Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salsabila Qalwiah Az-Zahra
"Poligami dapat dilakukan seorang suami jika memenuhi syarat UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yakni memperoleh izin dari Pengadilan Agama dengan persetujuan dari istri sebelumnya. Namun, beberapa kasus poligami memunculkan sengketa warisan dan status anak yang lahir sebagai akibat ketidakterbukaan suami sampai dia meninggal dunia. Beberapa kasus poligami dalam putusan-putusan Pengadilan Agama meliputi: 1) Putusan Nomor 694/Pdt.G/2021/PA.Kjn; 2) Putusan Nomor 343/PDT.G/2023/PTA.Sby; 3) Putusan Nomor 241/Pdt.G/2012/PA Pdlg; dan 4) Putusan Nomor 32/Pdt.G/2020/PTA.Smd. Penelitian doktrinal ini ditujukan untuk menganalisis pembatalan perkawinan poligami setelah kematian suami melalui pertimbangan hakim dalam menolak maupun mengabulkan permohonan tersebut. Data penelitian berupa data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan dianalisis secara kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa pertimbangan Hakim Pengadilan Agama (Putusan Nomor 694/Pdt.G/2021/PA.Kjn dan Putusan Nomor 343/Pdt.G/2023/PTA.Sby) menolak permohonan pembatalan perkawinan poligami berdasarkan pada Pasal 38 huruf a UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan SEMA No. 2/2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2019 nomor 1 butir e. Sedangkan pertimbangan Hakim Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan tersebut memiliki dasar berbeda. Dalam Putusan Nomor 241/Pdt.G/2012/PA didasari Pasal 24 UU Perkawinan. Sedangkan Putusan Nomor 32/Pdt.G/2020/PTA.Smd berdasarkan Pasal 71 huruf a Kompilasi Hukum Islam, Pasal 9 UU Perkawinan, dan SEMA No.2/2019 Nomor 1 huruf f.

A husband can carry out polygamy if he meets the requirements of the Marriage Law and the Compilation of Islamic Law, namely obtaining permission from the Religious Court with prior approval from the wife. However, several cases of polygamy give rise to disputes over inheritance and the status of children born as a result of the husband's non-disclosure until he dies. Several polygamy cases in Religious Court decisions include: 1) Decision Number 694/Pdt.G/2021/PA.Kjn; 2) Decision Number 343/PDT.G/2023/PTA.Sby; 3) Decision Number 241/Pdt.G/2012/PA Pdlg; and 4) Decision Number 32/Pdt.G/2020/PTA.Smd. This doctrinal research is aimed at analyzing the annulment of polygamous marriages after the husband's death through the judge's considerations in rejecting or granting the request. Research data is in the form of secondary data collected through literature study and analyzed qualitatively. The results of the analysis show that the considerations of the Religious Court Judge (Decision Number 694/Pdt.G/2021/PA.Kjn and Decision Number 343/Pdt.G/2023/PTA.Sby) rejected the request for annulment of a polygamous marriage based on Article 38 letter a of Law No.1/1974 concerning Marriage and SEMA No.2/2019 concerning the Implementation of the Formulation of the Results of the 2019 Supreme Court Chamber Plenary Meeting number 1 point e. Meanwhile, the consideration of the Religious Court Judge who granted the request had a different basis. In Decision Number 241/Pdt.G/2012/PA it is based on Article 24 of the Marriage Law. Meanwhile, Decision Number 32/Pdt.G/2020/PTA.Smd is based on Article 71 letter a of the Compilation of Islamic Law, Article 9 of the Marriage Law, and SEMA No.2/2019 Number 1 letter f."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Rado
"ABSTRAK
Di Indonesia masalah perkawinan telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami. Ketentuan dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Undang-undang Perkawinan hanya menegaskan bahwa antara suami istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang. Atas dasar itu maka bagian harta bersama suami/istri adalah seimbang yaitu ½ (setengah) bagian suami dan ½ (setengah) bagian istri atau 50% : 50% bila dipersentasekan. Pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan pembagian harta perkawinan karena perceraian dan kematian terhadap Putusan Mahkamah Agung No.69 K/AG/2009 adalah dengan melihat fakta-fakta dipersidangkan, kemudian diputus berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yaitu untuk istri pertama ½ dari harta bersama dengan suami yang diperoleh selama perkawinan, ditambah 1/3 x harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan istri pertama dan istri kedua, ditambah 1/4 x harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan istri ketiga, istri kedua dan istri pertama, ditambah 1/5 x harta bersama yang diperoleh suami bersama istri keempat, ketiga, kedua dan pertama.

ABSTRACT
In Indonesia marital problems have got arrangements in Undang-undang No. 1 Thn 1974 on Marriage. Article 1 of Undang-undang No. 1 Thn 1974 on Marriage is defined marriage as a bond between the inner and outer man with one woman as husband and wife with the intention of forming a family (household) are happy and eternal based on God . The principle of monogamy in the Marriage Undangundang No. 1 Thn 1974 on Marriage is not absolute, it means merely a briefing on the formation of monogamous marriage with roads complicate and restrict the use of the institution of polygamy and not removing altogether the system of polygamy The provisions of Article 65 paragraph (1) letter b of Undang-undang No. 1 Thn 1974 on Marriage determine the second wife and so do not have rights to common property which existed prior to the marriage with a second or subsequent wife was happening. This study is a descriptive analysis using normative juridical approach. Marriage Act merely confirms that between husband and wife have equal rights and status. On that basis it is part of the joint property of husband/wife is balanced ie 1/2 (half) of the husband and 1/2 (half) part of the wife or 50 % : 50 % when percentage. Consideration judge gave judgment in the division of property in a marriage by divorce and the death of the 69 Supreme Court K/AG/2009 is to look at the facts council, then terminated under the provisions of the legislation is to first wife half of the property along with husband acquired during the marriage, plus 1/3 x joint property acquired with the husband 's first wife and second wife, plus ¼ x joint property acquired by husband and wife with the third, the second wife and his first wife, plus 1/5 x property along the husband and wife obtained with the fourth, third, second and first.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39075
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library