preferred right), and report the debtor for the violation of Article 36 of Fiduciary Security Law No. 42 of the year 1999, as well as the filing of petition as concurrent creditor in the event that the amount of the debt is greater than the value of the object of the fiduciary security. Advices in this research are that there should be a harmony between the Fiduciary Security Law and the Bankruptcy Law, as well as there should be effective institution as the executor of the security.
2011
T31554
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Evelyn Soetanto
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai permohonan PKPU yang diajukan oleh PT. Bank Rakyat Indonesia Agroniaga, Tbk. kepada PT. Kagum Karya Husada dan Henry Husada. PT. Kagum Karya Husada merupakan debitor dari PT. Bank Rakyat Indonesia Agroniaga, Tbk. Sedangkan Henry Husada adalah penjamin perorangan yang mengikatkan dirinya untuk menjamin pelunasan utang-utang PT. Kagum Karya Husada. Majelis Hakim menerima permohonan PKPU dengan pertimbangan bahwa Henry Husada telah menyatakan melepaskan hak-hak istimewa yang dimilikinya sebagai penjamin dalam Akta Perjanjian Penanggungan. Penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisa mengenai pengaturan pelepasan hak istimewa penjamin, pengaturan khusus permohonan PKPU terhadap penjamin perorangan, serta menganalisa mengenai akibat hukum putusan hakim terhadap penjamin perorangan dalam Putusan Nomor 141/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst. ......This academic thesis discusses the submission of Suspension of Payment application by PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk. to PT. Kagum Karya Husada and Henry Husada. PT. Kagum Karya Husada is a debtor of PT. Bank Rakyat Indonesia Agroniaga, Tbk. Meanwhile, Henry Husada is a personal guarantor who binds himself to guarantee the repay ent of PT. Kagum Karya Husada's debts. The Judges accepted the Suspension of Payment application with the consideration that Henry Husada had stated that he had relinquished his rights as guarantor in the Contract of Guarantee. This research is a normative-juridical-research with descriptive research typology. In this study, the author will analyse the regulation for the release of guarantor's rights, regulation for Suspenson of payment application against personal guarantors, and analyse the legal consequences of the judge's decision on personal guarantors in Court Decision No. 141/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benny Taufan
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai Kedudukan seorang Personal Guarantor yang bertindak sebagai penjamin terhadap perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi. Hal ini dilatarbelakangi bahwa banyak pihak yang secara sukarela dimintakan sebagai penjamin namun pada saat pihak yang dijaminkan wanprestasi, kewajibannya berpindah kepada Personal Guarantor. Dalam upaya untuk mengetahui kedudukan Personal Guarantor sebagi penjamin pihak ketiga terhadap perjanjian sewa guna usaha, maka metode penelitian ini bersifat preskriptif analitis dan metode pendekatan yang dipakai adalah yuridis normatif. Berdasarkan penelitian penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada, bahwa kedudukan Personal Guarantor yang telah melepaskan hak istimewa adalah sejajar dengan debitur yang wanprestasi. ...... This thesis discusses the rating of a Personal Guarantor acting as a guarantor of the lease agreement with the option. It is emphasized that many of those who voluntarily sought as guarantor, but by the time the secured party in default, obligations transferred to the Personal Guarantor. In an effort to determine the position of the Personal Guarantor as guarantor for third parties to the lease agreement, the research method is analytical and prescriptive approach used is a normative juridical. Based on the research, the authors obtained the answers to the problems that exist, that the position of Personal Guarantee has rescued privilege is in line with borrowers who are in default.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43040
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fira Janice Natasha Sinuraya
Abstrak :
Dalam perjanjian utang piutang, Penjamin dilibatkan untuk menjamin utang Debitur. Selain daripada itu, Penjamin juga diminta untuk melepaskan hak istimewanya, khususnya Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Dengan dilepaskannya hak tersebut, Kreditur dapat langsung menagih Penjamin jika Debitur Utama lalai dalam melaksanakan kewajibannya dan Penjamin dianggap sebagai Debitur akibat Penjamin secara tanggung renteng mengikatkan dirinya dengan Debitur Utama. Dari landasan inilah, banyak Kreditur memohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) atas Penjamin dengan Debtur secara bersamaan ketika Debitur Utama lalai melaksanakan kewajibannya. Akan tetapi, di Pengadilan Niaga, terdapat diskursus mengenai bisa tidaknya Penjamin dilibatkan sebagai salah satu Termohon PKPU bersamaan dengan Debitur Utama sebagaimana dimuat di dalam Putusan Nomor 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. dan Putusan Nomor 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas mengenai akibat hukum pelepasan hak istimewa oleh Penjamin, pertimbangan hakim dalam Studi Kasus Putusan Nomor 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. dan Putusan Nomor 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst., dan analisis bisa tidaknya Penjamin yang melepaskan hak istimewa ditarik sebagai salah satu Termohon PKPU (Pasal 1832 KUHPer dan Pasal 254 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK-PKPU”)). Lebih lanjut, metode penelitian yang digunakan bersifat doktrinal, dimana pokok permasalahan akan dianalisis dan diteliti berdasarkan bahan pustaka guna memberikan penjelasan dan menarik kesimpulan terkait permasalahan tersebut. Setelah melakukan penelitian, Penulis memperoleh kesimpulan bahwa dengan dilepasnya hak istimewa Penjamin (Pasal 1831 KUHPer), Penjamin berkedudukan sebagai Debitur dan Penjamin dapat menjadi salah satu Termohon PKPU bersamaan dengan Debitur karena Pasal 1832 KUHPer serta Pasal 254 UUK-PKPU tidak menjadi penghalang ditariknya Penjamin dalam forum PKPU. ......In a debt and credit agreement, the Guarantor is engaged to guarantee the Debtor's debt. Other than that, the Guarantor is also required to waive its privilege, in particular Article 1131 of the Civil Code (“KUHPer”). By waiving the privilege, the Creditor can directly collect the Guarantor if the Principal Debtor defaults in performing its obligations and the Guarantor is considered as the Debtor as the Guarantor is jointly and severally bound with the Principal Debtor. From this basis, many Creditors file a Suspension of Debt Payment Obligation ("PKPU") against the Guarantor and the Debtor simultaneously when the Main Debtor fails to perform its obligations. However, in the Commercial Court, there is a discourse on whether or not the Guarantor can be involved as one of the PKPU Respondents together with the Main Debtor as contained in Decision Number 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. and Decision Number 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. Therefore, this thesis will discuss the legal consequences of the waiver of privilege by the Guarantor, the judge's consideration in Case Study of Decision Number 212/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. and Decision Number 57/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst., and analysis of whether or not the Guarantor who waives its privilege can be withdrawn as one of the PKPU Respondents (Article 1832 of KUHPer and Article 254 of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations ("UUK-PKPU")). Furthermore, the research method used is doctrinal, where the subject matter will be analyzed and researched based on library materials in order to provide explanations and draw conclusions related to these issues. After conducting the research, the author concludes that with the release of the Guarantor's privilege (Article 1831 KUHPer), the Guarantor has the status of a Debtor and the Guarantor can be one of the PKPU Respondents together with the Debtor because Article 1832 KUHPer and Article 254 UUK-PKPU do not prevent the withdrawal of the Guarantor in the PKPU forum.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adella Tanuwidjaja
Abstrak :
Sebagai salah satu bentuk jaminan kredit, jaminan perorangan (personal guarantee) merupakan janji atau kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitur, apabila debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya dikemudian hari. Tulisan ini membahas pertanggungjawaban pihak ketiga yang memberikan jaminan perorangan (personal guarantee) terhadap Bank selaku kreditur dalam hal debitur wanprestasi dalam memenuhi kewajibannya. Juga dibahas mengenai upaya Bank dalam rangka penyelamatan dan penyelesaian kredit macet yang disertai dengan jaminan perorangan (personal guarantee). Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dengan studi kepustakaan yang dilengkapi dengan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pihak ketiga yang memberikan jaminan perorangan (personal guarantee) menjadi identik dengan seorang debitur terhadap Bank dalam hal debitur utama wanprestasi dalam memenuhi kewajibannya dan barang-barang debitur telah disita dan dijual namun tidak cukup untuk membayar utangnya. Selain itu, tiap-tiap penanggung juga dapat langsung ditagih atas utang debitur, tanpa adanya keharusan bagi kreditur untuk mengambil pelunasan terlebih dahulu dari debitur utama apabila si penanggung telah melepaskan hak istimewanya. Pada praktiknya, jaminan perorangan (personal guarantee) di Indonesia hanyalah bersifat sebagai jaminan tambahan yang lebih mengacu pada kewajiban moral saja sehingga seringkali penanggung tidak memiliki itikad baik dalam menyelesaikan utang debitur utama. Hal ini menyebabkan pelaksanaan jaminan perorangan (personal guarantee) di lapangan masih sangat tidak menentu. Oleh karena itu, bank sudah sepatutnya mengetahui bentuk perlindungan hukum yang dapat dilakukan untuk mencegah kerugian jika terjadi kredit bermasalah dengan jaminan perorangan (personal guarantee). ......As a form of credit guarantee, personal guarantee is a promise or the ability of a third party to fulfil the debtor's obligations, if the debtor is unable to carry out his obligations in the future. This paper discusses about the liability of a third party providing a personal guarantee to the Bank in the event that the debtor didn’t carry out its obligations. It also discusses what the Bank can do in the context of salvaging and settling bad loans, accompanied by a personal guarantee. This research uses juridicial-normative method, with literature study accompanied by interviews. The results show that the liability of a third party who provides a personal guarantee is identical to that of a debtor in the event that the main debtor failed to fulfil its obligations and the debtor's goods have been confiscated and sold but are not sufficient to pay the debt. In addition, each guarantor can also be directly billed for the debtor's debt, without any obligation for the creditor to take full payment from the main debtor if the guarantor has given up the privileges. In practice, personal guarantees in Indonesia are only viewed as a moral obligation so that often the personal guarantor doesn’t have good faith in settling the debt of the main debtor. As a result, the implementation of personal guarantees is still very uncertain. Therefore, banks should be aware of the legal protection that can be done to prevent losses in the event of a non-performing loan with a personal guarantee.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmin Ghaisani Sya'bina
Abstrak :
Perikatan sebagai seorang personal guarantee atau penanggung utang (borgtocht) meletakkan diri pada kedudukan yang cukup berisiko. Pada dasarnya, seseorang memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam kapasitasnya sebagai personal guarantee. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1820 KUHPerdata, seorang personal guarantee berkewajiban untuk melakukan pelunasan atas utang seorang debitur yang tidak membayar utang-utangnya. Namun, dalam melaksanakan perikatannya, seorang personal guarantee diberikan hak istimewa oleh Pasal 1831 KUHPerdata berupa hak untuk menuntut penyitaan dan penjualan harta kekayaan debitur utama terlebih dahulu sebelum harta kekayaannya dieksekusi. Tanggung jawab yang diberikan oleh undang-undang tersebut tidak menutup kemungkinan bagi personal guarantee untuk dimintai pertanggungjawaban di muka Pengadilan. Bahkan, Pasal 1832 ayat (1) KUHPerdata yang mengatur mengenai pelepasan hak istimewa personal guarantee mengindikasikan adanya kemungkinan personal guarantee dijatuhkan pailit atas utang debitur utama, baik bersamaan maupun tanpa dipailitkannya debitur utama. Sayangnya, peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara eksplisit mengenai kedudukan personal guarantee dalam ruang lingkup kepailitan. Oleh karena itu, pada praktiknya masih ditemukan perbedaan penafsiran pertanggungjawaban personal guarantee dalam kepailitan. Tulisan ini menganalisis bagaimana pertanggungjawaban jaminan perorangan (personal guarantee) dalam kepailitan dengan dikaitkan pada Putusan Nomor 6/Pdt.Sus-Pailit/2020/ PN.Niaga.Jkt.Pst.. Selain itu, tulisan ini juga memaparkan perbandingan dengan yurisprudensi yang bertolak belakang dengan putusan tersebut, yaitu Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 922 K/Pdt/1995. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan didukung oleh data sekunder. ......Agreement as a personal guarantee (borgtocht) places oneself in a quite risky position. Essentially, an individual bears a significant amount of liability in their capacity as a personal guarantee. As regulated in Article 1820 of the Civil Code, a personal guarantee is obligated to pay off the debts of a debtor who fails to pay their debts. However, in carrying out the agreement, a personal guarantee is given a privilege based on Article 1831 of the Civil Code in the form of the right to demand seizure and sale of the principal’s assets first before executing the personal guarantee’s assets. The liability that is given by the law does not preclude the possibility for personal guarantees to be held accountable before the Court. In fact, Article 1832 paragraph (1) of the Civil Code which regulates the relinquishment of personal guarantee’s privilege indicated the possibility of personal guarantee being declared bankrupt for the principal’s debt, either with or without the principal being declared bankrupt as well. Unfortunately, statutory regulations do not explicitly regulate the legal standing of personal guarantee within the scope of bankruptcy. Therefore, in practice, there are still different interpretations of personal guarantee’s liability in bankruptcy. This article analyzes personal guarantee’s  liability in bankruptcy by reviewing Decision No. 6/Pdt.Sus-Pailit/2020/PN.NIAGA.Jkt.Pst.. Apart from that, this article also presents a comparison to a jurisprudence that is contrary to the decision, namely Jurisprudence of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 922 K/Pdt/1995. This article is written using a normative juridical research method and supported by secondary data.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library